FIFTY-SEVEN

Sesuai janji, ya! Karena sudah sampai 100 vote aku Up. Berikutnya kutunggu sampai 150 vote baru UP bab 58, okay!
Kalian pasti bisa, Folks 🖤

Gisella berjalan menyusuri lorong kantor. Kesibukan para staf di ruangan masing-masing membuat selasar panjang itu lengang. Hanya ada bunyi heels-nya yang bertumbukan dengan granit.

Sekretaris CEO itu membawa sebuah dokumen penting di tangan. Ia masih teringat pesan sang bos kemarin. Tetapi, rupanya Gisella punya rencana lain.

"Sudah kamu cek lagi? Pastikan ejaan dan semuanya benar." Jeffrey memandang pada layar komputer lipat. Tak sedikit pun netranya tertarik melihat pada lawan bicaranya.

Gisella mengangguk. "Bapak yakin mau memasukkan nama Raline Lara sebagai desainernya? Bukankah hak cipta rancangannya sudah menjadi milik the MAXIMAL?" sahutnya.

Gisella akhirnya mendapatkan atensi Jeffrey. Sang CEO menyorot si sekretaris dengan tatapan tajam.

"Kita bahkan tetap memajang nama Marlena pada buku katalog. Lalu, mengapa Raline Lara harus mendapat perlakuan berbeda?" sergah Jeffrey.

"Ta-tapi dia desainer yang belum genap setahun bekerja di sini, Pak. Dan lagi, The Sinner akan memulai debut globalnya. Alangkah baiknya jika menggunakan nama Bapak saja," sanggah Gisella.

Jeffrey mengaitkan jari-jarinya di atas meja. Aura mengintimidasi lelaki maskulin itu mulai menguar menguasai atmosfer.

"Bukan aku yang menciptakan The Sinner, Gisella. Tapi Raline Lara. Dia desainer utamanya. Meski kita sudah mengambil hak paten seluruh karya dari tim perancang, tetapi kita tetap harus mencantumkan nama mereka. Paham?"

Gisella menelan ludah kasar. "Ta-tapi, Pak Jeff ..."

"Kamu mau menggantikan posisiku di sini?" sela Jeffrey dingin.

"Tidak, Pak." Gisella menunduk.

"Maka lakukan apa yang harusnya kamu lakukan!" tegas Jeffrey.

***

Kurang dari seminggu menjalani proses vermak dan penambahan detail, The Sinner sudah siap dikirim ke Korea Selatan. Melalui seorang perwakilan perusahaan ditemani oleh public relation, rancangan Raline pun diantarkan menuju manajemen WildRoses.

The Sinner akan dikenakan oleh WildRoses demi kepentingan pemotretan majalah gaya hidup dan mode. Vague Korea. Sebelum diterbitkan, mereka berjanji akan mengirimkan draft kasar kepada the MAXIMAL.

Semua berjalan cukup lancar bagi the MAXIMAL. Kerja sama dengan salah satu bintang Hallyu akan memancing perhatian dari para penggemar. Apalagi WildRoses terkenal memiliki fans yang fanatik di seluruh dunia. Tampaknya Korea Selatan sukses menggapai 'soft power' yang sudah mereka canangkan semenjak 23 tahun lalu.

Fenomena Korean Wave memancing masyarakat dunia untuk berpenampilan atau bergaya bak Idol KPop. Tak hanya itu, mereka juga tertarik membeli serba-serbi yang berhubungan dengan sang idola.

Bukan tidak mungkin --- the MAXIMAL bakal melejit dan banjir pesanan saat member WildRoses tertangkap mengenakan koleksinya.

Impian Jeffrey untuk membuka store di luar negeri bisa saja segera terwujud. Semua tidak lepas dari campur tangan Raline Lara. Wanita itu adalah sosok luar biasa yang memberi Jeffrey segalanya. Ia sudah membayangkan akan mengajak Raline berkeliling dunia sambil melakukan ekspansi.

"Raline ..." panggil Jeffrey. Ia sedang mengemudikan mobil menuju kantor.

Raline menengok. "Hmm?"

"Jika ternyata The Sinner laku keras di pasaran dan the MAXIMAL meraih laba besar. Aku ingin memberimu hadiah," ujar Jeffrey.

Raline mengulum senyum. Padahal baru berupa janji, tetapi hatinya luar biasa bahagia.

"Hadiah apa?" tanya Raline.

"Kita jalan-jalan. Kamu mau ke mana?" pancing Jeffrey.

Dahi Raline berkerut. Ia sedang berpikir ke mana tujuan yang diinginkan. "Ke Malang?" sahutnya polos.

"Malang? Apa keinginanmu selalu sederhana, Sayang? Tidak adakah tempat lain yang ingin kamu kunjungi? Tempat yang jauh pun tak apa. Luar negeri kalau perlu," kekeh Jeffrey.

Raline terdiam dan kembali berpikir. Luar negeri? Ke luar pulau saja dia belum pernah, apa lagi luar negeri. Namun, bukankah tidak ada salahnya bercita-cita tinggi? Siapa tahu kelak akan terwujud.

"Ehm, di mana tempat yang lautnya sebening kristal? Seindah tempat tinggal putri duyung kecil?" Raline memandang kekasihnya dengan mata penuh binar.

Jeffrey menarik sudut bibir ke atas hingga membentuk lengkungan. "Italia. Tepatnya Pulau Sardinia. Lautan di sana dinobatkan sebagai lautan sebening kristal. Kamu mau ke sana?" tawarnya.

"Mau." Raline mengangguk cepat. "Kamu sungguh-sungguh?"

Secara sekerjap, Jeffrey mengusap pipi Raline dengan lembut. "Aku berjanji akan membawamu ke tempat-tempat indah yang ada di seluruh dunia, Raline."

Bukannya senang, relung Raline justru serasa diremas. Ia merasa sangat terharu. Baru kali ini ada seseorang yang mencintainya begini besar. Seseorang yang dia juga cintai sepenuh hati. Cinta berbalas yang tak pernah Raline dapatkan dari siapa pun, termasuk orang tuanya sekali pun.

Mata Raline pun berkaca-kaca.

"Hei? Kamu kenapa? Ada yang salah?" selidik Jeffrey.

Raline menggeleng pelan. "Tidak, hanya saja ... aku sangat bahagia."

"Sama halnya denganku, Raline." Jeffrey meraih jemari Raline dan mengecupnya. "Oh ya. Kamu nggak apa-apa kutinggal ke Bandung besok? Apa mau ikut denganku saja?"

"Mana mungkin aku ikut denganmu, pekerjaanku menumpuk. Lagi pula, apa kata staf lain kalau tahu kita pergi bersama," sahut Raline. Ia kembali melanjutkan, "Kamu hanya pergi sehari. Aku akan baik-baik saja di sini.

"Baiklah." Jeffrey kemudian melonggarkan genggaman tangan mereka.

Range Rover si lelaki dominan akhirnya berbelok masuk ke dalam perusahaan. Belakangan ini --- baik kehidupan pekerjaan mau pun seksual terasa indah bagi keduanya.

***

Jeffrey memang hanya pergi sebentar untuk urusan bisnis. Ia ke Bandung selama sehari saja. Namun bagi Raline ketiadaan sang kekasih membuat dunia serasa suram.

Raline menghabiskan jam makan siang dengan tetap berada di ruang tim perancang. Ia tidak lapar. Wanita itu membunuh waktu dengan membaca katalog-katalog perusahaan. Raline juga melihat-lihat kumpulan majalah mode di mana model atau selebriti lokal mengenakan rancangan the MAXIMAL.

Hatinya tiba-tiba bergetar.

Ia membayangkan namanya nanti akan terpampang pada salah satu majalah kenamaan yang telah terbit pada 25 negara.

WildRoses X the MAXIMAL | The Sinner by Raline Lara.

Demi Tuhan. Mana pernah Raline memimpikan ini semua. Rasanya bak mimpi. Ia mulai percaya bahwa kebahagiaan memang akan datang bagi umat yang sudah berusaha keras.

Saat Raline sedang melamun, ponselnya tiba-tiba berdenting. Pada layar terpampang sebuah notifikasi pesan dari nomer asing. Raline pun bergegas membacanya. Napas wanita itu seakan berhenti sesaat. Pesan itu dari Anwar --- ayah Jeffrey.

0812678****
Aku Anwar Bahadir. Kita butuh bicara berdua. Temui aku sekarang di kafe di samping kantor.

Entah dari mana Anwar mendapatkan nomornya. Itu tak lagi penting. Yang terpenting adalah apa tujuan Anwar memintanya bertemu.

Raline mendadak berkeringat dingin. Tapi, hei, sudahlah. Semua akan baik-baik saja. Ia tidak boleh kalah oleh gertakan ayah kekasihnya. Mungkin juga ini merupakan saat yang tepat untuk bicara dengan Anwar dari hati ke hati.

Bisa jadi, Anwar bakal luluh setelah mengetahui potensi yang ia miliki. Benar, bukan? Setelah mempersiapkan mental, Raline pun bergegas menemui Anwar.

***

Biasanya --- permusuhan dalam drama atau sinetron terjadi antara ibu mertua dengan menantu wanitanya. Atau antara ibu si lelaki dan kekasih wanitanya. Baru kali ini Raline mengalami perang dingin melawan ayah kekasihnya. Sepertinya Raline memang ditakdirkan bertarung dengan lelaki paruh baya. Kalau tidak Bayu, ya, Anwar Bahadir.

Aroma biji kopi yang digiling menguar memenuhi ruangan kafe. Wanginya begitu sedap, tetapi tetap tidak bisa menghilangkan kegetiran pada hati Raline.

Suasana kafe agak ramai, pasti karena sedang jam makan siang. Netra Raline  melirik ke sana ke mari mencari sosok Anwar. Ia akhirnya menemukan lelaki itu duduk pada sudut kanan dekat dengan jendela. Meski gemetaran, si rambut perak pun memaksakan kakinya mengambil langkah besar.

"Duduklah." Anwar tersenyum. Bukan tipikal dari senyuman ramah, melainkan bentuk intimidasi.

Raline mengambil tempat tepat di hadapan ayah kekasihnya.

"Ada apa Om ingin bertemu dengan saya?" tanya Raline.

Anwar berdeham. "Panggil Bapak, aku kurang nyaman dengan sapaan akrabmu, Mbak Raline," sergahnya.

Raline menatap Anwar dingin. Sebegitu buruknyakah ia di mata pebisnis itu?

"Kamu sudah bertemu dengan bapakmu? Bayu," pancing Anwar.

Raline menggelengkan kepala. "Bapak memang sering jarang pulang."

"Sudah mencoba menghubungi ponselnya?" tanya Anwar lagi.

"Tidak," jawab Raline singkat.

Anwar menyeringai tipis. "Kamu tak akan berhasil menghubungi nomornya karena dia sekarang mendekam di balik jeruji besi. Terkena pasal berlapis karena praktik prostitusi dan penyalah gunaan obat-obatan terlarang."

Raline bergeming.

"Itu bukan hal yang baru lagi. Bapak memang sering keluar masuk penjara. Tapi tidak lama," sahut Raline.

"Tidak kali ini." Anwar menyesap kopi hitam di cangkir. "Dia memang jago kandang. Tetapi di kota lain, bapakmu tak memiliki perlindungan apa pun."

"Ma-maksud, Pak Anwar?" selidik Raline.

"Aku sudah tahu kalau Bayu memiliki relasi dengan seseorang berpangkat tinggi di sini. Ini memang wilayah kekuasaan bapakmu. Dia bebas semaunya karena memasok wanita pada pelindungnya. Tapi ia lupa kalau di tempat lain, dia hanya seorang muncikari rendahan yang jelas-jelas melanggar hukum," ujar Anwar.

"Bapak sekarang ... tidak di Surabaya?" tanya Raline terbata-bata.

"Sudah kubilang kalau aku akan membantumu lepas dari jeratnya, Mbak. Sekarang, aku akan lebih berbaik hati lagi padamu." Anwar mencondongkan tubuh. Netra pekatnya mengingatkan Raline akan sorot Jeffrey. "Aku akan membiayaimu untuk mengambil sekolah mode di Paris. Bukankah menjadi desainer adalah impianmu? Kini tak ada lagi Bayu yang akan menghalangi."

"Sa-saya sudah menjadi desainer di the MAXIMAL," sanggah Raline.

Anwar terkekeh, "Kamu pikir itu cukup? The MAXIMAL adalah perusahaan berkembang yang belum stabil. Kamu seharusnya mandiri dan tidak menggantungkan hidup dengan seorang lelaki. Lagi pula, di dunia ini, gelar adalah hal penting setelah koneksi. Tanpa the MAXIMAL, kamu hanyalah wanita lulusan SMA, Mbak Raline. Tidakkah kamu ingin menikmati kebebasan masa mudamu sambil meraih jenjang lebih tinggi?"

Raline terdiam sesaat.

"Oh ya," lanjut Anwar. "Kamu tak perlu risau soal adikmu. Aku juga akan menanggung biaya hidupnya di sana. Pikirkan juga soal masa depannya. Pendidikan di luar lebih baik ketimbang di sini."

Raline meremat celana kain yang ia kenakan.

Anwar kembali tersenyum --- kali ini lebih lebar. Raline Lara bodoh kalau ia menolak penawarannya. Anwar cukup bermurah hati kali ini. Sangat dermawan malah.

"Pak Anwar," ucap Raline. "Maaf tapi ..." Ia menengadahkan kepala untuk menatap Anwar secara langsung. "Meski Bapak menawarkan dunia kepada saya, saya tetap tidak akan meninggalkan Jeffrey."

Darah Anwar seketika naik ke atas ubun-ubun. "Apa?" gumamnya.

"Bahkan meski Bapak menawarkan saya Surga sekali pun, saya tetap akan memilih Neraka asalkan bersama dengan Jeffrey."

"Wanita rendahan tidak tahu diri," umpat Anwar.

Raline menarik sudut bibir ke atas. Ia menyembunyikan ketakutannya melalui senyuman. "Tapi saya cukup hargai penawaran yang Bapak tawarkan."

"Ingatlah satu hal. Aku sudah membantumu menyingkirkan campur tangan Bayu dari kehidupanmu!" Intonasi Anwar mulai meninggi.

Raline teringat perkataan Jeffrey. "Saya sama sekali tidak memintanya."

BRAK. Dengan penuh emosi, Anwar menggebrak meja. Akibat ulahnya, beberapa pengunjung kafe pun melirik pada mereka.

Raline bergegas bangun dari duduk. Ia khawatir Anwar bakal menyiramnya dengan cairan kopi panas yang ada di atas meja. Tipikal drama atau opera sabun.

"Pak Anwar, saya permisi. Sekali lagi, saya ucapkan terima kasih untuk semua."

Raline pun melengos meninggalkan Anwar yang diselimuti amarah.

***

Beberapa staf baru saja kembali dari makan siang. Suasana kantor sedikit santai karena CEO mereka sedang tidak ada di tempat.

Raline hendak menggeser barn door ketika Gisella tiba-tiba menahan lengannya.

"Mbak Raline, bisa kita bicara?" ajak Gisella.

Raline menghela napas. Ia sebenarnya butuh menenangkan diri setelah bicara dengan ayah kekasihnya. Namun, tak mungkin menolak Gisella. Si sekretaris pasti hendak bicara soal pekerjaan.

Gisella membawa Raline masuk ke dalam ruang meeting. Wanita berambut sebahu itu kemudian menutup pintu dan mengambil tumpukan matte paper. Gisella lalu memberinya kepada Raline.

"Ini adalah draft Vague Korea yang baru saja dikirim ke perusahaan. Lihatlah," kata Gisella.

Raline mendadak semringah. Membaca namanya di sana merupakan penghiburan setelah bersitegang dengan Anwar. Namun, senyum Raline mendadak pudar.

WildRoses X the MAXIMAL | The Sinner by Pratama Jeffrey Daud

"Aku merasa kasihan padamu, Mbak. Karena kita sama-sama perempuan aku ingin memintamu untuk berhati-hati."

Raline memandang Gisella penuh kebingungan. Ia masih tak percaya dengan apa yang ia lihat.

Gisella kembali berkata, "Apakah kamu tidak sadar kalau Pak Jeffrey hanya menggunakanmu untuk mendapatkan keinginannya semata? Dia adalah lelaki paling ambisius selama aku bekerja dengannya."

"Je-Jeffrey tidak ... begitu ... pasti ada kesalahan di sini," sanggah Raline.

Gisella menggeleng. "Tidak ada kesalahan, Mbak. Dan apa yang dilakukan Pak Jeffrey juga tidak melanggar ketentuan. Seluruh rancangan tim perancang memang menjadi hak paten the MAXIMAL."

"Tapi Jeffrey bilang, dia akan mencamtumkan namaku di sini," kata Raline nanar.

"Pak Jeffrey hanya memanfaatkanmu. Aku sudah mengingatkan beliau sebelumnya. Tapi dia terobsesi menjadi terkenal hingga bisa menyaingi Anwar Bahadir, ayahnya. Hubungan mereka memang kurang begitu baik. Dan Pak Jeffrey berupaya melakukan apa pun untuk mendapat pengakuan dari dunia."

Seluruh persendian Raline melemah. Semua pasti salah. Ia percaya dengan kekasihnya.

"Mbak Raline sudah tahu kalau Pak Jeffrey sudah punya calon tunangan di Jakarta?" pancing Gisella lagi.

Seketika Raline terbelalak dengan tenggorokan tercekat. "Calon tunangan?"

"Namanya Adinda --- putri satu-satunya dari pengusaha ritel berskala internasional."

Mata Raline mulai menggenang.

Dunia wanita itu seakan berputar dan berguncang.

Seluruh kerja keras dan tetes keringat yang ia curahkan untuk The Sinner, dicuri begitu saja. Parahnya, orang yang paling ia percaya adalah pelaku utamanya.

Harusnya dia tidak heran.

Semula Jeffrey merenggut kesuciannya. Lalu hatinya. Dan sekarang ... mimpi yang ia curahkan.

Penghianatan terasa lebih menyakitkan ketika dilakukan oleh orang yang teramat dicintai. Ini salah Raline. Salahnya karena terlalu naif.

Dan bodoh.

Air mata Raline tumpah membasahi pipinya yang pucat. Kali ini bukan karena kesedihan. Melainkan sakit hati dan amarah yang begitu mendalam.

Folks!

Sembari nunggu KINKY, gimana kalau binge BOOKING ORDER? nggak kalah seru + panas juga!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top