FIFTY-SIX
Cerita Ini Hanya Fiktif Belaka. Jika Ada Kesamaan Nama Tokoh, Tempat Kejadian Ataupun Cerita, Itu Adalah Kebetulan Semata Dan Tidak Ada Unsur Kesengajaan.
Tidak bermaksud menyinggung lembaga, institusi/instansi, atau pun kalangan tertentu.
---------------------------------------
"Halo, Pak Bayu?"
Sebuah sapaan dari penelepon tak dikenal mengusik ketenangan Bayu. Ia sedang menikmati sensasi high dari kretek ganja yang diisapnya.
"Sopo iki?" tanya Bayu.
"Saya Felix, Pak Bayu."
Bayu mengerutkan dahi. Ia kembali menyesap rokok melalui mulutnya. "Terus?" tanya Bayu lagi.
"Ehm, apa ada cewek yang avail?" sahut si lelaki bernama Felix.
(Avail adalah istilah dalam per-BO-an berarti belum di-booking/masih tersedia)
Bayu buru-buru menegakkan badan dan meletakkan puntung rokok pada asbak. "Oh ada. Ada, Pak ... maaf, Bapak siapa tadi?" Nada bicaranya berubah ramah.
"Felix."
"Ada, Pak Felix. Foto dan spek-nya bisa saya kirim melalui pesan," ujar Bayu.
(Spek adalah kelebihan/ciri tubuh yang dimiliki si PSK)
Felix terdiam sejenak. "Tapi saya berada di Jakarta, Pak. Kalau memang Pak Bayu oke. Saya yang tanggung transport dan biaya akomodasi lainnya."
"Jakarta?" Bayu berkenyit. "Ah, tidak masalah, Pak. Saya siap."
"Baik. Kalau gitu deal, ya. Saya tunggu foto cewek beserta spek-nya segera."
Felix --- bukan nama sebenarnya --- mematikan sambungan telepon. Ia menoleh ke arah Anwar yang duduk di hadapan meja kerja.
Sehari setelah pulang dari Surabaya, Anwar sudah melancarkan aksinya. Melalui informasi valid yang ia dapat, Bayu memang memiliki koneksi dengan seseorang berpangkat tinggi dalam institusi penegak hukum. Itulah mengapa muncikari itu terkesan kebal dan selalu lolos.
Ia memang Raja di kota Pahlawan --- tapi tidak di Ibu Kota.
"Sudah?" tanya Anwar kepada sang ajudan.
"Sudah, Pak. Besok kita akan mulai eksekusi."
***
Merupakan suatu kebanggaan bagi sebuah brand saat salah satu produknya dikenakan oleh artis terkenal. Secara tidak langsung, brand tadi akan mendapatkan publikasi secara gratis. Namun sebelum dikenakan, selebriti akan meminta agar pakaian tadi dimodifikasi secara khusus agar berbeda dari model di catwalk.
Setelah kesepakatan antara the MAXIMAL dan agensi WildRoses terjalin, tim perancang busana pun sibuk membantu Raline memermak rancangannya. Mereka bakal mengirimkan beberapa busana ke pihak fashion stylist dan si selebriti. Kelak merupakan keputusan fashion stylist atau si selebriti untuk menentukan pakaian mana yang hendak mereka kenakan.
Dengan bantuan Marlena dalam penambahan detail, pekerjaan Raline jadi tak terlalu berat. Mereka juga harus mengerjakan semua ekstra cepat karena pihak agensi memberi tengat waktu yang pendek.
"Sebaiknya kamu pulang. Besok kita lanjutkan lagi." Marlena mencangklong structured bag-nya.
Raline menggeleng. "Saya akan di sini sebentar lagi, Bu Lena. Silakan Ibu pulang duluan. Ini memang sudah larut."
Hanya tertinggal Marlena dan Raline yang bertahan di ruangan. Staf lain sudah terlebih dahulu pulang setelah lelah lembur selama tiga jam.
"Aku yakin itu akan selesai sebelum tengat waktunya. Jangan memaksakan diri. Nanti kamu malah sakit," ujar Marlena.
Raline tersenyum lebar. Perlakuan Marlena padanya sudah berubah. Desainer senior itu lebih melunak dan ramah.
"Iya, Bu. Tenang saja. Sebentar lagi saya pulang kok," ucap Raline.
Marlena pun menggeser barn door. "Baiklah. Aku duluan," pamitnya.
"Hati-hati, Bu," sahut Raline.
Ia kembali menyibukkan diri menambahkan detail unik sesuai permintaan pihak klien.
Saat sedang tenggelam dalam pekerjaan, barn door kembali tergeser. Sosok Jeffrey tampak gusar dan menghampiri Raline.
"Jeff?" Raline menyapa dengan suara lemah.
Jeffrey mendecih. "Kenapa kamu tak membalas telepon mau pun pesanku? Dan aku belum mendengar apa alasanmu pulang begitu saja hari Minggu lalu. Ada sesuatu yang dikatakan oleh papaku, bukan?" cercanya bertubi.
Raline mendesah berat. Niat hati menyelesaikan pekerjaan secepatnya --- tapi sepertinya bakal gagal. Sudah pasti Jeffrey bersikukuh sampai menemukan jawaban yang ia cari.
"Maaf, Jeff. Aku butuh waktu untuk menenangkan diri," jawab Raline.
Jeffrey mendekat dan menarik dagu Raline lembut. "Apa yang sudah dikatakan papaku padamu? Huh?"
Raline memalingkan wajah.
"Raline," desak Jeffrey. "Asal kamu tahu. Papaku memang seseorang yang berwatak keras. Karena itulah hubunganku dan dia renggang. Apa yang dia katakan, sudah pasti bertentangan dengan prinsipku. Jadi, tolong jujurlah padaku."
"Jeff ..." Raline mengembuskan napas. Ia lalu menarik kursi dan menjatuhkan bokongnya. "Semua tidak akan mudah untuk kita berdua."
"Aku tidak pernah bilang jika ini akan mudah. Tetapi lihatlah. Kamu bahkan bisa mengubah pandanganku, Raline. Nothing is impossible. Okay?" sergah Jeffrey.
Raline membalas tatapan Jeffrey yang penuh binar. Sorot lelaki bermata pekat yang kini berada di sampingnya menunjukkan kesungguhan mendalam.
"Papamu sudah tahu siapa aku sebenarnya," terang Raline.
"Maksudmu?" Kedua alis tebal Jeffrey saling bertautan. Ia menggeret kursi yang tak jauh dari posisinya, lalu mendudukinya.
"Papamu sepertinya mencari tahu tentang aku. Bukan perkara sulit untuk seseorang dengan kekuasaan dan materi sebesar beliau," kata Raline. "Dia tahu siapa bapak. Dia juga tahu apa profesinya."
"Dan itu dia gunakan untuk mengancammu?" dengkus Jeffrey.
Raline menggeleng. "Papamu justru menawarkan bantuan bagiku. Dia yakin menjadi wanita bayaran bukan murni keinginanku. Karena itulah --- dia akan menyingkirkan bapak dari hidupku."
"Apa?" Jeffrey meraba jemari Raline dan menggenggamnya erat.
Raline lantas mengaitkan tautan jari-jari mereka. Ia menatap Jeffrey dengan nanar. "Karena bantuan yang ia tawarkan, aku diharuskan meninggalkanmu."
Jeffrey mendecih getir. Sudah dia duga kalau Anwar tak mungkin diam begitu saja. Perjodohan dengan Adinda masih menjadi obsesinya. Dan keberadaan Raline adalah suatu ancaman bagi ayahnya itu.
"Raline." Jeffrey mencondongkan badan untuk mengecup tangan sang kekasih. "Sebelumnya, terima kasih karena sudah jujur padaku. Terima kasih untuk menceritakan semua ini."
Mata Raline berkaca-kaca.
"Aku tak ingin menyimpan apa pun darimu, Jeff. Kuharap kamu juga sama."
"Tidak ada yang kusembunyikan darimu, Raline. Kamu sudah mengetahui semua tentangku," sahut Jeffrey.
"Tapi, Jeff ..." Raline mengambil napas sesaat. "Mungkin yang dikatakan papamu benar. Kamu tak seharusnya bersama wanita sepertiku."
"Shhh." Jeffrey beralih menyeka pipi Raline yang basah. "Kamu mau menyerah semudah ini? Kamu menyerah memperjuangkan kita?" tanyanya.
"Tidak ... tapi ..."
"Kalau begitu jangan," tukas Jeffrey. "Jangan menyerah untuk kita."
"Lalu bagaimana dengan papamu?" tanya Raline.
Jeffrey mendengkus. "Sebelum kamu hadir pun, hubunganku dengan papa sudah buruk. Itulah sebabnya aku memilih kuliah dan membangun usaha di Surabaya." Ia membelai rambut Raline dengan lembut. "Yang menjalani hubungan adalah kita. Dan aku adalah lelaki dewasa yang berhak menentukan pilihanku sendiri."
"Baiklah." Raline akhirnya mengangguk. "Soal bapakku, bagaimana?"
Jeffrey pun mengulas senyum untuk menenangkan Raline. "Kalau memang papaku melakukan sesuatu untuk menghentikan campur tangan Bayu, bukankah itu merupakan hal yang baik untukmu?"
"Namun ia bilang itu akan membuatku berutang padanya?"
Jeffrey menggeleng. "Berutang adalah jika kamu yang memintanya. Tapi yang dilakukan papaku murni kemauannya sendiri." Ia lalu menegakkan badan. "Jangan khawatirkan apa pun lagi. Aku akan menemui papaku setelah semua urusan pekerjaan sedikit lebih longgar."
"Ya," sahut Raline.
"Kalau begitu mari kita pulang sekarang." Jeffrey menarik Raline.
"Kamu duluan aja. Masih ada pekerjaan yang ingin kuselesaikan di sini," ujar Raline.
Jeffrey melirik ke arah jam di pergelangan. "Ini sudah terlalu malam. Besok saja kamu lanjutkan," ucapnya.
"Tidak. Aku mau melakukannya sekarang." Raline bersikukuh.
"Kamu benar-benar keras kepala. Kamu pikir aku tega meninggalkanmu sendirian di sini?" dengkus Jeffrey. "Baiklah. Aku akan menemanimu."
Raline mengulum senyum.
"Aku tidak akan lama."
Jeffrey kembali merebahkan bokong di kursi sambil menopang dagu. Ia membingkai Raline dalam pandangan. Bibir Jeffrey tersenyum karena kagum dengan ketekunan kekasihnya itu. Raline bekerja begitu giat. Wanita itu memang berbakat. Terbukti belum lama masuk sebagai desainer, dia sudah membawa the MAXIMAL mendapatkan exposure secara luas.
"Kamu tahu apa yang kuinginkan sekarang?" celetuk Jeffrey.
Raline melirik singkat. "Apa?" Ia benar-benar fokus pada jalinan pakaian di depannya.
"Bercinta denganmu di kamar bermain," sahut Jeffrey.
Raline berusaha menyembunyikan rona. "Kamu nggak bosan, Jeff? Padaku?" tanyanya.
"Tentu saja tidak. Memang kamu bosan?" Jeffrey berbalik tanya.
"Mungkin," goda Raline.
Mata Jeffrey terbelalak. Dengan segera ia menghampiri Raline dengan ekspresi gusar. "Apa katamu? Kamu sudah bosan padaku?" sergahnya.
Raline pun terkekeh. Ia menghentikan pekerjaannya dan memeluk pinggang Jeffrey. Kepalanya mendongak untuk mencari mata sang kekasih.
"Kamu percaya aku akan bosan denganmu?"
Jeffrey mengusap pipi submisifnya. "Bisa jadi." Ia lalu mendaratkan ciuman mesra pada bibir Raline.
"Jeff." Raline membisik di antara pagutan. "Ada CCTV."
"Biar saja. Mereka akan menjaga rahasia bosnya." Jeffrey kembali menautkan bibir mereka. Ia tak pernah jemu mencium bibir plum sang submisif.
Semula Jeffrey meragukan pernikahan. Bagaimana bisa seorang manusia bertahan pada satu orang yang sama hingga ajal. Bukankah manusia sejatinya bukan makhluk monogami? Mitos belaka untuk Jeffrey. Monogami hanyalah cara leluhur untuk meromantisasi suatu hubungan. Manusia seharusnya memiliki pasangan sebanyak-banyaknya. Bercinta dengan orang berbeda-beda untuk terhindar dari kejenuhan.
Tapi kini semua berbalik. Ia ingin bersama Raline Lara sampai mati. Terikat dan mengikat. Bahkan Jeffrey tak segan memberikan jiwa dan raganya untuk wanita satu ini.
Ciuman keduanya makin liar. Jeffrey tak mampu menahan tangannya untuk meremas gundukan Raline yang tersembunyi di balik tube top. Akibat ulahnya, Raline pun mendesah kegelian.
"Demi Tuhan, Raline. Bisakah kita pulang sekarang?"
***
Udara dingin dari penyejuk membuat tulang-tulang Raline ngilu. Ia lantas menggeliatkan badan dan pelan-pelan membuka mata. Sesaat - wanita itu terkesiap. Kamar bermain, bukan ruangan yang sedap dipandang untuk mengawali hari.
Ruangan itu sebenarnya mengerikan.
Entah karena warna dindingnya atau mungkin akibat furnitur dan rantai menjulur pada ranjang.
Satu hal yang membuat kamar itu (sedikit) nyaman. Yaitu, Jeffrey yang sedang tidur di sampingnya. Raline mengulas senyum dan menarik selimut untuk menutupi tubuh. Ia teringat permainan liar mereka semalam. Saking lelahnya --- tak ada tenaga untuk berpindah kamar.
Raline lantas memandangi paras lelap sang kekasih. Kini Raline tak lagi takut lelaki itu akan mengamuk ketika ia menyentuhnya. Ia juga tak lagi merasa sepi karena Jeffrey akan menemani tidurnya.
Kantuk si submisif sudah lenyap. Ia meraih ponsel untuk memeriksa waktu. Ternyata, masih pukul lima. Sebersit ide nakal menyerbak dalam pikiran Raline. Bukan hanya Jeffrey yang bisa mengganggunya --- ia juga bisa.
Raline lantas mengintip ke dalam selimut. Seketika matanya terbelalak. Milik Jeffrey berdiri mengacung di bawah sana. Ternyata benar, kejantanan lelaki bisa ereksi dalam tidur. Justru, itu merupakan pertanda yang baik karena berarti tubuh berada dalam kondisi sehat.
Memandangi adik kecil Jeffrey yang berdiri tegak, membuat Raline menelan saliva. Batang panjang dan besar milik kekasihnya membangkitkan gairah pagi Raline. Sebersit keraguan muncul, tetapi hasratnya lebih besar timbang rasa gamang.
Secara hati-hati, Raline merangkak menuju area selangkangan Jeffrey.
( Cut. Baca utuh di Karyakarsa bagian seri Raline & Jeffrey )
***
Wajah Bayu kusut bukan main. Seorang sipir menggandeng lelaki bertato itu menuju ke sebuah ruangan. Meski sudah dijebloskan ke dalam jeruji besi, raut muka Bayu masih pongah.
Bukan hal baru baginya keluar masuk penjara. Tinggal telepon backingan-nya --- nanti juga beres.
"Jangan lama-lama!" sentak sipir pada Bayu.
Bayu tak menjawab dan bergegas meraih gagang telepon. Lalu, ia menekan-nekan tombol angka nomor tujuan. Tak selang lama, seseorang dari seberang pun mengangkat.
"Bos!" sapa Bayu semringah.
"Kenapa?" sahut lelaki dari seberang.
"Tolongin, Bos. Saya kemaren ditangkap waktu lagi bisnis. Saya pikir saya ini pasti dijebak. Semua terasa sudah diatur. Sudah TO kayaknya. Bos bisa bantu saya, 'kan?" Bayu mengiba.
(TO : Target Operasi)
Si lelaki terbahak. "Jangan kepedean kamu. Siapa kamu pakai dijebak segala? Terkenal saja tidak."
"Buktinya disaku saya ada ganja, Bos. Padahal nggak mungkin saya naik pesawat bawa narkoba segala. Emang saya bego?" terang Bayu. "Sekarang saya kena pasal berlapis."
"Pesawat?"
"Ya, Bos. Saya di Jakarta sekarang. Ada di Bapas Jaksel." Bayu sesekali melirik sipir yang mengawasi.
"Jakarta?!" seru si lelaki. "Gila kalau kamu hubungi aku untuk menolongmu. Jakarta bukan wilayahku. Makanya pikir dulu sebelum gegabah melakukan sesuatu."
Bayu mulai pucat pasi. "Te-terus gimana nasib saya Bos?"
"Tidak ada yang bisa kulakukan. Terima saja hukumanmu."
KLIK. Sambungan telepon diputus secara sepihak. Raut wajah Bayu berubah bagai bulan kesiangan. Tidak mungkin ini terjadi! Ia semakin yakin dirinya telah dijebak.
"J*ncok!!!" umpat Bayu sekencang-kencangnya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top