FORTY-SEVEN
Rasa kantuk yang semula bertahan mendadak lenyap.
Jantung Raline berdegup sekencang kereta. Keringat dingin menyeruak dari balik blouse putih polos wanita itu. Serentet rasa bersalah berkecamuk --- semalam ia sama sekali tak menghubungi Sintia. Ia terlalu sibuk memikirkan urusan pekerjaan di hari pertama. Dan, satu lagi. Terlalu sibuk bercinta!
"Sintia!" Raline menempelkan ponsel pada telinga seraya berbisik sendiri.
Nomor Sintia tidak aktif. Raline makin panik dan berlari keluar rumah. Berjalan bak kesetanan menuju rumah Evi, tetangganya. Sintia biasa bermain di sana. Mungkin saja bocah itu menginap di rumah Evi karena Raline tidak pulang.
"Tante ..." panggil Raline mengetuk-ketuk kunci pagar gerbang tetangganya.
Matahari belum menyingsing. Udara pagi juga masih menusuk tulang. Ini bukan jam bertamu yang masuk akal, tetapi Raline terlalu panik hingga hilang logika.
"Tante Evi!" seruan Raline semakin kencang. "Permisi!"
Ia gigih mengetuk gembok. Hampir lima menit wanita itu bertahan di depan sampai pada akhirnya seseorang membuka pintu rumah. Wanita berdaster merah dengan mata sembap dan rambut awut-awutan.
"Ono opo, to, Line?" tanya Evi dengan suara serak.
(*Ada apa, sih, Line?)
"Sintia tidur sini, Te?" Raline memburu dari depan pagar.
Evi menggeleng. "Ora. Wingi bapakmu muleh. Ketoane Sintia dijak metu," terangnya.
(*Tidak. Kemarin bapakmu pulang. Kayaknya Sintia diajak keluar)
Persendian Raline kehilangan kekuatan. Tanpa mengucap terima kasih pada Evi, wanita berambut perak itu berlalu begitu saja. Ia pun terburu-buru menghubungi nomor Bayu.
Puluhan nada sambung yang tak bersambut membuat Raline frustrasi. Bayu tidak pernah mengajak pergi Sintia. Ini merupakan hal yang sangat ganjil. Ke mana bapaknya pergi mengajak sang adik? Raline kian panik. Air matanya meleleh.
"Banyak bos besar yang suka dengan anak-anak seusia Sintia."
Suara Bayu menggaung pada telinga Raline. Tangis Raline mengencang. Ia pantang menyerah menghubungi Bayu. Meski tak diangkat sekali pun.
"Ya Tuhan ... Sintia ... Sintia ..." isak Raline seorang diri.
Ia begitu bingung dan kalut. Raline tak tahu apa yang harus dilakukan. Tega sekali Bayu membawa Sintia pergi. Bukankah mereka punya perjanjian.
"Bangsat!" Raline memegang kepala seraya berjalan mondar-mandir. Persis seperti orang gila. Wajahnya memerah dan penuh tangis.
Bayu memberi Raline siksaan menyakitkan karena wanita itu bahkan tak bisa melakukan apa pun. Ia dipaksa menanti tanpa kepastian. Jika pun harus pergi mencari Sintia, ke mana?
"Bangsat!!!" teriakan Raline makin keras. Ia meremas helai rambutnya sambil duduk lemas di kursi. Sementara tangisnya masih bertahan karena sakit hati.
Barangkali ada puluhan panggilan dari Raline kepada Bayu. Bapak tirinya memilih tak mengangkat. Ada ratusan pesan juga yang Raline layangkan untuk Bayu. Ya --- tak jua berbalas atau terbaca. Lelah berpaku tangan --- Raline pun berjalan ke depan gang. Ia berniat mencari informasi pada warung kopi tempat Bayu biasa cangkruk.
(*nongkrong)
"Mas!" tegur Raline pada penjaga warkop.
Seorang lelaki yang sedang bersiap menutup warung mendadak terjingkat. Ia mengusap-usap dadanya. "Kuaget aku, Line! Tak kiro penampakan!"
"Mas liat bapak?" tanya Raline.
Lelaki itu menggeleng. "Lho, Mas Bayu, 'kan, wes jarang cangkruk ndek kene. Saiki duek'e akeh dadi senengane ngafe."
(*Lho, Mas Bayu, 'kan, sudah jarang nongkrong di sini. Sekarang uangnya banyak jadi sukanya ke kafe)
Raline berdecak.
"Ono opo, to, Line?" tanya lelaki itu.
"Nggak apa-apa, Mas. Ya sudah." Raline bersiap pergi.
"Eh, Line," panggil si lelaki. "Biasane bapakmu suka karaokean di Embong Malang, to? Ditemani LC cantik. Mungkin di situ."
"Oiya!" pekik Raline.
Lelaki itu menggaruk kepala. "Tapi, paling sudah pulang. Jam tiga subuh karaokeannya, 'kan sudah tutup. Ini sudah mau jam setengah enam."
"Tidak apa-apa, Mas. Aku akan coba ke sana saja," kata Raline. Sejurus kemudian, ia menelan ludah kasar. Dahi Raline berkernyit. Mau ke sana naik apa? Sejurus kemudian, Raline melirik motor si penjaga warung yang terparkir rapi di sebelah. "Mas ..." panggilnya.
"Opo?"
"Aku pinjam motormu, ya?" pinta Raline mengiba.
***
Sia-sia berkendara pulang - pergi hampir satu jam ke Jalan Embong Malang. Tempat karaoke penyedia ladies esscort (LC) itu memang sudah tutup. Tak ada security mau pun satu orang pun untuk Raline ajak bicara tentang Bayu.
Setelah mengembalikan motor si penjaga warung. Raline berjalan gontai kembali ke rumah. Matahari sudah tinggi. Ia bahkan lupa punya kewajiban baru sebagai seorang pegawai kantoran. Air mata Raline tak pernah surut membasahi pipi. Perasaannya remuk dan hancur tak karuan. Namun, saat tiba di depan gang, ia terbelalak. Mobil butut Bayu sudah terpajang tidak jauh dari jalan masuk.
Raline berlari menuju rumah. Dengan beringas ia menggebrak pintu rumah untuk mengkonfrontasi bapak tirinya.
"Pak!" bentak Raline.
Bayu yang sedang duduk santai dengan Sintia di meja makan segera menengok. Ekspresi muka lelaki bertato itu santai tanpa dosa.
"Bapak bawa ke mana Sintia semalaman?!" Raline menghampiri Sintia dan mencengkeram lengan adiknya. "Sin, kamu kenapa nggak angkat teleponnya Mbak? Kenapa nggak ngabari kalau mau pergi? Bapak bawa kamu ke mana?!" cecarnya.
Raut muka Sintia ketus. "Ih, apa, sih, Mbak? Orang aku perginya sama Bapak kok. Kenapa Mbak yang heboh?"
Bayu meringis ke arah Raline yang berubah nanar. Cara Sintia bicara padanya sungguh berbeda. Apa yang telah Bayu lakukan hingga sanggup memperdaya Sintia yang polos.
"Sin, Mbak khawatir sama kamu. Mbak takut kamu kenapa-kenapa," ucap Raline parau.
Sintia hanya melirik sepintas. Ia bangkit dari duduk dan berjalan menuju kamar. "Khawatir kenapa? Orang aku, 'kan perginya sama bapak. Bukan sama orang lain!" dengkusnya.
"Sin ...!" Raline mengikuti sang adik dengan napas memburu. "Paling tidak bilang sama Mbak kalau mau ke mana-mana." Sintia tidak tahu saja kalau Bayu adalah seorang iblis. Ia bahkan tidak tahu kalau sang bapak merupakan muncikari yang berniat menjualnya.
"Kenapa aku harus bilang? Mbak saja mau ke mana-mana nggak bilang sama aku." Sintia merebahkan pantat di dipan. Dari lagaknya, bocah itu bersiap tidur.
Bibir Raline bergetar. Perasaan bersalah kembali mengutak-atik sanubari. "Jadi kamu marah sama Mbak karena ini? Maafin, Mbak. Mbak kemarin kerja, Sin."
"Kerja apa yang sampai nggak pulang? Mbak bilang Mbak itu asisten. Apa asisten kerjanya sampai nggak pulang? Mbak bahkan nggak ngabarin aku. Untung ada bapak pulang. Bapak baik ngajak aku jalan-jalan ke Batu Night Spectakular. Kita terus makan bakso dan jagung bakar di paralayang." Sintia menempelkan kepala pada bantal seraya menarik selimut.
Sedikit kecemasan Raline terangkat akibat mendengar penuturan Sintia. "Ja-jadi bapak ajak kamu ke Batu?" selidiknya.
"Iya," jawab Sintia. "Aku heran sama Mbak yang selalu saja menjauhkanku dari bapak. Padahal bapak itu orang tua kita. Bapak baik sama Sintia. Mbak aja yang suka ngelawan, makanya dimarahin sama bapak."
"Sin ..." sanggah Raline terbata. "Jangan lagi pergi tanpa memberitahu Mbak. Okay?"
Sintia berbalik badan memunggungi Raline. "Biar saja. Toh aku keluar sama bapak, bukan sama yang lain!"
Raline terhenyak. Bayu berhasil mencuci otak adiknya dalam waktu satu malam. Raline sangsi apa yang dilakukan Bayu kepada Sintia itu tulus.
"Terus ini kamu nggak sekolah?" tanya Raline.
"Bapak bilang boleh bolos. Aku ngantuk!" sahut Sintia ketus.
Raline mendesah berat. Ia pun bergegas menyusul Bayu. Wanita itu siap bertengkar karena bapak tirinya berhasil membuatnya sakit jantung.
"Pak!" sentak Raline dengan suara membisik. "Kenapa Bapak tidak angkat teleponku? Harusnya Bapak hubungi aku sebelum ajak Sintia pergi. Lagian gara-gara ini, dia jadi bolos sekolah."
Bayu mendecak. "Sintia itu anakku. Ngapain aku harus minta izin segala sama kamu."
"Aku cemas memikirkan di mana Sintia? Aku ke sana ke mari cari dia!" sergah Raline.
Seringai tipis terulas pada bibir Bayu. "Kenapa? Takut dia tak jual?"
"Bapak!" Raline melotot tajam.
Bayu pun berdiri dari duduk dan menghadang Raline dengan tatapan buas.
"Kukasih tahu, ya, Line. Aku bisa melakukan apa pun kepada Sintia. Dia anakku. Darah dagingku! Jadi, jangan berlagak songong kamu sekarang," ancam Bayu.
"Ma-maksud Bapak?"
"Kamu bertindak semaumu, Line. Mentang-mentang lelaki kaya menaruh hati padamu. Kamu lupa? Kalau dia hanya menganggapmu itu pemuas nafsu yang bisa dibuang kapan saja ia bosan. Kamu bahkan tak meminta izinku dulu sebelum mengambil pekerjaan dari si Jeffrey itu. Kamu sudah tidak menganggapku, Line!" bentak Bayu. Mata lelaki itu berkilat penuh emosi.
Raline membisu dengan badan gemetaran.
Bayu kembali melanjutkan, "Kamu lihat sendiri sekarang Sintia lebih menurut sama siapa. Ini adalah pengingat buatmu kalau jangan sekali-kali meremehkan aku! Aku bisa melakukan apa pun, APA PUN, pada Sintia. Paham kamu?"
"Paham, Pak. Maafin aku. Kumohon, jangan melakukan apapun kepada Sintia," ucap Raline penuh ketakutan.
Bayu mendengkus. Ia kemudian melengos pergi masuk ke dalam kamar. Membanting pintu sekeras-kerasnya untuk menunjukkan arogansi.
***
Seluruh tim perancang busana kompak menengok ke barn door ketika Raline datang. Ia sudah terlambat satu jam. Berbeda dari penampilan kemarin, Raline hari ini sangat sederhana. Rambut terikat tinggi berantakan, kemeja kotak tak bermerek, dan straight jeans biru muda.
"Maaf saya terlambat," kata Raline memaksakan senyum.
Marlena yang semula sibuk memperhatikan bahan kain segera membuang muka.
"Wah ... wah ... Ibu Bos sudah datang rupanya," sindir Marlena.
Raline menghampiri Marlena untuk meminta maaf. "Bu, maaf ... tadi saya ..."
Belum sempat menyelesaikan kalimat, Marlena malah melengos.
"Eh, you!" Marlena menunjuk salah seorang staf berbadan besar dengan berewok tebal di wajah. "Lady boy! Segera kasih design teknisnya ke pattern maker. Aku mau keluar merokok dulu." Ia sama sekali tidak menghiraukan keberadaan Raline.
Lelaki yang tadi dipanggil 'lady boy' mengangguk dengan muka ditekuk. "Ya, Bu," sahutnya.
Marlena kemudian menggeser pintu dan lenyap begitu saja.
Raline menghela napas. Ia menyapu pandangan ke seluruh sudut ruang dengan badan dan hati remuk. Tanpa ia duga, seseorang menepuk bahunya. Wanita cantik keturunan Tionghoa dengan penampilan stylist. Mini pants yang dipadankan boots setinggi lutut.
"Hai," sapanya. "Aku Agnes, asistennya Bu Lena. Kita kemarin belum sempat kenalan, ya, Raline."
Raline membungkuk dan menerima jabatan tangan Agnes. "I-iya, Mbak ... eh ... Ce Agnes," katanya.
"Ih, panggil aja Agnes. Kita disini nggak ada yang manggil dikasih embel-embel 'mas, mbak, ce'." Agnes lalu membisik, "Kecuali Bu Lena, ya. Jangan sampai kamu panggil dia nggak pakai embel-embel 'bu' ..."
"Cari mati itu namanya!" celetuk lelaki bertubuh besar yang dipanggil 'lady boy' oleh Marlena. Ia berjalan menghampiri Agnes dan Raline. "Hei, Line. Kenalin, aku Adam."
Raline mendongakkan kepala untuk menatap ke arah mata Adam. Tubuh lelaki itu sangat tinggi dan kokoh. Ia penasaran kenapa Marlena menyebut lelaki semaskulin ini Lady Boy.
"Pagi, Mas ... eh ... Adam." Raline salah tingkah.
"Adam? Nggak salah?" tegur lelaki berkawat gigi dengan penampilan mulus bak idol KPop. "Bukan Adam, tapi Hawa, kalik!" kikiknya.
Adam menepis tangan si lelaki berkawat gigi. "Eh, diem, ya, Anak Setan!" Seketika gaya kelelakiannya berganti lentur dan gemulai. "Lagian Bu Lena, ya. Enak aja manggil 'lady boy'! Akika, 'kan, bukan lady boy!"
"Terus apa?"
"Tulang lunak!" sahut Adam kemayu.
Senyum pada bibir Raline muncul tipis. Perilaku dan tampilan Adam sangat kontras.
"Lupa kenalan! Aku Derby, textile designer," terang si lelaki berkawat gigi. Aroma parfumnya menguar semerbak memenuhi ruang.
"Raline," sambut Raline menjabat tangan Derby.
"Nah yang dibelakang sana lagi sibuk di depat kertas dan tablet namanya Jessy, Anna, dan Maria," tunjuk Agnes. "Kamu bakal kerja sama mereka bikin pattern, nanti, Line."
"Hai Raline!" Tiga orang wanita berbusana modis menyapa Raline dengan ramah.
Raline melempar tawa. Hatinya yang semula suntuk karena pagi-pagi sudah mendapat shock therapy dari Bayu dan Sintia mendadak cerah. Teman-teman setimnya tampak baik dan ramah. Kecuali Marlena.
"Eh, Dam. Buruan bikin design-nya. Mau diomelin Bu Lena?" tegur Agnes.
Adam berkecimus. "Ih, akika mau kenalan sama Raline sekalian chitchat dulu, kaleus. Lagian itu Bu Lena hima layang."
"Hima layang apaan?" tanya Derby berkernyit.
Adam menowel dagu Adam. "Hima layang itu Hilang, Sayang!" terangnya.
Derby spontan mengusap-usap dagunya. Ia mencak-mencak emosi. "Sialan! Nggak usah pegang-pegang ya, Bencong!" makinya.
"Alah. Sekarang aja jijay markijay, nanti kalau udah rasain akika kawilarang, pasti bakal menggelinjang endaaang!"
(Kawilarang : kimpoi)
"Cuih!" Derby bersungut-sungut. "Amit-amit. Aku masih normal, Cong!"
"Sekarang normal. Kalau udah kena pedang eyke, emh! Lancar tuh per-b-a-b-an!" balas Adam centil.
Raline dan Agnes kompak terkekeh. Agnes merangkul punggung Raline dan mengajaknya berjalan menuju meja belakang, tempat pattern maker bekerja. "Udah, ah, Line. Kerjaan nggak kelar-kelar kalau ladenin Adam dan Derby. Mending kamu buruan tunjukkin ke kita pola rancanganmu."
"Iya," sahut Raline. "Sebenarnya aku sudah ada design yang disetujui oleh Pak Jeffrey."
"Oh ya? Mana?" tanya Agnes. Ia lalu memanjangkan leher untuk memanggil Adam dan Derby. "Eh! Sini deh, Raline mau bahas rancangannya."
Adam dan Derby berhenti bergumul dan menghampiri Raline serta Agnes. Mereka semua mengelilingi Raline sembari menelisik sketsa buatan Raline yang terpampang pada tablet. Perangkat elektronik itu adalah milik Jeffrey. Raline mana punya uang buat membeli barang mahal seperti itu.
Derby selaku textile designer terlihat fokus. Tugasnya memang memikirkan bahan kain apa yang cocok untuk tiap-tiap pakaian. Apa lagi the MAXIMAL memproduksi sendiri bahan kain mereka.
"Kurasa ini cocok pakai warna hitam. Pakaian ini nanti bakal tersedia dalam berbagai ukuran termasuk bigsize, 'kan?" tanya Derby.
Raline mengangguk.
Derby kembali memusatkan fokus pada sketsa. "Bagian atas kita kasih black, untuk bawah ini gimana kalau floral?"
Raline cekatan menggoreskan stylus pen pada layar. "Kalau nggak sepenuhnya hitam, gimana? Kita buat vertikal stripes?"
"Looking good, sih," celetuk Agnes.
"Kalau gitu nggak bisa kita kasih floral untuk bawahnya. Bakal tabrakan." Derby menegakkan badan sembari melingkarkan tangan di dada.
Adam ikut mengimbuhi. "Bagian perut harus dikasih lipit, nggak?"
"Menurutmu gimana?" Agnes balik tanya.
Saat mereka sedang berdiskusi tiba-tiba barndoor tergeser. Mereka pikir itu mungkin Marlena, ternyata bukan. Angga berdiri mengulas senyum. Pada tangannya terdapat paperbag besar berlambang putri duyung hijau.
Adam membisik pada Derby. "Ngapain tuh anak IT ke sindang?" Ia lalu tersenyum lebar dan mendekati Angga. "Eh, Mas Ganteng, ada apose?"
Angga menyengir. "Bawain kalian kopi. Biar semangat kerjanya, nggak ngantuk." Ia melirik ke arah Raline. Sebenarnya 'kalian' lebih tertuju untuk si rambut perak yang menawan hatinya.
"Ulala, pagi-pagi minangan kopi! Bisa beranak dalam kubur eyke." Adam menerima pemberian Angga dengan semringah.
(Minangan : minum. Beranak dalam kubur : berak)
Derby menepuk pundak Adam. "Emang kamu, perut udik!" Perhatiannya beralih pada Angga. "Thank you, ya, Bro!"
"Sama-sama." Mata Angga masih terpaku ke arah Raline. "Ya udah, semangat kerjanya." Ia pun melangkah mundur keluar. Menahan kecewa karena berharap bisa mengobrol lama dengan pujaan hati.
"Makaci, lho!" Adam melambaikan tangan. Setelah kepergian Angga, lelaki berbadan macho itu tersenyum jahil kepada Raline. "Udah pasti alasan biar ketemu Raline."
Raline terkesiap. "Kok aku?"
"Ya iya. Tumben banget Angga ke sindang. Bawa kopi mahal pula!" ujar Adam. "Hati-hati Pak Bos merekah nanti!"
"Merekah?" Raline mengerutkan dahi.
"Marah, Nek!" jelas Adam. "Duh, enak banget si Raline, dua cowok ganteng tergila-gila sama kamu."
"Hush. Udah, deh, Dam. Kita lanjut kerja," tegur Agnes.
Raline pun menelan saliva. Masa Angga menyukainya? Pasti Adam salah. Yang jelas, sudah tidak ada tempat bagi lelaki lain selain Jeffrey dalam relung hati Raline. Hanya lelaki itulah pemilik jiwa dan raganya. Titik.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top