SEVENTY-TWO
Ayah kandung apa?
Ibunya, Lina, selalu berkata kalau ia tak tahu siapa yang menghamilinya. Lina bilang tidak tahu siapa ayah Raline yang sebenarnya. Lalu kenapa lelaki di hadapannya ini, Rafli, datang dan mengaku bahwa ia adalah ayahnya. Selain itu, mengapa Rafli memiliki setumpuk surat bertuliskan tangan Lina.
"Pak Rafli bicara apa, sih?" Raline memandang Rafli dengan tatapan berkilat.
"Raline ... aku adalah ayah kandungmu. Lelaki yang dulu menghamili Lina dan pergi begitu saja meninggalkannya."
Napas Raline sesak. Bulir air mata tumpah dari pelupuknya.
Rafli kembali melanjutkan, "Aku menemui Bayu Angkoro di penjara demi mencari tahu tentang keberadaanmu. Namun ia justru menipuku dan memperkenalkan seorang wanita bernama Irma sebagai dirimu."
Raline memundurkan kaki selangkah demi selangkah.
"Kumohon, Raline. Masih banyak yang ingin kubicarakan denganmu," pinta Rafli mengiba. Ia berusaha mendekati sang putri.
Raline menggeleng seraya tersenyum pahit. "Pak Rafli jangan bercanda. Maksud Bapak apa?" tanyanya berkali-kali.
Lina Larasari, Bayu Angkoro, Irma ...
Rafli menyebut semua nama yang Raline kenal. Lelaki ini tidak sedang sesumbar. Tetapi, apa betul apa yang ia katakan? Bahwa Rafli adalah ayah kandungnya.
"Aku tidak bercanda Raline." Rafli menunjukkan kesungguhan. "Aku tahu ini terlalu berat untuk bisa kamu cerna. Maka dari itu, mari kita lanjutkan pembicaraan kita dengan tenang."
"Tidak."
"Raline kumohon," bujuk Rafli. "Bayu berani menipuku karena mengira kamu berada di Paris. Semua orang berpikir demikian. Tapi ..." Ia berhenti meneruskan kata karena tenggorokan yang tercekat. Hati Rafli pedih. "Kenapa kamu justru berada di sini, Nak?"
Tangis Raline pecah.
Ya. Dia memang belum bisa mencerna semua. Dia tidak mengerti apa yang dikatakan oleh Rafli.
Raline melengos dan berniat kembali ke dalam kamar. Dengan cepat, Rafli menahan tangan anaknya.
"Raline!"
"Lepas!" Raline menyentakkan tangan.
"Tidak bisakah kamu mendengarkanku dulu?"
"Aku tidak mau!" tolak Raline.
Rafli menyusul dan menempatkan diri di hadapan Raline. "Kumohon, maafkanlah Papi, Nak."
"Kamu bukan ayahku!" sentak Raline. "Aku tidak punya ayah!"
Raline kembali menghindar. Suara ribut mereka memancing atensi dari beberapa penghuni kos. Mereka mengintip dari balik pintu, ada pula yang terang-terangan melihat dari jarak yang dekat.
Rafli tak menyerah dan terus mengejar Raline.
"Ini semua salah Papi karena baru mencarimu sekarang. Papi salah. Papi minta maaf. Tapi ini suratan takdir dari Tuhan. Dia mempertemukan kita dengan cara di luar dugaan, Raline ..."
Raline menghentikan langkah dan menoleh tajam. Wajahnya basah dan memerah penuh air mata. Ia lantas menatap ke arah Rafli.
"Ya!" sergah Raline. "Kenapa baru sekarang?" Kilatan amarah jelas terpancar dari rautnya. "Kenapa kamu baru datang sekarang? Setelah ibu meninggal. Setelah aku merelakan hidupku sebagai pelacur!"
Rafli terkesiap tanpa mampu menjawab.
Raline menghapus tangis secara kasar. "Oh ya Tuhan ..." Ia memekik. "Dan kalau benar kamu adalah ayahku, kita hampir saja bercinta. Bercinta!"
Raline akhirnya paham mengapa hidupnya begitu sial. Kedua orang tuanya adalah manusia hina. Sang ibu merupakan penjaja kepuasan. Dan sang ayah adalah penikmat birahi. Ia adalah keturunan dari dua insan celaka dan jahanam. Semua masuk akal, kenapa Tuhan menghukumnya begini berat. Karena ia adalah anak haram yang harus menanggung dosa Lina dan Rafli.
Rafli kembali meraih lengan Raline. Namun Raline lagi-lagi menepis.
"Lepas! Kamu sungguh menjijikkan! Dan aku juga jijik pada diriku sendiri!" teriak Raline. "Lihatlah aku, LIHAT! Kamu dan ibuku menciptakanku begini. Ketiadaanmu membuatku terpaksa hidup menderita dan melacur. Aku menjual diriku padamu! Bukankah itu sangat menjijikkan karena kamu adalah ayahku? Huh?"
"Raline ..."
"Aku tidak minta dilahirkan. Harusnya ibu menggugurkanku saja. Itu lebih baik. Dan harusnya kamu tak usah mencariku. Tak usah!" Raline kembali meneruskan langkah. Ia hancur.
Raline tak peduli siapa Rafli Hardiawan. Sekaya apa pun dia. Atau seberapa berkuasanya manusia itu. Yang ia tahu adalah Rafli merupakan lelaki menjijikkan. Hidung belang tua yang gemar mempermainkan wanita. Membeli kenikmatan dari tubuh-tubuh muda dengan uang yang dia punya. Fakta akan hal itu membuat Raline membenci Rafli.
Semua perlakuan Rafli padanya membuat Raline semakin sakit.
"Oh Tuhan!" Raline bergegas masuk ke dalam kamar. Membanting pintu tepat di hadapan sang ayah. Ia lalu bersandar pada kusen sambil terisak.
Apa Tuhan sangat membencinya?
Raline refleks mengusap-usap kedua lengannya. Lama kelamaan, gerakannya makin kuat. Hingga kulit putih Raline memerah dan tercakar kuku sendiri.
Ia jijik pada dirinya --- tubuhnya.
Ia telah memamerkan diri pada Rafli. Ayah kandungnya sendiri.
"Raline! Bukakan Papi pintu, Nak."
Suara Rafli terdengar parau dari balik pintu. Rupanya ia masih ngotot mengejar Raline.
"Pergi!" teriak Raline tersedu. "Pergi sana!"
"Papi mencintai ibumu. Papi sangat mencintainya. Namun Papi adalah lelaki pengecut yang memilih pergi begitu saja. Ketahuilah, Raline. Sudah lama Papi ingin mencari kalian. Tapi Papi selalu mengulur waktu," terang Rafli. "Besok, besok, dan besoknya lagi. Hingga Papi tak sadar 25 tahun akhirnya berlalu. Papi memang pengecut."
Raline menutup kedua telinga menggunakan telapak tangan. Ia tak mau mendengarkan penjelasan dari Rafli.
"Kubilang pergi!"
"Papi memang bukan manusia sempurna. Justru, Papi adalah orang berengsek. Namun ini adalah cara Tuhan menghukum Papi. Tuhan membuatmu menderita karena dosa yang Papi lakukan. Maafkan Papi, Nak. Gara-gara Papi, kamu harus hidup begini menderita. Maafkan Papi ..."
Raline tak bisa menghentikan tangis. Sekuat apa pun ia menutup telinga, suara Rafli masih mampu ia dengar.
Maaf? Raline tak butuh maaf itu. Apa dengan maaf semua penderitaan dan sakit Raline bakal lenyap? Tidak. Apa dengan maaf, kehidupan Raline berubah jadi lebih baik? Tidak juga. Lantas, untuk apa Rafli berulang kali meminta maaf? Sebuah perbuatan sia-sia yang kadaluarsa.
"Kubilang pergi! Apa kamu tuli?" seru Raline.
Rafli tak lagi bicara. Untuk sekian detik, Raline mulai berpikir bahwa ayahnya itu sudah pergi. Namun ternyata ia salah.
"Andai Papi bisa mengulang waktu, tetapi Papi tidak bisa. Saat itu Papi berpikir kalau Papi melakukan kesalahan dengan mengenal ibumu. Papi pun meninggalkannya. Tapi justru pergi dari Linalah kesalahan Papi. Papi hidup dalam kegelisahan. Untuk semua waktu yang hilang, Papi sungguh minta maaf, Raline. Maafkan Papi karena tak ada saat kamu menangis. Tak ada untuk melihat langkah pertamamu. Tak ada ketika kamu mengucap kata pertama. Maafkan Papi. Maaf ..."
Raline membungkam isak dan menutup bibirnya menggunakan telapak tangan.
"Papi tahu Papi egois. Muncul tiba-tiba dan berharap kamu memaafkanku," kata Rafli lagi. "Ya, Papi pantas kamu benci. Papi akan menanggung semua kemarahanmu seumur hidup."
Rafli kembali terdiam. Ia akhirnya sadar, butuh waktu bagi Raline untuk memaafkannya. Kesalahan yang ia lakukan terlalu banyak dan berat.
"Kalau begitu, Papi pergi, Nak. Sekali lagi maafkan Papi ..."
Raline membenamkan wajah. Indra pendengarannya tak lagi menangkap suara Rafli. Kesunyian itu justru membuat hati Raline makin sembilu. Detik waktu serasa menyiksa dan panjang. Benarkah kemarahan akan menyembuhkan luka hati? Atau justru, amarah berbalik melahap Raline hingga habis tak bersisa.
Pelan-pelan, Raline membuka pintu kamar dan mengintip. Netranya menangkap punggung Rafli yang menjauh. Itu punggung ayahnya ...
Kaki Raline melangkah mengkhianati hati. Ia berjalan ragu-ragu mendekati Rafli.
Farzan yang sedang membukakan pintu sang bos, tercenung karena menangkap kedatangan Raline. Hal itu membuat Rafli ikut menengok ke belakang. Mata Rafli pun kembali berkaca-kaca.
"Raline?"
"Jadi, kamu mau pergi lagi sekarang?" ucap Raline.
Rafli menggeleng penuh haru.
"Seumur hidupku, aku selalu bermimpi memanggil seseorang dengan sebutan bapak, papa, ayah, papi ..." ujar Raline. "Sosok hangat yang mengantarku pergi ke sekolah dan menemaniku mengerjakan PR. Tapi aku tak pernah merasakan semua itu. Semua kasih sayang dari orang tua maupun ayah. Aku tidak pernah merasakannya."
"Maafkan Papi ..."
"Aku tidak ingin lagi mendengar maafmu. Aku hanya ingin ..." Raline menelan tangis. Dada wanita itu serasa sesak. "Kamu sayangi."
"Oh ... Raline ..." Rafli memajukan badan dan menyergap Raline dalam rengkuhan. Ia memeluk sang putri begitu erat seakan dipenuhi ketakutan.
Dalam pelukan Rafli, Raline tak ragu melampiaskan kepiluan.
Momen mengharukan mereka masih diamati oleh orang-orang disekitar. Sekelumit penghuni indekos bahkan ada yang ikut berkaca-kaca. Namun, Rafli dan Raline tidak peduli dengan semua tatapan itu.
"Papi bersalah, Nak. I knew about you, but I pretend I didn't. Maafkan Papi. Papi minta kesempatan kedua darimu, Raline."
Raline pikir ia membenci Rafli. Tetapi jemarinya justru mencengkeram punggung Rafli erat. Perasaan aman yang tak pernah ia rasakan sebelumnya. Raline tak lagi merasa sendirian.
Raline pikir ia membenci Rafli. Tetapi air mata yang mengalir menegaskan rasa rindu membuncah.
Raline pikir ia membenci Rafli. Tetapi ternyata rasa cintanya terlalu besar. Ia sudah mencintai sang ayah, bahkan sebelum Raline mengenalnya. Raline menyebutnya dalam tidur. Membayangkan sosoknya ketika melamun. Dan berharap suatu hari mereka akan berjumpa.
"Berhentilah minta maaf," sergah Raline. "Cukup jangan tinggalkan aku lagi."
Rafli mengusap kepala belakang Raline dengan penuh sayang.
"Tidak akan lagi."
***
Tim perancang busana satu per satu keluar dari ruangan meeting. Setelah dua jam presentasi soal produk terbaru, rapat akhirnya selesai.
Marlena memilih berjalan tepat di sebelah Jeffrey. Raut wajah desainer senior itu sedikit gusar.
"Akhir-akhir ini kamu sangat serampangan, Jeffrey."
Jeffrey meringis getir. "Oh ya?"
"Rapat kita seharusnya diadakan beberapa hari yang lalu. Namun kamu mendadak membatalkannya dan pergi ke Jakarta untuk urusan pribadi. Karena ulahmu, tim perancang busana jadi terlambat mengirim pola rancangan pada tim produksi. Ada apa sebenarnya? Ini tak sepertimu." Marlena mulai mengomel.
"Sorry for that," kata Jeffrey. "Aku berjanji tak akan lagi melakukan itu."
"The MAXIMAL sedang mendapat perhatian sejak WildRoses menggunakan The Sinner. Pembelian melalui situs online kita juga meningkat pesat. Seharusnya kesempatan ini sangat tepat untuk melebarkan ekspansi. Namun kulihat kamu justru semakin letoy."
Jeffrey hanya terkekeh.
"Kenapa?" buru Marlena. "Apa kamu merasa bersalah karena mencatut namamu alih-alih Raline?"
Pertanyaan dari Marlena membuat Jeffrey mengembuskan napas berat. Memang bisa dibilang begitu.
Marlena menyengih. "Jujur, aku tak mengira kamu akan melakukan hal seperti itu. Kamu tak pernah begitu padaku."
"Ini hanya kesalah-pahaman." Jeffrey mendengkus. Ia malas menjelaskan soal sabotase Gisella.
"Andai kamu melakukan itu padaku, kurasa aku akan sakit hati. Menciptakan sebuah karya yang disukai oleh banyak orang bukan hal mudah. Dan orang lain malah mengakui hasil karya itu," ledek Marlena. Ia melirik Jeffrey seolah mengejek. "Pantas saja Raline kabur ke Paris."
"Sudahlah, Bu Lena. Aku tak ingin membahas itu," sergah Jeffrey.
"Kamu terlalu pasif, Jeff. Apa kamu tidak berpikir kepergiannya mungkin karena kesal."
"Semua sudah terjadi. Aku yakin di sana ia akan mendapatkan kehidupan lebih baik. Masa depannya juga lebih terjamin," ujar Jeffrey.
Marlena memutar bola mata. Sungguh jawaban yang terdengar putus asa. Mereka berdua pun sampai di persimpangan ruangan.
"Jangan lupa meeting besok," kata Marlena.
"Ya." Jeffrey mengangguk. "Tenang saja, aku tak akan memundurkannya lagi."
Marlena mengibaskan tangan seraya menuju ke ruangan. "Oh, don't you dare, Jeff."
Jeffrey mengulum senyum dan berjalan ke arah elevator. Ponsel lelaki itu bergetar pertanda pesan yang masuk.
RAFLI HARDIAWAN
Semua berkatmu, Jeff. Aku dan putriku telah kembali bertemu. Thanks.
Jantung Jeffrey sontak berdegup kencang.
Tanpa lagi berpikir, Jeffrey masuk ke dalam elevator. Bukan naik menuju ruangannya, namun ke lantai paling dasar. Pikiran lelaki itu hanya satu. Ia harus menemui Raline Lara. Segera.
Janji pada Marlena pun berlalu begitu saja seolah angin.
Hai, Darls!
Sudah masuk bulan ramadhan bagi umat Muslim, ya ...
Berhubung KINKY tergolong steamy, maka selama satu bulan lebih, aku nggak akan posting bab baru dulu. Buat yang nggak sabar, silakan baca sampai tamat di Karyakarsa. Cari section SERI yang berjudul 'Raline & Jeffrey'. Anddd ... bagi kalian yang suka cerita² macam gini, boleh banget ubek² karya Ayana yang lainnya. Jangan lupa kasih vote dan komen yang rame. He he.
Salam sayang - Ayana
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top