FIFTY-FIVE

"Aku sayang kamu."

Raline menggigit bibir bawah seraya memandangi Jeffrey yang tidur di sisinya.

"I love you more," balas Jeffrey. Ia merapatkan selimut dan menggeliat karena masih mengantuk.

Raline merona. Jeffrey masih luar biasa tampan meski baru saja bangun. Rambut lelakinya berantakan. Bahkan matanya sembap dan sedikit memerah. Namun semua itu tak mengurangi pesonanya.

"Boleh aku menciummu?" tanya Raline dengan mata membulat.

"Bagian mana?" goda Jeffrey. Sudut bibir lelaki itu tertarik ke atas dan menciptakan garis melengkung.

"Dahi," sahut Raline.

Raline semringah saat melihat gerakan kepala Jeffrey. Ia pun mencondongkan badan untuk mengecup jidat dominannya.

"Boleh aku menciummu lagi?" pinta Raline mengiba.

Jeffrey seketika terkekeh. "Bagian mana?"

"Hidung." Raline menunjuk hidungnya sendiri.

Jeffrey kembali mengangguk. "Boleh."

Persetujuan dari Jeffrey membuat Raline bersemangat. Secara hati-hati, ia kembali mendaratkan bibir --- kali ini pada puncak hidung Jeffrey yang mancung.

Setelah puas karena dituruti permintaannya, Raline pun tersenyum-senyum seraya merapatkan tubuh dalam pelukan Jeffrey. Posisi Raline lebih tinggi sehingga ia bisa membelai-belai rambut lelakinya. Akibat ulah Raline, Jeffrey sempat terkesiap. Belum terbiasa disentuh sebegini intens oleh seseorang. Namun, lelaki itu memilih memejamkan mata dan mengurung segala ragu.

"Jadi kita sepasang kekasih sekarang?" Raline mengendus rambut Jeffrey. Aromanya unik --- entah musky atau mint.

"Percaya atau tidak, kamu adalah wanita pertama yang menjadi pacarku, Raline," kata Jeffrey. Ia membenamkan wajah pada lekukan leher Raline.

Raline mengerucutkan bibir. Memang apa yang dikatakan lelaki itu benar. Namun entah sudah berapa wanita yang Jeffrey ajak tidur.

Jeffrey berkernyit karena tak mendengar respon submisifnya. Ia pun menengadahkan kepala. "Kenapa? Tidak suka karena aku laki-laki yang masih polos?" selorohnya.

"Polos katamu?" Raline mencubit pinggang Jeffrey yang tak berbalut pakaian.

"Raline!" Jeffrey melotot kesakitan. Ia benar-benar tak terbiasa dengan segala sentuhan yang dilayangkan oleh Raline. Sekarang ia merasa rapuh karena kehilangan segala dominasi dan kontrol.

Raline bergegas mengelus-elus bekas cubitannya.

"Maaf, Jeff! Kamu nggak marah, 'kan?" selidik Raline cemas. Ia merasa bersalah dan memeluk Jeffrey lebih erat.

Jeffrey terdiam. Ia memang kehilangan dominasi dan kontrol. Tapi anehnya ... Jeffrey mulai menyukainya. Raline seakan mengisi lubang menganga pada hatinya yang beku. Sang submisif pelan-pelan menyembuhkan dan menenangkannya.

Sesaat kemudian Jeffrey mengangkat selimut yang menutupi tubuh.

"Kurasa, dia yang marah." Lelaki itu menunjuk ke arah adik-nya yang sudah bangun.

"Ih kamu!" Wajah Raline merah padam karena salah tingkah. Padahal semalam mereka baru saja bercinta.

Bibir Jeffrey membentuk seringai jahil. Tanpa aba-aba ia mengurung Raline dalam pelukan. "Kenapa? Nggak mau? Nggak apa-apa kalau enggak mau. Aku nggak maksa," godanya.

"Kata siapa aku enggak mau," sahut Raline.

Raline dan Jeffrey kompak berpandangan. Sampai pada akhirnya, Jeffrey memutuskan untuk memulai gerakannya. Ia beringsut bangun dan memposisikan diri di atas Raline.

"Aku rindu permainan kita di kamar bermain." Lelaki itu menyesap ceruk leher Raline dengan bibirnya.

Raline menahan desah. "Kenapa kita tak bermain di sana sekarang?" tanyanya.

Seketika Jeffrey menghentikan ciumannya. "Ada keluargaku dari Jakarta. Mereka di Surabaya sejak Jumat. Dan aku justru tidak pulang."

"Astaga, Jeff?"

Jeffrey menangkupkan telapak tangan pada pipi Raline. "Sudahlah. Menghabiskan waktu bersamamu lebih menyenangkan. Toh Minggu sore ini mereka akan pulang." Ia menyisipkan anak rambut Raline ke belakang telinga.

"Jeff, kamu nggak bisa seperti itu. Bukankah mereka datang karena ingin menemuimu? Tetapi kamu malah terus menghindar," ujar Raline.

Sebenarnya Jeffrey tak menghindar --- ia hanya malas berdebat dengan Anwar. Namun, Raline ada benarnya. Sudah lama ia mengabaikan Misye sekaligus Carissa.

Jeffrey pun mengembuskan napas.

"Kalau begitu ... mari pulang bersamaku."

Raline terbelalak. "A-apa?"

"Ikutlah makan siang dengan kami. Aku akan mengenalkanmu pada mereka," ucap Jeffrey.

"Ta-tapi Jeff ... aku ..."

Tanpa aba-aba Jeffrey membungkam Raline melalui pagutan dalam. Ia mendaratkan bibirnya dengan rakus.

"Tidak ada tapi-tapian," kata Jeffrey.

***

Misye merangkai bunga-bunga segar di dalam vas kaca pada meja makan. Ia telaten memotong daun beserta duri pada tangkai mawar. Batang bunga juga dipangkas dengan variasi berbeda-beda. Mawar berukuran paling besar, Misye letakkan di tengah. Sementara yang lebih rendah mengikuti di pinggir-pinggirnya.

Bibir Misye tersungging.

Jeffrey bilang akan makan siang bersama --- membawa seorang teman.

Seorang teman itu maksudnya wanita spesial, bukan? Misye tersenyum-senyum sendiri oleh pikirannya. Ia tidak seperti Anwar yang bersikukuh menjodohkan putranya dengan anak pengusaha kaya raya. Bagi Misye kebahagiaan Jeffrey adalah hal utama. Ia pasti akan menerima segala keputusan sang anak lelaki.

"Ma."

Suara panggilan dari Jeffrey membuyarkan lamunan Misye. Ia pun menoleh sambil mengulas wajah berseri-seri.

"Jeffrey. Akhirnya kamu datang juga, Nak," sambut Misye. Netranya terpaku pada sosok wanita di sebelah Jeffrey. Seseorang berambut ash blonde yang dengan bebas menggenggam lengan putranya.

"Kenalkan, ini Raline Lara." Jeffrey pun mengenalkan Raline kepada Misye.

Raline bergegas menyalimi Misye. Ia mencium punggung tangan ibu dari Jeffrey dengan penuh kesopanan.

"Saya Raline, Tante."

"Oh, Raline." Misye mempertahankan senyum.

Ia berusaha menyembunyikan keterkejutannya. Wanita bernama Raline ini benar-benar telah menaklukkan hati sang anak. Jeffrey menolak disentuh oleh siapa pun, termasuk dirinya. Namun, pemandangan berbeda justru ia saksikan sekarang.

Misye buru-buru merapikan tatanan rambut demi mengalihkan rasa canggung. Ia lalu mengusap lembut punggung Raline untuk mengarahkannya menuju meja makan.

"Ayo Raline, Jeffrey, duduk. Ini hampir melewati jam makan siang. Kalian pasti lapar. Sebentar lagi Carissa dan papa akan turun."

Jeffrey mengangguk. Ia membantu Raline menarik kursi. Sesekali netranya mencuri pandang ke arah sang submisif. Jeffrey pun tersenyum ketika tatapan mereka saling beradu.

Interaksi antara Jeffrey dan Raline tertangkap jelas oleh Misye.

Pantas saja sang anak menolak dijodohkan dengan Adinda. Ternyata, ia sudah punya pilihan lain. Dalam hati Misye berdoa sekencang-kencangnya. Semoga suaminya tak merusak acara makan siang mereka kali ini.

***

Carissa menyeruput mushroom soup sambil melirik Raline. Ia sedang memikirkan topik yang tepat untuk mengawali pembicaraan. Di lain sisi, Anwar menelisik penampilan Raline dari atas ke bawah. Sang pebisnis senior menunggu waktu yang tepat untuk bicara empat mata dengan pelacur di hadapannya.

Lain halnya dengan Misye. Ia sibuk menduga-duga apakah Raline menyukai hidangan makan siang yang ia siapkan. Wanita berkalung mutiara itu juga membayangkan ketika akhirnya Jeffrey dan Raline menikah. Lalu memberikannya cucu selucu Aska --- anak Carissa dan Wisnu. Misye benar-benar menanti hari itu tiba.

Sementara Raline --- badannya tegang sejak tadi. Tak dapat dipungkiri, ia merasakan beberapa pasang mata mengarah padanya. Namun Raline tak berani mendongak. Ia memilih mematri pandangan pada hidangan yang tersaji.

Atmosfer yang menguar di udara benar-benar menegangkan dan berat. Tak ada suara selain bunyi peralatan makan yang bertumbuk pada piring. Waktu pun berjalan lambat. Semua orang sibuk dalam pikirannya masing-masing.

"Mbak Raline kenal Kak Jeffrey di mana?" Pertanyaan Carissa akhirnya memecah keheningan yang menyiksa.

Raline sedikit tergagap. "Ke-kenal di ..."

"Dia desainer di the MAXIMAL," tukas Jeffrey. "The Sinner yang baru saja dipamerkan kemarin adalah hasil rancangannya."

Anwar memberikan setengah senyum. Di dalam hati ia sibuk mencemooh. Jeffrey menyulap si pelacur seolah wanita terhormat. Carissa dan Misye --- atau semua orang --- bisa ia dustai. Kecuali dirinya.

"Oh ya? Hebat sekali." Mata Carissa berbinar. "Aku sangat menyukai desainmu, Mbak. Aku bahkan sudah mengincar beberapa pakaian yang kuinginkan."

Raline tersipu-sipu. "Terima kasih," ucapnya.

"Lihatlah seberapa besar perutmu," ledek Jeffrey.

Carissa mendengkus. "Setelah melahirkan nanti, ini akan kempes dan aku bakal langsing lagi, Kak! Lagi pula, The Sinner tak seperti produk the MAXIMAL yang sebelumnya. Koleksi itu tersedia all size."

"Itu juga ide Raline. Dia cukup cerdas membaca minat pasar. Berkat sarannya, aku tak lagi memikirkan idealisme semata," puji Jeffrey seraya melirik submisifnya.

Raline kian merona.

Misye ikut menimpali, "Tak kusangka kamu sangat berbakat, Raline. Cantik, anggun, dan cerdas. Sungguh paket komplit. Jeffrey beruntung sekali mengenalmu."

Anwar refleks tertawa sarkastik. Ia lalu buru-buru menghentikannya ketika Misya dan Carissa memandanginya dengan penuh tanya.

"Sorry." Anwar mengelap mulut dengan napkin. "Aku tersedak karena terlalu bersemangat makan." Ia melanjutkan tawa dalam hati.

Anggun dan cerdas? Paket komplit apanya? Well --- memang paket komplit. Wanita itu sekaligus berprofesi sebagai pelacur.

Jeffrey berusaha tidak mengacuhkan Anwar. Ia kembali melanjutkan, "Tak hanya itu, berkat Raline the MAXIMAL bakal mendunia."

"Oh ya? Kenapa, Kak?" buru Carissa penasaran.

"Member WildRoses akan mengenakan salah satu pakaian dari The Sinner," terang Jeffrey.

Carissa menepuk tangan. "That was awesome!" Netra hazelnya memandang Raline penuh kekaguman. "I really look up to you, Mbak Raline."

"Te-terima kasih," ucap Raline salah tingkah.

Jeffrey mengulum senyum. Lelaki itu sangat yakin Raline sama sekali tak paham dengan apa yang dikatakan Carissa. Namun, meski begitu ia tetap mengucap terima kasih. Sungguh polos --- menggemaskan.

Ketegangan pun perlahan-lahan mencair. Pembicaraan mulai bergulir secara alami sampai pada akhirnya dessert disajikan. Sikap Raline tak secanggung semula. Segala keraguan yang sempat bersemayam - akan ketimpangan sosial antara dirinya dan Jeffrey - tergerus sedikit demi sedikit.

Raline pikir ini adalah saat baginya untuk menikmati bahagia.

***

"Kak, bisakah aku bicara denganmu berdua saja?" kata Carissa.

Jeffrey melirik Raline dengan berat hati. Ia beralih menatap wajah sang adik yang mengialkan keseriusan.

"Tidak bisakah kita bicara di sini?"

"Kumohon, Kak." Carissa mengiba. "Tak akan lama."

"Ehmm ..." Jeffrey jelas khawatir meninggalkan submisifnya di antara Misye dan Anwar.

Carissa menghampiri Raline dan menggengam punggung tangan si rambut perak. "Tak akan lama, kok. Boleh, 'kan, aku pinjam Kak Jeffrey sebentar?" tanyanya.

"Tentu saja. Silakan," sahut Raline.

Jeffrey mengembuskan napas panjang. "Baiklah." Ia bangkit dari kursi makan dan mengikuti langkah sang adik.

Kini hanya tinggal Misye dan Anwar yang berada di dekatnya. Raline kembali berdebar dan gugup. Tetapi sebisa mungkin ia menutupi kegelisahannya itu.

Bagaimana tidak grogi --- bukankah itu Anwar Bahadir? Pebisnis sukses yang terkadang masuk dalam tayangan berita di televisi. Anwar juga sering menjadi bahan kisah inspiratif pada majalah bisnis.

"Ma, aku ingin minum kopi," kata Anwar kepada Misye.

Misye berdiri dari duduk. "Baiklah, aku akan minta pembantu untuk membuatkan," sahutnya.

"Ah," decak Anwar. "Aku suka kopi buatanmu. Buatan pembantu akan lain rasanya. Gilinglah biji kopi baru."

Misye terpaksa mengiakan. Meski masih ingin mengobrol dengan kekasih putranya lebih lama.

"Mbak Raline juga mau?" tawar Anwar.

Raline menggelengkan kepala. "Ti-tidak perlu. Terima kasih sebelumnya," tolaknya sopan.

"Kalau gitu Tante ke belakang sebentar, ya, Raline." Misye mengulas senyum ramah.

"Baik, Tante." Raline membalas senyuman Misye.

Anwar mengulas seringai tipis pada wajah. Ini adalah saat yang tepat untuk melancarkan aksi. Tepat ketika Misye menghilang dari pandangan, Anwar pun berpindah duduk di dekat Raline.

"Mbak Raline," sapa Anwar. "Saya tidak suka basa-basi. Jadi kita langsung saja, ya."

Jantung Raline berdegup kencang. Tubuhnya merasakan bahaya yang mendadak menyergap.

"Iya, Om?" Raline menyorot Anwar dengan saksama.

"Apa memang jadi pelacur adalah keinginanmu?"

Dunia Raline berubah menghitam. Seluruh persendian pada tulang-tulangnya seolah gemetar dan melemah.

"A-pa ...?" gumam Raline terbata-bata.

Anwar menyandarkan punggung pada kursi. "Ah, sudahlah. Aku sudah tahu kalau kamu adalah pelacur yang semula disewa Jeffrey untuk memuaskan nafsu. Tetapi sepertinya servismu tidak main-main hingga membuat putraku tergila-gila. Aku bahkan sudah tahu soal identitas ayahmu. Namanya Bayu, bukan? Dia yang menjualmu pada Jeffrey. Benar begitu?"

Mata Raline nanar. Bibirnya bahkan kelu sehingga tak mampu mengucap satu patah kata pun.

"Makanya aku tanya, apakah menjadi pelacur adalah pure keinginanmu, atau paksaan dari ayahmu?" sergah Anwar lagi.

Tenggorokan Raline tercekat. Ia masih belum bisa mengeluarkan suara untuk membela diri. Tubuhnya bahkan bergeming dan kehilangan tenaga untuk berdiri.

Anwar kembali melanjutkan, "Kalau memang semua karena paksaan ayahmu --- si Bayu itu --- aku bisa membantumu, Mbak." Ia memandang Raline dengan tatapan mengintimidasi. Ekspresi yang hampir mirip seperti Jeffrey dulu. "Aku bisa menyingkirkan campur tangan Bayu dari hidupmu. Kuselidiki ayahmu itu pemabuk dan pecandu. Aku yakin kamu tidak akan bersedih kehilangan sosok ayah macam dia."

"Apa maksud, Om? Sa-saya tidak mengerti." Raline akhirnya berhasil melontarkan kalimat balasan setelah terdiam cukup lama.

"Aku tahu tujuanmu mendekati Jeffrey adalah uang. Tapi dengan bakat yang kamu miliki, aku yakin kamu bisa memilih profesi lain selain pelacur. Jadi kesimpulanku, melacur merupakan keterpaksaan karena desakan ayahmu, 'kan?" cecar Anwar. Ia mengunci Raline dalam tatapan tajam.

"Om, saya ..." Mata Raline mulai berkaca-kaca. "Saya bukanlah pelacur. Tidak ada lelaki lain selain Jeffrey yang menye ..."

"Shhh." Anwar bergegas menyela. "Cukup. Tak perlu mendramatisir, Mbak Raline. Tujuanku mengajakmu bicara adalah untuk menolongmu. Tadi sudah kukatakan, kalau aku bisa menyingkirkan campur tangan ayahmu. Aku yakin kamu bisa memulai hidup baru selepas dia tidak ada." Ia lalu mencondongkan tubuh mendekati Raline. "Hidup baru dalam artian tanpa putraku Jeffrey."

"Maksud, Om?"

"Tidak ada yang gratis di dunia ini. Untuk menyingkirkan ayahmu, aku meminta balasan darimu," tegas Anwar. "Mudah saja. Cukup akhiri hubungan kalian dan tinggalkan dia."

"Tapi, Om. Saya mencintai Jeffrey." Air mata Raline mulai turun membasahi pipi.

Anwar mendengkus. "Alah. Cinta? Nanti kamu juga bakal jatuh cinta lagi dengan lelaki lain. Pikirkan mana yang lebih penting. Hidup terkungkung dalam tekanan ayahmu. Atau bebas ke mana pun kamu mau."

Raline menggeleng.

"Saya tidak akan meninggalkan Jeffrey. Kami sudah berkomitmen untuk bersama."

Raline memberanikan diri untuk memundurkan kursi makan. Dengan segera, ia pun berdiri dan menegakkan badan.

Anwar tertawa santai. "Aku sudah lama hidup dan mengenal banyak orang sepertimu, Mbak Raline Lara. Kamu pasti akan berubah pikiran setelah merasakan apa itu kebebasan. Terlepas dari jeratan ayah yang tega menjual anaknya sendiri." Ia melayangkan bola mata ke arah Raline.

"Saya tidak akan meninggalkan Jeffrey." Raline bersikukuh dengan intonasi yang mulai bergetar.

"Kalau begitu kamu bakal berutang padaku." Anwar lantas memalingkan wajah dari Raline. Pembicaraan di antara mereka sudah ia anggap selesai.

Sementara itu --- Raline tanpa pikir panjang melenggang pergi meninggalkan ruang makan. Ia tak bisa lagi berlama-lama di sana. Satu ruangan dengan orang-orang yang ternyata menolak keberadaannya.

Ia sadar. Ia salah.

Hubungannya dengan Jeffrey tidak akan semulus dugaan.

Beberapa saat selepas Raline pergi, Misye datang membawa nampan berisi secangkir kopi. Raut wajahnya kebingungan karena tak menangkap sosok Raline.

"Lho? Mana Raline, Pa?" tanya Misye.

"Sudah pulang," sahut Anwar santai.

Misye meletakkan cangkir ke atas meja, tepat di hadapan Anwar. "Pulang? Tanpa berpamitan? Papa serius?" burunya.

"Hmm." Anwar meraih pegangan cangkir dan mengangkatnya. Ia menghirup aroma kopi yang sedap.

Misye menggeram kesal.

"Kali ini Papa melakukan apa lagi, sih? Kalau Jeffrey tahu, dia akan sangat marah!"

"Memang aku melakukan apa? Aku tidak melakukan apa-apa. Wanita itu saja yang tiba-tiba pamit pulang," kelit Anwar. "Ah, sudah. Koper kita sudah siap? Sebaiknya kita segera berangkat ke bandara. Panggil Carissa."

"Pa!" Misye masih belum puas melampiaskan kekesalan.

Namun Anwar berlagak tuli. Ia meniup ke dalam cangkir lalu menyesap cairan kopinya dengan nikmat. Sesampainya di Jakarta --- ada urusan yang harus ia tuntaskan.

***

Gerimis kecil turun membasahi jalanan beraspal yang dilalui oleh  kendaraan-kendaraan bermotor. Malam itu kemacetan di daerah Kuningan, Jakarta Selatan tak separah biasa. Mungkin karena langit sudah gelap dan lingsir. Malam yang kian larut mengurangi kesibukan di ibukota.

Bayu membuka pintu mobil ketika taksi yang ia tumpanginya sudah berhenti di depan lobi Four Seasons.

"Buruan!" seru Bayu pada seorang wanita yang masih ada di dalam taksi.

"Iya-iya," sahut si wanita tadi.

Ini pengalaman perdana bagi Bayu berjualan antar kota. Biasanya pelanggan Bayu adalah kalangan jet set Surabaya. Tapi sepertinya dia naik kelas sekarang.

Seorang lelaki kaya raya asal ibukota memesan jasanya.

Padahal kupu-kupu di Jakarta juga banyak. Pikir Bayu. Namun hidung belang itu justru memilih menggunakan jasanya. Apa lagi alasannya kalau bukan karena Bayu terkenal tidak mengecewakan.

Rasa sombong menguasai relung Bayu. Ia berani melabeli diri sebagai 'Muncikari Tersohor'.

Setelah itu, ia dan PSK cantiknya pun menaiki lift. Mereka lantas turun sesampainya di lantai tujuan. Bayu sudah tahu nomor kamar yang bakal digunakan oleh klien dan anak didiknya bermain.

TINGTONG.

Ia membunyikan bel kamar. Tanpa menunggu lama, seorang lelaki muda membuka pintu untuk Bayu.

"Pak Bayu?" tanya si lelaki.

Bayu mengangguk ramah. "Iya. Saya bawakan pesanan Bapak," ucapnya.

Lelaki tadi membuka lebar pintu agar Bayu dan wanitanya bisa masuk. Ia pun mempersilakan dua orang itu untuk mengikutinya.

"Mari Pak Bayu. Kita urus pembayarannya sekarang," kata si lelaki seraya menjatuhkan bokong ke atas sofa.

Raut wajah Bayu sedikit bingung. "Bayar sekarang, Pak? Nanti setelah main juga boleh."

"Sekarang saja." Lelaki itu tersenyum. Ia lalu mengeluarkan segepok uang ratusan ribu dan menyodorkannya pada Bayu. "Segini, ya, Pak?"

Bayu semringah. "Terima kasih banyak." Ia lalu menerima uang dari si lelaki.

Baru sedetik memegang bayaran, tiba-tiba dua orang lelaki dan satu orang wanita berpakaian preman keluar dari balik partisi kamar. Si lelaki bersama satu temannya yang berbadan paling besar menghambur dan membekuk badan Bayu.

Akibat terkejut, Bayu sama sekali tak melawan dan membiarkan dua orang tadi menindih tubuhnya di atas lantai.

"Saudara Bayu, Anda kami tahan karena terbukti melakukan perdagangan manusia atau human trafficking yang melanggar pasal 296 dan pasal 506 KUHP ..."

Baca juga works-ku yang lain, ya. Berikan votes dan komen supaya aku makin semangat berkarya 🖤🖤🖤

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top