SEVENTY EIGHT

Telapak hangat Jeffrey menggerayang dan meraba pipi Raline yang semulus porselen. Napas hangat lelaki itu meniup wajah sang submisif yang merona kemerahan.

Raline mematung dan menatap lurus ke arah bola mata pekat itu. Tatapan kelam Jeffrey seolah menghipnotisnya agar terus bergeming tanpa perlawanan. Batin Raline berkecamuk. Sibuk menolak atau bahkan menerima begitu saja sentuhan dari lelaki yang sudah ia anggap sebagai pendusta.

Raline pun memilih berpaling muka. "Aku tidak tahu apa aku bisa melakukan ini."

Ingatan akan segala kekecewaan, termasuk ketika Aldi menodainya mendadak berlindan. Membuat bulu kuduk di sekujur badan Raline meremang hebat.

"Kalau begitu kita tidak perlu melakukannya." Jeffrey tersenyum teduh dan menggandeng Raline. Ia membawa wanitanya menuju ke atas ranjang. "Tidak nyaman, ya, tidur di kasur rumah sakit?"

"Ehm, nggak juga," sahut Raline.

Jeffrey seketika lupa kalau tadi ia enggan membaringkan tubuh ke atas matras. Kini lelaki itu sudah merebahkan diri sambil memangku kepala dengan tangan. Kedatangan Raline bak pengusir segala debu dan alergi yang tadi Jeffrey rasakan.

"Tapi tentu saja lebih nyaman kalau beristirahat di ranjang, 'kan?"

Raline menjawab dengan anggukan kepala.

Jeffrey setia mematri pandangan pada Raline. "Kamu sudah putuskan akan ke mana setelah Sintia sembuh?" tanyanya.

"Entahlah."

"Kamu mau tinggal dengan Om Rafli?" tanya Jeffrey lagi.

Raline mengerutkan dahi. Tidak biasanya Jeffrey begitu banyak bicara. Selain itu ada apa dengan matanya? Menatap Raline tanpa berkedip. Sangat mengerikan.

"Tidak tahu. Aku belum memutuskannya," jawab Raline.

"Di Surabaya juga banyak rumah sakit bagus di mana Sintia bisa menjalani kemoterapi. Nanti aku akan menemanimu," ujar Jeffrey antusias.

Raline menggeleng. "Aku tidak ingin berutang budi pada siapa pun lagi, Jeff."

"Aku sama sekali tidak berpikir kalau kamu berutang padaku," sanggah Jeffrey.

"Makasi, tapi ... tidak. Kurasa, aku akan menyerahkan semua pada Pak Rafli. Karena sekarang ... hanya dialah keluarga yang kupunya."

"Hmm." Jeffrey bergumam paham. "Tapi, kenapa kamu tidak memanggilnya 'Papi'?"

"Aku masih tak nyaman saja. Belum terbiasa."

Jeffrey menggeser posisi agar bisa lebih dekat dengan Raline. "Bagaimana kalian bertemu?"

Raline berdeham demi menetralisir salah tingkah. Momen pertemuan antara ia dan Rafli Hardiawan bukanlah kisah indah untuk dibagikan pada orang lain.

"Berkat kamu, bukan?" sahut Raline. "Kamu yang membongkar siapa Irma sebenarnya. Dan kamu juga yang mengirimkan identitas diriku pada Pak Rafli."

"Hmm, ya ..." Jeffrey tersenyum. "Aku hanya merasa wajib melakukan hal yang benar. Dan saat mengetahui Om Rafli adalah ayahmu, aku benar-benar merasa ikut senang."

"Kenapa?" Raline akhirnya berani beradu pandang dengan Jeffrey. Ia kembali menangkap sosok rupawan sang dominan. Kedua alis lebat membingkai iris obsidian nan kelam. Dua bola mata jernih yang seolah menyimpan segala kepedihan. Untuk apa yang telah ia pandang --- jantung Raline otomatis berdebar kencang.

"Karena kamu masih memiliki ayah yang mencintai dan bakalan melindungimu, Raline. Om Rafli tak akan membiarkanmu kekurangan apa pun."

"Makasi, Jeff," ucap Raline pelan.

Tarikan pada dua sudut bibir Jeffrey melebar. "Kamu tak perlu berterima kasih. Kamu memang sudah sepantasnya berbahagia."

Ah sial. Bagaimana bisa Raline mempertahankan bencinya pada Jeffrey. Lelaki itu masih punya kendali pada setiap inci tubuh Raline. Apa lagi saat ia bersikap dan berkata semanis barusan.

"Ya sudah. Tidurlah." Jeffrey menepuk bantal di sisinya.

"Kurasa aku sebaiknya kembali ke rumah sakit," elak Raline.

Jeffrey buru-buru menahan lengan Raline. "Stay." Ia bertitah dengan ekspresi tajam.

"Ka-kamu bukan lagi dominanku!" sungut Raline.

"Stay," ulang Jeffrey. Kali ini ia menurunkan kedua alis tebalnya. Mirip seperti anak anjing yang meminta segelas susu. "Please ...?" bujuknya.

Wanita mana yang tidak meleleh akibat kelakuan Jeffrey. Jantung Raline bahkan hampir melompat keluar saking salah tingkahnya.

"Kamu kenapa, Jeff? Caramu bicara sekarang berbeda," decih Raline.

Jeffrey meraih jemari lentik Raline dan mengelusnya lembut. "Karena aku sudah tahu rasanya berpisah denganmu," sahutnya. "Seperti mau mati ..."

Sentuhan Jeffrey menciptakan sensasi unik di badan Raline. Seolah sengatan listrik menjalar pada setiap inci sel-sel yang mati suri. Logika Raline mungkin mengutuk lelaki itu. Namun tubuhnya tidak.

Semula Raline pikir ia tak akan lagi merasa bergairah pada lelaki mana pun. Ternyata ia salah. Sekarang ia malah sangat haus oleh dekapan sang dominan.

"Tapi kamu tidak benar-benar mati, bukan?" gumam Raline.

Jeffrey kian mendekat. Apa lagi Raline tak menghindar sama sekali. Gesture-nya jelas memberikan persetujuan.

"Karena itulah rasanya jadi lebih menderita. Aku harus tetap hidup untuk menikmati sakitnya." Jeffrey menarik dagu Raline.

Jarak mereka hanya sejengkal. Mata Raline menatap dengan sayu. Wanita itu lantas menggigit bibir bawahnya. Akibat pergerakan kecil tadi, Jeffrey pun menyeringai. Dia sangat rindu ekspresi Raline yang itu.

Raline benar-benar frustrasi karena Jeffrey tak kunjung menciumnya. Ia memang tidak waras. Tadi jelas-jelas ia menolak Jeffrey, sekarang Raline justru mendamba atas jamahan.

"Kemarilah, Jeff," bisik Raline.

Jeffrey membelai pipi porselen Raline dengan jemari hangatnya. "Jadi boleh?"

"Ya. Kumohon."

Gairah Jeffrey memburu. Dengan impulsif ia melumat bibir plum wanitanya. Mengecup dan mengisap kulit lembut berwarna semerah darah  tersebut. Oh --- betapa ia sangat merindukan rasanya.

Raline juga sama. Ia memburu bibir Jeffrey bak serigala kelaparan. Lidah mereka saling melilit dan mengejar. Bahkan sesekali Raline menggigit gemas milik Jeffrey tanpa ragu-ragu. Ciuman keduanya semakin rapat dan dalam. Memagut asmara dalam pertautan kulit kenyal nan lembut.

Melalui jemari lentiknya, Raline meremas helaian rambut Jeffrey yang tebal. Perlakuan wanita itu semakin menambah panas pergumulan bibir mereka.

Raline pun akhirnya merebahkan punggungnya pada matras. Membiarkan Jeffrey mengambil kendali penuh. Mengizinkan lelaki itu memberikannya kenikmatan. Serta memberi kesempatan bagi dirinya untuk larut dalam buaian manja sang dominan.

"Ehmh ..."

Desah mulai meluncur memeriahkan kondisi kamar yang hening. Rasa geli membuat Raline tak mampu menahan suara. Apa lagi saat Jeffrey mengecup ceruk pada leher jenjangnya.

Bagian bawah Raline mulai berdenyut. Padahal Jeffrey belum mempermainkannya secara menyeluruh. Kali ini Raline tak mampu mengontrol diri --- ia sudah kalah telak. Jeffrey kemudian menyingkap sweater berwarna salamander yang Raline kenakan.

[ CUT ]

[ PART 21+ . BACA UTUH DI KARYAKARSA SERI 'RALINE & JEFFREY]

"Mau kumasukkan?" tanya Jeffrey.

Raline mengangguk. "Ya."

"Berarti kamu memaafkanku? Huh?"

Raline menatap Jeffrey sayu. Ia tak memberikan jawaban apa pun selain diam.

Jeffrey memersuasi dengan menggesekkan miliknya pada biji kecil Raline. "Aku butuh jawabanmu," rayunya.

Raline menggelinjang. Ia benar-benar mendambakan penyatuan mereka. Tindakan Jeffrey semakin membabi buta karena ia memutuskan menambahkan serangan. Bibir lelaki itu menarik puncak dada Raline dengan gigitan kecil.

"Ayolah, Raline," bisik Jeffrey. "Semua keputusan ada di tanganmu."

Darls, kalian bisa baca utuh KINKY di karyakarsa tanpa cut, ya! Baca jalur cepat karena sudah tamat n melahirkan beberapa extra part.

Oia, aku ada buka kelas gratis di telegram dengan tema Erotic Romance yang Memikat dan Seksi. Kalau kalian tertarik ikut atau mau bantu aku meramaikan bisa join. Caranya gampang buangettt ;

Terkait poin nomor 4, kalian wajib baca, like, dan komen minimal 10 bab novel aku yang berjudul F3TISH . Jangan lupa juga untuk bikin ulasannya di feeds IG, ya!

Kelasku akan diadakan tanggal 14 September 2024 pukul 19.30 wib. Don't miss it!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top