FORTY-THREE

Raline menerima paket yang Jeffrey kirim untuknya. Sebuah kotak berukuran cukup besar terbalut paper bag warna hitam. Ia sama sekali belum bisa menebak apa isinya. Dengan hati-hati, Raline pun mengeluarkan kotak persegi itu dari dalam kantung. Ia lalu membuka penutup boksnya. Netra wanita itu terbelalak akan apa yang ia temukan.

Sepasang nude heels, setelan kerja, dan classic black bag.

Jeffrey seolah bisa menebak apa yang submisifnya butuhkan. Lusa Raline akan mulai masuk kerja. Entah pekerjaan seperti apa yang Jeffrey sediakan untuknya. Kali ini Raline bersikap rasional. Ia tidak mau munafik menolak penawaran tersebut. Raline memang butuh uang. Dan lagi, bekerja di perusahaan sebesar the MAXIMAL adalah mimpinya. Tidak --- lebih tepatnya impian setiap orang.

Raline buru-buru melihat pesan yang masuk pada layar ponsel. Ia seketika tersungging mengetahui asal chat itu berasal. Jeffrey.

Kamu boleh tidak menggunakannya jika sudah memiliki pilihan sendiri. Tapi, aku berharap kamu akan menyukai pemberianku.

Tentu saja Raline suka. Sangat. Tumpukan pembalut yang tempo lalu Jeffrey belikan untuknya saja, ia simpan baik-baik di atas meja. Apa lagi yang satu ini. Outfit mahal dan bermerek untuk hari pertamanya bekerja.

Raline cepat-cepat memakai heels yang Jeffrey kirim. Pas. Tampak cantik di kedua telapak kakinya. Wanita itu merebahkan badan ke atas kasur. Semua seperti mimpi. Senyum tak hilang dari wajahnya yang seputih susu. Namun, setitik kecemasakan juga datang menyergap. Memangnya, kemampuan apa yang akan Raline berikan untuk perusahaan the MAXIMAL?

Secara perlahan --- tarikan lebar pada bibir Raline pun memudar.

***

Jeffrey seharusnya masih cuti Sabtu ini. Dan lagi, ia jarang datang ke kantor pada hari itu. Kemunculan mendadak sang bos ke perusahaan, membuat para staf penuh tanya sekaligus kelimpungan. Mereka waswas ada hal urgent hingga si CEO memutuskan masuk di tengah cuti. Sebagian merutuk dalam hati. Menebak bakal ada lembur. Padahal, hari Sabtu jam kerja hanya setengah hari - sampai jam 2 siang.

Jeffrey duduk pada kursi kulit di depan meja. Ia menyodorkan map putih pada Gisella.

"Dia akan mulai bekerja Senin besok."

Dahi Gisella berkernyit. "Tidak ada posisi lowong, 'kan, Pak?" tanyanya. Dengan ragu, ia membuka berkas yang diletakkan Jeffrey.

"Dia akan menjadi asistenku untuk sementara," sahut Jeffrey.

"A-asisten?" ulang Gisella. "Apa Bapak mau memecatku?"

Jeffrey tersenyum tipis. "Tidak. Kubilang tadi untuk sementara, Gisella. Sampai aku memutuskan tim mana yang tepat untuknya."

Gisella membaca file Raline dengan saksama. Raline Lara.

"Bapak sedang bercanda? Di-dia cuma lulusan SMA. Terlebih, apa ini? Sales Promotion Girl selama dua tahun dan dancer di Coyot---?" Mata Gisella melotot ketika harus menyebut salah satu nama klub malam di Surabaya.

"Kenapa memang?" sahut Jeffrey.

"Dengan kualifikasi seperti ini dia masuk ke dalam perusahaan? Bukan sebagai pramuniaga store? Melainkan asisten?" Gisella berang.

Jeffrey berdecih. "Sudah jadi keputusanku, Gisella."

"Tapi, Pak?" sanggah Gisella. "Bapak sudah memilikiku sebagai Sekretaris. Apa yang harus dilakukan oleh dia?"

"Nanti kuputuskan di divisi mana dia bergabung. Besok saat dia datang kamu harus membantunya mempelajari soal perusahaan dan lain-lain," titah Jeffrey.

Gisella masih tidak terima. "Pak Jeff ... aku? Siapa sebenarnya Raline ini? Apa Bapak tidak khawatir dengan komentar staf lain saat besok dia masuk?"

"Tidak," kata Jeffrey santai. "Aku yang mendirikan perusahaan ini, terserah aku mau melakukan apa. Penambahan satu karyawan tidak akan membuat the MAXIMAL bangkrut."

"Masalahnya, Bapak memberikan posisi asisten pada seseorang dengan begitu mudahnya. Ini bakal memancing ..."

Jeffrey bergegas menyela. "Tidak mudah, Gisella. Dia sudah melakukan banyak hal untukku," tukasnya.

"A-apa?" Gisella menatap Jeffrey dengan tatapan sedikit bergetar.

Jeffrey mengibaskan tangan. "Sudahlah. Sampaikan pada tim accounting, aku menunggu laporan penjualan sebelum jam 11 ini." Netra lelaki itu beralih pada komputer lipat di depannya.

Gisella menelan ludah kasar. Meski hatinya serasa diremas-remas, tak ada yang bisa sekretaris itu lakukan. Dengan sopan, Gisella menganggukkan kepala pada Jeffrey dan keluar dari ruangan si bos.

Raline Lara. Gisella begitu penasaran dengan sosok itu. Ia bahkan tidak sabar menunggu Senin datang.

***

"Kukira Pak Jeffrey adalah visioner yang tak memberlakukan nepotisme. Ternyata aku salah."

"Apa hubungan Pak Jeffrey dengan anak baru itu?"

"Kamu sudah dengar di mana dia sebelumnya bekerja? Klub malam!"

"Bukannya masih ada Gisella? Apa Bapak Jeffrey ingin menggantikannya?"

"Aku sama sekali tidak mendengar ada lowongan asisten. Ini benar-benar ganjil."

Gosip. Pembicaraan seputar orang lain memang selalu menarik. Semakin memancing penasaran, makin seru untuk dibahas. Bisik-bisik dari para karyawan makin keras saat Raline berjalan menuju ruangan Jeffrey bersama dengan Gisella. Mereka semua menelisik penampilan Raline dari atas ke bawah. Sibuk mencari tahu tentang hubungan si wanita berambut perak dengan bos besar.

Raline terlalu sibuk mengagumi perusahaan tempatnya menginjakkan kaki. Sehingga sama sekali tidak memperhatikan tatapan sinis dan penuh tanya dari para staf.

Gedung empat lantai yang berkonsep futuristik. Lantai dasar mengombinasikan warna hitam dan putih, hingga menciptakan kesan maskulin yang kuat. Arsitekturnya berbentuk melengkung dan nyentrik. Seolah-olah tidak memiliki rangka geometris. Sementara pada bagian depan, kaca jendela berukuran lebar hingga sinar matahari bebas masuk ke dalam.

Lift membawa Raline dan Gisella naik ke lantai empat, tepat di mana ruangan sang CEO berada. Tidak sepatah kata pun terucap dari bibir Raline mau pun Gisella. Raline merasa bingung untuk memulai obrolan, sementara Gisella terlalu angkuh berbicara dengan wanita yang ia anggap rendahan.

Sesekali, Gisella melirik ke arah Raline. Wanita di sebelahnya itu mengenakan pakaian branded dan tas mahal. Entah dari mana ia mendapatkan barang-barang mewah dari hasil gaji dancer klub malam. Netra Gisella terus menelisik Raline dari atas ke bawah. Mengamati kaki dan tangan yang kecil bak ranting. Namun meski langsing, bagian tubuh Raline menonjol di area-area tertentu --- dada dan bokong. Untuk ukuran wanita Asia, hidung Raline juga tergolong mancung. Sudah pasti tarik benang dan filler. Cih.

Begitu pintu lift terbuka, Gisella berjalan mendahului tanpa menunggu. Mimik mukanya ditekuk dan minus keramahan. Beberapa pasang mata mengintip ke arah Raline. Sebagian mempertanyakan apa kelebihan wanita berambut ash blonde itu. Sebagian lagi (staf lelaki) jelalatan menilai figur Raline yang cukup memesona.

Toktoktok. Gisella mengetuk pintu kaca. Pada bagian depan terpasang papan nama --- JEFFREY DAUD P. - FOUNDER CEO.

"Masuk."

Jantung Raline berdegup kencang. Ia sudah sering bertemu Jeffrey, bercinta malahan. Tetapi baru kali ini menemui lelaki itu dalam kondisi berbeda. Gisella kemudian membuka pintu dan masuk ke dalam.

"Raline Lara sudah datang, Pak," kata Gisella.

Jeffrey menghentikan kesibukan dan menyorot tajam. Seketika napas Raline seolah terhenti. Aura lelaki itu semakin kuat dan mengintimidasi. Karismatik nan berwibawa dengan setelan jas berwarna abu-abu tua.

"Thank you, Gisella." Jeffrey mengangguk.

Gisella lalu melenggang keluar tanpa bicara dan meninggalkan ruangan si bos. Kini hanya tinggal Jeffrey dan Raline berdua saja. Raline menelan saliva. Aroma mint yang menguar di udara tak mampu melenyapkan perasaan grogi yang membumbung.

Jeffrey bangun dari duduk. Ia berjalan menghampiri Raline yang tampak tegang. Persis seperti saat mereka pertama kali jumpa. Lelaki itu mengulum senyum tipis. Raline cocok memakai pakaian yang ia belikan. Hourglass skirt itu jelas menampilkan lekuk pinggang Raline secara sempurna.

"Silakan duduk." Jeffrey mempersilakan Raline duduk pada sofa panjang yang terletak di tengah ruang.

Raline gelagapan salah tingkah. "Te-terima kasih." Cara Jeffrey yang bicara formal padanya makin membuat berdebar.

Selepas Raline menempelkan bokongnya, Jeffrey menyilangkan tangan di dada dan bersandar pada arm sofa.

"Kamu tahu the MAXIMAL ini apa?" tanya Jeffrey.

"Perusahaan ritel fesyen, Je ... ehm, Pak," jawab Raline gugup.

"Kamu tahu di mana kami memproduksi produk kami?" tanya Jeffrey lagi.

Raline terdiam sesaat. "Bekerja sama dengan pabrik tekstil? Setahuku, eh, setahu saya, Pak Jeffrey adalah anak dari Anwar Bahadir, pemilik salah satu perusahaan tekstil besar di Indonesia. Saya pikir, mungkin, Bapak bekerjasama dengan PT Bahadir Sejahtera untuk memproduksi produk the MAXIMAL."

"Mungkin?" pancing Jeffrey. "Jadi kamu tidak yakin dengan jawabanmu?"

Raline tertunduk. "Ya ... soal itu, saya ..."

"Raline Lara, saya tidak menyukai jawaban yang berdasar tebakan. Jika ingin berkecimpung dalam industri ini, kamu harus tahu betul medannya," tegas Jeffrey.

"Baik, Pak," ucap Raline.

"The MAXIMAL tidak bergantung pada PT Bahadir Sejahtera atau PT mana pun dalam memproduksi barang. Kami memasok sendiri bahan mentahnya. Lalu, tim desainer akan membuat desain atau sketsa rancangan garmen untuk diproduksi oleh pabrik," terang Jeffrey.

Raline terkesima. "Pabrik milikmu sendiri, Jeff?"

Jeffrey bergeming sambil memandang Raline dengan sorot mata dalam. Mereka berdua saling menatap cukup lama.

"Pak Jeffrey, maksud saya!" koreksi Raline.

Sebuah tarikan melengkung tercipta dari bibir Jeffrey yang tipis. Ia pun mengangguk.

"Nanti siang ikut denganku ke pabrik. Sekarang temui Gisella untuk mengenal seluk beluk kantor ini," ujar Jeffrey.

Raline bergegas bangkit. "Baik, Pak," ucapnya. "Kalau begitu saya permisi."

Ketika Raline hendak membuka pintu, Jeffrey kembali memanggilnya.

"Raline."

Raline pun menengok. Ia menanti perkataan yang akan keluar dari mulut Jeffrey.

"Saat di kantor, aku berharap kamu dan aku bisa bersikap profesional."

"Baik, Pak." Raline tersenyum.

***

Raline duduk terdiam pada dudukan bergaya retro tidak jauh dari meja Gisella. Sedari tadi, sekretaris Jeffrey itu menyambutnya dingin. Merasa jengah berpaku tangan, Raline pun menghampiri Gisella.

"Permisi, Mbak," sapa Raline hangat.

Gisella mengarahkan bola mata pada Raline.

Merasa tegurannya tak berbalas, Raline kembali memanggil Gisella. "Mbak?"

"Kenapa?" sahut Gisella ketus. Jemarinya sibuk mengetik pada keyboard laptop.

"Bapak Jeffrey tadi bilang jika aku bisa bertanya soal seluk beluk dan struktur perusahaan pada Mbak Gisella," ujar Raline.

Gisella membuang muka. "Aku sibuk."

"Kalau begitu, apa yang bisa kubantu, Mbak?" tawar Raline.

"Tidak ada. Ini pekerjaanku. Kamu sendiri di sini melamar untuk apa? Jangan bilang kalau kamu pun tidak tahu tujuanmu berada di sini," sergah Gisella.

Raline terhenyak. Sudah jelas Gisella kurang menyukainya. "I-itu ..." gumam Raline.

"Asal kamu tahu, ya, Mbak Raline Lara, semua orang di sini mendapatkan posisi mereka dengan bersusah payah. Semua bekerja sesuai kemampuan dan kami di sini mempertahankan kinerja sebaik mungkin. Itu karena Pak Jeffrey adalah pemimpin yang tegas dan disiplin. Jadi, jangan harap aku akan bermanis-manis pada seseorang sepertimu yang masuk kemari tanpa usaha."

Raline bergeming. Ia tak mampu membalas perkataan Gisella yang setajam belati.

Gisella kembali melanjutkan, "Aku dan Pak Jeffrey sudah bersama sejak empat tahun lalu. Aku turut menyaksikan perjuangannya membangun perusahaan hingga seperti sekarang. Karena itulah, dia selalu mengedepankan pengalaman dan kualifikasi tinggi saat mencari karyawan. Entah bagaimana caramu mengubah pandangan beliau."

"Aku tahu Jeffrey adalah lelaki yang tegas dan ketat soal pekerjaannya. Dia pun tidak mungkin memasukkanku ke mari jika tak melihat potensi yang ada padaku. Jeffrey bukan seseorang yang sembrono," tukas Raline.

Sejak dulu, dunia kerja selalu melibatkan persaingan dan intrik. Apapun jenisnya. Raline sudah terbiasa menghadapi penindasan dari rekan atau senior. Tidak perlu jauh-jauh, bapak tirinya pun menindas Raline hingga tetes darah penghabisan. Sedikit gertakan dari Gisella tak akan membuat Raline gentar.

Gisella tiada artinya ketimbang culasnya para SPG yang dulu seprofesi dengannya. Belum lagi makian dan saling serang adalah makanan pokok saat menjadi seorang dancer di klub malam. Raline sudah kebal. Wajar Gisella tak menyukainya. Ia memang masuk seenaknya ke dalam the MAXIMAL. Masih teringat di benak Raline ketika pada masa lampau, ia ditolak sebagai pramuniaga store the MAXIMAL. Sistem seleksi perusahaan itu memang ketat. Kini semua berubah setelah ia mengenal Jeffrey.

Ada harga yang harus Raline bayar karena telah menerima keistimewaan. Meski itu adalah dimusuhi oleh seluruh karyawan kantor.

Gisella mendecih. Tak sangka si wanita norak bakal melawan balik perkataannya. Terlebih, dengan santai Raline menyebut nama Jeffrey tanpa embel-embel 'pak'. Seolah mereka berdua punya hubungan istimewa.

"Buat dirimu berguna. Pergi ke pantri di lantai dua untuk membuat kopi untuk Pak Jeffrey. Sekalian mampir ke divisi personalia untuk membahas kontrak kerja," titah Gisella kasar.

Raline mengangguk. "Baik," ucapnya. Ia pun melengos menuju lift untuk mematuhi perintah Gisella.

***

Raline menengok kiri dan kanan, bingung mencari di mana letak pantri. Ada baiknya ia membuat secangkir kopi atau teh untuk dirinya sebelum menghadap bagian personalia. Setelah serangan dari Gisella, tidak menutup kemungkinan staf lain akan berlaku serupa. Raline butuh asupan kafein untuk memperkuat mental dan mood-nya.

Wanita berambut perak itu bernapas lega ketika menemukan sebuah ruangan bersekat kaca yang di dalamnya terdapat meja counter dan beberapa kursi. Itu pasti pantri. Raline semakin yakin saat melihat mesin kopi dan kitchen set. Ia kemudian bergegas membuka kabinet untuk mencari cangkir atau gelas untuk digunakan. Setelah itu, Raline memeriksa rak dan lemari untuk mencari kopi yang ia butuhkan. Namun, sayang, ia tak menemukannya.

Wanita itu bertambah gelisah ketika memperhatikan coffee machine yang asing baginya. Raline pun memanjangkan leher untuk mencari bantuan, tetapi tak ada satu pun orang berkeliaran. Pasti mereka semua sedang sibuk bekerja di ruangan masing-masing. Tidak seperti dirinya yang kelayapan tanpa arah.

"Aduh ..." desah Raline. Ia bisa membayangkan tatapan mencemooh yang akan ditampilkan oleh Gisella saat nanti ia kembali tanpa membawa kopi. Dasar udik! Pakai mesin kopi saja tidak bisa! Raline memaki diri.

Suara dehaman mendadak terdengar dari belakang. Akibat hal itu, Raline sontak tersentak dan menengok.

Seorang lelaki sudah berdiri di belakang Raline. Ia mengenakan kemeja rapi yang lengannya dilipat sebagian. Rambut lelaki itu sedikit ikal.

"Cari apa?" tegurnya.

"Saya nggak bisa memakai mesin kopi ini," aku Raline.

Lelaki tadi tersungging. "Oh," gumamnya menghampiri. Ia lantas membuka kabinet paling ujung dan mengambil toples kaca berisi biji kopi. "Di-grinder dulu biji kopinya, Mbak," terangnya.

"Hmm, begitu." Raline memperhatikan dengan teliti.

"Kamu Ralin anak baru bawaannya Pak Jeffrey?" tanya si lelaki tadi sambil menuang beberapa takar beans ke dalam mesin penggiling.

Raline mengangguk. "Iya," sahutnya.

"Kenalin, ya, aku Angga. Bagian IT." Ia menjulurkan tangan pada Raline.

Raline membalas melempar senyum. Ia menerima jabatan tangan Angga.

"Aku Raline, Mas Angga. Raline Lara."

Tarikan melengkung pada bibir plum Raline sontak membuat Angga terkagum. Wanita di hadapannya ini memancarkan sex appeal yang begitu kuat.

"Mas Angga tahu di mana ruang personalia?" tanya Raline.

Angga mengangguk cepat. "Abis ngopi kuantarin kamu ke sana, ya."

"Nggak ngerepotin?" tanya Raline lagi.

Angga tersenyum penuh arti. "Nggaklah."


Hola, Darls!

Makasi sudah setia nungguin Raline-Jeffrey.

Cerita ini bisa kalian baca utuh tanpa potongan di Aplikasi BESTORY. Silakan pilih bab mana yang mau dibeli. Cukup 2000 rupiah aja!









Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top