SEVENTY-FIVE
Raline menunggu di depan ruang operasi dengan perasaan tak menentu. Dokter menerangkan bahwa usus yang terkena kanker akan dibuang. Lalu bagian yang masih sehat akan disambung dan dijahit. Membayangkan Sintia dibedah sedemikian rupa membuat Raline ikut merasakan ngilu. Adiknya itu tak pernah merepotkan sedari kecil. Mana ia sangka sekalinya sakit, Sintia langsung terkena kanker usus besar.
Padahal kanker usus besar kebanyakan menyerang pasien dewasa, rentang usia 40 atau 50 ke atas. Namun mungkin akibat pola makan yang tak menentu dan kurang higienis, mengakibatkan remaja seperti Sintia terinfeksi dini.
Kalau diingat lagi, Sintia hampir setiap malam mengonsumsi makanan instan. Saat Raline sibuk bekerja, remaja 13 tahun itu meredakan lapar dengan membeli jajanan sembarangan.
Raline terlalu cemas dan menyalahkan diri. Akibat terlalu berfokus pada Sintia, ia sampai lupa tentang pertemuannya dengan Jeffrey kemarin. Kedatangan lelaki itu seolah angin lalu. Raline tidak peduli. Kesehatan Sintia lebih utama.
Setelah lima jam menjelang, pintu ruangan operasi akhirnya dibuka. Sintia yang masih terpengaruh bius terbaring di atas brankar dan didorong oleh beberapa perawat.
"Operasinya berjalan lancar. Sekarang kita hanya perlu menunggu Sintia sadar." Dokter bedah menghampiri Raline.
Raline mengembuskan napas lega. "Terima kasih, Dok," ucapnya.
Dokter itu mengangguk. "Nanti setelah dia sadar, kita akan membahas treatment selanjutnya."
"Baik, Dok."
Raline pun lantas menyusul para petugas medis yang membawa Sintia. Beban yang bersarang pada pundaknya berangsur terangkat. Yah, meski pun masih ada kemoterapi dan pengobatan lainnya. Tapi paling tidak, Sintia sudah melalui bagian tersulit.
***
Penerbangan kembali ke kota Pahlawan masih nanti sore. Namun Jeffrey sudah rapi dan menyiapkan barang-barangnya untuk kembali. Lagi pula, sebelum pulang, masih ada hal yang harus ia lakukan.
Menemui Raline Lara.
Kaki Jeffrey melangkah pasti menembus selasar panjang rumah sakit. Pada tangan kirinya menenteng sebuah paperbag berisikan kotak-kotak makanan. Wanita ceroboh itu pasti tidak sempat mengurus diri. Raline jelas belum makan karena sibuk memikirkan Sintia. Jeffrey memang benar. Hanya saja ia tak mempertimbangkan soal kemungkinan Raline yang bakal menolaknya lagi.
Tanpa mengetuk, Jeffrey masuk begitu saja ke dalam ruang kamar. Ia jelas menangkap ekspresi jengkel yang terulas pada wajah sang submisif saat memergokinya datang. Namun kali ini Raline tak bisa berteriak seperti kemarin. Ada Sintia yang masih tak sadarkan diri di sisinya.
Bibir Jeffrey membentuk tarikan melengkung ke atas. Rambut pekat lelaki itu masih sedikit lembab --- sudah pasti ia baru saja selesai mandi. Baik wajah mau pun tubuhnya terlihat segar. Penampilan Jeffrey kian sempurna ditambah wangi parfum yang menguar memenuhi seisi kamar. Andai saja Raline tak membenci lelaki itu, sudah pasti ia akan meleleh oleh ketampanan Jeffrey. Sayang ... kini paras rupawan sang dominan tak akan mempengaruhi hati Raline yang sudah terlanjur terluka parah.
"Mau apa lagi kamu ke sini?" Raline membentak dengan suara yang dipelankan.
Jeffrey menjatuhkan bokong ke atas sofa. Ia santai mengeluarkan kotak-kotak makanan yang ia bawa.
"Membawakanmu makanan. Sintia sekarang membutuhkanmu, jadi jangan sampai kamu ikut sakit karena kurang makan."
Raline mendengkus. Sok perhatian!
Jeffrey mendongak untuk menyorot Raline yang bersikukuh berdiri. Tatapan lelaki itu sangat teduh. Bagaimana tidak --- ia sangat merindukan Raline. Melihat wanita yang ia cintai ada di dekatnya, membuat Jeffrey bahagia.
"Ayolah, Raline," bujuk Jeffrey.
"Aku tidak lapar," tolak Raline ketus.
Jeffrey membuka penutup kotak satu per satu. Aroma sedap dari nasi goreng, daging tumis bercampur sayuran, dan aneka seafood crispy menusuk penciuman Raline. Bau enak itu mengirim sinyal lapar ke otak dan membuat perut Raline berbunyi keroncongan tanpa ia bisa tahan.
Jeffrey menahan senyum. Sementara Raline yang salah tingkah buru-buru mengambil nampan makanan dari rumah sakit. Dengan penuh emosi, Raline membuka wrap penuntup. Ia benci pada perutnya yang tidak punya harga diri. Sialan.
"Kok makan itu? Aku sudah bawakan kamu makanan. Yang ini masih hangat," kata Jeffrey.
Raline tak acuh. "Tidak usah. Aku dapat makanan dari rumah sakit."
Jeffrey menghela napas. Ia bergeser mendekati Raline dan bergegas merebut nampan yang berada di pangkuan submisifnya.
"Yang ini biar aku saja yang makan," pungkas Jeffrey.
"Ta-tapi ..." Raline menyanggah tak terima.
Jeffrey pun menyodorkan kotak nasi goreng pada Raline. "Makanlah. Sebentar lagi Sintia pasti siuman."
Tanpa banyak bicara, Raline menerima pemberian Jeffrey. Kulit tangan mereka saling bertemu sekelebat. Sentuhan singkat yang menyebabkan darah keduanya sama-sama memanas.
Raline tak henti menyebut nama aneka binatang untuk mengutuk diri. Ia bilang enggan menjadi bodoh. Namun tubuhnya sendiri seolah melawan. Ia harus ingat --- itu Jeffrey Daud Pratama. Lelaki yang menempatkannya dalam kesengsaraan dan nestapa.
Mereka berdua tenggelam dalam kebisuan. Sama-sama memusatkan pikiran pada makanan masing-masing. Meski lebih sulit untuk Jeffrey karena ia harus memakan makanan rumah sakit yang terasa hambar dan dingin.
"Papa sudah membohongiku. Ia bekerja sama dengan Gisella untuk membuat kita saling salah paham. Papa bilang kamu rela meninggalkanku demi menerima tawaran beasiswa ke Paris." Jeffrey memecah hening.
Raline berusaha menelan makanan dalam mulut yang mendadak terasa sepat.
Jeffrey kembali melanjutkan, "Kamu menghilang dan nomormu tak lagi aktif. Aku ke sana ke mari mencarimu, Raline. Seperti orang gila. Aku tak tahu kebohongan apa yang disampaikan mereka padamu. Hingga bisa membuatmu gegabah pergi begitu saja."
Selera makan Raline benar-benar hilang. Ia meletakkan sendok ke dalam kotak dan tak menyentuhnya lagi.
"Aku sama sekali tidak berniat mengakui The Sinner sebagai karyaku. Itu juga ulah Gisella. Dia tak menunjukkanku draft kasar yang dikirim dari Korea. Salahku juga karena tak terlalu teliti dan mempercayai semua padanya," lanjut Jeffrey.
Raline menoleh dengan mata berkaca-kaca. "Lalu bagaimana soal Adinda? Kenapa kamu merahasiakannya padaku?"
"Itu karena ..."
Raline bergegas menyela. "Aku tak mau bernasib sama seperti ibuku, Jeff. Kami berdua memang ditakdirkan bodoh soal cinta. Tapi aku memilih jalan yang berbeda darinya. Apalagi Adinda ternyata adalah saudaraku."
"Aku tak bermaksud merahasiakan Adinda. Saat kita bersama, aku dan dia tak terikat hubungan apa pun," terang Jeffrey.
"Lalu sekarang?" tanya Raline menahan tangis.
"Kami ..." Jeffrey tertunduk dengan raut penyelasan. "Kepergianmu membuatku sangat kecewa. Kupikir tak ingin lagi memikirkan soal cinta dan bertunangan dengan Adinda adalah salah satu caranya. Pertunangan kami berdasarkan kepentingan pribadi masing-masing."
Raline mendecih.
"Untuk apa?" tanya Raline.
"Memanfaatkan pengaruh Om Rafli dalam memperluas jaringan the MAXIMAL," aku Jeffrey.
Air mata Raline pun menetes pelan dari pelupuknya. "Kenapa cinta saja tidak cukup untukmu, Jeff?"
"Karena aku memang laki-laki berengsek. Aku buta oleh ambisiku sendiri."
Mereka berdua saling berpandangan cukup lama. Jeffrey mampu menangkap kesedihan dalam iris kecokelatan wanita di hadapannya. Raline yang dulu selalu tampak rapuh, kini terlihat lebih merana.
Kedua alis Jeffrey saling menaut. Ia pun pelan-pelan mendekati Raline. Hatinya mendadak mencelos. "Katakan padaku, apa yang telah terjadi padamu ...?"
Raline menyembunyikan wajah dari Jeffrey. Tanpa perlawanan, ia membiarkan lelaki itu merengkuhnya dalam pelukan. Tangis Raline pun pecah. Semakin kuat ia terisak, lengan Jeffrey kian rapat merengkuhnya.
"Maafkan aku, Raline," ucap Jeffrey. Ia mengecup puncak kepala Raline yang beraroma lembut.
"Aku sangat membencimu. Kamu harus tahu itu," kata Raline.
"Ya, bencilah sepuasmu. Tetapi jangan pernah menghilang lagi dari pandanganku."
"Berhenti memerintahku. Kamu bukan bosku!" dengus Raline. Meski marah, ia membiarkan kepalanya bersandar pada dada Jeffrey yang bidang.
Jeffrey tersenyum. Ia membelai helai rambut Raline penuh kasih sayang.
"Aku tak lagi mempercayaimu, Jeff," imbuh Raline. "Semua tentangmu berubah menjadi abu-abu. Aku tak yakin dengan semua perkataanmu."
"Raline?"
Raline pun melepaskan diri dari pelukan Jeffrey.
"Aku sungguh-sungguh sulit untuk mempercayaimu lagi," terang Raline.
"Tapi kenapa?" tanya Jeffrey.
"Karena sebelumnya kepercayaanku begitu besar, Jeff. Lalu apa yang kudapat? Kekecewaan akan pengkhianatan darimu. Kamu pikir setelah apa yang terjadi, aku akan memaafkanmu begitu saja?"
"Aku sama sekali tidak pernah mengkhianatimu. Apa kamu tak mendengarkan bahwa ini semua ulah papaku dan Gisella?" sanggah Jeffrey penuh kesungguhan.
"Bagaimana aku bisa mempercayai seorang lelaki yang menjual cintanya demi ambisi semata?" Raline memandang Jeffrey dengan mata yang basah. "Kamu mendekatiku demi mendapatkan The Sinner. Lalu sekarang kamu membujukku lagi karena aku adalah putri Rafli Hardiawan. Bukankah kamu sendiri yang bilang kalau kamu membutuhkan campur tangan Pak Rafli untuk membesarkan perusahaanmu?"
Jeffrey menggeleng frustrasi. "Sebelum aku tahu kamu putri dari Om Rafli pun, aku sudah mencintaimu! Apa kamu lupa dengan semua yang kita lalui?"
"Yang kuingat hanya tentangmu yang memanfaatkan tubuhku demi kepuasan semata," sahut Raline dingin.
Rahang Jeffrey mengeras. Ia menyorot Raline dengan netra pekatnya.
"Kalau begitu aku akan membantumu untuk kembali mengingatnya."
Tanpa aba-aba, Jeffrey menangkupkan telapak tangannya pada pipi Raline. Ia pun menarik wanita itu agar mendekat dan melayangkan sebuah ciuman.
Kulit bibir keduanya saling bertumbukan dan memunculkan sengatan sekuat aliran listrik. Lumatan Jeffrey kian rakus --- mengingat perannya sebagai maledom selama ini. Rasa rindu yang tertahan cukup lama pun membuncah dan meledak kuat akibat pertemuan antara dua bibir.
Paksaan Jeffrey semakin mendorong Raline untuk takluk tanpa berkutik. Secara kasar, lelaki dominan itu mengisap bibir plum di depannya. Hal yang membuat darah Raline memanas tanpa terkontrol.
Jeffrey lalu melepaskan pagutan saat Raline mulai terbuai. Ia membisik, "Apa perasaanku padamu tersampaikan, huh? Aku tak pernah berbohong padamu Raline."
Raline memalingkan muka untuk menyembunyikan rona.
"Asal kamu tahu, Jeff. Kata-katamu tak memiliki kekuatan apa pun. Aku tak bisa melihat cintamu. Aku juga tak bisa memegang semua janji dan ucapan yang meluncur dari mulutmu," tukas Raline.
"Baiklah. Aku akan bicara dengan Adinda soal pertunangan kami. Aku akan membatalkan semuanya."
Raline tersenyum masam. "Tidak ada ruginya bagimu meski batal menikahi Adinda sekali pun. Kamu masih bisa mendapatkanku. Memanfaatkan putri dari Rafli Hardiawan yang lain."
"Kalau begitu aku tak akan membiarkan Om Rafli ikut campur dalam bisnisku. Peganglah janjiku ini." Raut Jeffrey menunjukkan keseriusan. "Perasaanku padamu tulus."
Raline sedikit terpengaruh oleh kalimat Jeffrey. Namun belum sempat membalasnya, pintu kamar tiba-tiba terbuka. Dengan kompak Raline dan Jeffrey pun menjauh untuk saling menciptakan jarak.
"Jeff? Kamu di sini?" Rafli berjalan masuk dengan dahi berkernyit.
Jeffrey berdeham salah tingkah. "Ah, ya, ehm, aku mampir untuk menyapa Raline. Sekalian membawakannya makanan."
Rafli menatap Jeffrey dan Raline secara bergantian.
"Kalian cukup akrab rupanya?" selidik Rafli.
"Tidak juga."
"Lumayan."
Raline dan Jeffrey menjawab bersamaan dengan jawaban yang berseberangan. Hal itu membuat ekspresi Rafli semakin penasaran. Ia lantas berjalan mendekat.
"Kapan kamu kembali ke Surabaya?" tanya Rafli.
"Sore ini, Om."
Rafli mengangguk. "Baguslah. Jangan kelamaan meninggalkan Adinda sendirian di sana. Bukankah dia menyusulmu agar kalian bisa liburan bersama-sama."
Jeffrey terhenyak. Sementara Raline juga sama.
Dasar pembohong! Baru saja ia mengucap kalimat cinta. Ternyata Jeffrey dan Adinda justru sedang menghabiskan waktu berdua. Kedua telapak tangan Raline diam-diam mengepal demi menahan emosi.
Jeffrey merasa terhimpit. Ia tak bisa maju atau pun mundur. Mengakui hubungan dengan Raline sekarang, akan mengorbankan Adinda dan kekasihnya. Bola mata Jeffrey melirik ke arah Raline. Andaikan wanita itu bisa membaca pikirannya.
"Oh ya, Jeff," kata Rafli lagi. "Tolong ikutlah dengan Adinda ketika dia hendak kembali. Aku ingin mengadakan makan malam keluarga demi memperkenalkan Raline." Ia lantas memegang bahu Jeffrey seraya memandanginya lekat. "Dan aku juga meminta bantuanmu untuk menceritakan soal Raline pada Adinda. Bisa, 'kan?"
Jeffrey mengangguk terpaksa.
Rafli kembali melanjutkan, "Kamu tahu, bukan? Ini sulit bagi Adinda. Dan hanya kamu yang Papi rasa bisa membujuknya."
Raline bergeming pada tempat semula. Interaksi antara Rafli dan Jeffrey membuat relungnya bak ditusuk-tusuk.
Ya. Raline memang cemburu. Ia tak memungkiri hal itu. Ia membenci fakta bahwa Jeffrey ternyata masih menguasai jiwa dan raganya. Ia benci karena begitu mudahnya percaya akan semua perkataan manis dari lelaki itu.
Hy, Darls 🖤🖤🖤
KINKY sudah tamat di Karyakarsa. Silakan baca di sana kalau penasaran dengan ending Raline & Jeffrey. Aku akan posting lagi di wattpad setelah votes-nya mencapai 350 ya!
Sembari nunggu, baca karya² ayana yang lainnya, ya!!
Salam Sayang — Ayana Ann
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top