ONE
Sinar laser mencuar ke sana ke mari mengikuti hentakan musik yang dimainkan oleh Disjoki. Dengungan suara itu seolah mengalahkan suara hati dan detak jantung. Kerumunan orang asyik berjoget mengikuti irama. Sementara, sebagian yang lain duduk di meja menikmati cairan memabukkan dari bar. Klub malam itu cukup padat, terutama pada Sabtu malam, seperti hari ini. Suasana gegap gempita, penuh gemerlap, bagi para pemburu kesenangan duniawi di Surabaya.
Pada panggung utama, tiga orang dancer meliuk-liuk mengikuti ritme. Pakaian mereka berkilauan memancarkan lampu sorot yang berubah-ubah warnanya. Ketimbang disebut sebagai pakaian, kostum yang mereka kenakan lebih mirip baju dalam. Terang saja, mata para lelaki yang menari di bawah, tak mampu berpaling sedetik pun.
Si penari yang berada di paling ujung mendapat uang ‘sawer’ paling banyak.
Dia memang bintang utamanya. Bagaimana tidak, tubuhnya sempurna dan proporsional. Buah dada montok, pinggang ramping, dengan bokong yang bulat, sudah pasti akan memanjakan mata kaum Adam. Selain itu, ia memiliki ciri khas mencolok, rambut panjang yang berwarna ash blonde.
“Angeel ...!” seru salah lelaki yang mengidolakannya.
Angel mengerlingkan mata belonya yang lentik. Wanita itu kemudian tersenyum dengan bibir plum berpemulas merah.
Angel, bukan nama sebenarnya, hanya nama panggung. Pekerjaan sebagai penari di salah satu tempat hiburan jalan Tunjungan, membuatnya harus menyembunyikan nama asli. Semua semata-mata demi melindungi diri dan privasi.
Alunan musik perlahan-lahan memudar, memberi kesempatan bagi ketiga dancer untuk beristirahat di back stage.
“Dua jam lagi kamu mau ikut aku, nggak?” tanya salah seorang penari kepada Angel.
“Ke mana, Ran?” Angel menatap wajah temannya sembari mengelap peluh yang bersarang di dahi.
Rana, si penari dengan potongan rambut pendek membisik, “Ada tawaran striptease buat pesta bujang. Bayarannya lumayan.”
“Oke, aku ikut,” sahut Angel. Ia tersenyum semringah, senang karena akan mendapat uang tambahan.
Merupakan hal lumrah bagi mereka untuk menerima job tari erotis di luar klub. Hal itu harus dilakukan sembunyi-sembunyi karena Indonesia masih melarang praktik tarian telanjang di tempat-tempat hiburan malam. Namanya manusia, semakin dilarang, justru bikin penasaran.
Apa lagi, striptease cukup populer di negara-negara lain. Tarian seksi yang mengundang birahi penikmatnya.
Bagi Angel dan teman-temannya, mendapat tawaran striptease di privat party kaum elit adalah rezeki nomplok. Para lelaki kaya itu tidak segan mengeluarkan banyak kocek agar si penari bayaran segera melepas semua pakaiannya hingga bugil. Mereka juga makin terhipnotis kalau Angel sudah melakukan lap dance atau meliuk-liuk nakal di pangkuan. Angel bisa membawa pulang uang banyak dalam satu kali tampil. Meski begitu, ia harus hati-hati, jangan sampai ketahuan, apa lagi kena grebek polisi. Dan satu hal lagi, Angel sebisa mungkin menjaga diri, tidak mau kesuciannya ternoda. Ia memang penari erotis tapi bukan pelacur, kira-kira begitulah prinsip wanita berambut ash blonde itu.
Baru duduk sejenak, seorang lelaki berkulit gelap yang badannya dipenuhi tato, menarik tangan Angel kuat-kuat.
Angel menyentakkan tangan. “Ada apa, sih, Pak? Aku lagi kerja!” bentaknya.
“Ikut sama aku. Ini lebih penting daripada kerjaanmu. Lagian, aku sudah izin sama Bosmu. Sekarang cepat pakai baju dan kita pergi, Line!”
“Ssst! Sudah kubilang, jangan sebut nama asliku di sini!” Angel, atau yang sebenarnya bernama Raline, meletakkan jari telunjuk di depan bibir. “Aku nggak mau mereka tahu namaku!”
Lelaki bertato itu mengibaskan tangan. “Halah. Nggak penting!” Ia kembali menarik lengan Raline.
“Bayu, arep mbo gowo nang di, si Angel?¹” seru seorang lelaki berpenampilan klimis. Ia merupakan manajer klub tempat Raline bekerja. (¹Mau kamu bawa ke mana, si Angel?)
Bayu meringis. “Ada urusan penting di rumah! Potong aja dari gajinya.”
“Pak?!” sentak Raline tidak terima. Ia tidak mau gajinya dipotong sepeser pun.
Bayu melotot ke arah Raline. “Diam. Pekerjaan yang bakal aku kasih ke kamu ini berlipat ganda melebihi gajimu, Line. Makanya, cepat pakai baju dan kita segera pergi dari sini.”
“Tapi, setelah ini aku ada kerjaan lain, Pak!” tolak Raline. Ia tak ingin kehilangan kesempatan untuk mendapatkan tambahan uang dari menari striptease.
Bayu mencengkeram lengan Raline lebih kuat. “Lupakan dulu yang lain. Sudah kubilang ini lebih penting. Aku bakal ganti kerugian materimu. Pokoknya ikut!”
“Bapak mau ajak aku ke mana, sih? Menari? Menari untuk kebutuhan apa?” selidik Raline.
Bayu menggeleng. “Bukan menari. Nanti kukasih tahu.”
***
Beberapa jam sebelumnya, seorang lelaki berkemeja kasual, sedang terpaku pada layar laptop di depan meja kerja. Ia duduk sendiri dalam ruangan luas berdesain Eropa. Mata hitam pekat si lelaki tadi melirik ke arah jam Rolex pada tangan kirinya, hampir pukul delapan malam. Ia berkernyit, tamu yang ditunggu, tak kunjung tiba. Ia pun mematikan komputer lipat dan bersiap keluar dari ruang kerja pribadinya. Aktivitasnya terhenti ketika ponsel di atas meja tiba-tiba berdering. Lelaki tadi pun segera mengangkat panggilan yang masuk, dari Bayu.
“Ya?”
“Pak Jeffrey, wanita yang Anda pesan berhalangan datang. Saya minta maaf sekali karena kejadian tidak mengenakkan ini. Namun, Anda tak perlu khawatir. Saya akan bawa cewek lain untuk Pak Jeffrey. Tenang saja, sama cantiknya dan sama-sama penurutnya. Kasih saya waktu satu jam, Pak.” Suara Bayu terdengar serak dan panik.
Jeffrey mendengarkan dengan saksama. “Lain waktu saja, Pak Bayu,” sahutnya halus.
“Jangan, Pak. Ini kita sudah mau berangkat. Saya mohon, tunggu, ya, Pak.” Tanpa menanti jawaban dari Jeffrey, Bayu mengakhir pembicaraan mereka.
Jeffrey tak ada pilihan lain selain membiarkan muncikari itu melakukan kemauannya sendiri. Lelaki itu berjalan menuju mini bar yang terletak di tengah ruangan. Ia kemudian membuka lemari pendingin untuk mengambil beberapa es yang diletakkan ke dalam rock glass. Setelah itu, Jeffrey menuangkan cairan wiski dan meneguknya.
“Pak ...” panggil seorang wanita paruh baya berseragam serba hitam yang tiba-tiba masuk ke dalam ruang kerja Jeffrey.
Jeffrey menengok dan tersenyum tipis. “Kenapa, Bi?”
“Ini sudah pukul delapan. Bukankah perjanjiannya jam tujuh?” tanya asisten rumah tangga itu.
“Bayu bilang bakal telat, dia akan membawa wanita lain,” terang Jeffrey. Ia menyugar helai rambut ke belakang sehingga menampakkan kedua alisnya yang tebal.
Si asisten rumah tangga mendengkus. “Kenapa Bapak masih menggunakan jasanya? Banyak orang lain yang lebih ontime daripada Bayu.”
“Sudahlah, Bi Marni. Selama ini aku cocok dengan wanita-wanita pilihan Bayu. Mereka patuh dan tidak berisik. Aku benci dengan wanita-wanita yang berisik dan banyak tingkah.” Jeffrey menyesap cairan alkohol pada gelas sedikit demi sedikit.
Marni menghela napas. “Baiklah kalau begitu, Pak. Saya akan turun ke lantai bawah untuk menunggu tamu Bapak.”
“Terima kasih, Bi,” ucap Jeffrey.
Marni pun keluar dari ruang kerja. Ia berjalan menyusuri selasar panjang berdinding putih gading. Sepatu pantofelnya menciptakan bunyi ketukan tiap kali menyentuh lantai bercorak papan catur. Marni tak mendengar suara apa pun selain napasnya, di rumah bergaya Eropa klasik itu hanya ada dirinya dan Jeffrey. Semua staf rumah tangga sudah pulang ketika sore. Jeffrey, si bos besar memang teramat menjaga privasi. Apa lagi, lelaki itu punya kegemaran tidak lazim dengan para wanita.
Ada satu ruang khusus tempat Jeffrey biasa ‘bermain’. Tempat terlarang yang hanya boleh dimasuki oleh Marni dan Jeffrey seorang, tentu saja beserta para wanita panggilan yang biasa Jeffrey pesan. Ada alasan kuat mengapa Jeffrey begitu mempercayai Marni, sama halnya dengan Marni yang tetap bertahan meski bosnya punya kebiasaan ganjil.
Marni melirik ke arah kumpulan pigura yang terjajar rapi di atas meja konsol pada sisi ruang. Ia mendekat dan mengambil salah satu bingkai foto. Bibir Marni mengembang ketika memandangi potret Jeffrey kecil yang tertawa lebar. Ia sudah bersama Jeffrey semenjak lelaki itu berusia sembilan tahun. Sat kecil, si tuan muda merupakan seorang anak yang ceria dan menyenangkan. Namun, sebuah kejadian pada masa lalu mengubah semua.
Marni meletakkan kembali pigura berbingkai kayu yang semula ia pegang ke atas meja. Tarikan lebar yang semula terbentuk pada bibirnya, perlahan-lahan pudar.
***
Raline mendorong tubuh Bayu sekuat tenaga saat ayah tirinya itu membukakannya pintu mobil. Beberapa pasang mata mengarah pada pertengkaran antara Raline dan Bayu. Suara bentakan Raline yang kencang terdengar hingga ke ujung gang Lebar, yang berada di jalan Putat, rumah mereka. Kawasan tersebut tadinya merupakan bekas lokalisasi Dolly, tempat Raline lahir dan tumbuh dewasa. Raline berjalan masuk ke dalam gang, meninggalkan Bayu yang masih mengunci mobil yang terparkir di pinggir jalan.
“Nggak punya otak!” bentak Raline.
“Jangan teriak-teriak kamu, ya!” sungut Bayu. Ia bergegas menyusul Raline.
Mata Raline mendelik. “Kenapa? Takut ada yang dengar kalau Bapak masih jadi germo? Takut diciduk polisi? Justru itu mauku, melihatmu masuk penjara!”
“Nggak akan ada yang bisa masukkan aku ke penjara. Kita semua juga pada tahu, meski Dolly sudah tutup, prostitusi masih hidup!” ujar Bayu.
“Iya, secara ilegal! Dan jangan berani-berani kamu membawaku ikut masuk ke dalamnya!” Raline kembali mendorong tubuh Bayu.
Bayu mendecih. “Ngomong berlagak suci. Emang aku nggak tahu kalau kamu sering ambil job tari striptease diam-diam? Kamu pikir itu legal? Udahlah, Raline. Jangan munafik. Kamu lahir juga karena ibumu kebobolan saat melayani pelanggannya. Menjadi pelacur sudah menjadi takdir yang melekat pada darah dan tulangmu.”
Bayu adalah ayah tiri Raline, ia dan almarhum ibu Raline menikah saat Raline masih kecil. Jangankan Raline, sang ibu saja tidak tahu siapa bapak kandungnya. Maklum, ibu Raline dulunya merupakan pekerja seks komersial di gang Dolly, laki-laki yang ia layani tak terhitung.
“Kurang ajar!” maki Raline tidak terima. Meski Bayu adalah ayah tirinya, kelakuan lelaki itu sama sekali tidak mencerminkan seorang ayah. Mungkin karena Bayu kecanduan narkotika, jadi naluri dan akal sehatnya sudah bergeser.
Bayu menahan kedua lengan Raline. “Ikut aku untuk malam ini saja! Maka aku tidak akan mengusik ‘pekerjaan rahasiamu’. Tapi, kalau kamu tetap menolak, silakan saja menerima konsekuensinya. Aku nggak masalah menjadikan Sintia sebagai gantimu,” ancamnya.
“Sintia? Dia itu anak kandungmu, darah dagingmu! Manusia macam apa kamu?” Raline mulai berkaca-kaca. Sintia merupakan satu-satunya keluarga yang ia miliki. Semenjak sang ibu meninggal ketika melahirkan Sintia, Ralinelah yang berperan mengasuh adiknya.
Bayu terkikik. “Ya, karena dia anak kandungku makanya harus kuperkerjakan untuk meneruskan bisnisku.”
Emosi Raline memuncak di ubun-ubun, ia ingin sekali memukul wajah Bayu hingga babak belur. Namun, ketika mereka sedang bersitegang, pintu rumah tiba-tiba terbuka.
“Mbak sama Bapak udah pulang?” Sintia, gadis kecil yang mereka bicarakan mengintip dari balik pintu.
Bayu merangkul Sintia sambil menyeringai. “Kita sudah pulang, Sin. Tapi, habis ini, mau pergi lagi. Bukan begitu, Line?” Ia sadar betul kalau sedang berada di atas angin. “Tapi, ya, tergantung, kalau Mbak Raline tidak mau pergi sama Bapak, kamu yang bakal Bapak ajak. Sintia mau, ‘kan, menemani Bapak kerja?” pancing Bayu licik.
Sekuat tenaga Raline menahan tangis. Ia tidak ingin adiknya yang masih berusia 12 tahun tahu kalau dirinya akan dijual oleh Bayu. Bayu memang manusia tanpa nurani, teganya ia memaksa Raline untuk memuaskan nafsu seorang lelaki hidung belang.
“Sintia di rumah saja, biar Mbak yang pergi sama Bapak ...” sahut Raline lirih. Ia mengepalkan telapak tangan dengan erat. Malam ini, adalah malam terakhir dirinya menjadi seorang perawan.
Sudah tamat di bestory
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top