FIFTY-TWO

Tunjukkan apreasimu dengan follow akun ini sebelum lanjut baca. Jangan lupa pencet vote dan kasih komen biar Momma makin semangat update-nya.

November.

Bulan yang semula sama saja seperti bulan-bulan lainnya. Namun tidak kali ini. November menjadi bulan yang dinanti-nanti oleh Raline. Untuk kali pertama dalam hidup, ia bakal melihat secara langsung pakaian-pakaian hasil rancangannya. Dipamerkan melalui model-model cantik yang melenggak lengok epik di atas catwalk.

Jeffrey sengaja mendatangkan make up artist untuk mendandani wajah cantik Raline. Ia juga sudah menyiapkan dress yang cocok untuk dikenakan oleh submisifnya. Lelaki itu menunggu di foyer seraya melirik jam tangan. Sudah lebih dari satu jam, Raline belum juga siap. Entah apa saja yang dilakukan seorang wanita untuk mempercantik diri. Hingga membutuhkan waktu berjam-jam. Padahal, submisifnya itu sudah jelita. Tinggal disapukan lipstik merah saja, tampilan Raline pasti memukau.

"Duduk sajalah, Pak Jeffrey. Dari pada mondar-mandir seperti suami yang sedang menunggu istri lagi lahiran," ledek Marni.

Jeffrey mendecak. "Katanya dia MUA terkenal, kenapa membutuhkan waktu sebegini lama untuk merias Raline? Harusnya 15 menit saja cukup."

"Tenang saja. Semakin lama dirias, Raline akan semakin cantik. Bapak tidak akan menyesal menunggu lama," sahut Marni.

Jeffrey kembali melihat pada Rolex-nya. "Masalahnya kita bisa telat ..."

"Jeff."

Suara lembut Raline membuyarkan obrolan antara Marni dan Jeffrey. Dua orang itu kompak menoleh bersamaan. Tidak seperti Marni yang refleks tersenyum karena kagum, Jeffrey justru melotot terkesima.

Penampilan Raline bak lukisan cat minyak --- kecantikan luar biasa klasik dengan rona bak glasir yang halus. Riasan sempurna pada wajah Raline tak terkesan berlebihan, justru menonjolkan fiturnya agar lebih tegas. Bibir wanita itu berkilau layaknya permen susu bercampur strawberry. Sementara rambutnya ditata bergelombang dan terjalin membentuk ponytail yang dikelilingi crown braid.

Bandage dress berwarna magenta melingkari siluet tubuh Raline yang ramping. Dua payudara wanita itu menonjol menggoda dari balik shapewear yang ia kenakan.

"Kita berangkat sekarang?" ajak Raline.

Jeffrey mengerjapkan mata. "O-okay," sahutnya terbata.

***

Perhelatan megah the MAXIMAL diadakan di The Westin Grand Ballroom and Convention Center Surabaya. Venue mewah yang mampu menampung sekitar 3000 orang di dalamnya.

Pada tengah ballroom panggung tinggi tempat para model melakukan catwalk sudah berdiri kokoh. Lajur utama tadi dikelilingi lampu sorot yang bakal menyorot jelas. Jadi, penonton bisa melihat detail busana yang diperagakan. Tinggi panggung berbentuk T sekitar 150 cm dari lantai penonton, sementara lebarnya 8 meter sehingga bisa menampilkan empat model sekaligus.

[ KINKY sudah tamat di aplikasi KARYAKARSA. Naskah 21+ utuh tanpa potongan ]

Lighting otomatis dan sound menggema disertai digital layar kian menyempurnakan kesan mewah nan menarik. Di sisi kiri dan kanan berjajar kursi yang bisa memuat lebih dari 500 orang. Untuk tamu undangannya tidak main-main --- mulai dari crazy rich Surabaya hingga artis dan selebgram ibukota.

Begitu menginjakkan kaki di ballroom, mata Raline tak berkedip sedetik pun. Semua bak mimpi. Ia bahkan belum percaya ini adalah kenyataan. Setahun yang lalu wanita itu masih berkeliling menari striptease secara sembunyi-sembunyi. Namun, sekarang ia berada pada acara megah di mana rancangannya akan keluar sebagai salah satu koleksi the MAXIMAL. Karya yang bakal disaksikan oleh beratus pasang mata orang.

Netranya bahkan terbelalak ketika menyadari banyak artis-artis berhamburan di sekitarnya. Andai saja Jeffrey tak berada di sisinya, mungkin Raline tanpa malu meminta para artis tadi untuk foto bersama.

"Raline, akhirnya kamu datang juga. Ayo ikut aku ke backstage." Marlena tiba-tiba menggandeng Raline dan menculiknya.

"Ke backstage?" Raline tersiap.

"Come on!" desak Marlena.

Jeffrey belum sempat mengatakan apa pun pada sang submisif. Ia hanya bisa menelan ludah ketika Marlena membawa wanita sensual itu berlalu pergi. Sudahlah. Toh tak baik jika Jeffrey tampak terlalu dekat dengan Raline di depan umum. Gosip merupakan sesuatu yang Jeffrey hindari sebisa mungkin. Malam ini adalah acara the MAXIMAL, wartawan tak boleh mengendus hal selain itu.

Gisella muncul dari balik kerumunan. Seperti biasa, sekretaris itu selalu tampak sibuk dengan tablet di tangan.

"Pak Jeffrey," sambut Gisella.

"Ya?" Jeffrey memalingkan pandangan ke arah Gisella.

Gisella mengarahkan Jeffrey untuk mengikutinya. "Bapak harus menyapa undangan penting yang ada di depan."

"Baiklah." Jeffrey pun bergerak mengikuti arahan sang sekretaris.

***

Salah satu tamu penting yang hadir adalah perwakilan dari Unitax Group. Unitax Group merupakan kelompok perusahaan atau brand-brand yang menjual produk di bidang fashion. Perusahaan itu berpusat di Hong Kong.

Tak hanya Unitax Group, ada pula Choi Ji Won, Fashion Stylist utama girlband asal Korea Selatan, WildRoses. WildRoses sendiri adalah grup vokal yang terdiri dari tiga wanita muda bergaya fesyen berani nan memukau. Popularitas WildRoses setara dengan BLACKPINK atau BTS dalam dunia musik global.

Jeffrey berharap salah satu dari undangan penting akan mengajak the MAXIMAL berkolaborasi. Memang --- menjadikan brand ciptaannya mendunia adalah obsesi Jeffrey selama ini.

Acara pun akhirnya dimulai, seorang penyanyi terkenal tampil membawakan sebuah lagu. Penampilan lain pun menyusul untuk membuka jalannya pagelaran mode. MC kemudian menyambut Jeffrey untuk memberikan kata sambutan.

Lelaki itu seolah terbiasa dengan lampu sorot. Sosok Jeffrey memancarkan aura karismatik dan berwibawa. Beberapa tamu muda bahkan sibuk saling membisik karena terkesima oleh penampilan Jeffrey yang memikat. Tampan, sukses, dan cerdas. Di lain sisi, Raline mengintip Jeffrey dari balik stage. Ia sama sekali tidak paham apa yang Jeffrey sedang ucapkan. Semua karena dominannya memilih menggunakan bahasa Inggris. Meski begitu, jantung Raline berdegup tak karuan. Jeffrey memang lelaki sempurna. Raline mulai berpikir, mungkin Jeffrey adalah ras Malaikat yang jatuh dari Surga.

"Idih segitunya!" Adam menowel pinggang Raline. Akibat ulahnya, Raline tersentak hingga hampir terjungkal.

Raline melotot tajam. "Adam! Kaget tahu!" sungutnya.

"Abisnya situ nepsong banget lihat Pak Jeffrey. Eyke jadi gatal pengen iseng!" kikik Adam.

Raline menekuk muka. Namun itu tak bertahan lama ketika melihat barisan model sudah mengenakan pakaian rancangannya. Mata Raline berbinar, sejurus kemudian perasaan haru menyelimuti relungnya.

Adam merangkul Raline dengan penuh perhatian. "Kenapose, Raline? Jangan bikin eyke tekotek!"
(tekotek : takut)

Raline menengadahkan kepala seraya mengipas-kipas wajah dengan kedua tangan. Sebisa mungkin ia melarang air matanya keluar --- khawatir akan merusak makeup mahalnya.

"Aku nggak sangka hasil rancanganku bakal dijadikan salah satu koleksi the MAXIMAL, Dam. Semua orang akan melihatnya. Dan mereka bukan orang sembarangan. Ini sepertu mimpi!" terang Raline.

Adam tersenyum. "Bangga, 'kan, Nek."

"Sangat." Raline kembali memandangi model-model yang mengenakan rancangannya. Kalau bukan karena Jeffrey --- hal ini mana mungkin terjadi.

***

Dahi Jeffrey sedikit berkernyit ketika mendapati Anwar, Misye, dan Carissa duduk pada barisan penonton. Mereka tak bilang akan datang. Bukan senang --- Jeffrey justru menahan dengkus geram. Lelaki itu sejenak lupa apa yang akan ia katakan. Setelah mengucap terima kasih pada pihak sponsor, Jeffrey pun mengakhiri sambutannya.

Tepuk tangan meriah menutup penampilan Jeffrey. MC kembali mengambil alih, sementara Jeffrey berjalan untuk menghampiri keluarganya.

"Kalian tak bilang akan datang." Jeffrey tanpa basa-basi mengambil tempat di sisi Anwar.

Tatapan Anwar bertahan ke arah panggung. "Papa ingin lihat kemajuan the MAXIMAL. Apakah ini sepadan dengan pilihanmu yang meninggalkan Bahadir Sejahtera."

Misye meremas lengan suaminya. "Pa ... sudah," bisik wanita itu.

Jeffrey mengeraskan rahang. Namun ia memaksakan senyum ketika Carissa berpindah duduk di sampingnya. Meski mengandung, adik Jeffrey itu tetap modis dengan leather jacket dan dalaman warna hitam.

"Kapan due date-nya?" tanya Jeffrey. Ia mengusap perut Carissa yang sudah membesar dibanding terakhir mereka bertemu.

Carissa menggenggam telapak Jeffrey dengan erat. "Kira-kira dua bulan lagi. Kakak akan datang menjengukku dan keponakan barumu, 'kan?"

"Kuusahakan." Jeffrey memandang Carissa lembut.

Carissa menyorot Jeffrey dengan tatapan mengiba. Masih terngiang cerita Misye tentang rahasia kelam sang kakak lelaki satu-satunya. Ada alasan mengapa --- Misye atau siapa pun --- dilarang menyentuhnya. Lelaki itu memendam trauma mendalam akibat pelecehan seksual. Meski demikian, Carissa, Jeffrey anggap sebagai pengecualian. Cinta dan sayang Carissa pada sang kakak begitu besar. Mungkin, itu juga yang Jeffrey rasakan sehingga ia hanya mempercayai Carissa seorang.

Semua akhirnya jelas bagi Carissa.

Perlakuan dingin Jeffrey terhadap Misye dan Anwar mulai beralasan. Meski begitu, Jeffrey tak pernah sekali pun mengacuhkan adik si mata wayangnya.

"Kak, selepas ini --- ada yang ingin kubicarakan denganmu. Itu kalau Kakak tidak sibuk," kata Carissa.

"Soal apa?" Jeffrey berkernyit. Tumben Carissa bicara begitu lembut. Biasanya wanita itu selalu mengomel tidak jelas.

Carissa mengeratkan genggaman. "Nanti saja."

Jeffrey membalas dengan anggukkan.

Musik bertempo cepat mulai diputar keras. Tidak sembarangan, pemilihan musik latar yang tepat adalah salah satu elemen penting dalam fashion show. Musik tersebut bisa menginterpretasikan desain pada koleksi pakaian yang akan ditampilkan. Selain itu, musik bisa menjadi acuan bagi model saat berjalan di atas catwalk.

Para penonton kini terpaku pada panggung. Beberapa di antara mereka sibuk mengabadikan dengan gawai masing-masing. Satu per satu koleksi bertajuk The Sinner diperagakan oleh model. Raut muka penonton mengialkan kekaguman. Rancangan the MAXIMAL kali ini sungguh lain dari pada yang lain. Mereka makin menganga ketika model-model bertubuh plus-size keluar dari balik stage. Tak hanya menyediakan pakaian untuk wanita bertubuh langsing, kali ini the MAXIMAL merombak total ideologinya.

Bulu kuduk Jeffrey spontan merinding. Baru kali ini ia menangkap antusiasme yang begitu besar dari tiap-tiap wajah penonton. Ia tak bisa memungkiri betapa bangga dirinya kepada Raline.

Bahkan Carissa pun ikut terbelalak dibuatnya. Jeffrey pelan-pelan bangkit dari duduk, ia berniat menemui submisifnya. Mengucap selamat atas kerja keras tim perancang busana.

Ia tidak sadar di belakang Anwar sedang mengikuti.

"Hei, Jeff."

Sebuah sapaan tidak asing menghentikan langkah Jeffrey.

"Ko Daniel?" Jeffrey terkesiap. Hari ini begitu banyak kejutan tak terduga yang mengusik. Ia merasa tak mengundang Daniel ke dalam acaranya.

Daniel menepuk punggung Jeffrey dengan sok akrab. Akibat ulah lelaki Chindo itu, Jeffrey mendadak gusar. Ia tak suka disentuh oleh siapa pun! Apa lagi Daniel.

"Kaget, ya, lihat aku?" kekeh Daniel. "Aku dipaksa Stella ikut. Dia salah satu penggemar koleksi the MAXIMAL."

"Oh ..." gumam Jeffrey. Ia heran kenapa Stella masih bertahan dengan suami seperti Daniel. Padahal, terakhir kali wanita itu memergoki suaminya hendak melampiaskan nafsu dengan wanita bayaran.

Wanita bayaran itu ... Raline Lara.

Daniel menatap Jeffrey dengan seringai miring.

"Ngomong-ngomong, aku tadi nggak sengaja lihat Angel di area backstage. Ternyata, dia sekarang kerja di sini? Jadi apa? Sekretaris plus-plus?" kelakar Daniel.

Rahang Jeffrey mengeras. Ia mengepalkan tangan untuk menahan amarah dalam dada.

Daniel memasukkan kedua tangan ke dalam saku celana. Ia lalu kembali melanjutkan, "Gila juga kamu Jeff. Nggak kusangka kamu memasukkan kimcil ke dalam perusahaan sebesar the MAXIMAL." Ia berhenti sejenak untuk melanjutkan tawa. "Jadi, saat dulu aku batal ngentot sama dia karena dilabrak Stella, kamu yang make dia? Aku jadi penasaran, seenak apa memek-nya sampai kamu kasih dia posisi di sini."

"Jaga bicaramu!" Jeffrey melotot seraya menarik kerah Daniel.

Daniel tak menduga candaannya akan memantik kemarahan Jeffrey. Ia pun mulai menenangkan mantan adik kelasnya itu.

"Lho, Jeff. Kenapa kamu jadi marah? Apa yang kuomongin benar, bukan?" sanggah Daniel.

"Ci Stella sangat diterima di sini. Tapi tidak denganmu! Aku akan meminta security untuk menyeretmu keluar. Tinggal kamu putuskan sendiri mau berinisiatif keluar sendiri atau harus pergi dengan dipermalukan," kecam Jeffrey. Ia lalu melepaskan cengkeraman tangannya pada kerah Daniel.

Daniel membetulkan pakaiannya yang sedikit berantakan. "Jeff, kamu bercanda, 'kan?" tanyanya.

Jeffrey melengos dari Daniel. Ia lalu mengkode security dengan gerakan tangan. Penjaga keamanan yang berada tidak jauh darinya itu pun bergegas menghampiri.

"Ya, Pak Jeffrey?" Lelaki bertubuh besar itu mencondongkan badan pada Jeffrey.

Jeffrey menunjuk Daniel dengan anggukan dagu. Ia memerintahkan si security untuk mengeluarkan Daniel dari acara. Sang penjaga keamanan sigap menganggukkan kepala.

Dengan tak lagi memedulikan Daniel, Jeffrey pun meneruskan langkah menuju ke belakang panggung. Kehilangan satu teman seperti Daniel tak ada ruginya. Ia enggan membuang waktu untuk meladeni lelaki macam mantan seniornya itu.

Daniel mendengkus. "Gara-gara lonte sikap dia berubah keterluan!" makinya. Ia menepis tangan security yang hendak menyeretnya. Lelaki Chindo itu melotot tajam. "Aku bisa keluar sendiri!" bentaknya.

Hampir melewati exit door, tiba-tiba Anwar menyusul sosok Daniel. Ia mengikuti lelaki keturunan Tionghoa itu keluar dari ballroom.

"Daniel," panggil Anwar.

Daniel yang gusar pun menengok. Raut wajahnya yang semula ditekuk berubah semringah. "Lho? Om Anwar? Datang juga rupanya." Ia mengulurkan tangan untuk berjabat tangan dengan salah satu pengusaha konglomerat se-Asia itu.

Anwar dan Daniel saling bersalaman.

"Berselisih paham sama Jeffrey, ya?" pancing Anwar. Ia merangkul pundak Daniel. Mereka lalu berjalan bersama-sama.

Daniel mendecih. "Entahlah, Om. Padahal aku hanya bercanda. Jeffrey mendadak sewot."

"Alah. Maklum saja. Mungkin dia sedang hectic gara-gara acara ini." Anwar tertawa renyah.

"Dia kesal karena aku meledek salah satu stafnya. Padahal wanita itu juga bukan wanita bener. Cewek nakal," ujar Daniel.

Sebuah tarikan pada kedua sudut bibir Anwar membentuk lengkungan tipis.

"Kita ngobrol sambil minum di Lounge & Bar saja, yuk." Anwar pun mengajak Daniel pergi. Lelaki itu tahu akan menemukan sesuatu yang menarik tentang anaknya.

***

"Mr. Jeffrey."

Lagi-lagi sebuah panggilan menghentikan langkah Jeffrey. Perjalanan menuju back stage seharusnya tak jauh. Namun ada saja yang menahan sang dominan untuk menemui submisifnya.

Dua orang berpenampilan modis sudah berdiri di belakang Jeffrey. Si wanita memiliki fitur wajah oriental yang sangat khas. Sementara si lelaki tampil berani dengan rambut yang diwarnai ungu.

Jeffrey tahu betul siapa wanita itu, dia adalah Choi Ji Won, Fashion Stylist yang menangani WildRoses.

"Ms. Choi. It's such an honor welcoming you here. Thank you so much," ucap Jeffrey.

Choi Ji Won tersenyum. "Datang ke mari juga merupakan hal menyenangkan bagiku," katanya dalam bahasa Inggris.

Lelaki berambut ungu mengeluarkan sesuatu dari dalam clutch bag yang ia bawa. Selembar kartu nama berwarna dominan hitam bercampur gold.

"Langsung saja, Pak Jeffrey. Kami tertarik memakai salah satu dari koleksi the MAXIMAL, yaitu The Sinner untuk dikenakan member WildRoses," terang Choi Ji Won.

Jeffrey menerima kartu nama pemberian Choi Ji Won. "Apa Anda serius?" tanyanya.

"Sangat. Karena itu, jika Bapak Jeffrey berminat, kabari kami secepatnya. Kami tidak suka menunggu lama." Choi Ji Won tersenyum dengan ekspresi mantap. "Kalau begitu kami permisi."

Jeffrey kembali menyambut jabatan tangan dari Choi Ji Won dan asisten lelakinya. Lelaki itu masih tak percaya akan penawaran yang ia dengar. Apa lagi sosok Choi Ji Won bak angin yang datang dan berlalu begitu cepat.

Jeffrey terdiam mematung seraya memandangi kartu nama di tangan. Setelah beberapa menit berlalu, lelaki itu mempercepat kaki untuk menemui Raline.

Di balik panggung, tampak tim perancang busana sedang sibuk mempersiapkan detail model-model. Kini giliran La Petite rancangan Marlena yang akan dipamerkan. Kesibukan mereka terhenti ketika menangkap kemunculan Jeffrey.

Mata Raline dan Jeffrey saling bertumbukan. Namun tak ada kata yang terucap dari masing-masing bibir mereka. Jeffrey begitu ingin memeluk Raline sambil membagi kabar gembira. Tetapi ia menahan gejolak demi menjaga wibawa dan reputasi.

"Ada apa, Jeff?" selidik Marlena.

"Aku ingin mengucap terima kasih untuk kerja keras kalian," kata Jeffrey.

Marlena tersenyum. Ia melirik Raline --- sudah bisa menduga kalau tujuan CEO itu ke mari adalah demi menemui si rambut perak.

"Makasi isn't enough. Kasih bonusanlah," ledek Marlena.

Akibat celetukkannya, seluruh tim perancang kompak bertepuk tangan seraya tertawa setuju.

Jeffrey menyeringai seraya mengangguk. "It's not a big deal. You all deserve a big bonus."

Janji sang CEO disambut antusias oleh tim perancang busana. Kecuali Raline yang bengong saja. Maklum --- dia tidak fasih berbahasa Inggris.

Jeffrey pelan-pelan menghampiri Raline. Lelaki itu berbisik pelan. "Temui aku setelah ini."

Ulah Jeffrey membuat Adam dan staf lain meringis jahil. Interaksi Jeffrey dan Raline bak drama opera sabun. Di mana pemuda kaya raya nan tampan, terlibat cinta dengan gadis biasa-biasa.

Raline mengangguk.

Kerinduan keduanya belum tuntas. Namun Jeffrey berjanji pada dirinya, malam ini akan menjadi malam perayaan bagi dia dan sang submisif.

***

Malam kian larut.

Entah sudah berapa ratus kali Jeffrey menerima ucapan selamat atas kesuksesan acaranya. Tangan lelaki itu bahkan sampai kebas karena lelah bersalaman.

Ia berjalan bersama Misye dan Carissa ke depan lobi hotel. Di luar, mobil Jeffrey yang dikendarai oleh sopir sudah menunggu.

"Kak, kamu tidak pulang?" tanya Carissa.

Jeffrey menggeleng. "Masih ada urusan yang harus kuselesaikan. Pulanglah duluan dan istirahat. Bibi Marni sudah menunggu di rumah."

"Jeff, jangan terlalu larut, ya. Kamu juga butuh istirahat, Nak." Misye memandangi sang anak dengan tatapan penuh kasih.

Jeffrey mengangguk. Ia lalu menoleh kiri-kanan seolah mencari sesuatu.

"Mana papa?" tanya Jeffrey.

"Papa bilang tidak sengaja bertemu koleganya. Mereka sedang minum sambil membahas bisnis. Papamu akan pulang sendiri nanti," terang Misye.

"Hmm. Ya sudah." Jeffrey pun mengantarkan ibu dan adiknya untuk masuk ke dalam mobil.

Sebelum menutup pintu, Misye lagi-lagi menatap Jeffrey penuh haru. "Selamat, ya, Nak. Apa yang kamu lakukan sangat hebat," pujinya.

Tak dipungkiri, hati Jeffrey sedikit terenyuh. Namun ia tetap mempertahankan wajah datarnya.

"Hati-hati," kata Jeffrey.

Mobil yang ditumpangi Misye dan Carissa pun melaju meninggalkan The Westin. Jeffrey kembali masuk ke dalam seraya mengeluarkan ponsel. Lelaki maskulin itu mengetikkan satu pesan untuk submisifnya.

Aku menunggumu di kamar nomor xxx

***

Raline mempercepat langkah.

Setelah menerima pesan dari Jeffrey, ia terpaksa membiarkan lelaki itu menunggu lama. Marlena enggan membiarkannya pergi. Tim perancang busana harus membereskan sisa-sisa kekacauan setelah acara. Misal, memastikan pakaian yang dikenakan model tidak robek atau rusak. Kemudian mereka juga harus berkoordinasi dengan Backstage Manager untuk menghitung jumlah pakaian.

Napas Raline memburu sesampainya di depan pintu kamar sang dominan. Berlari menggunakan heels berhak lancip benar-benar menyiksa tumitnya.

Jeffrey membuka pintu kamar tak lama setelah Raline membunyikan bel.

"Lama sekali, Raline Lara!" decih Jeffrey.

Raline berjalan masuk. Ada yang aneh dari tingkah Jeffrey --- ia tampak limbung.

"Bu Lena mengharuskanku tetap berada di balik stage," terang Raline. Ia merilik ke arah gelas dan botol anggur yang tergeletak di meja. "Kamu mabuk, Jeff?" tanyanya.

Jeffrey meringis. "Sedikit."

"Ya Tuhan. Ini tak seperti dirimu. Ada apa? Apa terjadi sesuatu?" selidik Raline khawatir.

Tanpa aba-aba Jeffrey mendekap erat tubuh Raline. Mereka berdua terjatuh ke atas ranjang yang empuk. Akibat kekonyolan itu, Raline dan Jeffrey kompak tertawa cekikikan.

"Ada apa?" Raline berusaha menghentikan tawa.

Jeffrey tertidur tengkurap seraya menyorot Raline dengan bola matanya yang pekat. "Kita harus merayakan kesuksesan the MAXIMAL. Semua berkat dirimu, Raline Lara."

"Oh ya? Apa yang terjadi?" Raline membulat penasaran.

"Kamu tahu WildRoses?"

Raline mengangguk.

"Girlband itu akan mengenakan salah satu rancanganmu," terang Jeffrey.

Mata Raline terbelalak. "Kamu jangan bercanda!" pekiknya.

"Aku serius!" Tawa Jeffrey kembali pecah.

"Sungguh?!" Raline berbinar.

Jeffrey mendaratkan ciuman dalam pada bibir plum Raline. Ia cukup lama mengecup kulit lembut berpemulas merah muda itu.

"Aku akan memberikan apa pun untukmu, Raline. Apa pun. Setelah semua yang kamu berikan untukku," bisik Jeffrey.

"Apa pun ...?" Raline memandang Jeffrey dengan sayu.

"Apa pun," sahut Jeffrey.

"Kalau begitu ... bisakah aku menyentuhmu, Jeff?"

Folks, cek in karya baru aku di aplikasi BESTORY, yuk! Tersedia di playstore atau web.

BOOKING ORDER sama bombastiknya seperti KINKY, ya! Nggak nyesel dan bikin ketagihan baca.


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top