ELEVEN

Gairah Raline membuncah tidak tertahankan. Bagian bawah tubuhnya berkedut karena berharap milik Jeffrey akan kembali mengisi kekosongan. Siksaan yang cukup membuat frustrasi.

"Kamu tidak bisa memerintahku," ucap Jeffrey. Lelaki itu menyeringai puas. Senang --- berhasil membuat seorang Raline Lara putus asa.

Raline memandang batang kejantanan Jeffrey yang mengacung pongah. "Kumohon ..." desahnya.

Alih-alih memasukkan miliknya, Jeffrey justru menembus liang Raline dengan jemari. Jari-jari itu keluar masuk untuk mengobrak-abrik dinding-dinding kewanitaan Raline yang basah.

"Oh ... Jeff ..." erang Raline.

Jadi beginikah rasanya nikmat bercinta? Pantas banyak lelaki hidung belang yang rela membeli wanita demi memuaskan nafsu. Namun Raline yakin ia tak akan bisa merasakan hal yang sama dengan lelaki lain selain Jeffrey. Raline hanya ingin Jeffrey yang menyentuhnya --- menyetubuhinya.

"Bagaimana dengan ini, Lara?" Jeffrey mengocok liang sempit Raline lebih dalam dan cepat. Sesekali jempolnya menekan klitoris Raline untuk menciptakan kenikmatan lain. "Kamu menyukainya?" tanya Jeffrey.

Raline mengangguk. Tubuh wanita itu kian menggelinjang. Ia merasakan liangnya mulai kesemutan dan berdenyut-denyut. Seketika itu, Raline mengejan dengan tubuh bergetar. Sensasi puas yang memenuhi otak dan otot-otot pada badannya. Nikmat tiada banding --- tak mampu ia tolak.

"Apa ini kali pertama kamu merasakan orgasme?" Jeffrey menyudahi permainan jemarinya. Milik Raline sudah sangat basah oleh cairan mani.

Raline mengatur napas yang tersengal. "Iya ..." jawabnya malu-malu.

"Kamu ingin merasakannya lagi?" Jeffrey berpindah untuk mendekati wajah Raline.

"Iya ..." sahut Raline.

Jeffrey menarik tubuh Raline untuk bangun. Dengan tangan yang masih terikat, Raline dipaksa turun dari ranjang. Jeffrey memposisikan Raline untuk berlutut dengan kedua kakinya.

"Memohonlah," titah Jeffrey. Ia berdiri sambil memasang raut muka penuh kuasa.

Kejantanan Jeffrey mengacung tepat di depan wajah Raline. Jeffrey sengaja memamerkan miliknya yang arogan untuk menggoda wanita itu. Di satu sisi, telapak Jeffrey memegangi bagian belakang kepala Raline dengan kuat.

"Aku mohon," pinta Raline. Ia ingin sekali membungkus batang liat Jeffrey dengan bibirnya.

Jeffrey menggesek-gesekkan miliknya pada bibir Raline yang lembab. Raline mulai kehilangan kesabaran. Ia menjulurkan lidah seolah kelaparan. Raline akan mengisap dan menjilat batang itu bagaikan permen loli terenak di dunia.

"Masukkan ke dalam mulutmu!" perintah Jeffrey seraya mendorong kepala Raline agar mengulum kejantanannya. Lelaki itu meremas rambut Raline menggunakan jemarinya.

Di tengah permainan panas mereka, ponsel Jeffrey berulang kali berdering. Lelaki itu tahu betul siapa yang menelepon --- Gisella. Sudah pasti sekretarisnya kelabakan karena sang CEO hilang begitu saja di tengah acara launching.

Masa bodoh! Ada orang lain yang bisa menggantikan Jeffrey mengucap kata sambutan. Kali ini Jeffrey ingin egois, menggunakan privilege sebagai pemilik perusahaan untuk bersikap seenaknya. Hasratnya belum tuntas!

Jeffrey menggeram parau, gelombang kenikmatan dari hisapan Raline telah memanjakan miliknya. Lelaki itu mencengkram rambut Raline untuk membimbing agar kejantanannya masuk lebih dalam.

Raline hampir tersedak --- milik Jeffrey yang panjang --- memaksa masuk hingga tenggorokan. Rasa anyir dari cairan liangnya juga masih tertinggal di batang berurat itu. Namun Raline tak peduli. Semua tak sebanding dengan sensasi erotis yang kini ia rasakan. Wanita itu ikut terangsang karena memikirkan bahwa ia telah membantu Jeffrey mendapatkan kenikmatan.

Bercinta dengan Jeffrey bak candu ... menuntun Raline dalam ketagihan.

Raline mengisap kejantanan Jeffrey makin kuat. Rahang lelaki itu mengeras mengakibatkan wajahnya makin seksi di mata Raline. Hisapan dan jilatan yang makin intens berhasil membuat Jeffrey mencapai kepuasan. Lelaki itu akhirnya mengejang dan menyemburkan cairan kental ke dalam mulut Raline.

Sperma Jeffrey tumpah --- membasahi sebagian wajah Raline yang mulus. Untuk pertama kali, wanita itu mengecap rasa pahit mirip logam dari mani seorang lelaki.

Jeffrey mengatur napas. Ia mengusap bibir Raline yang belepotan oleh semen.

"Apa kamu suka?" Jeffrey menarik dagu Raline untuk mendongak menatap matanya.

"Ya," sahut Raline tersipu.

Jeffrey beralih menjamah pipi Raline. "Kamu mau lagi?"

Raline menjawab dengan anggukan kepala. Ia menyorot Jeffrey melalui matanya yang sayu.

"Aku akan memberikannya jika kamu menjadi budakku," ucap Jeffrey.

Selama bersama dengan Jeffrey, Raline bersedia menjadi apa pun. Wanita itu kembali menganggukkan kepala dengan yakin.

"Aku mau menjadi budakmu," kata Raline.

Jeffrey mengulas senyum miring. "Tidak akan semudah itu bagimu, Lara."

"Aku akan melakukan apa pun," tukas Raline bersikukuh.

Jeffrey kemudian membantu Raline berdiri. Lelaki itu menggandeng lengan Raline menuju bathroom. Sesampainya di dalam kamar mandi, Jeffrey membersihkan kejantanannya seraya kembali memakai celana.

Raline berkernyit. Ia menelan kekecewaan karena permainan mereka telah usai. Raline masih ingin Jeffrey menyatu dengannya.

"Duduk di sini." Jeffrey membuka penutup closet dan memerintahkan Raline untuk mendudukinya.

Raline menurut seperti seorang tawanan. Bukankah, ia memang seorang sandera? Sandera yang hatinya tertawan oleh Jeffrey.

"Aku akan meninggalkanmu, Lara," kata Jeffrey, "Kalau kamu memang budakku, kamu akan menungguku sampai kembali. Kamu boleh buang air kecil, bahkan buang air besar kalau kamu mau." Ia menatap Raline dengan tatapan menggoda. Lelaki itu kembali melanjutkan, "Tetapi, kamu harus tetap duduk di sini. Tidak bergerak. Dengan posisi yang sama. Tak bersuara, apa lagi berpindah tempat. Kamu juga tak boleh membersihkan tubuhmu, kemaluanmu, atau wajahmu. Aku mau kamu diam seperti patung."

"A-apa ...?" tanya Raline.

Jeffrey meletakkan ponsel di atas wastafel yang langsung menyorot sosok Raline. "Aku meninggalkan ponselku di sini dan memvideomu. Sekembalinya, aku akan mengecek apa kamu benar-benar menjadi 'gadis penurut' atau tidak."

Raline menelan saliva.

Jeffrey melangkah ke arah pintu. "Buktikan kesungguhanmu untuk menjadi budakku."

"Aku akan menunggumu." Raline berseru yakin sebelum Jeffrey pergi meninggalkannya.

Jantung wanita itu seketika berdebar. Jeffrey memang bukan lelaki yang akan membawanya dalam hubungan seksual konvensional. Ia adalah seorang Dominan yang membutuhkan Submisif. Dan Raline bertekad bulat untuk menjadi budak Jeffrey, bagaimana pun caranya.

Maka, Raline pun terdiam dalam kamar mandi seorang diri. Telanjang dan terikat oleh dasi sang CEO tampan.

***

Jeffrey menahan geli ketika melihat sosok Gisella dari kejauhan. Muka sekretarisnya itu melotot tajam dengan bibir komat-kamit melempar sumpah serapah. Kaki Gisella kepayahan berlari menghampiri Jeffrey akibat sepatu heels yang setinggi kaleng bir.

"Ke mana saja, sih, Pak?!" semprot Gisella.

Jeffrey mempertahankan wajah tenang. "Siapa yang memberikan sambutan pembukaan?" tanyanya.

"Anton! Manajer pemasaran!" Gisella menelisik penampilan Jeffrey. Rambut sedikit acak-acakkan, serta dasi yang tiba-tiba raib. "Ada apa dengan penampilan Bapak?"

Jeffrey berdeham seraya menaikkan sebelah alis. "Ada apa bagaimana? Masih tampan seperti sedia kala," sahutnya santai.

"Ini tidak sepertimu, Pak Jeff!" gerutu Gisella.

Jeffrey mengacuhkan omelan Gisella. Bekerja sama selama hampir empat tahun membuat Jeffrey terbiasa dengan kecerewetan sekretarisnya. Lelaki itu merogoh saku jas dan menyodorkan ponsel Gisella yang tadi ia pinjam.

"Nih, ponselmu. Thanks."

Gisella lagi-lagi mendecih. "Oh ya! Dan lagi, kenapa Bapak tidak mengangkat teleponku? Aku berjuta kali menelepon!"

Jeffrey teringat kalau ia meletakkan ponselnya untuk mengawasi Raline. Wanita itu sedang menungguku ... telanjang dan tak berdaya. Gairah Jeffrey diam-diam berdesir.

"Ponselku hilang," ujarnya santai. Ia lalu meninggalkan Gisella dan membaur di antara kolega dan para tamu undangan. Senyum Jeffrey mengembang dan memancarkan aura karismatik.

Launching produk the MAXIMAL yang mengusung tema Valentine sukses besar. Jeffrey --- sang CEO mengapresiasi para tim designer atas kerja keras mereka. Tidak melulu mengapresiasi rasa cinta kepada orang lain atau pasangan, the MAXIMAL meluncurkan rancangan Valentine dengan konsep self love. Koleksi pakaian pria maupun wanita dibuat senyaman mungkin dan didominasi oleh warna maroon.

Beberapa pengusaha yang datang dari luar kota, tertarik untuk bekerja sama dengan Jeffrey. Mereka ingin berkolaborasi dan menciptakan brand serupa di kota asal mereka. Tentu saja hal itu disambut baik oleh lelaki berusia 31 tahun itu. The MAXIMAL akan semakin menggurita dan menguasai pangsa pasar dalam industri fesyen.

"Bagaimana jika kita minum di klub selepas acara launching ini, Jeff?" ajak salah seorang teman Jeffrey. Lelaki itu berdiri memegang segelas sampanye sambil merangkul model cantik di sebelahnya.

Jeffrey melirik jam Rolex di tangan kirinya. Sudah tiga jam lebih ia mengurung Raline Lara di kamar 201.

"Ini malam Minggu, Pak Jeffrey. Aku akan mengenalkanmu dengan teman-temanku sesama model. Bagaimana?" tawar model semampai yang bersama kawan lelaki Jeffrey.

Jeffrey mengulas senyum tipis. "Hmm ... soal itu ..." gumamnya gamang.

"Ayolah, Jeff. Kita harus merayakan ini. Besok aku sudah kembali ke Jakarta. Kapan lagi kita berkumpul sama-sama?" desak si lelaki.

Mungkin ini cara terbaik bagi Jeffrey menguji kesungguhan Raline. Wanita lacur itu pasti akan menyerah dan memutuskan pergi. Ponsel cerdas keluaran terbaru Jeffrey juga masih ada di sana, bisa saja Raline mengambil lalu menjualnya. Wanita itu tidak akan rugi, justru untung banyak. Mana ada manusia yang bakal betah duduk mematung berlama-lama. Raline bukan seekor anjing yang patuh menanti majikannya.

Jeffrey menarik sudut bibir hingga menciptakan lengkungan ke atas. "Baiklah. Ayo kita pergi," jawabnya.

Ia pun berjalan pergi, meninggalkan JW Marriot bersama rekan-rekannya.

Sudah tamat di BESTORY

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top