SEVENTY-ONE
Mas Rafli, aku tidak tahu apa alasanmu tak membalas surat-suratku. Apa mungkin kamu tidak ingin lagi berurusan denganku?
Tiga bulan lalu aku mengunjungi kediamanmu. Namun, kemunculan istrimu membuat rasa takut tiba-tiba menyergapku. Aku sadar diri bahwa aku memang bukan siapa-siapa dalam kehidupanmu. Aku juga merasa tak sebanding dengan istrimu. Aku malu. Karena memang mau bagaimana pun, hubungan kita adalah hubungan rahasia. Karena itulah aku memutuskan kembali pulang ke Surabaya tanpa menemuimu. Biarlah aku menunggumu yang datang.
Anak kita sudah lahir. Aku memberinya nama Raline Lara. Perpaduan nama kita, Rafli dan Lina. Kuharap suatu saat nanti kamu berkenan mengunjungi Raline. Dia adalah putri yang sangat cantik. Hidungnya sama mancungnya sepertimu. Kamu bisa melihat sendiri melalui foto yang kukirimkan. Tempat tinggalku juga masih sama. Dan aku terpaksa kembali bekerja seperti yang dulu karena himpitan ekonomi.
Kurasa ini adalah surat terakhirku padamu, Mas Rafli. Semoga kelak pintu hatimu terketuk.
Lina Larasati
***
"Nama asli saya Raline Lara."
Kartu identitas yang semula Rafli pegang lepas dari tangannya. Ia memandangi Raline dengan pelupuk menggenang. Rasa sakit pada dada pun semakin menjalar hingga membuat tiap napas Rafli terasa berat.
"P-Pak Rafli? Bapak kenapa?" Raline menyorot Rafli penuh kebingungan. Lelaki itu memegangi area dada seperti sedang kesakitan.
Bibir Rafli kelu. Tenggorokannya pun ikut tercekat. Wajah lelaki matang itu juga memerah --- tangis dan nyeri bercampur satu.
"Pak?!" pekik Raline.
Rafli terjatuh hingga lututnya menyentuh lantai. Dengan sigap, Raline mencoba membantu Rafli tetap tegak.
"Pak Rafli? Ya Tuhan!" Raline mulai panik.
Tangan Rafli gemetar dan berusaha membelai wajah sang putri. Air mata lelaki itu tumpah ruah. "Ra-Raline ..." gumamnya. "Raline." Ia mulai terisak. "Kamu seharusnya tidak di sini ... Kamu seharusnya di ... Paris."
Rafli kemudian ambruk tak sadarkan diri. Raline pun berlari gesit membuka kamar hotel dan memanggil dua ajudan Rafli yang berjaga di depan. Wanita itu begitu ketakutan dan panik.
Ia merasa nasibnya sangat sial. Bahkan untuk menjual diri saja --- semesta menghalangi.
***
Rafli tak memikirkan apa pun.
Ia hanya mengingat segala kenangan pahit yang telah ia lakukan. Ia memang iblis. Dia adalah menusia perwujudan setan.
"... Itu kalau kamu mau menghabiskan malam bersamaku."
Sosok Raline yang terjatuh di depannya tiba-tiba terbayang pada benak. Anak perempuan yang ia cari, berlutut demi menjual dirinya.
"Kamu lihat sepatuku? Kotor, 'kan? Bisa tolong bersihkan dengan tanganmu?"
"Sudah?"
"Sudah, Pak."
"Hubungi aku kalau kamu sudah menyiapkan segalanya. Aku tidak mau melihatmu sekotor sekarang dan aku hanya mau melakukannya di hotel bintang lima." Rafli menghentikan langkah dan menoleh. "Kuharap kamu tidak mengecewakan. Karena penilaianku padamu sudah cukup buruk, Nona."
Raline terlihat memungut kartu nama yang terkotori tanah berair. Rafli justru menahan tawa melihat keputus-asaan wanita itu.
"Oh Tuhan!" Rafli tersedu memegangi kening.
Ajudan yang semula duduk pada sofa ruang kamar rumah sakit bergegas datang menghampiri. "Pak Rafli? Anda sudah sadar?"
"Aku lelaki terkutuk ..." kata Rafli. Air mata meleleh membasahi sudut mata. Bibir lelaki itu gemetar seolah menahan sakit teramat sangat.
"Pak?" Ajudan mulai bingung. "Saya akan panggil dokter."
Rafli menggeleng. "Aku hampir saja bercinta dengan putri kandungku. Darah dagingku!" Ia mulai tak mampu mengontrol emosi. "Aku pantas mati!"
"Pak Rafli?" Si ajudan menahan lengan Rafli yang berusaha mencabut selang infus.
"Mana Angel?" tanya Rafli.
"Wanita itu menunggu di luar," jawab ajudan.
Tangis Rafli kembali pecah. Ajudannya tampak linglung --- belum pernah bosnya seperti ini.
"Angel adalah Raline Lara. Dia putriku. Dia putriku."
Ajudan itu terhenyak.
"Bukankah Raline Lara di Paris, Pak?"
"Semua hanya kebohongan! Demi Tuhan, Farzan! Aku hampir saja menyetubuhi anakku sendiri! Ini adalah hukuman bagiku."
Farzan akhirnya paham alasan di balik sikap sentimentil bosnya. Rafli sedang terpukul karena fakta tak terduga yang baru saja diketahui. Tuhan memang punya cara unik untuk menegur umat-Nya. Entah bagaimana perasaan Rafli karena ia telah membeli anak kandung sendiri. Lelaki normal mana pun pasti akan terpukul dan merasa berdosa. Namun, dari penuturan Rafli, Farzan mengambil kesimpulan bahwa mereka belum sampai bercinta.
Tapi apa pun itu.
Rafli jelas-jelas hancur total. Dan wanita itu, Raline, kalau dia tahu ... entah apa ia bisa mengampuni ayah kandungnya.
"Pak Rafli saya akan panggilkan dokter."
Rafli menahan tangan Farzan. "Panggil Raline ke mari."
"Pak, saya rasa ini bukan saat yang tepat. Saya mengkhawatirkan kondisi Bapak Rafli," sanggah Farzan.
"Tolong. Panggil dia sekarang." Netra Rafli mengiba --- tampak putus asa.
Farzan menahan napas.
"Baiklah. Tapi saya sarankan agar Pak Rafli tidak membicarakan hal serius padanya. Kita tak boleh gegabah lagi seperti saat menghadapi Bayu dan Irma kemarin."
"Kamu meragukanku?!" sentak Rafli. "Dia benar-benar Raline Lara. Anakku!"
"Baiklah, Pak." Farzan mengangguk. Raut wajah ajudan itu selalu datar. "Saya akan memintanya masuk."
Farzan pun melangkah keluar dari ruangan. Netranya menangkap sosok Raline yang sedang duduk menunggu di selasar. Wanita itu menggigiti kuku tangan seolah sedang cemas berkepanjangan.
"Nona Angel."
Raline menoleh. Ia otomatis berdiri menyambut Farzan.
"Pak Rafli ingin bertemu," kata Farzan.
Raline bernapas lega. Syukurlah lelaki itu masih hidup. Harapannya mendapatkan uang masih ada.
Ia pun mengekori ajudan menuju ke ruangan kamar. Farzan membukakan pintu untuk Raline dan mempersilakan wanita itu masuk.
"Silakan."
Raline dengan gamang melangkah masuk. Ia melihat Rafli sedang menunggunya. Netra mereka berdua pun saling bertautan.
Raline menelisik sosok Rafli yang berbeda 180 derajat. Wajah lelaki matang itu kuyu dan sayu. Kekuatan dan aura Cassanova Rafli hilang tak bersisa. Raline lantas menduga kalau kondisi Rafli pasti tidak baik-baik saja. Lelaki itu mungkin sedang kesakitan.
"Kemarilah. Mendekat," kata Rafli. Ia memandangi Raline tanpa berkedip dengan nanar.
Raline menurut dan berdiri di samping Rafli.
"Katakan padaku, Raline," ucap Rafli tercekat. "Kamu sudah lama berada di Jakarta?"
"Iya." Raline berdusta.
Rafli menarik napas panjang. "Jawablah dengan jujur."
"Aku ..." Raline menundukkan kepala. "Sebenarnya sebelumnya saya tinggal di Surabaya."
Rafli berusaha sekuat tenaga menahan perasaan yang pedih sekaligus nelangsa.
"Lalu kenapa kamu pindah ke Jakarta?"
"Untuk mengubah nasib," jawab Raline.
Air mata Rafli kembali menitik. Ia buru-buru menghapusnya. "Tapi kenapa, kamu justru melakukan ini. Menjadi ..."
"Saya benar-benar membutuhkan uang, Pak Rafli." Raline menengadahkan kepala. Ia menyorot Rafli dengan kedua bola matanya yang kecokelatan.
"Kamu bilang untuk biaya rumah sakit, bukan? Siapa yang sakit?" tanya Rafli lagi.
"Adik saya."
"Adik? Kamu memiliki adik? Adik kandung?"
Raline mengangguk. "Iya."
Bayu memang kurang ajar. Ia menyembunyikan fakta soal anak lain yang dimiliki Lina. Rafli sekuat tenaga menutupi amarah yang hampir menguasai diri.
"Raline, aku akan membiayai biaya pengobatan adikmu. Kamu tak perlu lagi cemas memikirkannya. Selepas ini, bicaralah dengan Farzan, ajudanku yang tadi."
Raline terperangah. "Ba-Bapak Rafli serius?" tanyanya.
"Ya. Aku serius."
"Setelah kondisi Pak Rafli membaik, saya janji akan mengatur ulang pertemuan kita, Pak. Saya akan melakukan yang terbaik untuk membuat Bapak se ..."
Rafli bergegas menyela, "Hentikan, Raline. Cukup." Ia menggeretakkan gigi. Fakta bahwa Raline berusaha menjual tubuh membuat Rafli nelangsa. "Jangan sekali pun kamu berpikir untuk melakukan ini lagi!"
"A-apa?" Raline mulai penuh kebingungan.
"Kita akan bertemu lagi setelah kondisiku membaik. Tetapi untuk bicara, tidak lebih. Kamu paham?" tegas Rafli.
Raline pun mengangguk. Sebuah tarikan melengkung tercipta dari kedua sudut bibir plum-nya. Senyuman Raline membuat Rafli tertegun. Pantas. Ia seolah merasa akrab dengan wajah Raline. Putrinya itu --- memiliki senyum sang ibu.
"Saya janji akan mengganti uang yang Bapak berikan."
Tangan Rafli mengarah pada pipi Raline. Dengan gemetar, ia membelainya lembut. Akibat ulah Rafli, Raline pun terkesiap. Tetapi, sentuhan Rafli yang kali ini tak membuatnya bergidik. Sungguh aneh. Raline malah merasa telapak Rafli begitu hangat dan nyaman.
"Tidak ada yang perlu kamu ganti, Raline."
Kesedihan Rafli jelas tertangkap oleh Raline. Ia bingung, apa yang sebenarnya telah menimpa Cassanova? Sehingga perlakuan dan sikap Rafli kini sangat berbeda.
***
Ajudan sekaligus tangan kanan Rafli, Farzan, membantu Raline mengurus administrasi Sintia. Bocah 13 tahun itu akan dioperasi tiga hari lagi. Sebenarnya Raline merasa ganjil.
Tidak ada hal gratis di dunia ini.
Semua manusia yang pernah Raline kenal selalu menuntut imbalan atas bantuan mereka. Bayu, Jeffrey, Aldi, dan tak menutup kemungkinan Rafli Hardiawan juga.
Raline memang wanita paling sial.
Ia hanya bisa mengandalkan tubuh untuk menuntaskan segala masalah. Apa mau dikata, Raline selalu terdesak oleh keadaan. Takdir memang menuntunnya untuk menjadi wanita tuna susila pemuas nafsu. Menjijikkan. Tapi inilah realita yang mau tidak mau harus Raline terima.
Apa pun itu, Raline tak gentar. Sebelum mengenal Rafli, ia sudah terlebih dahulu bertemu iblis-iblis berwujud manusia. Satu iblis lagi bukan hal besar bagi Raline. Ia akan menyanggupi permintaan Rafli kelak.
Raline sudah siap.
Ia bukan lagi wanita naif yang munafik. Dulu Raline enggan menerima fakta bahwa ia cuma wanita bayaran. Sekarang ia sudah menerima dengan ikhlas jalan hidup pilihannya.
Kupu-kupu malam. Pelacur. PSK. Lonte. Beragam nama yang bakal disematkan orang-orang untuk dirinya. Raline akan menutup telinga.
Sehari sebelum operasi Sintia, Raline pun menyiapkan pakaian untuk di bawa ke rumah sakit. Dengan telaten, ia memasukkan beberapa baju ke dalam duffle bag. Doa Raline cuma satu --- Sintia kembali sehat. Kalau pun Tuhan harus menghukum caranya mendapatkan uang, Raline rela. Asal segala karma dan azab itu dibebankan pada dia, jangan Sintia.
Toktoktok.
Bunyi ketukan pada pintu kamar indekos, membuat Raline menghentikan kegiatan. Ia beringsut bangun dan membuka pintu.
"Oh? Pak Rafli?" Raline terhenyak. Ia tak menduga Rafli bakal mendatanginya ke kos.
Rafli melirik sepintas ke dalam. Kamar berukuran sepetak. Bahkan tempat tidurnya pun kasur lipat berukuran kecil. Hati lelaki itu ngilu. Ia menikmati segala kemewahan, sementara anaknya hidup dalam kemiskinan.
Kemiskinan yang membuat Raline Lara terpaksa melacur.
"Bapak sudah sehat?" tanya Raline berbasa-basi.
Rafli menjawab dengan anggukkan kepala.
"Oh, ehm, Bapak mau masuk?" tawar Raline.
Rafli menggeleng pelan.
"Raline, boleh minta waktu sebentar? Kita bicara di teras depan saja, bagaimana?"
"Bo-boleh, Pak." Raline pun menutup pintu dan mengikuti langkah Rafli.
Indekos tempat Raline tinggal adalah bangunan tiga lantai yang memang dikhususkan untuk penyewaan kamar. Pintu-pintu berjajar dalam satu deret, sementara terdapat tiga kamar mandi di setiap lantainya. Untuk dapur sendiri terletak pada lantai paling dasar. Ruang memasak itu bisa dimanfaatkan oleh para penghuni secara bergantian.
Terdapat taman berukuran sedang di depan bangunan indekos. Pohon mangga yang berdiri rimbun dan tinggi kokoh membuat suasana sedikit lebih rindang. Di situlah Rafli memilih tempat duduk. Tepat di depan pepohonan besar yang adem. Dari depan gerbang kos, Bentley milik Rafli tampak terparkir rapi. Lengkap dengan Farzan dan seorang sopir yang setia menunggu.
"Duduklah, Raline." Rafli menggeser badan untuk menciptakan ruang bagi sang putri.
Raline pun duduk. Ia mengambil tempat di ujung bangku kayu. Seolah-olah menciptakan jarak antara dirinya dan Rafli.
"Kata Farzan besok adikmu di operasi, ya?" tanya Rafli seraya menerawang ke arah langit.
"Iya, Pak," sahut Raline singkat.
"Siapa namanya? Sintia?"
Raline pun mengangguk.
Rafli tersenyum. Pada sudut matanya timbul garis-garis kerutan sebagai pertanda usia yang tak lagi muda. "Jangan khawatir berlebihan. Sintia masih berada di stadium awal. Kudengar juga, sel kankernya tidak mengalami perlengketan. Setelah menjalani operasi dan kemoterapi beberapa kali, kuyakin dia akan kembali sehat."
"Iya," kata Raline. Ia masih canggung saat bicara dengan Rafli. Apa lagi lelaki itu berubah aneh sekarang. Dan lagi ... Raline melirik ke arah Rafli. Tatapan Rafli padanya sungguh lain.
Rafli berdeham dan memalingkan wajah.
"Waktu di Surabaya, kamu kerja apa?" Rafli seolah sedang mengintrogasi Raline.
"Macam-macam," ucap Raline. "Tapi yang terakhir aku sempat bekerja di the MAXIMAL."
"Oh ya? Bukankah itu perusahaan besar?" imbuh Rafli berlagak tak tahu.
"Ya lumayan ..." Raline tertunduk.
"Kamu tahu, Line, the MAXIMAL adalah perusahaan milik calon menantuku."
"A-apa?" Raline terhenyak dan menoleh ke arah Rafli.
Rafli kemudian mengeluarkan beberapa lembar lipatan kertas dari saku coat-nya. Ia pun menyodorkannya pada Raline.
Keterkejutan Raline belum selesai, tetapi tangannya refleks menerima pemberian Rafli.
"Ini apa, Pak?" selidik Raline.
"Kamu baca saja." Rafli menatap Raline dengan sendu.
Secara hati-hati, Raline membuka lipatan salah satu kertas. Dari tampilannya, sudah jelas itu merupakan surat. Warna putih pada kertasnya memudar. Tampak usang kuning kecokelatan. Sangat jadul.
Bola mata Raline bergerak-gerak karena membaca kata demi kata yang tertera. Dahi wanita itu berkernyit. Menyusul dengan alis yang saling bertautan. Selesai membaca satu, Raline membaca surat yang lain. Wajahnya yang putih pucat berubah memerah.
Ia melirik Rafli sekelebat. Lalu kembali menyorot kertas di tangannya. Mata Raline mulai buram dan memanas.
"I-ini apa? Maksud Pak Rafli ini apa, ya?"
"Itu surat yang dikirimkan ibumu, Lina Larasati untukku," ungkap Rafli.
Raline gemetaran. Seluruh persendian pada tubuhnya melemas. Ia sontak berdiri hingga surat-surat di pangkuannya jatuh berserakan.
"Bapak Rafli ini maksudnya apa, sih?!" bentak Raline.
Rafli mematri netra ke arah sang putri. Raut wajahnya menegang karena menahan tangis.
"Raline ..." kata Rafli terbata. "Aku adalah ayah kandungmu."
Hai, Darls!
Thank you buat antusiasme kalian pada KINKY, ya. Mulai sekarang, KINKY bakalan lambat update di WP — kalian bisa baca jalur cepat lewat Karyakarsa. Cari seri 'Raline&Jeffrey' di sana. Buat yang nggak mau download Aplikasi, Karyakarsa bisa dibaca by website, ya, Darling.
Ikuti works ayana yang lain di wattpad, salah satunya F3TISH.
BLURB :
Marv - lelaki dengan fetish kaki atau podophilia, menggoda Lila hanya untuk kesenangan semata. Ia merenggut kesucian Lila untuk hubungan satu malam. Marv bahkan memersuasi Lila yang polos agar meninggalkan tunangannya, Putra.
Lila - gadis naif yang cinta buta pada Marv hingga rela memberikan apa saja bagi lelaki itu, termasuk keperawanannya. Cinta tulus Lila pada Marv membuatnya buta akan realitas sebenarnya.
Sementara, Putra - lelaki baik hati yang sudah dicampakkan oleh Lila demi Marv. Meski demikian, cinta Putra masih membara untuk Lila. Ia bersumpah akan merebut kembali mantan kekasihnya itu.
Ini adalah kisah segitiga penuh intrik antara Marv, Lila, dan Putra. Namun, semua mulai berubah tatkala Marv terjebak dalam ikatan pernikahan bersama Lila. Mungkinkah hubungan Marv dan Lila akan berujung bahagia? Atau justru Putra-lah yang berhasil menjadi pemenang di tengah konflik perebutan harta warisan yang terjadi —
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top