SEVEN

"Ka ... kamu, Jeffrey ...?"

Jeffrey tak bereaksi, ia masih kesal ada wanita asing yang berani menyentuh tangannya tanpa permisi.

Security yang melihat majikannya terusik, buru-buru menghampiri. "Mbak, sampeyan iki wes dikandani, kok ngueweyel nemen, to!¹" bentaknya.
(Mbak, kamu sudah diberitahu, kok masih ngeyel, sih?)

"Ini siapa?" tanya Jeffrey kepada security-nya.

"Anu, Pak, katanya tadi cari Bapak. Sudah saya beri tahu kalau mau bertemu harus buat janji dulu," terang si security membela diri. Ia beralih ke arah Raline dan melotot. "Ayo, Mbak. Ikut aku. Jangan mengganggu kenyamanan seperti ini."

Raline menepis tangan security yang hendak menuntunnya pergi.

"Pak Jeffrey, ini aku Raline!" serunya. "Raline Lara. Raline Lara! Kamu masih ingat, bukan?"

Raline Lara? Wanita molek berkulit seputih salju yang tempo lalu Jeffrey renggut keperawanannya? Pelacur yang membangkitkan ingatan traumatis masa silam Jeffrey. Mau apa dia ke mari? Dan lagi, ada apa dengan wajahnya?

Jeffrey memandang Raline melalui tatapan tajam. Ia tidak mengharapkan bertemu lagi dengan wanita itu. Namun kini, sosok rapuh Raline justru berdiri di hadapannya. Memohon dengan pandangan mengiba.

"Biarkan aku bicara denganmu, sebentar saja," pinta Raline.

Jeffrey diam sejenak. Ia akhirnya membiarkan Raline masuk. Jeffrey tidak mau pembicaraannya dengan Raline menjadi konsumsi para penjaga keamanan.

"Ikut aku," ucap Jeffrey.

Senyum Raline mengembang. Dengan langkah ringan, ia mengekori Jeffrey yang berjalan di depannya. Mereka berdua meninggalkan si security yang makin penuh tanya. Kok bisa, si bos kenal wanita lusuh model begitu.

***

Semula Raline pikir, sosok Jeffrey adalah seorang lelaki tua buruk rupa. Mana ia sangka, Jeffrey merupakan lelaki muda nan rupawan.

Raline memandangi punggung lebar Jeffrey yang berjalan di depannya. Semua ingatan akan sentuhan Jeffrey pada tubuhnya menyeruak. Mengembalikan desir yang bergejolak dan berteriak.

Otot-otot maskulin yang menyembul dari balik kaos polos Jeffrey semakin membuat Raline sesak napas. Tubuh itulah yang menindihnya hingga menggelinjang hebat. Dan, tangan kokoh itu juga yang menari bebas pada setiap jengkal kulit Raline. Tangan bertelapak lebar yang telah menampar bokong polosnya hingga merah dan panas.

Raline mencoba mengenyahkan imajinasi liar akan malam bersama Jeffrey tempo lalu. Bukan itu tujuannya datang.

Setampan dan sekaya apa pun Jeffrey, tetap saja ia adalah lelaki berkelainan seksual. Hidung belang yang mencari kepuasan dari wanita bayaran. Raline harus ingat akan hal itu.

Beberapa pasang mata staf rumah menyorot Raline ganjil. Tidak biasa si bos menerima tamu berpenampilan lusuh. Para staf tidak tahu saja, Jeffrey punya kehidupan malam yang extra-ordinary. Itu sebabnya Jeffrey hanya mempekerjakan para pembantu dan tukang masak sampai sore. Tentu saja, Marni adalah pengecualian. Ia adalah orang kepercayaan Jeffrey. Ibarat Alfred Pennyworth seorang Bruce Wayne.

Rumah ini lebih ramai ketimbang saat aku pertama kali ke sini. Raline menyadari lirikan sinis dari para pembantu yang melihatnya. Ia tersenyum kecut.

Jeffrey membuka pintu ruang kerja dan menengok Raline datar.

"Masuklah." Jeffrey memiringkan tubuh, menciptakan sela bagi Raline untuk melewati pintu.

Raline menelan saliva. Saat melewati Jeffrey, bukan bau asam yang ia cium. Melainkan aroma woody. Wangi yang menjadi ciri khas dari lelaki maskulin itu. Bukankah tubuhnya penuh peluh, namun mengapa begitu menyegarkan?

Jeffrey berdiri seraya bersandar pada tepian meja, mempersilakan Raline duduk di atas sofa chesterfield berwarna cokelat kemerahan.

"Mau apa kamu ke sini?" tanya Jeffrey tanpa basa-basi.

Tatapan Jeffrey yang mengintimidasi membuat Raline salah tingkah. Ia menunduk --- mencoba menyembunyikan wajahnya yang jelek karena penuh memar.

"Aku ke mari karena ..." Raline terbata. "Aku ... ingin ..."

"Singkat saja, Mbak. Aku tidak punya banyak waktu," sela Jeffrey ketus.

Raline mendongak dan memandang Jeffrey lekat. Sekarang, perlakuan lelaki itu sangat berbeda. Ia seolah sampah --- habis manis, sepah dibuang.

"Pak Jeffrey," kata Raline. "Aku datang ke mari untuk meminta maaf. Minta maaf jika aku melakukan kesalahan dalam melayanimu tempo hari."

Raline tidak punya pilihan, hanya Jeffrey satu-satunya orang yang bisa mengubah nasibnya.

Jeffrey mendengkus. Ia membuang muka karena tak ingin berlama-lama menatap Raline. "Bayu harusnya tahu, aku tidak memesan seorang wanita yang masih perawan."

Jadi, karena itulah Jeffrey kesal?

"Pak Bayu tidak tahu kalau aku masih perawan. Ini bukan salahnya. Aku mohon, kembalilah menggunakan jasanya. Setahuku Irma juga sudah pulih dan bisa kembali melayanimu. Bukankah, kamu menyukai service Irma?" ujar Raline.

"Bayu yang mengutusmu ke sini? Katakan padanya, kerja samaku dengan dia sudah selesai." Jeffrey bersikukuh.

Frustrasi, air mata Raline menetes membasahi pipinya yang kebiruan. "Pak Jeffrey, aku mohon. Aku mohon, Pak. Aku datang ke sini atas kemauanku sendiri, tidak ada campur tangan Pak Bayu. Aku yang salah, harusnya dari awal aku berkata kalau aku masih perawan dan belum berpengalaman. Dengan begitu kamu mungkin tidak akan kesal seperti ini."

"Bukan soal berpengalaman atau tidak!" bentak Jeffrey.

Raline terhenyak dan memandang Jeffrey dengan mata menggenang. Pemandangan yang makin menyiksa batin Jeffrey --- memancing kenangan traumatis akan kejadian masa lalu.

Wanita itu tampak rapuh, tak berdaya. Raline mengiba seakan Jeffreylah penyelamat hidupnya.

Tatapan penuh harap yang dulu pernah Jeffrey torehkan semasa kecil. Menangis dan memohon, namun tak ada satu pun orang yang menyelamatkannya.

"Pak, berikanlah satu lagi kesempatan untuk Pak Bayu. Dengan memberinya kesempatan, kamu telah menolong hidupku," ucap Raline.

Jeffrey mendecih. "Bukan urusanku." Ia berjalan membuka pintu ruang kerja. "Keluar. Pembicaraan kita sudah selesai."

"Pak ...?" sanggah Raline.

"Keluar!" bentak Jeffrey dengan rahang mengeras.

Raline menelan tangis. Kecewa karena terpaksa menerima nasib sebagai pelacur. Seumur hidup berutang kepada Bayu, utang yang harus ia bayar dengan menjual tubuh.

Ia berjalan gontai sambil menghapus sisa air mata. Sebelum pergi, Raline menoleh ke arah Jeffrey.

"Padahal, kamu bisa saja membantuku ..." kata Raline lirih.

Jeffrey membeku. Berusaha acuh dengan memalingkan muka dari sorot sendu di hadapannya.

Satu kali lagi, bukan urusanku!

***

Marni tergopoh menuju foyer atau aula masuk yang berada di lantai bawah. Ia dengar, ada tamu menemui sang bos. Seorang wanita berpenampilan norak yang menjadi bahan gunjingan seluruh staf.

Wanita berambut perak dan lusuh. Begitu kata salah satu pembantu yang bertugas merapikan ruang utama.

Wanita berambut perak yang Marni kenal cuma satu, Raline Lara. Marni penasaran, kenapa Raline kembali datang. Selain itu, ada seutas kepedulian bersarang di hati Marni untuk Raline. Entah kenapa Marni tak bisa lepas memikirkan Raline sejak terakhir pertemuan mereka.

"Raline!" seru Marni. Ia bernapas lega karena sempat mengejar sosok Raline hendak membuka pintu utama.

Raline menengok. Ia kemudian membuka masker dan tersenyum. "Oh, Bi Marni," sapanya.

"Kenapa mukamu?" Marni berkernyit kaget.

"Nggak kenapa-kenapa, Bi," sahut Raline.

Muka hancur begitu, dia bilang nggak kenapa-kenapa? Marni makin kasihan kepada Raline.

"Ada urusan apa ke mari?" tanya Marni.

"Aku ke sini untuk bicara sama Pak Jeffrey, meminta maaf untuk segala kesalahanku dalam melayaninya. Hanya saja, sepertinya percuma," terang Raline.

Marni menghela berat. Ia paham betul alasan Jeffrey yang sebenarnya. "Bukankah Pak Jeffrey sudah menuntaskan pembayaran? Seharusnya itu tidak menjadi masalah untukmu atau Bayu, bukan?"

"Ya." Raline tersenyum kecut. "Ya sudah, aku permisi, Bi."

Marni mencegah Raline. "Tunggu dulu, Line."

"Ada apa?"

"Wajahmu kenapa? Kenapa bengkak begitu? Sudah kamu obati?" selidik Marni khawatir.

"Sudah kuobati, kok, Bi," sahut Raline.

Hati Marni masih merasa tidak puas. Ia berat melepaskan Raline pergi begitu saja. "Ikut aku dulu, yuk. Aku bantu mengobati wajahmu yang bengkak."

"Tidak usah, Bi. Makasih," tolak Raline.

Marni bersikukuh. "Ayolah, Line. Sebentar saja."

Raline pun menyetujui tawaran Marni. Ia mengikuti langkah Marni yang berjalan masuk menembus selasar rumah yang panjang. Pada dinding berjajar lukisan-lukisan besar. Tak hanya itu, patung pahatan juga melengkapi interior megah rumah Jeffrey.

Entah apa pekerjaan Jeffrey hingga bisa begini kaya raya. Raline sibuk bicara sendiri dalam hati.

Dulu, almarhum ibunya selalu bilang kalau orang bisa kaya raya karena jualan narkotika atau pesugihan. Raline percaya itu. Namun, seiring bertambahnya kedewasaan, ia sadar ibunya hanyalah orang yang berpikiran sempit. Orang kaya tidak mesti jual obat terlarang atau pesugihan. Banyak hal bisa diupayakan untuk meraup banyak uang. Salah satunya punya bisnis berkembang atau jadi pengusaha.

Tapi, menilik dari usia Jeffrey yang sepertinya masih muda, lelaki itu pasti kaya karena warisan orang tua. Begitu pikir Raline.

"Mari masuk, Line." Marni membuka pintu kamar yang berada paling ujung.

"Ini kamar Bibi?" tanya Raline.

Marni menjawab dengan anggukkan kepala.

"Duduklah," kata Marni. Ia kemudian sibuk membongkar laci dan mengambil sebuah kotak berisi obat-obatan.

Marni lantas menghampiri Raline yang duduk manis di atas ranjang. Pengurus rumah itu membawa kapas dan sebuah botol kaca dalam genggaman.

"Ini minyak Sumbawa. Ampuh untuk mengobati luka memar."

"Minyak Sumbawa?" selidik Raline.

Marni tersenyum. "Sesuai namanya, asalnya dari Sumbawa. Pulau yang ada di Nusa Tenggara Barat. Adikku tinggal di sana, dia rutin mengirimi minyak ini," terangnya.

"Oh, semacam minyak tawon, ya, Bi?" sahut Raline.

Marni mengangguk. "Semacam itulah. Boleh kuoles dimukamu?"

Raline melepas topi yang ia kenakan, mempersilakan Marni untuk memeriksa mukanya yang babak belur. Napas Marni berhenti sesaat memandangi wajah Raline yang semula mulus bak porselen, berubah biru lebam.

Dengan telaten, Marni mengusapkan kapas yang sudah dibasahi minyak ke pipi Raline. "Apa hubunganmu dengan Bayu?"

"Dia bapakku. Bapak tiri," jawab Raline.

Lagi-lagi, Marni dibuat syok. "Bapak tiri?" Tega sekali jual anak sendiri sebagai pelacur.

"Waktu aku kecil, ibuku menikah dengannya," ujar Raline.

"Terus sekarang ibumu mana?" selidik Marni.

"Sudah meninggal waktu melahirkan adikku." Sorot mata Raline mendadak nanar.

"Oh ..." gumam Marni pelan. Hatinya mencelos. Kehidupan yang dijalani Raline tampaknya berat dan sulit.

Raline mengelus punggung tangan Marni yang sudah rampung mengobatinya. "Makasi, Bi Marni. Aku pamit dulu," ucapnya.

"Bawa minyak ini, Line. Pakai supaya memarmu cepat sembuh." Marni menyodorkan botol kaca dalam pegangannya kepada Raline.

Bibir Raline melengkung ke atas. "Sekali lagi, makasi, Bi Marni."

***

Marni menyiapkan setelan jas untuk Jeffrey. Sang tuan muda sudah rapi, sibuk memilih koleksi jam tangan branded mana yang bakal dipakai ke kantor.

"Tadi si Raline ke sini, ya?" celetuk Marni.

Jeffrey mendengkus. "Hmm," gumamnya.

"Apa Bapak tahu kalau Bayu itu adalah bapak tirinya?" pancing Marni.

Jeffrey terkesiap. Ia berusaha mempertahankan wajah datar. "Bukan urusanku, Bi."

"Bibi kasihan sama Raline. Kok Bibi merasa kalau jadi seorang wanita panggilan bukan kemauannya." Marni menyodorkan jas kantor berwarna abu-abu kepada Jeffrey.

Jeffrey menyambar pemberian Marni. "Sudah kubilang, bukan urusanku, Bi. Tak perlu bahas wanita itu lagi!" Ia melenggang pergi dari kamar. Bergegas berangkat ke perusahaan di mana dialah founder sekaligus CEO-nya.

***

The MAXIMAL merupakan salah satu perusahaan ritel terkemuka yang menyediakan perlengkapan pakaian, aksesoris, dan produk kecantikan, dengan target kalangan menengah dan menengah ke atas.

Store the MAXIMAL tersebar hampir di seluruh mal Surabaya, Sidoarjo, Bandung, dan Jakarta.

Semula Jeffrey hanya memiliki satu toko utama di jalan Pemuda. Semakin lama, the MAXIMAL melebarkan ekspansi merambah kota-kota besar di Indonesia. Sedangkan pabriknya sendiri berada pada kawasan industri kota Sidoarjo.

Hari kasih sayang ini, the MAXIMAL meluncurkan tren mode pakaian terbaru bernuansa Valentine. Kesibukan mempersiapkan launching produk mengalihkan pikiran Jeffrey akan Raline.

Sudah satu bulan berlalu semenjak pertemuan terakhir mereka di kediaman Jeffrey. Lelaki itu menutup hati rapat-rapat. Tidak mau ikut campur atau masuk lebih dalam pada kehidupan wanita kelas bawah seperti Raline Lara.

"Acaranya dimulai satu jam lagi, Pak." Sekretaris Jeffrey, Gisella, menghampiri sambil membawa tablet yang berisikan rangkaian schedule.

Jeffrey mengangguk. Mata elangnya menelisik tiap sudut area swimming pool dan taman yang disulap menjadi pagelaran fashion show. Kawasan outdoor pada lantai empat hotel JW Marriot itu akan menjadi tempat product launch the MAXIMAL. Di tengah, sudah berdiri panggung memutar sebagai jalan para model melakukan catwalk. Jeffrey rasa, persiapan mereka sudah sempurna.

"Aku turun ke lobi dulu," kata Jeffrey.

"Baik, Pak," sahut Gisella.

Jeffrey pun berjalan menuju lift untuk menuju ke lantai bawah. Ia ingin menyambut langsung kedatangan para dewan komisaris di lobi.

TING. Pintu lift terbuka, seorang lelaki Chindo yang berdiri tidak jauh dari lift memandang sosok Jeffrey dengan tajam.

"Jeffrey?!" seru si lelaki keturunan Tionghoa itu.

Bibir Jeffrey seketika mengembang. "Lho? Ko Daniel! Kebetulan sekali," sapanya.

Kedua lelaki parlente itu saling bersalaman dan melempar tawa.

"Nggak sangka ketemu kamu di sini, Jeff. Ada acara?" tanya Daniel. Daniel merupakan senior Jeffrey saat berkuliah di Universitas Ciputra.

"The MAXIMAL launching produk, Ko. Acaranya di swimming pool lantai empat. Kamu sendiri sedang apa di sini? Liburan bersama istri? Mampirlah ke atas, kita bisa berbincang di sana," ujar Jeffrey.

Daniel meringis. Ia mencondongkan badan ke arah Jeffrey seraya membisik, "Aku nggak lagi sama istriku, Jeff. Biasa ... lagi refresing sama kimcil."

Senyum pada muka Jeffrey mendadak pudar. Ia juga suka melampiaskan nafsu kepada wanita panggilan, tetapi selingkuh lain soal. Untuk apa menikah jika menjaga komitmen saja tidak bisa.

Menyadari perubahan ekspresi Jeffrey, Daniel kembali melanjutkan, "Dalam pernikahan, hal semacam ini diperlukan, Jeff. Biar nggak bosan. Ini namanya bumbu yang bikin pernikahan makin variasi. Nanti kalau sudah berumah tangga, kamu juga bakal ngerasain, Jeff. Gimana? Sudah ada calon?"

"Belum," sahut Jeffrey singkat.

"Kamu sudah 31, lho. Buruan nikah, deh. Kamu harus punya banyak keturunan untuk meneruskan bisnismu kelak. Mau kukenalkan sama teman-temanku? Mereka semua keturunan baik-baik dari keluarga konglomerat. Gimana?" tawar Daniel sambil menepuk punggung Jeffrey.

Jeffrey mendengkus. Ia tidak suka ada orang yang seenaknya menyentuh tubuhnya. Meski hanya tepukan ringan sekali pun.

"Nggak perlu, Ko. Thanks," tolak Jeffrey.

Daniel membisik, "Atau mau kukenalkan sama kimcil-ku ini? Hitung-hitung buat senang-senang. Dia masih awam. Tadinya dancer di Coyote. Body dan tampangnya ..." Ia menggerakkan tangan seolah menggambarkan tubuh seksi seorang wanita.

Jeffrey mulai muak. Malas berlama-lama membicarakan hal tidak penting. "Ko, aku duluan, ya."

"Eh, Jeff! Itu dia datang!" ujar Daniel sambil menunjuk ke depan dengan dagunya.

Netra pekat Jeffrey otomatis mengarah ke pintu utama hotel. Menyapu pandangan ke arah wanita cantik yang masuk ke dalam lobi. Black mini dress kontras membalut tubuh putihnya yang berlekuk sempurna. Rambut perak bergelombang, menjuntai hingga pinggang, bercahaya tertimpa golden hour. Fitur wajah wanita itu mungil dan manis --- seolah bayi tanpa dosa. Sangat berbeda dari yang terakhir Jeffrey lihat, babak belur.

"Kamu lihat, seperti malaikat, bukan?" bisik Daniel. "Sesuai namanya, dia Angel."

Rahang Jeffrey mengeras --- bukan malaikat, dia adalah Lara, Raline Lara.

Halo, Darlings!

Makasi sudah menjadikan KINKY sebagai reading list kamu. Mohon follow, vote/komen, sebelum menggulir ke bab selanjutnya, ya!

Salam sayang . Ayana

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top