FOURTEEN
"Den ..." Marni masuk ke dalam pintu kamar Jeffrey yang terbuka. Mata pengurus rumah tangga itu berkaca-kaca dan sembab.
Marni merasa bersalah.
Padahal saat Jeffrey baru saja menginjak kelas satu di Sekolah Dasar, bocah polos itu selalu berusaha memberitahunya. Jeffrey berkata bahwa gurunya jahat. Ia juga bilang kalau mereka membuatnya malu dan tak nyaman. Namun, Marni pikir itu hanya penyesuaian dengan lingkungan belajar yang baru.
Masih segar dalam ingatan Marni ketika si kecil Jeffrey selalu berteriak dalam tidurnya. Anak itu kerap bermimpi buruk. Dan lagi-lagi Marni pikir itu hanyalah fase yang akan sirna seiring berjalannya waktu.
Semua terkuak bertahun-tahun kemudian --- tepatnya hari ini --- ketika Jeffrey menginjak 16 tahun.
Jeffrey menoleh. "Masuk aja, Bi."
"Sedang mengerjakan tugas sekolah, ya?" Marni menghampiri Jeffrey yang duduk di hadapan meja belajar.
Jeffrey menjawab dengan anggukan kepala.
Marni menyorot lelaki remaja di depannya itu dengan mata berkaca. Andaikan ia bisa mengulang waktu, ia akan lebih peka dan melindungi masa kecil Jeffrey.
"Den Jeffrey ..." gumam Marni lirih. "Bibi mau minta maaf."
"Soal apa?" Jeffrey masih fokus pada lembaran soal di mejanya.
Marni menelan rasa getir di tenggorokan. "Dulu Bibi tidak cukup berusaha menjaga kamu. Seharusnya, Bibi lebih mendengarkan keluhmu. Padahal kamu selalu mimpi buruk tiap malam. Kamu pun selalu menangis ketika Bibi antar ke sekolah. Tetapi, Bibi ..."
"Sudahlah, Bi. Itu sudah lama berlalu," ucap Jeffrey seraya mengulas senyum. Senyum yang tidak mampu menutupi sorot matanya yang nanar.
Tangis Marni pecah. "Den Jeffrey ... mereka semua orang-orang laknat. Biadap!"
"Mereka sudah mendapat hukuman yang setimpal, bukan? Sudahlah." Jeffrey kembali memusatkan konsentrasi pada pekerjaan rumahnya.
Marni masih terisak. "Sekali lagi Bibi minta maaf, Den." Ia mencoba mengusap puncak kepala Jeffrey. Namun, Marni harus tersentak karena Jeffrey menepis tangannya dengan kasar.
"Aku enggak apa-apa, Bi." Jeffrey berdeham.
Marni bergeming seraya menatap Jeffrey lekat. Tidak. Dia tidak baik-baik saja. Seketika itu juga Marni sadar, ada yang berbeda dari seorang Jeffrey semenjak mengalami pelecehan. Jeffrey membenci sentuhan.
Hati Marni bertambah nelangsa. Sekuat tenaga ia menahan agar tangisnya tak bertambah keras. "Jeffrey, Bibi janji, ke mana pun Aden pergi, Bibi akan ikut. Bibi akan menjaga dan membantu kamu."
"Makasi, Bi. Hanya Bibi yang paling kupercaya," sahut Jeffrey.
***
Jeffrey menangkupkan telapak tangannya pada pipi Raline yang merona. Wanita itu lebih manis ketimbang dessert buatan Patissier mana pun. Kelembutan Raline mengalahkan rasa mousse cokelat. Belaiannya bahkan lebih nikmat dari sepotong tiramisu.
"Kamu yang akan kumakan."
Jeffrey mengecup lembut bibir Raline yang beraroma kue. Mungkin sisa dari butter cream yang baru saja ia cicipi. Apa pun itu, Raline Lara tetaplah menggoda.
Raline terpejam. Ciuman yang Jeffrey daratkan pada bibirnya laksana candu. Ia yakin tidak akan pernah bosan jika harus mencium bibir itu seumur hidupnya. Jeffrey nyata menyentuhnya. Lelaki ini ada di sini --- untuknya.
Tubuh Raline terjatuh ke atas matras empuk. Ia terlentang dalam buaian erotis akan surga dunia. Seluruh nadi dan sel syaraf Raline dimanjakan oleh jamahan kulit Jeffrey yang hangat.
Kali ini Jeffrey tak banyak bermain-main. Ia mencumbu Raline dengan sedikit berbeda --- lain dari pada biasa. Selama mengeksplorasi preferensinya, Jeffrey belum pernah melakukan permainan seintim ini. Lelaki itu tak banyak berpikir, jiwa raganya berpusat pada hal yang sama --- Raline Lara.
"Oh Tuhan ..." desah Raline. Ia merasakan sentakan di bagian bawah tubuhnya. Milik Jeffrey telah merasuk ke dalam miliknya.
Jeffrey merengkuh tubuh Raline yang pasrah. Suhu mereka sama-sama memanas akibat birahi. Tusukan demi tusukan dengan ritme teratur yang mengakibatkan kewanitaan Raline berdenyut. Milik wanita itu terasa sangat penuh.
Jeffrey benar-benar menguasainya.
Semakin lama, hunjaman yang Raline rasakan makin kuat tak terkendali. Bibir Jeffrey mengendus leher Raline sambil sesekali mencumbunya. Sentuhan itu mampu menambah hasrat yang sudah membara. Raline mengejang diiringi rintihan dari mulutnya, tubuh wanita itu gemetar. Dalam rengkuhan Jeffrey, Raline akhirnya menggelinjang. Ia terlebih dulu mencapai puncak. Sensasi manis bak madu itu membuat tubuh Raline seketika lemas.
Jeffrey merasakan batang kerasnya lebih basah dari sebelumnya. Ia sadar Raline telah mendapatkan klimaks. Lelaki itu tak lagi menahan diri, ia pun menusukkan miliknya lebih dalam dan cepat.
Jeffrey menggeram dengan suara parau. Rahang lelaki itu mengeras. Tangannya meremas gundukan kenyal Raline dengan gemas. Tak berselang lama, cairan kental menyembur masuk membasahi lorong Raline yang sempit. Tubuh mereka berdua berguncang oleh kenikmatan luar biasa.
Fajar kelam hari itu sungguh istimewa, khususnya bagi Raline.
Bintang yang berkerlip dari balik jendela kamar hotel terpantul di mata Raline. Meski sinar kejora kalah oleh gemerlap lampu kota, tetap saja tak mampu menyaingi tampilan indahnya langit. Satu bintang yang paling bersinar dalam hati Raline ada di sisinya. Dia Jeffrey.
***
"Kamu mau ke mana?" tanya Raline.
Jeffrey mengenakan pakaian dan merogoh dompetnya. Lelaki itu menyodorkan Raline selembar uang yang kelihatan asing.
"Kamu tukarkan dulu uang ini sebelum memberinya pada Bayu. Aku yakin nominalnya lebih besar dari pada tarif yang disepakati oleh Daniel. Ambillah sisanya buatmu, Raline," kata Jeffrey.
Raline menerima kertas bertuliskan 1000 dollar itu.
Jeffrey kembali melanjutkan, "Itu dollar Singapura, mungkin sekitar 11 jutaan," imbuhnya.
"Kamu mau pergi?" Raline mendongakkan kepala untuk menatap lurus pada mata Jeffrey.
Jeffrey mengangguk. "Tentu saja. Aku harus pulang. Kamu bisa tidur di sini kalau mau. Check out-nya jam 12 siang."
Bukan itu yang Raline ingin tahu.
"Kita akan bertemu lagi, bukan?" tanya Raline lagi. Mata wanita itu membulat --- seperti anak kucing.
Jeffrey terdiam. Ia mengenakan jas dan jam tangannya. "Untuk apa?" sahutnya.
"Untuk apa?" ulang Raline.
"Ya, untuk apa kita bertemu lagi?" Jeffrey berbalik tanya. "Urusan kita sudah selesai. Aku sudah membayarmu. Beres, bukan?"
Raline menelan saliva.
"Bukankah kamu berjanji untuk menolongku? Bukankah aku sudah menunjukkan kesungguhanku padamu? Aku menuruti semua maumu, Jeff," ujar Raline.
"Kapan aku bilang akan menolongmu?" selidik Jeffrey. "Kamu menyimpulkannya sendiri."
"Tapi, Jeff ..." Raline tercekat. "Aku sudah menurutimu, 'kan? Kamu bilang akan menjadikanku budakmu jika aku berhasil melewati persyaratanmu."
Jeffrey terkekeh. "Memang kamu mau jadi budakku?"
"Ya. Aku sungguh-sungguh. Aku lebih memilih bersamamu ketimbang harus melayani lelaki-lelaki lain di luar sana," terang Raline.
Jeffrey terdiam sesaat. Lelaki itu kemudian menghela napas. "Aku salut dengan kegigihanmu. Tetapi, aku sudah membayarmu lebih besar dari tarifmu. Itu sudah merupakan kemurahan hati. Anggap saja sebagai balasan karena sudah menjadi gadis patuh."
Raline yang sudah mengenakan dress-nya bergegas bangkit untuk menyusul Jeffrey. "Jeff, kumohon!" serunya.
Jeffrey menoleh. Ekspresi lelaki itu dingin dan bengis. "Berhenti mengikuti atau muncul lagi di hadapanku, Raline. Semua sudah berakhir. Semua urusan kita telah selesai. Paham?" gertaknya.
Hola, DARLS!
KINKY sudah tamat di Bestory, silakan kunjungi akun Ayana Ann untuk baca jalur cepat. Part utuh tanpa potongan dan cukup 2K saja, bab tsb menjadi milikmu seumur hidup.
Link bisa kalian temukan di papan percakapan Ay, ya!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top