FIFTEEN

Cairan bening membasahi pipi Raline yang tirus. Perkataan yang meluncur dari bibir Jeffrey seolah belati tajam. Belati itu menghujam jantung Raline hingga terkoyak.

Sedetik yang lalu Jeffrey membawa Raline ke surga. Kemudian sekarang, lelaki itu mendepaknya dalam neraka.

"Jeff, apa kamu menipuku?" Raline terisak. Ia berdiri di depan pintu kamar --- menghalangi Jeffrey pergi keluar.

"Menipumu apa? Satu-satunya orang yang tertipu adalah Daniel. Bukan kamu. Aku sudah membayarmu dan kamu sudah melayaniku. Urusan beres," ujar Jeffrey.

Raline menyorot Jeffrey melalui tatapannya yang sendu. "Aku pikir, kamu akan seterusnya menolongku. Aku pikir ..."

"Kamu pikir apa?" sela Jeffrey. "Kamu lupa siapa dirimu?"

Sesaat, napas Raline seketika berhenti. Tidak mungkin Jeffrey sejahat ini. Bukankah, ia adalah lelaki yang menyelamatkannya dari Daniel?

Jeffrey melanjutkan, "Kamu seorang wanita bayaran. Sudah menjadi tugasmu melayani pelanggan dengan tubuh."

"Jeff ...?" Raline bersimbah air mata. Ia yakin ini semua adalah mimpi buruk --- tidak nyata.

"Apa kelak kamu akan begini kepada semua pelangganmu?" Jeffrey menyeringai. "Jangan naif, Raline."

"Maksudmu, kamu tidak memiliki perasaan apa pun untukku? Meski aku bersedia menjadi submisif-mu?" cecar Raline.

Jeffrey menggeleng. "Kamu tidak ada artinya bagiku. Sama seperti Irma, atau pelacur-pelacur lainnya."

Jeffrey melengos melewati Raline. Ia kemudian membuka pintu kamar hotel dan berlalu pergi. Lelaki itu meninggalkan Raline yang terdiam dan mematung meratapi nasib.

Raline sudah terbiasa diacuhkan semenjak ia kecil. Pengabaian, penolakan, dan makian kasar merupakan makanan sehari-harinya. Raline sendiri sudah ikhlas akan itu semua.

Namun, semua terasa menyakitkan jika Jeffrey yang melakukannya. Begitu pedih dan lara.

Apa cinta memang ditakdirkan sesakit ini? Seharusnya Raline tidak membiarkan perasaan terlarang itu tumbuh. Kini sudah terlambat untuk menyesali. Bunga cinta Raline sudah bersemi subur dalam jiwa. Berdiri kokoh dengan akar yang kuat.

Bintang-bintang tak lagi indah.

Malahan, sinar dan kerlipnya berubah pucat. Langit bahkan tak lagi sama. Tidak gelap ataupun terang. Semua berubah abu-abu muram bagi Raline.

***

Marni mengusap matanya yang masih lengket dan berat. Rambutnya yang penuh uban diikat tinggi menggunakan karet. Ia memakai jaket tebal untuk menghalau udara dingin pagi buta.

"Pak Jeffrey, kenapa baru pulang?" tanya Marni.

Jeffrey menarik sudut bibir ke atas. "Kok udah bangun, Bi?" sahutnya.

"Bibi gelisah semalaman. Tidak biasanya Bapak menginap di luar tanpa mengabari. Ponsel Bapak dihubungi juga tidak aktif. Ke mana saja, sih?" omel Marni.

"Aku salut denganmu, Bi. Tidak peduli pagi buta, kecerewetanmu konsisten." Jeffrey membuka pintu kamarnya dan masuk ke dalam. Lelaki itu melepas jas dan melemparnya ke atas ranjang.

Marni mendecih. "Bibi serius, Bapak Jeffrey," tegasnya.

"Oke, sorry karena telah membuatmu khawatir, Ibu Marni," goda Jeffrey. Ia melirik Marni dengan tatapan jahil.

Marni berkernyit. Ia mendekati Jeffrey yang merebahkan badan pada kasur. Wajah lelaki itu lebih semringah dari biasa.

"Apa terjadi sesuatu hari ini?" selidik Marni.

Jeffrey mengulum senyum. "Launching produk Valentine berjalan sukses," jawabnya.

"Bibi tebak bukan soal pekerjaan." Marni menelisik Jeffrey. Ia duduk di tepian ranjang. Kekesalannya mendadak pudar karena mendapati senyum Jeffrey yang terkembang.

Jeffrey terpejam, namun tarikan melengkung pada bibirnya tetap bertahan. Lelaki itu teringat malam yang ia habiskan bersama Raline Lara.

"Jeffrey!" sentak Marni yang penasaran. Kalau sudah mulai marah, Marni enggan memanggil Jeffrey menggunakan embel-embel 'Bapak'.

Jeffrey meringis. Marni memang kepo. Tapi lelaki itu sama sekali tidak terganggu. Marni sudah merawatnya semenjak kecil. Ia bahkan lebih lengket dengan Marni ketimbang ibu kandungnya sendiri.

"Aku tadi bertemu Raline di JW Marriot," terang Jeffrey.

Marni membelalak. Ternyata, Raline alasan Jeffrey berseri-seri. "Hmm, jadi ... Bapak menghabiskan malam dengan gadis itu?" terkanya.

"Begitulah," sahut Jeffrey singkat.

Marni memandangi Jeffrey lekat. Rona bahagia terpancar dari raut bosnya itu. Raline Lara pasti wanita spesial. Belum ada wanita yang berhasil melelehkan hati Jeffrey hingga detik ini.

"Bapak suka sama Raline?" tanya Marni.

Jeffrey yang semula terpejam, mendadak melotot. Ia menegakkan kepala sambil terbatuk-batuk. "Bibi gila? Mana mungkin aku menyukai wanita seperti dia. Bibi lupa apa pekerjaannya?" sanggahnya.

"Yah ... seingat Bibi, dia masih pemula. Lagian itu pilihan yang dipaksakan oleh Bayu," kata Marni.

Jeffrey berdecak. "Apapun alasannya. Dia sama sekali tidak pantas untukku, Bi."

"Kenapa? Karena dia miskin? Atau karena pekerjaannya?" selidik Marni.

"Karena keduanya." Jeffrey kembali menjatuhkan kepala ke atas bantal. Ia menutup mata dengan lengannya yang kekar.

"Lalu kenapa Bapak selalu menolak ketika dikenalkan dengan gadis dari keluarga kaya raya? Padahal, seingat Bibi, mereka semua cantik-cantik. Lebih cantik dari si Raline. Kalau soal pekerjaan, Bapak bisa saja membantu Raline terbebas dari Bayu. Bapak bisa kasih dia kerjaan di perusahaan ..." beber Marni.

Jeffrey mendesah. "Sudahlah, Bi. Aku ngantuk."

"Jeff ..." cecar Marni.

Jeffrey buru-buru menyela, "Bi, aku tidak mungkin dan tidak akan pernah, menjalin hubungan dengan wanita rendahan seperti Raline. Ini adalah kehidupan nyata bukan sinetron. Dia bukan siapa-siapa yang harus kubantu atau kuberi pekerjaan. Ketimbang ikut campur dalam hidupnya yang ruwet, aku lebih baik memikirkan perusahaanku."

"Hmm." Marni menghela napas. "Baiklah kalau begitu." Ia bangun dari duduk dan melenggang menuju pintu. "Istirahatlah, Pak."

Marni keluar dari kamar Jeffrey dengan perasaan gamang. Ucapan bosnya memang benar. Mana mungkin pengusaha sukses dari keluarga terhormat seperti Jeffrey menjalin asmara dengan wanita tuna susila.

Tapi, bagaimana jika Raline-lah yang mampu menyembuhkan segala luka Jeffrey?

Rasa kantuk Marni mendadak lenyap. Pikirannya terlalu penuh oleh segala kemungkinan. Bertahun-tahun menjaga Jeffrey, ia hanya ingin bosnya itu bahagia.

Bunyi burung pipit terdengar sayup-sayup. Tanpa mampu ditolak, pagi akan menyapa --- sebentar lagi.

***

Raline menyerahkan kunci kamar pada resepsionis. Wajah wanita itu sembab dan bengkak --- letih karena tangis. Ia tiba-tiba teringat akan sesuatu. Jeffrey, 'kan, bekerja di hotel ini.

"Mbak," ucap Raline. "Boleh saya tahu jam berapa Pak Jeffrey masuk kerja, ya?"

Resepsionis itu tampak bingung. "Pak Jeffrey?" ulangnya.

"Iya, Bapak Jeffrey. Dia bekerja di hotel ini, sepertinya sebagai Manajer," ujar Raline.

"Maaf, Bu. Di sini tidak ada staf yang bernama Pak Jeffrey," jawab si resepsionis.

"Ma-masa?" selidik Raline. "Tadi kami bertemu di kamar 201. Selain itu, dia bekerja di sini."

"Maaf tapi kamar yang Ibu tempati tadi di booking atas nama Daniel Utomo Setya bukan Jeffrey," terang resepsionis itu.

Raline menggeleng. "Jadi, tidak ada staf bernama Jeffrey di hotel ini?"

"Saya pastikan tidak ada, Bu," ucap si resepsionis yakin.

Raline mendesah muram. Ia memang tidak tahu apa pun tentang Jeffrey. Lelaki itu sangat misterius. Ia sudah dibohongi dan ditipu mentah-mentah.

"Baik, Mbak. Makasi ..." kata Raline. Ia berjalan menjauh dari counter resepsionis.

Netra Raline melirik ke arah staf hotel yang memindahkan standing banner dari area lobi. Ia baru tahu, kemarin ada acara fashion show yang digelar oleh the MAXIMAL.

Raline tersenyum getir seraya mengusap sling bag yang ia kenakan. Tas itu merupakan barang pertama yang ia beli dengan mengumpulkan gaji sebagai dancer. Tas keluaran the MAXIMAL.

Raline mengagumi semua koleksi  dari toko itu. Bahkan ia pernah melamar menjadi pramuniaga di the MAXIMAL. Namun sayang ia ditolak.

Kalau nanti aku punya sisa uang, aku ingin kembali membeli salah satu koleksi dari brand itu ...

Raline pun melangkah --- membelah dinginnya pagi Surabaya.

Hola, DARLS!

KINKY sudah tamat di Bestory, silakan kunjungi akun Ayana Ann untuk baca jalur cepat. Part utuh tanpa potongan dan cukup 2K saja, bab tsb menjadi milikmu seumur hidup.

Link bisa kalian temukan di papan percakapan Ay, ya!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top