FORTY-TWO

Ada masa di mana Jeffrey kecil terpaksa berdiam di kelas saat teman-temannya berolahraga di lapangan. Kakinya terkilir saat jatuh dari tangga. Bocah berusia tujuh tahun itu sendirian menanti teman-temannya kembali. Matanya mulai berat karena bosan.

Jeffrey pun merebahkan kepala pada meja. Membunuh waktu dengan tidur hingga pelajaran olahraga berakhir.

"Hei."

Sebuah sapaan singkat membangunkan Jeffrey yang tertidur pulas. Perlahan mata bulat bocah polos itu terbuka.

Jeffrey buru-buru menegakkan badan. "Oh. Mr. Hopkinson," sahutnya. Ia terkejut karena kepala sekolahnya sudah berdiri di hadapannya.

Michael Hopkinson tersenyum. "Why are you here alone?" tanyanya.

"I twisted my leg, Sir."

"Oh, poor of you." Hopkinson memasang wajah mengiba. "Jadi, kamu tidak bisa bergabung dengan teman-temanmu berolahraga?"

Jeffrey mengangguk pelan.

"Siapa namamu?" tanya Hopkinson lagi.

"Jeffrey. Jeffrey Daud Pratama," sahut Jeffrey.

"Jeffrey? Such a pretty boy." Hopkinson membelai lengan Jeffrey dengan lembut. Tangannya berjalan menyusuri pipi tembam nan merona itu.

Jeffrey terdiam penuh kebingungan. Kepalanya mendongak menatap sang kepala sekolah.

Hopkinson berjongkok mendekati Jeffrey yang duduk pada bangkunya. "Jeff, I will help you. Aku bisa menyembuhkan kakimu yang cedera. Apa kamu mau?"

Jeffrey mengangguk ragu-ragu.

Senyum pada bibir Hopkinson mengembang. "Tapi kamu harus merahasiakan ini agar keajaibannya terjadi."

"Jika aku membocorkannya?" tanya Jeffrey.

Hopkinson merengut. "Aku takut kamu akan terkena kutukan dan tidak bisa berjalan lagi."

Jeffrey buru-buru menggelengkan kepala.

Hopkinson mengelus kepala Jeffrey. "Maka, ini menjadi rahasia kita berdua. Okay?"

"Okay."

"Anak pintar," ucap Hopkinson. "Sekarang berdiri dan buka celanamu."

***

Jeffrey mencium bibir Raline di bawah pancuran. Rasa manis bercampur dengan hangatnya air berpadu jadi satu. Raline memejamkam mata untuk meresapi kulit bibir Jeffrey yang lembut. Bakal janggut kasar lelaki dominannya makin membuat Raline kegelian. Raline mengulum bibir itu dengan impulsif. Mengejar lidah Jeffrey dan membiarkannya menari-nari dalam mulut.

Cumbuan yang tak sekedar pelampiasan nafsu bagi Raline. Melainkan bentuk ungkapan cintanya pada Jeffrey.

Ya. Raline sangat --- sangat jatuh cinta pada lelaki bermata kelam itu.

Bibir Jeffrey adalah bibir yang ingin ia cium selamanya. Kulit Jeffrey adalah kulit yang ingin ia sentuh seumur hidup. Dan, tubuh kokoh nan maskulin Jeffrey adalah tubuh yang ingin ia rengkuh sampai mati.

"Ah ... Jeff ..." Berulang kali Raline mendesahkan nama itu.

Jeffrey menyandarkan dagu pada bahu Raline. Sementara kepalanya menoleh untuk menyesap kuat leher submisifnya. Jemari Jeffrey lalu turun ke bawah untuk menjamah titik sensitif yang tersembunyi. Telunjuknya mengitari bagian menonjol di antara lipatan bibir kemaluan. Ulah Jeffrey kian membangkitkan gairah Raline yang membuncah.

Jeffrey menegakkan kepala dan menunduk. Netranya kemudian tertuju ke bawah.

"Raline ..." bisiknya.

Bola mata Raline menyorot Jeffrey dengan sayu. Bibirnya sedikit terbuka penuh hasrat.

"Ya?"

"Lihatlah," ujar Jeffrey menunjuk ke bawah.

Raline terbelalak. Darah mengalir deras terbawa guyuran air. Bercak merah itu juga tertinggal pada jemari Jeffrey.

"Astaga!" Raline memekik.

"Kamu datang bulan?" Jeffrey mematikan kran shower.

Raline mundur selangkah. Ia salah tingkah dan merapatkan kedua paha. "Sepertinya."

"Sepertinya? Kamu tidak hafal dengan siklusmu?" Dahi Jeffrey berkernyit.

"Datang bulanku memang tidak teratur," sahut Raline. Ekspresinya berubah murung bercampur bingung.

Kedua sudut bibir Jeffrey tertarik ke atas hingga menciptakan garis melengkung. "Ya sudah. Bersihkan dirimu dan segeralah memakai handuk. Nanti masuk angin."

"Jeff ..." gumam Raline tertunduk.

"Hmm?" Jeffrey berjalan menuju wastafel untuk mencuci tangan.

"Maaf," kata Raline pelan.

Jeffrey menggosok tangan dengan sabun. Setelah cukup bersih, ia meraih handuk dan melilitkannya di pinggang. Lelaki itu menutup kejantanan yang masih tegak menantang.

"Maaf?"

Raline berdeham. "Aku sudah mengecewakanmu."

Jeffrey menyandarkan lengan pada sekat kaca. Ia menyorot Raline dengan tatapan dingin dan tajam. "Mengecewakanku dalam hal apa?"

"Aku tidak tahu siklus haidku. Sehingga mengganggu permainan yang seharusnya kita lakukan di sini."

Jeffrey terdiam. Bisunya justru membuat Raline makin gelisah. Namun sejurus kemudian, tawa lelaki itu pecah.

"Untuk apa minta maaf untuk hal konyol seperti ini? Sudahlah, Raline!"

"Jadi kamu nggak marah?" selidik Raline.

"Buat apa marah?" balas Jeffrey tersenyum. Lelaki itu mengambil handuk yang tergantung di towel hanger. "Ayo, lekas keringkan badanmu."

Raline menerima pemberian Jeffrey sambil tersipu.

"Kita masih punya banyak waktu di lain hari. Jangan meminta maaf untuk sesuatu yang bukan kesalahanmu," lanjut Jeffrey.

"Tapi bukankah kamu berencana bercinta di tempat terbuka, Jeff? Dan aku mengacaukannya," ujar Raline.

"Raline, kadang kala apa yang kita rencanakan tak selalu sesuai dengan realita. Semua itu manusiawi. Lagi pula, apa kamu pikir otakku hanya berisi seks, huh?" Jeffrey mengerutkan dahi.

Raline meringis. "Ya enggak ..."

"Makanya, lebih baik kamu segera berpakaian," tukas Jeffrey.

"Kita jadi lihat air terjun?" Raline berbinar.

"Tentu saja," jawab Jeffrey.

Jantung Raline berdebar karena ekspresi ramah dominannya. Lelaki itu menerima segala hal tentang dirinya. Raline merasa berharga. Dibutuhkan.

"Jeff ..." panggil Raline lagi. "Bisa minta tolong ambilkan tisu? Aku tidak membawa pembalut. Aku akan menggunakan tisu dulu. Nanti kalau melewati toko di perjalanan, mampir, ya?"

Jeffrey menggelengkan kepala seraya berdecih. "Hmm," dengkusnya. "Kamu benar-benar serampangan, Raline Lara. Tunggu di sini. Aku akan keluar membelikanmu pembalut."

"Su-sungguh?" Raline melotot sangsi.

Jeffrey melenggang tak acuh. "Ya. Aku khawatir jokku bakal berlumur darah karena ulahmu!" dumalnya.

***

Raline Lara telah mengubah Jeffrey. Garis edarnya tidak lagi mengorbit pada pelepasan birahi dan uang. Ternyata, ada banyak ihwal penting dalam hidup selain kedua hal tersebut.

Mendambakan seseorang bukan demi hubungan seksual semata. Melainkan untuk suara, ciuman, atau bahkan keberadaannya. Raline pelan-pelan mengisi lubang menganga pada hati Jeffrey. Lubang yang semula Jeffrey pikir bisa diisi dengan pemuasan badani. Seratonin dalam tubuh Jeffrey meningkat hanya karena melihat senyum manis dari sang submisif. Raline laksana endorfin yang memberi energi positif bagi Jeffrey.

Seumur-umur, lelaki berhati batu itu enggan melakukan sesuatu demi orang lain. Tapi tidak kali ini, Jeffrey bahkan rela melakukan banyak hal untuk seorang wanita. Raline Lara.

Ia berdiri mematung di depan meja kasir sebuah toserba yang ada di pinggir jalan. Dahi Jeffrey berkerut. Sementara kedua alis tebalnya saling bertautan. Cukup lama netranya menyorot beberapa bungkus pembalut dengan bermacam merek yang tergeletak di depan si penjaga toko.

"Ini yang bagus yang mana?" tanya Jeffrey memecah hening.

Penjaga toko yang juga seorang lelaki ikut berkernyit kebingungan. Ia hanya pekerja yang ditugaskan untuk menjaga kasir. Sama sekali tidak memahami apa pun soal produk.

"Yang mana, ya, Mas?" Ia menyengir. "Kurang tahu saya juga."

Jeffrey mengela napas berat. Konsentrasinya kembali tertuju pada tumpukan pembalut yang ditawarkan si penjaga.

Melihat Jeffrey penuh pertimbangan, si penjaga ikutan bimbang.

"Kayaknya, sih, yang ada sayapnya, Mas," celetuknya.

Jeffrey mendengkus. "Sayap?" Apa lagi fungsinya?

"Iya, Mas. Yang ada sayapnya. Biasa cewek-cewek beli yang ada sayap."

"Untuk apa sayap itu?" tanya Jeffrey lagi.

Penjaga toko kembali cengengesan. "Nah, itu dia. Saya juga enggak tahu."

Jeffrey mengambil salah satu pembalut, lalu membacanya dengan teliti. Daya serap super hingga nyenyak sepanjang malam. Ia menggeleng. Raline tidak sedang mau tidur, jadi pasti bukan yang itu. Jeffrey lantas meraih bungkus lain. Perlindungan dari bocor 12 jam.

"Bocor?" Jeffrey menggumam sendiri.

Penjaga toko melongo. "Apa, Mas?" tanyanya.

"Bocor maksudnya gimana?" Jeffrey menunjukkan pembalut yang ada di tangannya.

Si penjaga menggaruk-garuk leher. Lagi-lagi meringis lebar. "Saya juga kurang tahu, Mas," sahutnya.

***

Raline mematut diri di depan cermin. Berulang kali ia menyisir rambut untuk menghilangkan gelisah. Wanita itu hanya mengenakan handuk dan celana dalam yang di dalamnya penuh lipatan tisu. Sudah satu jam Jeffrey pergi dan tak kunjung kembali.

Entah ke mana Jeffrey pergi. Pesan yang Raline kirim belum berbalas. Ia enggan mengirim pesan lagi atau menelepon --- khawatir dicap cerewet.

Ia menghela napas. Biasanya tiap pre-menstrual syndrome perutnya selalu kram disertai nyeri payudara. Baru kali ini Raline mengalami datang bulan yang ringan dan tanpa gejala. Gara-gara keteledorannya, ia jadi harus merepotkan Jeffrey. Tetapi, reaksi Jeffrey berbeda dari bayangan Raline. Lelaki itu bahkan bersedia pergi untuk membelikannya pembalut. Jangan salahkan Raline jika tiap hari rasa cintanya pada Jeffrey kian bertambah.

"Raline," seru Jeffrey.

Bibir Raline mengembang. Akhirnya yang ditunggu-tunggu datang. Namun betapa terkejutnya saat Raline melihat Jeffrey muncul membawa kantung plastik besar di tangan.

"Kamu beli apa saja, Jeff?" sambut Raline.

"Pembalut." Jeffrey meletakkan kantung yang ia bawa ke atas ranjang.

Dengan ketidak-percayaan, Raline memeriksa isi tas plastik itu. Semuanya pembalut! Dengan macam-macam merek.

"Banyak sekali?!" seru Raline.

Jeffrey melenggang keluar dari kamar. "Untuk persediaanmu sampai tahun depan. Sekarang cepat bersiap-siap. Kita berangkat 20 menit lagi," sahutnya.

Raline menahan tawa. Netranya mengikuti sosok Jeffrey yang berlalu pergi. Ia benar-benar jatuh hati.

***

Setelah 30 menit berkendara, Jeffrey dan Raline tiba di area wisata. Seiring dengan ramainya minat turis, tidak hanya air terjun ditawarkan sebagai pilihan destinasi. Ada berbagai spot menarik, seperti rumah pohon, bukit bunga, dan hammock berlatar pemandangan gunung.

"Kamu mau mampir lihat rumah pohon atau bukit bunganya?" tawar Jeffrey. Ia mengenakan jaket parasut berwarna abu untuk melapisi tubuh.

Raline menggeleng. "Aku nggak sabar lihat air terjunnya."

"Bener mau jalan? Nggak mau naik ojek?" tanya Jeffrey.

"Iya. Aku kuat, kok!" sahut Raline mantap.

Senyum Jeffrey menguar. "Ya sudah. Ayo."

Untuk sampai ke air terjun, Jeffrey dan Raline harus berjalan menuju lereng bukit. Tujuan mereka berada di lereng Gunung Panderman.

Raline berdecak kagum sambil menoleh ke sekeliling. "Bagusnya ..." Ia bergumam.

Jeffrey mencuri pandang ke arah submisifnya. Sudah ia duga, Raline akan senang di ajak pergi melihat alam. Surabaya terlalu padat dan hiruk pikuk. Mencari ketenangan dengan berwisata ke alam adalah healing terbaik. Apa lagi jalur jalan setapak menuju air terjun sangatlah indah. Sejauh mata memandang hanya ada pepohonan rimbun.

Raline terkesima dengan suasana magis pada jalur trekking. Kabut tipis menyelimuti hutan hijau. Jembatan kayu bak visual negeri dongeng terbentang sebagai jalan melewati sungai kecil. Saking eloknya, Raline kurang memperhatikan ke mana kakinya melangkah.

"Hati-hati!" Jeffrey menarik tangan Raline yang hampir saja tergelincir. Kulit wanita itu sangat dingin. "Kamu kedinginan?" selidik Jeffrey.

Raline menggeleng.

"Nggak kok. Udaranya memang sejuk, tapi aku sama sekali nggak kedinginginan."

Jeffrey berdecih dan melepas zipper hoodie-nya. "Kenapa nggak pakai jaket, sih?" Ia lalu mengenakan pakaian tebal itu kepada Raline.

Raline berdebar salah tingkah. Perhatian Jeffrey luar biasa melelehkan hatinya. "Ka-kamu gimana, Jeff?"

"Aku nggak apa-apa," sahutnya. "Kamu capek? Kalau lelah kita bisa istirahat dulu. Aku sudah terbiasa berolahraga berat, tidak sepertimu yang kulihat sendenter."

"Enak aja. Aku juga aktif bergerak. Apa lagi waktu masih jadi dancer," sanggah Raline.

Jeffrey mengulum senyum. Mereka pun melanjutkan perjalanan menyusuri tanjakan demi tanjakan.

"Kamu kangen kembali menari?" tanya Jeffrey.

"Nggak juga," gumam Raline.

"Lalu, kenapa dulu bekerja sebagai dancer?" selidik Jeffrey.

Napas Raline mulai tersenggal karena medan yang mereka lalui mulai curam dan berbatu. "Karena tidak ada pilihan lain. Gajinya besar. Apa lagi, aku juga nyambi jadi stripper."

"Dari situ kamu mengenal Ko Daniel?" Ekspresi Jeffrey mulai tegang. Bukan karena lelah mendaki, tetapi kesal dengan lelaki mata keranjang itu.

"Ya. Dia pengunjung tetap klub malam tempatku menari. Tapi dia tidak tahu kalau aku adalah stripper," terang Raline.

Jeffrey menoleh dan membantu Raline melewati batu besar di depan mereka. "Jadi, kamu tidak pernah striptease di depannya?" cecarnya.

"Tidak pernah."

Jeffrey berdeham. Ia menyembunyikan rasa tenang sebab Daniel belum sempat menikmati keindahan tubuh Raline yang molek. Setelah itu, Jeffrey tak lagi bicara dan konsisten berjalan.

Raline mendahului Jeffrey untuk menatap mata pekat dominannya. "Jeff," panggilnya. "Benar kamu yang menyabotase pertemuanku dengan Ko Daniel, 'kan?"

"Yang sudah berlalu tidak usah dibahas," elak Jeffrey.

Raline bersikukuh. "Benar kamu, 'kan?"

Jeffrey membuang muka --- menyembunyikan gengsinya. "Hmm."

"Kenapa kamu melakukan itu?" Raline memandang Jeffrey lekat-lekat.

"Entahlah," sahut Jeffrey. "Aku gusar saja saat membayangkan dia menyentuhmu."

Jantung Raline kembali berdebar. Kedua lututnya seolah lemas saking bahagianya. Maksudnya ... Jeffrey cemburu? Senyum pada bibirnya terkembang merekah.

"Kenapa senyum-senyum?" decih Jeffrey.

Raline bergegas merogoh ponsel. "Nggak apa-apa! Eh, fotoin aku di situ, dong?" pintanya.

Jeffrey mau tidak mau menerima ponsel milik Raline sambil mempertahankan wajah datar. Ia lalu mengarahkan kamera untuk membidik sosok wanita berambut perak yang sedang bergaya tepat di hadapannya. Raut muka Raline ceria. Kedua mata bonekanya sedikit menyipit karena tertawa begitu lebar. Seketika, perasaan Jeffrey berdesir.

"Kameramu buram! Pakai punyaku saja!" dengkus Jeffrey.

Tarikan pada bibir Raline pudar. Ia mengambil ponselnya kembali dari tangan Jeffrey sambil cemberut.

"Sana! Berdiri di depan situ," titah Jeffrey mengarahkan submisifnya. Sementara tangannya yang satu menunjuk ke arah depan.

"Nanti dikirim, ya," seru Raline.

"Ya." Jeffrey menjawab singkat. Berlagak tidak peduli. Meski relung lelaki itu membuncah. Menyorot Raline menggunakan bidikan kamera dari gawai mahalnya.

Gigi Raline terasa kering. Jeffrey sama sekali tidak memberi aba-aba atau petunjuk. "Sudah belum?" tanyanya.

Jeffrey terus mengabadikan tiap gerak-gerik Raline secara sembunyi-sembunyi. Ia mengulum senyum dan kembali memasukkan ponsel ke dalam saku cargo pants-nya. Banyak wanita lebih cantik, namun entah kenapa wajah Raline tak membuatnya bosan.

"Lho? Aku belum lihat!" protes Raline.

"Nanti saja aku kirim." Jeffrey menghindar.

"Mukaku kelihatan bagus?" buru Raline.

"B aja."

Jeffrey pun melangkah mendahului Raline untuk menyembunyikan ekspresinya yang semringah.

***

Rasa lelah sehabis menempuh perjalanan seketika hilang sesampainya di air terjun. Raline berteriak kegirangan sambil mencipratkan air. Tanpa ragu, wanita itu bahkan meneguk sedikit air dari telapak tangannya.

Air terjun setinggi 20 meter yang dikelilingi semak belukar dan perbukitan luas. Derasnya guyuran air membuat rambut Raline basah kuyup. Namun, dia tampak tak memedulikan penampilannya yang berantakan. Sinar matahari cerah memantul pada air jernih dan memunculkan kilau. Berbasah-basahan dalam air menjadi hal yang sangat menyenangkan.

Jeffrey menahan geli. Kelakuan Raline seperti anak kecil. Namun seutas rasa getir mendadak menyeruak. Raline memang tidak pernah pergi ke mana pun seumur hidupnya. Wajar ia sesenang ini. Jeffrey berjanji sendiri --- kelak ia akan membawa Raline ke tempat yang lebih bagus dari ini. Entah Bali, Lombok, Raja Ampat, Maladewa, atau bahkan Paris.

"Kenapa kamu minum air itu? Yakin bersih? Bagaimana kalau ada kotorannya," goda Jeffrey.

Raline yang sedang berjongkok spontan tersedak. "Jeffrey, ih!" sungutnya.

Hanya ada mereka berdua di lokasi itu. Mungkin karena Raline dan Jeffrey berkunjung bukan pada saat weekend.

"Kemarilah," kata Jeffrey menjulurkan tangan.

Raline memegang telapak hangat dominannya dan berdiri. "Kenapa?" tanyanya.

Jeffrey menangkupkan kedua tangan pada pipi Raline. Kepala Jeffrey menunduk. Sejurus kemudian, ia mengecup bibir sang submisif dengan lembut dan dalam. Ciuman yang menyebabkan napas Raline terhenti. Jantungnya hampir meledak.

"Sepulangnya dari sini, siapkan dirimu untuk bekerja bersamaku di the MAXIMAL."

Wajah Raline masih panas. Sorot matanya berkilat. "Kamu yakin soal itu? Betul-betul serius?"

"Sangat."

Hola, Darls!

Makasi sudah setia nungguin Raline-Jeffrey.

Cerita ini bisa kalian baca utuh tanpa potongan di Aplikasi BESTORY. Silakan pilih bab mana yang mau dibeli. Cukup 2000 rupiah aja!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top