FORTY-FOUR

"Udah selesai, Line?"

Raline sedikit terkejut begitu keluar dari ruangan personalia karena melihat Angga menunggunya.

"Lho, Mas Angga? Kok masih di sini?" tanya Raline.

Angga menghampiri Raline sambil mengulas senyum. "Kerjaan lagi nyantai. Jadi aku nungguin kamu, kali aja kamu pengen kutemenin keliling kantor."

"Oh ..." gumam Raline. "Aku harus buat kopi untuk Mbak Gisella dan Pak Jeffrey, Mas."

"Kok kamu? Kan ada OB," sahut Angga.

"Mbak Gisella minta tolong aku yang buat. Lagian, aku juga nggak ngapa-ngapain," terang Raline berjalan menuju pantri.

Angga mengekori langkah Raline. Ia tak melepaskan pandangan dari sosok anak baru tersebut.

"Ya udah. Aku bantuin bikin kopinya. Kamu masih kagok pakai coffee machine-nya, 'kan?"

"Beneran Mas Angga nggak repot?" selidik Raline segan.

Angga tersungging. "Nggak, dong."

Sesampainya di pantri, Angga bergegas menyiapkan dua mug. Ia juga sigap menyalakan mesin kopi untuk membantu Raline.

"Tumben Pak Jeffrey minta dibuatin kopi dari pantri. Biasanya beliau suruh pramu kantor beli di Starbucks samping," ujar Angga.

"Masa, sih?" Raline teringat saat ia menyediakan kopi untuk Jeffrey kala mereka sarapan di vila. Lelaki itu meneguk habis minuman buatan Raline.

Angga mengangguk. "Iya." Ia meletakkan bubuk kopi ke dalam kertas filter. "Mau pakai susu?"

"Ngg ..." Raline berpikir sejenak. "Nggak usah, deh, Mas."

Angga menunggu cairan espresso keluar. Netranya lagi-lagi mencuri pandang pada Raline.

"Betewe, kamu kenal Pak Jeffrey di mana?"

"Kenal di ..." Mana mungkin Raline menjawab jujur. Ia bakal merusak reputasi Jeffrey kalau melakukan hal itu. "Aku kenalan kerabat jauhnya," dusta Raline.

"Hmm ..." gumam Angga. "Sebelumnya kerja di mana?"

"Aku dancer di klub malam," jawab Raline.

"Dancer?" Angga menelan ludah kasar. Pikiran lelaki itu otomatis melanglang buana. Memikirkan betapa seksinya ketika Raline saat sedang menari. Ia bahkan tidak sadar cairan espresso sudah memenuhi pot coffee.

Saat sedang berbincang, Raline dan Angga mendadak terkejut saat mendengar suara dehaman keras dari pintu masuk pantri. Jeffrey sudah berdiri dan mengarah tajam ke arah submisifnya. Netra pekat dan kelam lelaki beraroma woody itu bak anak panah yang siap melesat kapan saja.

"Pak Jeffrey," sapa Angga penuh hormat.

Jeffrey tak membalas Angga. Tangannya menyilang di dada dan mengintimidasi Raline. "Sedang apa?"

"Mbak Gisella memintaku membuat kopi untuk Bapak," terang Raline.

Jeffrey mengernyih. "Berjam-jam hanya untuk bikin kopi?" Ia melirik Angga sepintas.

"Tadi saya juga mampir ke bagian personalia untuk tanda tangan surat kontrak, Pak," kata Raline.

"Terus kamu di sini ngapain, Angga?" Jeffrey beralih mengintrogasi si staf IT.

Angga meringis. "Bantuin Raline pakai mesin kopi, Pak."

"Jadi kamu sekarang asistennya Raline?"

Angga seketika salah tingkah, begitu pula Raline.

Jeffrey kembali melanjutkan, "Kerjaanmu sendiri gimana, Ngga? Kalau memang merasa kurang kerjaan, aku bisa menambah desk job bagian IT."

"Maaf, Pak Jeffrey. Kalau begitu saya permisi kembali ke ruangan dulu." Mimik muka Angga pahit. Ia lalu menengok sekejap seraya melempar senyum untuk Raline.

Jeffrey mendengkus ketika memergoki Raline membalas senyuman Angga.

"Sudah kubilang kalau siang kamu bakal ikut aku kunjungan ke pabrik. Malah asyik ngobrol di pantri sama Angga," decih Jeffrey.

"Maaf, Pak. Aku dan Mas Angga enggak ngobrol. Dia memang membantuku menggunakan mesin kopi ini tadi," tutur Raline merasa bersalah.

Mas Angga?! Jeffrey makin gusar. Panggilan 'mas' memang umum digunakan, tetapi entah kenapa Jeffrey kesal saat Raline menyebut nama lelaki lain dari mulutnya.

"Sudahlah. Kita berangkat ke pabrik sekarang!" sungut Jeffrey.

"Kopinya gimana?" buru Raline.

Jeffrey mempercepat langkah. "Tinggal saja!"

***

Ma il mio mistero e chiuso in me,
Il nome mio nessun saprá!

No, no, sulla tua bocca lo diró
Quando la luce splenderá!

Jeffrey menyetel musik opera keras-keras. Sepanjang perjalanan ia tak banyak bicara. Sementara Raline duduk manis tepat di sebelahnya. Kuping Raline serasa tuli akibat volume kencang dalam mobil.

"Pak ..." seru Raline meninggikan intonasi demi menyaingi suara Lucianno Pavarotti.

Ed il mio bacio sciogliera il silenzio
Che ti fa mia!

Jeffrey justru semakin menambah volume musik. Ulah lelaki itu membuat Raline sakit telinga.

"Pak Jeffrey!" teriak Raline tidak putus asa. "Bapak!"

Jeffrey melotot. "Apa?" sahutnya.

"Terlalu keras, Pak." Raline mengecilkan tombol pada head unit. "Lagi pula ini lagu apa? Pikaro pikaro!" protesnya.

"Ini masterpiece! Nessun Dorma yang dibawakan Luciano Pavarotti." Jeffrey kembali mengeraskan volume.

Mata Raline terbelalak. Ia tidak tinggal diam lalu mengurangi volume musik.

"Aku mau bicara," ucap Raline.

"Bicara apa?" Jeffrey mempertahankan ekspresi dingin.

"Bapak suka mendengarkan lagu macam begini?" tanya Raline.

"Lumayan," jawab Jeffrey singkat.

"Kenapa?"

"Bisa membuatku tenang," terang Jeffrey.

Dahi Raline berkernyit. "Memangnya ada hal yang membuat Bapak tidak tenang?" selidiknya.

Ada. Kamu dan Angga. "Tidak ada. Biasa saja," elak Jeffrey.

"Ini bahasa apa?" Raline memasang telinga untuk mendengarkan dengan saksama.

Jeffrey mengembuskan napas untuk menetralisir bara di dada. Raline tak bersalah. Wanita itu bahkan tidak peka mengapa Jeffrey bad mood. "Italia."

"Apa artinya?" tanya Raline lagi.

"Kamu tadi ngobrol apa saja sama Angga?" Jeffrey memutar topik.

Alis Raline bertautan. "Bicara apa? Ya nggak bicara apa-apa. Dia cuma bantu pakai mesin kopi lalu mengantarkanku ke ruangan personalia."

"Kenapa tidak pergi dengan Gisella? Bukankah aku sudah menyuruhmu bertanya dengannya kalau ada apa-apa," sungut Jeffrey.

"Mbak Gisella sibuk." Raline menekuk muka.

"Tidak ada juga yang minta kamu membuat kopi," imbuh Jeffrey ketus.

Raline berdecak. "Bapak tidak suka aku ngobrol sama Mas Angga?"

"Aku tidak peduli soal itu!" Jeffrey bersilat lidah. Padahal memang iya. "Sebentar lagi kita sampai di pabrik."

"Iya." Raline menegakkan badan. Matanya menyapu pandangan ke depan. Mobil Jeffrey melewati gerbang besi yang di jaga beberapa orang security.

Jeffrey membuka kaca jendela, menyapa para petugas keamanan. Sementara mereka semua menyambut Jeffrey dengan penuh hormat.

Raline tertegun sejenak. Jeffrey benar-benar memikat jiwa raganya. Lelaki dominan di ranjang itu juga karismatik dan penuh aura wibawa di kantor. Seutas naluri serakah sebagai manusia biasa membuat Raline ingin memiliki Jeffrey. Seutuhnya. Berteriak pada dunia bahwa Jeffrey merupakan kepunyaannya. Memamerkan Jeffrey ke semua insan yang ia temui.

"Ayo turun," ucap Jeffrey membuyarkan lamunan Raline.

Raline melepas safety belt dan membuka pintu. Ia kemudian berlari menyusul langkah Jeffrey yang secepat angin. Tampak dua orang lelaki berbadan tegap menghampiri Jeffrey seraya mengulas senyum ramah.

"Raline, kenalkan ini Pak Sandi penanggung jawab di sini." Jeffrey mengarahkan perhatian pada lelaki bertubuh tegap dengan kaca mata pada wajahnya. "Lalu, ini Pak Yahya bagian gudang." Ia beralih menunjuk lelaki satunya yang sedikit tambun dan berkumis tebal.

Sandi dan Yahya bergantian menjabat tangan Raline. Setelah itu, mereka berdua mengikuti langkah Jeffrey seraya berbincang mengenai keadaan di lapangan. Raline memperhatikan interaksi ketiganya. Sesekali, Raline menelisik keadaan pabrik yang hiruk pikuk. Wanita itu tidak percaya bisa menginjakkan kaki pada tempat diproduksinya salah satu brand besar dari Indonesia.

"Kita langsung ke bagian sample. Saya mau lihat kualitasnya." Jeffrey mengarahkan Sandi dan Yahya.

Mereka berempat berjalan bersama menembus gedung pabrik. Bunyi mesin berat mendominasi ruangan terang dan luas itu. Raline tak henti berdecak kagum di dalam hati ketika melihat proses dyeing atau pewarnaan kain. Ia dan Jeffrey kemudian berpindah ke gedung yang sebelah. Kini tampak puluhan pekerja berseragam hitam-putih duduk berjajar rapi. Mereka semua sedang melakukan proses sewing atau menjahit dengan mesin.

Keempat orang itu menaiki tangga ke lantai atas. Dari situ, terdapat ruangan kaca yang mengarah ke sekeliling --- menyaksikan buruh yang bekerja di bawah. Ruangan kaca tadi memiliki meja dan sofa nyaman, serta penyejuk udara. Tepat di sebelahnya, terdapat ruang lain yang berisi pakaian-pakaian jadi, lengkap dengan manekinnya. Tempat itulah yang menjadi tujuan Jeffrey.

Yahya berinisiatif membukakan pintu bagi si Bos dan rekannya sesampainya di ruangan sampel. "Silakan, Pak, Bu," ucap Yahya pada Jeffrey dan Raline.

Tanpa banyak bicara, Jeffrey menelisik pakaian-pakaian di hadapannya. Dengan teliti ia memeriksa pola, serat, bahkan bentuk jahitannya.

Raline mengikuti gerakan CEO, jemarinya lihai mengusap lipitan dress yang terpasang pada manekin. Hasil rancangan the MAXIMAL memang unik dan berkelas. Namun Raline amati, semua pakaian the MAXIMAL ditujukan untuk para wanita dan lelaki bertubuh langsing. Wanita berambut perak itu berpikir, mengapa the MAXIMAL tidak memproduksi pakaian nyaman dan cantik untuk berbagai ukuran tubuh.

Jeffrey melanjutkan percakapannya dengan Sandi dan Yahya. Mereka berbicara dengan bahasa yang Raline tidak pahami.

Setelah menyelesaikan urusan, Jeffrey akhirnya memutuskan kembali ke kantor. Sudah hampir lewat jam makan siang. Lelaki itu khawatir Raline kelaparan dan masuk angin lagi. Apa lagi mereka tadi mondar-mandir keliling pabrik yang memiliki kondisi cukup panas.

"Kamu lapar?" tanya Jeffrey.

Raline menggeleng. "Masih kenyang."

"Ini sudah jam makan siang, kok bisa masih kenyang?" sahut Jeffrey. Ia membuka pintu Range Rover-nya dan duduk di kursi kemudi.

Raline menyusul. "Tidak biasa makan siang. Kalau Bapak lapar, silakan makan saja. Saya betul-betul masih kenyang."

"Ya sudah." Jeffrey pun menyalakan mesin.

Di dalam mobil, penyejuk udara menyegarkan tubuh Raline yang tadinya kepanasan. Musik opera yang Jeffrey putar juga kembali berlanjut.

"Bagaimana menurutmu?"

"Soal apa?" Raline berbalik tanya.

"Produk the MAXIMAL. Apa lagi?" sergah Jeffrey.

Raline mengulum senyum. "Rancangannya tidak perlu diragukan. Tas dan sepatu menurutku sempurna. Aku dulu pernah mencoba salah satu heels koleksi the MAXIMAL. Padahal tinggi tapi nggak sakit di tumit dan jempol. Namun, kalau pakaiannya ..." Kalimatnya menggantung.

"Kenapa?" buru Jeffrey penasaran.

"Kuamati tidak ada size untuk tubuh overweight, ya?" ujar Raline.

Jeffrey mengangguk. "Memang tidak ada. Target pasar kami adalah usia 18 hingga 40 tahun. Dengan berat badan under 60 kg," terangnya.

"Kenapa?" selidik Raline ingin tahu.

"Ciri khas saja. Bahwa untuk memakai brand kami harus disertai usaha. Bukan pakaian yang mengikutimu tapi kamu yang mengikuti pakaian," kata Jeffrey idealis.

"Sayang sekali," gumam Raline. "Hal itu bertentangan dengan konsep Valentine kemarin, dong? Self Love."

Jefftey terdiam.

Raline kembali melanjutkan, "Bagaimana bisa seseorang mencintai diri sendiri ketika standar berpakaian yang diterapkan the MAXIMAL terlalu tinggi?"

"Lanjutkan." Jeffrey mendengarkan saksama. Sementara, pandangannya fokus ke arah jalan.

"Desainnya memang unreal. Indah, classy, dan unik. Tetapi, crop top musim lalu panjangnya nanggung. Dan puff sleeve-nya, pada bagian dada terlalu rendah. Tidak semua wanita langsing memiliki payudara yang berisi. Tapi ukuran cup-nya --- kupikir --- terlalu besar. Selain itu, nggak semua wanita senang mempertontonkan dadanya."

"Lalu bagaimana saranmu?" pancing Jeffrey.

"Kupikir, sebaiknya buat materialnya dari spandex. Untuk dress-nya, apa kamu pernah terpikir membuat bagian perut berbahan korset? Jadi para wanita tidak khawatir perutnya tampak berlipat dan tetap bisa makan dengan nyaman ..."

Bibir Jeffrey mengembang. Raline antusias menjelaskan panjang lebar mengenai pendapat dan idenya. Sudah jelas jika wanita itu punya selera fashion yang bagus. Raline juga membuka pemikiran baru untuk Jeffrey menambah koleksi pakaian dengan beragam size.

Jeffrey membelokkan kemudi pada sebuah restoran waffle terdekat.

"Aku ingin lihat pola rancanganmu. Kita turun di sini."

Raline mematuhi apa kata sang dominan. Ia mengekori langkah Jeffrey seperti anak ayam. Keduanya memilih meja secara acak. Lalu memesan menu sembarangan. Ada hal lain yang lebih utama. Pembicaraan tiada henti mengenai ide-ide cemerlang yang Raline utarakan.

Mata Jeffrey tak berkedip. Ia terpana ketika menyaksikan Raline menggambar pola sketsa pada tablet miliknya. Wanita itu tidak mengenyam pendidikan tata busana. Namun, bakatnya luar biasa. Kemampuan otodidak Raline hampir menyaingi seorang designer profesional. Memang rancangannya masih kasar - butuh sedikit diasah.

"Jeff?" tegur Raline pada Jeffrey yang seolah melamun. "Maaf, ya. Aku mungkin terkesan sok tahu. Ini cuma pendapatku saja. Bukan hal penting."

Jeffrey menggeleng. Ia menatap Raline dengan tatapan tajam. Tarikan mengembang perlahan terulas pada bibir tipis lelaki berberewok kasar itu.

"Raline Lara, you never cease to amaze me."

Hola, Darls!

Makasi sudah setia nungguin Raline-Jeffrey.

Cerita ini bisa kalian baca utuh tanpa potongan di Aplikasi BESTORY. Silakan pilih bab mana yang mau dibeli. Cukup 2000 rupiah aja!


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top