FORTY-EIGHT
Jeffrey menghentikan langkah ketika memergoki Angga baru saja keluar dari ruangan tim design. Staf bagian IT itu tampak mengulum senyum.
"Pak, kita harus segera berangkat." Teguran dari Gisella membuyarkan lamunan Jeffrey.
Jeffrey mengangguk. "Hmm," sahutnya singkat.
Mau apa Angga ke ruangan perancang busana segala? Pasti ingin mengajak Raline mengobrol. Dasar kutu busuk!
Rahang Jeffrey mengeras. Andai saja ia tak diburu waktu untuk rapat penting --- sudah pasti Angga akan tamat ia omeli. Lelaki itu beruntung. Jeffrey tak suka miliknya diincar oleh orang lain. Tetapi ia juga bukan pimpinan gila yang memecat sembarang karyawan demi alasan pribadi. Sudah cukup satu kegilaannya memasukkan Raline Lara ke dalam perusahaan. Jangan bertambah lagi.
Sebisa mungkin Jeffrey menetralisir perasaan cemburu.
Sudahlah. Apa yang bisa dilakukan Angga di kantor? Paling hanya mengobrol atau sekedar menyapa. Tidak seperti dirinya yang bebas menggerayangi tubuh Raline yang polos. Polos tanpa sehelai benang pun.
Kekesalannya berganti seringai kemenangan. Biar bagaimana pun, Raline merupakan milik Jeffrey seutuh dan sepenuhnya.
***
"Bagus. Tapi tidak unik. Bahkan Agnes bisa membuat yang lebih baik. Aku mulai mempertanyakan keputusan Jeffrey memasukkanmu ke sini."
Marlena mengembalikan sketsa Raline dengan penolakan mentah. Ia akui bahwa Raline memiliki bakat, namun belum cukup untuk mengejutkannya.
Marlena kembali melanjutkan, "Tapi terserah. Jeffrey bosnya. Kalau kamu ingin meluncurkan pakaian-pakaian itu, silakan. Hanya saja aku berani taruhan, produkmu hanya akan terpajang sebentar di etalase lalu berakhir menganggur di gudang."
Raline menelan saliva. Ia memandangi rancangannya lamat-lamat. Dirinya sendiri pun menyadari tidak ada yang spesial dari goresannya.
"Kalau boleh saya tahu, apa yang kurang?" tanya Raline memberanikan diri.
Marlena mendecih. "Kamu tanya sama saya? Kenapa nggak sekalian kamu minta saya yang menggambarkannya untukmu?" ledeknya.
Raline tergagu dan tak lagi bicara. Wanita itu membiarkan Marlena melenggang pergi meninggalkannya seperti sampah. Tatapan mengiba terpancar dari staf perancang yang lain. Namun mereka pun tak ada daya untuk membantah designer senior --- Marlena.
***
Sebesar apa pun masalah yang dihadapi oleh seseorang, dunia akan tetap berputar. Kusulitan sampai sekarat sekali pun, waktu tetap berjalan normal. Tidak ada keajaiban bak fairytale yang akan menolong. Kecuali kekuatan diri sendiri. Pilihannya ada dua. Mau menyerah dan kabur. Atau cari jalan keluar untuk bangkit.
Raline memilih mencari jalan keluar.
Walau setiap malam ia selalu menangis akibat teringat segala cercaan dan makian dari Marlena. Belum lagi, Bayu selalu ada di rumah. Mendekati Sintia seolah ia adalah sosok bapak idaman se-Indonesia Raya.
Namun, Raline tidak ada pilihan lain. Kesempatan yang diberikan Jeffrey tak akan disia-siakan begitu saja. Di mana lagi ia akan mendapatkan posisi pekerjaan seperti ini kalau bukan dari Jeffrey. Ia tak mau mengecewakan dominannya.
Kian hari wajah Raline makin kuyu dan cekung.
Pulang kerja wanita itu selalu mendekam di kamar --- sibuk menggores sketsa untuk proyek besarnya. Kalau sudah lelah, Raline akan melamun dengan pandangan kosong. Berharap ada ilham yang datang dan memberinya setitik ide.
Ia begitu terbebani. Takut jika produknya tak laku di pasaran dan berujung membuat Jeffrey malu. Selain itu tiap perkataan yang terucap dari Marlena selalu ketus. Mampu menusuk hingga sumsum tulang. Kalau saja dulu Jeffrey tak menceritakan perihal masa lalu Marlena, sudah pasti Raline akan mencekik leher wanita tua itu hingga menemui ajal.
Sudah seminggu lebih berlalu --- Marlena masih berkomentar buruk pada tiap rancangan Raline. Kini Raline mirip mayat hidup. Pikirannya penuh oleh beban pekerjaan. Tak ada yang lain, termasuk soal seks.
TING. Pintu lift terbuka. Raline tetap tertunduk tanpa menyadari sosok tinggi yang masuk ke dalam sana.
"Sekarang kamu mengacuhkanku, huh?" dengkus Jeffrey yang berdiri di samping Raline.
Raline terbelalak sambil menengok. "Jeff?" Ia buru-buru mengoreksi perkataan. "Pak Jeffrey?! Maaf saya tidak lihat Bapak masuk."
"Kenapa kamu tidak datang ke kamar bermain?" Jeffrey menatap lurus. Netra pekat lelaki itu menilik angka yang terpampang pada hall lantern --- penunjuk kabin lift.
"Maaf, tapi aku sibuk. Bu Lena kurang menyukai design-ku. Selain itu, aku takut meninggalkan Sintia berdua saja dengan bapak. Akhir-akhir ini bapak sering pulang dan ajak Sintia pergi diam-diam," terang Raline.
Ekspresi Jeffrey datar dan dingin. "Bukankah kamu adalah submisifku. Kamu harusnya datang ketika aku membutuhkanmu."
"Aku tahu. Tapi aku juga punya banyak tanggungan lain selain bercinta denganmu," sahut Raline. Kurang tidur, stres, dan lelah membuat emosi wanita itu labil.
Jeffrey memicingkan mata dan mendorong tubuh Raline hingga merapat pada dinding elevator. "Ini pekerjaan yang kamu dapatkan dariku, Raline. Bukankah aku sudah menyetujui rancanganmu? Pendapat Bu Lena tidaklah penting."
Raline meringis. "Oh, jadi kamu mulai perhitungan? Kamu harusnya tahu kenapa aku bekerja sebegini keras. Aku tak ingin membuatmu malu, Jeff!"
Mereka saling beradu pandang. Dua-duanya memancarkan tatapan penuh emosi. Seolah ingin saling membunuh.
"Karena kamu membayar untuk bersamaku, kamu jadi beranggapan aku adalah milikmu? Kenapa semua orang menganggapku seolah barang? Aku ini manusia!" lanjut Raline lagi.
"Raline ... aku ..." Jeffrey belum menyelesaikan kalimat karena pintu lift tiba-tiba terbuka. Ia melepas cengkeramannya dan bergerak menjauhi Raline. Lelaki itu berlagak tak acuh --- seolah asing dengan si submisif. Segerombolan staf masuk dan memberi jarak bagi Jeffrey dan Raline. Jeffrey maju ke depan, dekat dengan pintu. Sementara Raline terdorong ke bagian belakang.
Raline mendecih. Ia menatap punggung dominannya dengan kesal. Ternyata, ia tak lebih dari pemuas nafsu bagi Jeffrey. Raline pikir Jeffrey sudah menganggapkan istimewa. Ternyata semua cuma ilusi yang ia ciptakan sendiri.
Lelaki itu marah hanya karena kebutuhan badaninya tak terpenuhi. Apa Jeffrey tidak tahu kalau aku bekerja keras demi membuatnya bangga?
***
Marni meletakkan tumpukan handuk bersih ke dalam lemari bath room kamar Jeffrey. Pengurus rumah tangga itu kemudian mengintip sosok tuan mudanya yang terlihat gusar belakangan ini. Ia bisa menebak apa penyebabnya.
"Kok Raline jarang ke sini, Pak?" celetuk Marni.
"Nggak tahu. Bukan urusanku." Jeffrey mengeringkan rambut dengan handuk. Lelaki itu memutuskan pulang awal dan berenang di rumah. Suntuk berlama-lama di kantor setelah pertengkarannya dengan Raline tadi siang.
Marni mengulas senyum bijak. "Dia sibuk, ya? Sama kegiatan barunya di kantor?"
"Sok sibuk lebih tepatnya. Posisi itu juga aku yang kasih. Tapi Raline justru mengabaikanku akhir-akhir ini," ujar Jeffrey.
"Jadi Bapak mulai perhitungan? Mengharap imbalan setelah membantu dia?" ledek Marni.
Jeffrey melotot dengan alis yang saling bertautan. "Omongan Bibi dan Raline sama! Perhitungan bagaimana? Kalau aku mau perhitungan, sudah berapa uang yang kukeluarkan untuk dia. Aku hanya merasa ..."
"Kangen?" tembak Marni.
Jeffrey mendecih. "Bukan," elaknya. "Aku hanya merasa Raline tiba-tiba berubah menyebalkan setelah mendapatkan pekerjaan ini. Seolah tidak pernah ada campur tanganku dalam kehidupannya."
"Alah, Pak. Kalau kangen bilang saja kangen," ucap Marni. "Tidak usah berbelit-belit. Untuk apa membohongi perasaan sendiri? Memangnya tidak capek?"
"Sudah kubilang bukan begitu, Bi." Jeffrey bersikeras berkelit.
Marni menghela napas. Jeffrey memang punya harga diri yang tinggi. Ia juga pribadi yang tertutup dan sulit menyampaikan perasaan secara eksplisit.
"Raline itu wanita, Pak. Sikapnya terkadang dipengaruhi hormon dan mood. Mungkin, dia tertekan di kantor jadi terkesan mengabaikan Bapak. Bukankah Bapak bilang kalau banyak staf yang bersikap ketus padanya?"
Jeffrey memalingkan muka. "Hmm," gumamnya.
"Justru, Bapak harusnya senang karena Raline bekerja keras meski punya backing-an dari pemilik perusahaan. Dia sungguh-sungguh melakukan yang terbaik," terang Marni bijak.
"Dia tak lagi sama, Bi. Kami tadi bahkan bertengkar. Raline berani membentakku," ungkap Jeffrey.
"Itu tandanya hubungan kalian nyata." Marni memandang Jeffrey lekat. Gurat-gurat halus di sekitar matanya menandakan perjalanan hidup yang panjang.
Jeffrey terdiam dan mendengarkan secara saksama.
Marni mengimbuhkan, "Hubungan yang nyata itu pasti diwarnai pertengkaran. Tidak ada hubungan yang mulus-mulus saja seperti jalan tol. Kalau pun ada, berarti keduanya punya perasaan yang sama-sama sudah hambar. Pertengkaran Bapak dan Raline adalah bukti kalau perasaan kalian bukan kepalsuan belaka."
"Hubunganku dengan Raline hanya sebatas pemuasan nafsu, Bi."
Marni kembali mengembuskan napas panjang. "Mau sampai kapan mendustai diri? Bibi ini sudah bersama dengan Bapak dari lama. Kehadiran Raline benar-benar mengubah diri Bapak. Mungkin awalnya semua hanya tentang hubungan fisik semata. Namun, apa yang ada di hati, hanya Bapak yang bisa menjawabnya. Benar begitu, bukan?"
Jeffrey terhenyak. Ia merebahkan bokong ke atas ranjang. Lelaki itu menatap Marni dengan tatapan kelam.
"Lalu apa yang harus kulakukan?" tanya Jeffrey.
Sebuah tarikan dari kedua sudut bibir Marni menciptakan lengkungan lebar. "Beri Raline semangat. Dukung dia. Karena hanya Bapak yang bisa memberikan kebahagiaan bagi dia. Jangan sampai ada orang lain yang melakukannya."
***
Detik sudah menunjukkan pukul tujuh. Nasihat dari Marni terus menggema dalam telinga Jeffrey.
"... Jangan sampai ada orang lain yang melakukannya."
Jeffrey berdecak. Kini hatinya galau tak menentu. Sialan! Orang lain siapa yang berani mengganggu miliknya?
"... Kenapa semua orang menganggapku seolah barang?"
Kali ini suara Raline yang mendadak muncul mengusik ketenangan Jeffrey. Lelaki itu pun mendesah berat. Apa yang dikatakan Raline benar. Kini --- ia tak berbeda jauh dari Bayu. Memperlakukan Raline bak komoditas.
Semula Jeffrey kira ia adalah seseorang yang membantu Raline keluar dari jerat Bayu. Tapi lihatlah, Jeffrey justru memberikan Raline penjara baru. Lelaki itu akhirnya menyadari keegoisan diri.
Raline adalah individu utuh yang berhak atas jiwa dan raganya. Bukan wewenang Bayu mau pun Jeffrey mengatur apa kemauan wanita itu.
Jeffrey pun mengambil ponsel. Jemarinya gamang menghubungi nomor submisifnya. Namun ....
"... Jangan sampai orang lain yang melakukannya."
"Hhhz!" umpat Jeffrey bicara diri. Ia akhirnya menekan ego dan membuat panggilan yang ditujukan untuk si wanita berambut perak.
"Ya?" angkat Raline dari seberang. Sapaannya singkat dan sedikit datar.
"Di mana?" tanya Jeffrey.
Raline terdiam sesaat. Akibat hal itu, jantung Jeffrey bergemuruh. Perasaan gelisah yang baru kali ini dirasakan oleh sang lelaki alpha.
"Masih di kantor," sahut Raline memecah hening.
"Kenapa belum pulang?" cecar Jeffrey.
Raline terdengar mendesah berat. "Masih nyocokkin bahan kain." Suaranya menyiratkan kelelahan mendalam.
"Sama siapa di sana?" tanya Jeffrey lagi.
"Sendiri. Yang lain sudah pulang jam 6 tadi."
Jeffrey menelan saliva. "Tunggu. Aku akan menghampirimu." Baru kali ini mengakui keingingannya secara gamblang.
"Buat apa? Kamu, 'kan, sudah pulang," sahut Raline. "Ngapain balik lagi?"
Jeffrey hening. Ia kembali meneguk ludah untuk menetralisir rasa gengsi.
"Halo?" Raline mengira sambungan mereka telah terputus.
"Aku ingin menemuimu," aku Jeffrey.
"Apa?" tanya Raline dengan intonasi penuh keraguan.
"Aku mau menemanimu," kata Jeffrey.
Raline kembali bungkam. Detik demi detik bak siksaan yang membunuh Jeffrey perlahan-lahan.
"Kenapa?" tanya Raline lagi.
"Tidak ada alasan apa pun. Aku hanya ingin bertemu kamu."
"Untuk?" selidik Raline.
Degup jantung Jeffrey makin tidak menentu. Jujur adalah hal paling menyiksa!
"Ya karena aku mau lihat wajahmu!" jawabnya.
"Untuk apa lihat wajahku?" cecar Raline. "Ubah saja panggilan ini jadi videocall, 'kan, bisa."
Jeffrey menggertakkan gigi. Mana ia sangka Raline Lara merupakan wanita cerewet. Meski begitu, kenapa Jeffrey sulit membenci submisifnya itu.
"Aku ingin melihat wajahmu secara langsung," sergah Jeffrey. "Tadi siang kita bertengkar dan tak sempat menuntaskan masalah yang ada."
"Kalau soal itu, aku harusnya minta maaf. Maaf karena sudah membentakmu. Sepertinya aku kelepasan karena emosi. Aku harusnya sadar diri akan posisiku. Kamu memang sudah membayarku, Jeff. Aku akan selesaikan pekerjaanku dan melakukan tugasku sebagai submisifmu." Raline menjawab dengan panjang lebar. Berusaha membohongi kekecewaan yang mendalam.
"Raline ..." panggil Jeffrey.
"Hmm?"
"Aku tak memikirkan itu lagi. Aku ... ingin menemuimu sekarang ... karena ..." Kalimat Jeffrey menggantung karena ragu. Ia terdiam cukup lama.
"Halo, Jeff?" kejar Raline.
"Karena aku merindukanmu." Jeffrey akhirnya mengatakan isi hati. Tak ada lagi respon dari Raline. Meski demikian, Jeffrey tak peduli dan melanjutkan perkataannya. "Aku ingin bertemu denganmu, Raline Lara. Maka dari itu, tunggu aku."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top