SIX
Sepertinya mati lebih mudah dari pada menjalani kehidupan di dunia. Katanya, bunuh diri bakalan masuk Neraka Jahanam, lantas ..., apa bedanya ada di neraka dengan hidup bersama Bayu?
Raline berpikir untuk mati saja.
Bagaimana bisa ia menjalani hari sebagai seorang tuna susila? Merelakan tubuh dijamah puluhan lelaki asing demi menuruti kemauan si sinting Bayu. Raline tidak ikhlas.
Ya. Mending mati saja.
Mana tahu nanti di akhirat bertemu arwah ibunya. Raline berencana komplain, kenapa dulu ia tidak diaborsi saja? Malah dilahirkan ke dunia tanpa sempat mencicipi kasih sayang orang tua. Jadi pelacur lagi.
Raline sedang menimbang-nimbang, cara mati mana yang paling mudah. Ada tiga pilihan terpikir, menenggak racun hama, gantung diri, atau mengiris nadi dengan silet.
Tinggal pilih.
"Mbak ..."
Pelupuk mata Raline yang bengkak perlahan-lahan terbuka. Suara lembut milik Sintia membangunkannya dari tidur singkat setelah dihajar oleh Bayu.
"Mbak? Makan, yuk? Aku sudah buat mie goreng," ucap Sintia.
Raline menggeliat --- mengangkat kepala dan memandang wajah adiknya lekat-lekat. Sintia, gadis polos yang masih berusia 12 tahun. Semenjak masih bayi, hanya Raline yang Sintia miliki.
Jangan harap bisa mengandalkan Bayu, setelah kematian sang ibu, Bayu makin gila. Gemar mabuk, konsumsi narkoba, dan jarang pulang ke rumah. Kerjanya keluyuran di sekitar Dolly, sibuk menjadi 'makelar kelegaan'. Berkat kegigihannya, Bayu berhasil naik pangkat, dari yang cuma makelar menjadi germo atau muncikari.
Dulu, saat seusia Sintia sekarang, Raline harus mengemban tanggung jawab mengasuh adik si mata wayang. Beruntung, banyak tetangga yang membantu. Walau menyandang gelar wanita susila, bukan berarti mereka tidak punya nurani. Salah satu PSK yang wismanya berdekatan dengan rumah Raline, ikhlas menyusui Sintia kecil. Kebetulan wanita tuna susila itu juga baru saja melahirkan dan punya asi berlebih.
Pandangan Raline meremang, wajah Sintia begitu polos dan tanpa dosa. Kalau dia mati, Sintia sama siapa?
"Mbak?" panggil Sintia lagi. "Kok diam aja? Ayo, makan dulu. Masih sakit, ya, badannya?"
Raline mengangguk dan berusaha menegakkan badan. Sepintas ia melirik mukanya di kaca, bonyok.
"Kita nurut aja sama Bapak, ya, Mbak, supaya nggak dipukuli lagi." Sintia menyodorkan sesendok mie ke arah Raline.
"Iya, Sin," jawab Raline lirih.
"Mbak, habis makan, kuobati lukanya, ya? Aku takut wajah Mbak yang cantik tidak bisa sembuh," kata Sintia. Raut wajahnya penuh cemas.
"Biar saja seperti ini terus, Sin." Raline bergumam. Mungkin kalau mukanya cacat, Bayu bakal urung menjadikannya pelacur.
Sintia berdecak. "Ih, Mbak, ini!" protesnya. "Aku aja kepingin bisa cantik kayak Mbak. Kok Mbak malah mau mukanya benjol-benjol gitu, sih?"
"Cantik itu tidak penting, Sin. Yang penting baik hati dan pintar. Kamu belajar yang betul di sekolah, supaya nanti gampang cari kerja. Ya?" ujar Raline.
Sintia tertunduk. "Aku selalu giat belajar, kok, Mbak. Berarti, aku nggak jadi pindah sekolah?" tanyanya.
Raline mendesah berat. Kalau ingat gagalnya segala rencana yang sudah ia susun tatkala berhasil sampai Yogyakarta, hatinya mendadak ngilu.
"Nggak jadi, Sin," ucap Raline.
***
Dua hari istirahat di rumah tanpa melakukan apa pun, membuat pikiran Raline buntu.
Setiap hari, Bayu selalu pulang, bukan untuk memberi makan atau uang, melainkan memeriksa wajah Raline. Kalimat yang terlontar dari mulutnya selalu sama.
"Kalau mukamu sudah sembuh, siap-siap bekerja untukku."
Pagi ini, Raline tidak mau berdiam diri di rumah. Ia harus menemui Jeffrey, bicara dengan lelaki itu merupakan satu-satunya jalan. Mati sudah bukan lagi pilihan, ada Sintia yang harus ia jaga.
Raline mengenakan topi dan masker untuk menutupi wajahnya yang masih memar. Menggunakan ojek motor, Raline bergegas pergi ke rumah Jeffey. Ia masih ingat di mana lelaki itu tinggal. Setelah 20 menit berkendara, motor yang membonceng Raline akhirnya tiba di kediaman mewah kompleks Citraland.
Dari luar, Raline bisa melihat dua orang security berjaga di dalam pos depan rumah. Pemandangan kali ini kontras dengan kenangan Raline saat pertama kali datang. Waktu itu, rumah Jeffrey gelap dan sepi, mirip kuburan.
"Cari sapa?" tegur salah satu security kepada Raline.
Raline membuka topi dan maskernya. "Pak Jeffreynya ada?"
Security tadi tertegun sejenak, jijik melihat wajah Raline yang bengkak dan kebiruan.
"Udah bikin janji?" tanya si security tadi dengan ketus.
"Belum," sahut Raline lirih.
Security mengibaskan tangan. "Kalau belum nggak bisa, ya, Mbak. Bikin janji dulu."
"Tolonglah, Pak. Sebentar aja, kok. Bilang sama Pak Jeffrey, Raline Lara ingin ketemu," pinta Raline mengiba.
"Nggak iso, Mbak¹!" dengkus si security. Netranya menelisik penampilan Raline dengan raut meloya². Bagaimana bisa wanita kumal seperti ini mengenal si bos.
(¹ Nggak iso, Mbak : Tidak bisa, Mbak.
² meloya : jijik, perasaan tidak suka/geli, amit-amit)
Raline menyadari tatapan hina dari penjaga keamanan di depannya. Ia juga sadar diri, lelaki sekaya Jeffrey pasti tidak mau membuang waktu untuk bertemu sembarang orang. Namun, tekad Raline sudah bulat, ia harus bicara dengan Jeffrey.
Raline pun kembali memasang topi dan masker, kemudian mundur beberapa langkah dari gerbang. Ia memutuskan untuk menunggu sampai ada penghuni rumah yang keluar atau masuk. Wanita itu mengeluarkan ponsel dan mendengarkan musik melalui earphone.
Raline tahu rencananya kurang matang. Ia tidak tahu seperti apa rupa Jeffrey, lalu bagaimana cara mengenalinya?
Ah, masa bodoh. Mungkin sudah karakternya sebagai orang Surabaya, sing penting bondho nekat. Secara harafiah berarti bermodalkan kemauan yang kuat. Tujuan Raline menemui Jeffrey adalah untuk membujuk lelaki itu. Ada kemungkinan bapak tirinya batal menjadikannya pelacur jika Jeffrey kembali menggunakan jasa Bayu. Setahu Raline, Jeffrey terbiasa memanggil Irma.
Kalau hati Bayu senang, mungkin ia akan melepaskan Raline seperti sedia kala. Lebih baik balik menjalani hidup sebagai penari di klub malam ketimbang harus melacur.
Lovers walk two by two,
Doing things lovers do
They're in love, where am I?
I see them on my way home,
How I hate to be alone
They're in love, where am I?
Lagu lembut dari The Weepies mengalun lembut di telinga Raline. Lirik yang membuat Raline kembali mempertanyakan akan cinta. Meski tidak jago bahasa Inggris, Raline pernah cari tahu arti lagunya di internet. Intinya, tentang rasa kesepian seseorang yang mendambakan cinta atau kekasih.
Raline menerawang, mungkinkah orang seperti dia bisa menemukan cinta sejati?
Seumur hidup, Raline ingin tahu rasanya disayang. Dicintai bukan karena tampil seksi atau telanjang, melainkan kasih tulus untuk dirinya yang apa adanya.
Raline terlalu hanyut dalam lamunan dan musik, ia tidak sadar dari kejauhan seorang lelaki sedang berlari mendekati. Shirt putih yang basah karena peluh, menempel pada tubuh, menampilkan barisan otot maskulin yang berjajar. Itu Jeffrey.
Berlari merupakan kegiatan rutin yang dilakukan Jeffrey setiap pagi. Selain bisa menghirup udara segar, mentalnya jadi lebih stabil karena joging.
Pandangan Jeffrey tertuju pada sosok Raline. Ia memperlambat langkah sambil berpikir penuh tanya, siapa wanita itu?
Raline sadar ada orang yang mengamatinya. Ia pun melepas earphone dan membalas tatapan Jeffrey. Mata keduanya saling beradu.
Dahi Jeffrey berkernyit, janggal dengan tampilan babak belur dari wanita asing di depannya. Sementara, lain halnya dengan Raline. Wanita itu justru terkesima oleh lelaki tampan yang ada di dekatnya. Bertubuh atletis, warna kulit eksotis, dengan wajah bak Dewa Yunani. Figur lelaki itu makin sempurna dengan rambut kasar yang membingkai rahang serta dagu. Raline berdecak dalam hati, dia pasti penghuni salah satu rumah mewah di kompleks elit ini.
Orang kaya memang beda.
Meski kuyup oleh keringat, tetap saja masih gagah dan rupawan. Peluhnya pun bukan peluh karena lelah bekerja banting tulang. Melainkan keringat yang dicari secara sengaja akibat berolahraga.
Raline pun membuang muka. Tidak ingin berlama-lama memanjakan mata dengan ciptaan Tuhan yang tidak mungkin bisa ia miliki. Ia kembali memainkan ponsel untuk memilih-milih lagu. Tapi, betapa terkejutnya Raline ketika melihat lelaki tampan itu membuka gerbang rumah Jeffrey dengan santai.
Raline buru-buru memasukkan ponsel dalam tas. Ia berlari menyusul lelaki tadi sebelum sosok tegapnya menghilang.
"Mas, tunggu!" Raline menahan lengan si lelaki.
Jeffrey terkejut. Ia menyentakkan tangan sambil melotot. "Kamu ini siapa?!" bentaknya.
Raline mundur selangkah. Seluruh persendiannya terasa lemas, seolah tanpa tulang penyangga.
Bola mata kecokelatan Raline menatap penuh ketidak-percayaan. Ia masih hapal betul suara Jeffrey. Suara yang tersimpan pada setiap membran otak dan memorinya. Hanya suara itu yang Raline miliki untuk disimpan sebagai kenangan malam pertamanya. Suara berat dan dalam dari lelaki yang telah merenggut kemurniannya.
"Ka ... kamu, Jeffrey?" tanya Raline terbata.
Sudah tamat di BESTORY
Baca EXTRAPART di Karyakarsa
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top