FIFTY-NINE
Raline melangkah lemah menyusuri trotoar sekitar jalan Urip Sumoharjo.
Sakit hati pada Jeffrey membuatnya enggan berlama-lama menginjakkan kaki di the MAXIMAL. Raline memberikan segalanya untuk lelaki itu. Ia bahkan rela menjual jiwa kepada iblis demi Jeffrey seorang. Tetapi, apa yang ia dapatkan?
Pengkhianatan.
Pertama kebohongan soal Adinda, lalu penghapusan namanya sebagai desainer The Sinner.
Fakta bahwa selama ini Jeffrey telah menertawakannya dari belakang memancing air mata Raline kembali menitik. Semua menyakitkan karena ketololannya sendiri. Seandainya ia tak gampang percaya pada bualan-bualan indah Jeffrey, mungkin Raline tak akan sesakit ini. Harapan wanita itu terlanjur membumbung tinggi. Mungkin Raline serakah berharap dunia akan mengakui keberadaannya.
Raline terus berjalan melewati area pertokoan dan rumah makan. Tiba-tiba seseorang menepuk bahu Raline dari belakang.
"Angel?"
Raline menengok. Tampak wanita berwajah familiar - berdiri dan memandangnya penuh tanya.
"Angel! Apa kabar?" tegur si wanita itu.
"Ra-Rana!" mata Raline terbelalak. Rana adalah teman sesama dancer di klub. Rana juga yang selalu berbaik hati menawarkan Raline job sampingan sebagai striper.
Rana merupakan teman Raline yang dulu Bayu jebak hingga masuk ke dalam penjara. Sepertinya ia sudah menuntaskan masa hukumannya.
"Kamu apa kabar, Ngel? Nggak sangka kita ketemu lagi di sini! Kudengar kamu sudah resign dari Koyote, ya?" cecar Rana.
Raline mengangguk. "Iya, aku memang sudah keluar dari lama."
"Kenapa? Dapat pekerjaan baru?" tanya Rana.
"Tidak." Raline menggeleng lemah. "Aku tak punya pekerjaan."
"Oh ..." Rana bergumam pelan. Ia kembali melanjutkan, "Kalau aku, sih, memang dipecat dan nggak diterima lagi di sana. Kamu sudah dengar, 'kan, aku kena grebek waktu striptease? Parahnya ditemukan inex di dalam tasku!"
Raline menelan saliva. Ya, aku tahu, itu adalah ulah Bayu.
"Tiga bulan kemudian aku dibebaskan karena nggak terbukti bersalah," lanjut Rana.
Raline memaksakan senyum pada bibir. "Syukurlah, Ran," ucapnya.
"Tapi sungguh, lho, aku senang sekali berjumpa denganmu, Ngel!" Rana mengelus lembut lengan Raline. "Kamu beneran nganggur?"
Raline menjawab dengan anggukkan kepala.
"Kalau mau kerja di tempatku, deh. Tapi di Jakarta. Di sini sudah tidak ada yang mau menerimaku," kata Rana.
"Jakarta?"
"Iya. Aku pindah ke Jakarta. Kebetulan kemarin pulang ke sini untuk menjenguk saudaraku yang sedang sakit," jawab Rana.
"Oh begitu." Raline menanggapi sekenanya.
"Lagian aku ..." Belum selesai Rana bicara, seorang lelaki datang menghampiri mereka. Lelaki itu merangkulnya mesra seraya memandang Raline dengan penuh tanya. "Eh, Ngel. Ini suamiku. Kami baru saja menikah bulan lalu," terang Rana.
"Halo, Mbak. Aldi," ucap suami Rana menjulurkan tangan.
Raline pun menerima jabatan Aldi. "Angel, Mas," sahutnya.
"Suamiku ini bartender. Dialah yang membantuku masuk sebagai dancer di klub tempatnya kerja. Gajinya lumayan ketimbang kerjaan kita yang dulu, Ngel." Rana beralih menoleh pada Aldi. "Yang, Angel ini temanku sesama dancer. Apa bisa kamu bantu dia bekerja di klub juga?"
"Bisa aja. Tapi memang Mbak Angel mau pindah ke Jakarta?" selidik Aldi.
Raline terdiam.
Ia memandang Aldi dan Rana secara bergantian. Kota Surabaya hanya menyisakan pahit untuknya. Dan lagi, ia juga sudah terbebas dari jeratan Bayu. Mungkin pergi adalah jalan terbaik untuk melupakan semua luka.
"Bagaimana jika aku mau, Ran?"
Rana tersenyum. "Malam ini, aku dan suamiku balik ke Jakarta. Kita bawa mobil sendiri. Kamu bisa bareng kalau mau," tawarnya. "Boleh, kan, Yang?" Ia pun bertanya pada sang suami.
Aldi mengangguk seraya mengulas senyum ramah.
Raline menelan tangis yang bercokol pada tenggorokan. Pada akhirnya, ia kembali merangkak sebagai seorang penari di klub malam. Semua yang terjadi padanya selama setahun belakangan bagaikan mimpi indah. Dan sekarang, sudah waktunya terbangun.
Happy Ending hanya karangan yang dibuat oleh manusia untuk bersembunyi dari realitas.
Sudah menjadi hukum alam bahwa kemenangan hanya dikhususkan bagi kalangan berkuasa atau berduit. Sementara bertahan hidup untuk hari ini adalah suratan takdir yang harus dijalani si miskin seperti Raline.
Untuk kali ini --- ia benar-benar tak lagi berani bermimpi.
***
Barisan angka pada layar ponselnya membuat Gisella mengulum senyum.
Anwar mengapresiasi langkah cerdas sang sekretaris untuk menyabotase hubungan Raline dengan Jeffrey.
Gisella memang tak terobsesi memiliki Jeffrey --- semua mustahil. Namun ia enggan jika wanita rendahan macam Raline Lara justru bersanding dengan lelaki yang sudah lama ia kagumi itu. Adinda lebih sepadan bersama dengan seorang Jeffrey Daud Pratama.
Ia saja sadar diri --- dasar udik, tidak tahu posisi!
***
Rafli terbaring pasrah di atas bed pasien. Ia merasa kehilangan power karena untuk bernapas saja mesti dibantu masker oksigen. Ruangan President Suite yang ia tempati terlalu sunyi dan dingin. Hanya terdengar bunyi dari alat pasien monitor yang memonitoring kondisi fisiologisnya.
Seorang dokter ditemani perawat rumah sakit datang untuk memeriksa Rafli. Lelaki itu baru saja sadar dari pingsan.
"Pak Rafli," sapa Dokter lembut. "Bagaimana perasaannya?"
"Saya sudah lebih baik," sahut Rafli.
"Sebelumnya pernah mengalami hal seperti ini, Pak? Atau merasa keluhan sakit pada area dada?" tanya Dokter.
Rafli menggeleng pelan. "Tak pernah. Ini yang pertama." Ia lalu memandang ke arah dokter dan perawat. "Kapan saya boleh pulang?"
Dokter tadi hanya tersenyum tipis. "Kita pantau dulu kondisinya, ya, Pak. Bapak Rafli baru saja mengalami serangan jantung. Kemungkinan karena jumlah alkohol berlebihan yang masuk ke dalam tubuh. Bisa juga akibat aktivitas berat yang sebelumnya Bapak lakukan."
Rafli mendecih.
"Seks bukan aktivitas berat untukku, Dokter," katanya. "Ini hanya satu kesialan yang kebetulan terjadi."
Dokter dan perawatnya saling berpandangan. Si dokter pun berdeham untuk menetralisir perasaan canggung. Ia kembali melanjutkan, "Sebaiknya kurangi asupan alkohol untuk sementara ini, Pak Rafli."
Rafli mendengkus. Mana mungkin segelas wiski sudah membuatnya tumbang. Dulu ia terbiasa mengonsumi lebih.
Pintu masuk ruangan tiba-tiba dibuka pelan. Adinda menampakkan raut wajah jengah saat melangkah ke dalam. Melihat putrinya datang, Rafli seketika tersenyum lebar.
"Halo, Sunshine," kata Rafli.
Adinda tak menyahuti sapaan dari sang ayah. Ia beralih menghampiri dokter sambil mempertahankan ekspresi datar. "Bagaimana kondisi papi, Dok?" tanyanya.
"Sejauh ini kami lihat masih aman. Namun bukan tidak mungkin hal yang sama bakal terulang. Saya sarankan untuk membatasi jumlah alkohol dan aktivitas berat. Penting juga mengatur pola hidup dan diet seimbang," terang dokter.
Adinda mengangguk paham. "Baik, terima kasih, Dokter."
"Sama-sama." Dokter dan perawatnya pun pamit meninggalkan ayah-anak itu.
Sepeninggal para tenaga kesehatan, Adinda lantas menatap Rafli dengan tatapan tajam.
"Papi dengar apa yang dokter tadi katakan? Ia memperhalus tutur karena menjaga perasaan Papi. Papi harus sadar kalau Papi ini sudah tua. Berhentilah menghabiskan malam di klub!" sentak Adinda geram.
Rafli meringis. "Age is just a number, Dinda. Papi baik-baik saja. Kamu tidak perlu khawatir."
"How old are you? 21? On your age, maturity is more important, Pi!" sergah Adinda. "Sampai kapan Papi menjalani kehidupan macam ini?"
Rafli menghela napas. "Sudahlah, Dinda. Jangan mengomel."
"Aku hanya ..." Adinda mendadak gusar. "Apa Papi tak berpikir untuk menjalani hidup lebih baik? Kudengar dari para ajudan kalau Papi tadi pingsan di klub malam. Itu memalukan dan bukan tempat terhormat untuk meninggal."
"For God sake, Dinda?" Rafli terbelalak. "Kamu mendoakan Papi mati?"
"Pikirkanlah kemungkinan itu, Pi. Semua manusia akan mati. Dan apa Papi mau mati di tempat kotor seperti itu, huh?!"
Rafli mengembuskan napas panjang. Ia terdiam dan memandangi paras anaknya lekat-lekat. "Untuk itulah Papi ingin menyegerakan pertunanganmu dengan Jeffrey. Dengan begitu, Papi akan tenang jika mati kelak."
"Papi?" Adinda menggeleng. "Bukankah Papi tahu, aku dan Jeffrey tidak cocok! Kenapa Papi paksakan lagi? Mungkin saja aku punya pilihan sendiri."
"Siapa? Jangan berani kamu sebut nama Alan, ya, Dinda. Papi sudah cukup menahan diri untuk tak mengusik cecunguk itu," sembur Rafli. Seketika ia memegangi dadanya yang nyeri karena meninggikan intonasi.
Adinda mengepalkan tangan kuat. Tanpa berkata sepatah kata pun, ia melengos pergi. Meski dalam keadaan tak berdaya, ayahnya tetaplah diktator.
Rafli melamun cukup lama setelah Adinda meninggalkannya. Ia teringat sesuatu yang harus ia lakukan. Andai kata ia mati --- seperti kata Adinda --- Rafli tak ingin meninggalkan penyesalan.
Ia membuat gerakan jemari untuk memanggil ajudannya yang berjaga di dekat pintu.
"Iya, Pak Rafli?" tanya ajudan.
"Ada seseorang yang ingin kucari. Entah bagaimana caranya aku ingin kamu menemukannya. Seorang wanita bernama Lina Larasari dan anaknya Raline Lara."
Ajudan tadi mengangguk. "Baik, Pak."
"Semua informasi tentang Lina dan anaknya tersimpan dalam laci meja kerjaku. Aku mau kamu bergerak sekarang," titah Rafli.
"Baik, Pak."
***
Dinding retak dengan cat mengelupas itu masih sama. Tidak berubah. Pot tembikar berisi tanah kering dan batang kamboja layu juga masih tetap pada posisinya. Tidak berubah. Raline berdiri mematung di depan cermin. Ia memandangi pantulan sekeliling rumah yang tidak berubah dari bertahun-tahun lalu. Ia lalu menatap dirinya --- ia yang sudah berubah.
Wanita itu mengelap rambut hitam pekatnya dengan handuk. Si rambut perak yang naif sudah mati.
Tumpukan tas dan kardus berisi barang-barang bawaannya pun sudah berjajar rapi. Merapat di tembok dekat pintu masuk. Raline benar-benar sudah siap untuk pergi.
"Mbak?" Sintia berjalan masuk penuh kebingungan. Netranya makin melotot saat melihat kemunculan kakaknya. "Mbak semir rambut?!"
Raline tak merespon pertanyaan Sintia. Ia justru menggandeng adiknya masuk ke dalam kamar. "Kamu sekarang ganti baju. Kita akan pergi dari sini. Mbak sudah packing semua barang-barangmu."
"A-apa, Mbak? Pergi?" tanya Sintia. "Maksudnya minggat lagi?"
"Ya," sahut Raline.
"Mbak!" seru Sintia. "Mbak lupa dulu bapak mukul Mbak sampai babak belur karena kita minggat? Mbak nggak kapok? Lagian, kasihan kalau bapak kita tinggal, nanti dia ..."
"GANTI BAJUMU!" bentak Raline.
Sintia tersentak sembari melihat Raline. Mata bocah SD itu nanar. Ini pertama kali dalam hidup, sang kakak berteriak padanya.
Tangan Raline seketika gemetaran. Ia pun menarik napas panjang untuk menenangkan diri. Perasaan bersalah memenuhi relung hati Raline. Tak sepantasnya ia melampiaskan kekesalan pada Sintia yang tak tahu apa-apa.
"Maafin, Mbak, ya, Sin," kata Raline. Ia merengkuh Sintia dalam pelukan. "Sekarang Mbak pindah kerja ke Jakarta. Untuk itulah kita harus pergi dari sini."
"Terus bapak gimana?" Sintia menahan tangis.
"Bapak ..." Raline mengambil jeda untuk berpikir. "Bapak juga sekarang kerjanya di kapal laut. Dia nggak akan pulang sampai bertahun-tahun. Nanti kalau tugasnya bapak sudah selesai, baru dia nyusul kita."
"Bapak kerja di kapal laut?" tanya Sintia.
"Iya." Raline mengangguk.
"Kok bapak tidak pamit sama aku dulu, Mbak?" Sintia mulai berkaca-kaca. Biar bagaimana pun, Bayu tetaplah sosok ayah yang ia sayangi.
Raline membelai lembut kepala Sintia. "Bukankah sudah jadi kebiasaan bapak untuk pergi tanpa pamit? Meski begitu dia titip salam untukmu," dustanya.
Sintia pun mengangguk pelan. Dengan pelupuk dipenuhi air, bocah 12 tahun itu lantas masuk kamar dan berganti pakaian. Jelas ia enggan pergi dari rumahnya semenjak kecil. Namun, Sintia hanya bisa pasrah dan menuruti apa kata kakaknya.
Langit malam tampak pucat dan gelap. Bintang bersembunyi dari balik awan mendung keabu-abuan. Bunyi deru kendaraan mulai berkurang akibat larutnya hari. Pada depan gang, Rana dan Aldi memarkir kendaraan. Menanti Raline dan Sintia untuk berangkat bersama. Ketika melihat sosok mereka muncul, Aldi pun berinisiatif membantu membawakan kotak kardus dan tas milik keduanya.
"Waduh, Ngel! Penampilan baru?" selidik Rana dengan ekspresi terkejut.
Raline mengulas senyum tipis. Ia memilih tak menjawab Rana.
"Kita berangkat sekarang, ya." Aldi menutup bagasi.
Sintia mendongak untuk memandang wajah sang kakak. Kegetiran jelas tertangkap pada wajah keduanya. Dengan gamang --- Raline pun membuka pintu mobil. Ia membiarkan Sintia untuk masuk terlebih dahulu.
Sebelum menyusul adiknya, Raline sempat menoleh sejenak ke belakang. Segala yang terjadi seolah terangkum singkat oleh otak. Kalau ia pikir lagi --- dirinya memang naif.
Segala kenangan bersama Jeffrey membayang silih berganti menggoreskan luka. Namun kali ini Raline tidak akan menangis lagi. Semua karena rasa cintanya sudah berganti menjadi benci. Ternyata benar, jatuh cinta membuat seseorang berubah goblok.
"Keluar! Semua yang terjadi padamu, bukanlah urusanku. Pembicaraan kita sudah selesai."
"Kamu tidak akan bisa memerintahku."
"Aku sudah membayarmu ... urusan kita selesai."
"Seorang tuan tak akan tidur satu ranjang dengan budaknya."
Raline heran dengan diri sendiri. Ia membiarkan Jeffrey menginjak-injak martabatnya. Lelaki itu sungguh jahat.
Tapi apa daya --- Raline tak memiliki kuasa untuk membalas. Satu hal yang ia bisa adalah pergi. Berharap agar Tuhan tak lagi mempertemukannya dengan Jeffrey. Raline khawatir ia akan terhipnotis dengan mata pekat sekelam malam milik lelaki itu.
Saat Innova hitam yang ditumpangi keempatnya akhirnya melaju --- Raline pun membisik dalam hati.
Selamat tinggal ...
Kinky sudah tamat di Karyakarsa dan Bestory. Silakan mampir ke sama buat yang gak sabar tunggu gratisan.
Update-an berikutnya ketika sudah mencapai 200 votes ya! Aku tahu kalian bisa, Folks! Salam sayang! MN
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top