FOUR
Apakah memang bercinta akan terasa seperti ini?
Berakhir begitu saja tanpa aba-aba, menyisakan rasa gamang dalam relung Raline. Ia yakin ada yang salah, tapi apa? Meski cuma mengandalkan pendengaran --- karena matanya tertutup blinfold --- Raline sadar jika Jeffrey meninggalkannya pergi. Suara derap kaki lelaki itu makin menghilang dalam gelap.
Usai? Tanpa sepatah kata pun?
Raline pasrah, baik mata maupun tangannya masih terbelenggu.
"Pak Jeffrey?" panggil Raline.
Tentu saja tidak ada jawaban, Jeffrey memang sudah pergi dari ruang bermain.
Ketidak-berdayaan Raline tak lama, Marni akhirnya datang dan membuka blindfold serta borgol yang Raline kenakan.
"Pakai ini," kata Marni. Ia menyodorkan bathrobe satin untuk Raline.
Raline mengerjap berkali-kali, pandangannya masih kabur. Mungkin efek dari pemakaian penutup mata yang terlalu lama. Saat pengelihatannya sudah terang, Raline menelisik tiap sudut ruang, ia tak menemukan orang lain selain Marni.
Marni menepuk lengan Raline. "Raline, bersihkan dirimu di kamar mandi. Kemudian kenakan kembali pakaianmu."
"Apa aku sudah selesai?" tanya Raline penuh kebingungan.
Marni melirik ke arah kain seprei yang penuh bercak darah. "Sepertinya sudah," sahutnya pelan.
***
Jeffrey membasuh tubuh di bawah kucuran shower. Ia menggosok kasar kulitnya yang kecokelatan dengan busa sabun. Kedua alis lelaki itu saling bertautan, membingkai matanya yang tajam dan pekat.
"Sial!" Jeffrey mengumpat sendiri.
Semua gesture ketakuran Raline Lara terus menari-nari di benak Jeffrey. Pelacur itu tidak sedang berpura-pura polos, tetapi, ia memang baru pertama kali berhubungan seksual.
Dengan tubuh yang masih basah, Jeffrey menyambar handuk dan melilitkannya di pinggang. Barisan otot perut yang masih basah tampak berkilat terkena pantulan cahaya lampu. Ia begitu gusar hingga enggan mengeringkan badan dengan benar. Jeffrey bahkan membiarkan tetesan air dari rambutnya membasahi lantai dan seprei kamar.
Jeffrey membenamkan wajah ke dalam tangkupan tangan. Ingatan menyakitkan tentang masa lalu kembali menyeruak ke permukaan. Memori mengerikan yang sanggup mencabik kehidupan Jeffrey. Semua tersulut akibat merenggut keperawanan seorang Raline Lara. Pelacur sial!
Harusnya germo bedebah itu tahu, Jeffrey tidak pernah meminta seorang wanita yang masih polos. Ia bukan seperti lelaki kebanyakan yang bakal kegirangan mendapatkan perawan. Justru, karena suatu alasan Jeffrey membenci itu.
Kini, rasa bersalah meraung-raung menyiksa batin Jeffrey. Bangsat.
***
"Jadi ... ini adalah kali pertamamu sebagai seorang ..."
Raline mendongak, urung meneguk cokelat panas yang Marni suguhkan. Ia menatap raut wajah Marni yang tampak berbeda dari sebelumnya. Kelihatan sekali bahwa Marni sedang menyimpan rasa kasihan.
Raline tersenyum kecut. "Ini memang kali pertamaku," akunya.
"Kenapa kamu melakukan pekerjaan ini?" tanya Marni pelan --- nyaris seperti membisik.
"Kenapa?" sahut Raline. "Memangnya untuk apa lagi kalau bukan uang."
Sebenarnya uang bukan alasan Raline menjual diri, melainkan demi melindungi Sintia, adiknya. Tapi, ia malas menerangkan kisah kelam hidupnya kepada orang asing seperti Marni. Orang kebanyakan mana mengerti, sih? Paling-paling, mereka akan sibuk menceramahi, bahwa masih ada pilihan lain selain menjadi pelacur atau penari erotis yang mengumbar aurat.
Mereka belum tahu saja bagaimana rasanya terlahir sebagai anak seorang pelacur. Masa kanak-kanak Raline terampas karena tumbuh besar di lingkungan Dolly, kompleks pelacuran yang konon terbesar se-Asia Tenggara.
Setiap hari ia harus menyaksikan ibunya bersolek demi menawarkan tubuh pada lelaki hidung belang. Seumur hidup Raline terbiasa disuguhi pemandangan mesum, orang mabuk-mabukkan, atau mendengar makian sumpah serapah. Pendidikan seperti itu mengendap dalam otak Raline, membuatnya beranggapan bahwa hal-hal tersebut lumrah adanya.
Raline tertunduk, ia meniup cairan cokelat panas dalam cangkir. Secara perlahan, Raline meminumnya. Rasa hangat menjalar dari kerongkongan menuju lambung.
Pikiran Raline kosong. Tidak percaya kalau sudah kehilangan keperawanan. Ia getir karena dirinya sama saja dengan ibunya. Dulu, dia yakin bisa menjaga kesucian meski bekerja sebagai penari erotis. Ternyata semua sia-sia, seolah jadi pelacur adalah takdir hidup yang tak bisa dielakkan.
Raline dulu mengutuk pekerjaan sang ibu. Tapi, mungkin Bayu benar, buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Buktinya, Raline sekarang melepas keperawanan dengan imbalan uang. Kalau bukan pelacur, apa namanya?
"Pembayaran sudah di-transfer ke rekening Bayu. Terima kasih untuk jasamu, Raline," ucap Marni.
"Sama-sama," sahut Raline.
Marni tidak lagi mengatakan apapun. Namun, perasaan Raline tetap ganjil. Ia yakin ada urusan yang belum tuntas. Persetubuhan antaranya dan Jeffrey seakan mengambang tanpa akhiran. Pasti ada sesuatu yang salah.
"Bu ... Marni ... kalau a ..."
Marni menyela kalimat Raline dengan cepat, "Panggil saja Bibi Marni."
"Oh, ehm, Bi Marni." Raline berdeham. "Boleh aku tanya sesuatu?"
"Soal apa?" selidik Marni.
"Apa aku melakukan kesalahan kepada Bapak Jeffrey?" Raline memandang Marni melalui kedua bola matanya yang besar.
Marni mempertahankan mimik datar. "Kenapa kamu bisa berpikir demikian?" tanyanya.
"Entahlah, tapi ... aku merasa ada yang tidak beres. Izinkan aku bertemu Bapak Jeffrey untuk meminta maaf secara langsung. Aku takut dia mengadukanku pada Bayu. Aku ..." Bibir Raline gemetar. Ia cemas Bayu akan menimpalkan kemarahan pada Sintia.
"Tenang saja. Bapak Jeffrey bukan orang yang suka menjelek-jelekkan orang. Kamu tidak perlu khawatir," ujar Marni.
Raline mendesah berat. Tetap saja ia waswas.
"Apa aku memang tidak boleh bertemu Pak Jeffrey? Apa dia memang tidak mau menunjukkan mukanya padaku?" cecar Raline
Marni bangun dari duduk. "Kalau minumanmu sudah habis, aku akan mengantarmu ke depan."
Raline tahu diri kalau Marni sedang mengusirnya secara halus. Ia pun meletakkan cangkir yang masih tersisa separuh.
"Baiklah, Bi Marni. Kalau begitu, aku permisi," ucap Raline.
***
Sedan Bayu terparkir rapi di depan gerbang. Dengan gontai, Raline berjalan menghampiri sambil melindungi kepala dari tetesan gerimis.
"Sudah?" Bayu menengok dari balik kaca. Lelaki itu semringah, senang karena baru saja mendapatkan pemasukan fantastis dari Jeffrey.
Raline tak menjawab. Ia menoleh dan mendongakkan kepala ke arah rumah megah yang akan ia tinggalkan. Pada istana ini, ia telah menyerahkan keperawanannya, kesucian yang terenggut oleh orang asing. Bahkan, sosok dan wajahnya saja, Raline tidak tahu.
Bayu segera tancap gas, begitu anak tirinya sudah masuk ke dalam mobil. Kendaraan roda empat itu menyusuri jalanan yang basah dan temaram. Rintik lemah tadi berubah deras, membuat udara malam makin dingin.
Raline bersandar dan melamun.
Saat ia memejam, bagian bawahnya masih terasa perih dan kesemutan. Jejak aroma Jeffrey bahkan tertinggal pada kulit tubuh Raline. Lelaki itu begitu wangi, raksi maskulin yang tertancap dalam memori.
"Jangan galau gitu. Tenang, nanti aku kirim ke rekeningmu." Bayu membuyarkan lamunan Raline. "Gimana? Kamu senang kerja seperti ini? Mudah dan cepat. Enak pula? Ya, to?" kelakar Bayu.
Raline mendengkus. "Ini adalah yang pertama dan terakhir. Jangan harap aku akan melakukannya lagi."
"Halah. Kamu sekarang bisa ngomong begini karena belum cek saldo berapa banyak yang ku-transfer. Kalau sudah lihat nominalnya, kamu bakalan mohon-mohon ke aku untuk dicarikan pelanggan. Perlu kamu tahu, kalau nanti Pak Jeffrey memesanmu lagi, kamu nggak boleh nolak." Bayu menowel dagu Raline sambil terkikik.
Raline menepis tangan Bayu. "Aku sudah bilang aku nggak mau jadi PSK, Pak! Carilah orang lain untuk kamu jual, bukan aku!" bentaknya.
"Iya, orang lain itu maksudmu Sintia, 'kan?" pancing Bayu.
"Tega sekali kamu, Pak!" Raline mendorong dan memukul Bayu. "Dia anak kandungmu. Bahkan aku pun adalah anak tirimu. Apa kamu sudah tidak ada hati nurani lagi?"
Bayu melotot seraya menahan tangan Raline. Hampir saja setirnya oleng karena ulah anak sambungnya itu.
"Sekalinya nyemplung ke dalam dunia ini, kamu nggak akan bisa keluar, Line! Pahami itu! Jangan sok suci seperti malaikat. Kamu tahu sendiri, saling menjual kerabat dan teman adalah hal lumrah dalam lingkungan tempat kita tinggal. Bahkan, ibumu juga dulu seperti itu, yang jual dia saudaranya sendiri. Kamu harusnya bersyukur, aku mengenalkanmu pada lelaki kaya macam Pak Jeffrey. Kalau aku mau, aku bisa menjualmu ke kalangan sopir truk yang badannya bau miras dan tembakau!" ancam Bayu.
Raline menyentakkan tangan dan membalas tatapan Bayu. "Berani Bapak mengancamku lagi, aku akan pergi darimu. Bapak tidak akan bisa menemukanku!"
"Silakan," sahut Bayu santai. "Tapi, jangan harap kamu bisa bawa Sintia."
Raline tersentak.
Bayu kembali melanjutkan, "Sintia anakku, darah dagingku. Selain itu, dia masih di bawah umur dan aku adalah walinya yang sah. Kalau kamu nekat bawa dia pergi, aku akan laporkan kamu ke polisi kenalanku. Silakan tunggu waktu untuk membusuk di penjara."
"Padahal tidak pernah sedikit pun kamu memberikan kasih sayang padaku atau Sintia. Apa tidak bisa kamu melepaskan kami berdua pergi?" cecar Raline.
Bayu menyeringai. "Tidak bisa dan tidak akan pernah."
***
Suasana begitu hening.
Tidak terdengar suara apapun selain detik jam dinding. Langit masih gulita, udara dingin dini hari menembus tulang.
Raline berjingkat diam-diam memeriksa tiap sudut rumah, mencari keberadaan Bayu yang nihil. Bagus. Lelaki itu tidak ada. Dengan bergegas, Raline mengambil duffle bag yang ia sembunyikan di dalam lemari paling bawah.
"Sin, bangun, Sin," kata Raline. Ia menggoyang-goyangkan badan adiknya yang tertidur pulas. "Sintia!"
Sintia mengerjapkan mata. "Mbak? Kenapa?" tanyanya. Kesadaran gadis itu belum sepenuhnya terkumpul.
"Bangun." Raline berusaha menegakkan tubuh Sintia. Sesekali ia menepuk pipi si adik pelan-pelan.
Sintia menggosok pelupuk dengan tangan. Ia lalu menguap lebar dan memandang wajah Raline lekat-lekat. "Mbak, bukannya ini masih malam?" Sintia menelisik penampilan kakaknya yang sudah rapi. "Mbak mau pergi?"
"Kita berdua, Sin. Kita pergi jauh dari sini."
Sudah tamat di aplikasi BESTORY
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top