EIGHTY

Raline menyibak tirai kamar untuk mengintip ke luar jendela. Alphard putih yang tadi pergi kini sudah kembali. Di dalam ada Adinda, dan kekasihnya --- Jeffrey. Jantung Raline bergemuruh bukan main. Tentu saja Adinda tak akan mudah menerima keadaannya. Ia adalah anak dari hubungan terlarang Rafli dan Lina.

Dari dulu Raline tidak bangga dengan apa yang diperbuat ibunya. Namun ia sendiri tak bisa memilih dari rahim mana ia dilahirkan.

Raline bergegas mematut diri di depan cermin. Ia merapikan penampilan dan cukup lama termangu. Raline pun menarik napas berulang kali untuk menyiapkan hari ini. Pertemuan dengan Adinda bukan satu-satunya hal yang membuat Raline cemas. Hari ini Rafli Hardiawan juga terpaksa mengetahui hubungannya dengan Jeffrey.

Toktoktok.

"Masuk," sahut Raline.

Pintu terbuka dan menampakkan sosok Rafli yang tersenyum. "Honey, Adinda dan Jeffrey sudah datang. Mari kita turun bersama."

"Iya." Raline menyusul sang ayah yang menunggu di depan pintu.

Tangan Rafli hangat merangkul putrinya. Mereka berjalan berdampingan menuju ke lantai bawah. Rafli tahu betul Raline pasti sedang merasa gamang. Ia pun sama. Tetapi, jatah gelisahnya sudah separuh terpakai saat pertama kali mengenalkan Raline Lara palsu ke Adinda. Paling tidak --- Rafli sudah ada bayangan bagaimana respon dan reaksi putri pertamanya kelak. Ketus dan dingin.

Para pengurus rumah sibuk membawa tas koper Adinda yang bertumpuk. Andaikan Rafli lebih peka, harusnya ia sadar kalau bawaan anaknya itu terlalu banyak. Tetapi lelaki itu tak ambil pusing, semua karena Rafli berpikir Adinda pergi menyusul Jeffrey ke Surabaya. Rafli tak tahu saja, Adinda pergi ke Singapura bersama Alan.

"Halo, Pi," sapa Adinda setengah hati.

Rafli memeluk putrinya dan mengecup pipi Adinda. "Kamu tampak lebih segar setelah menghabiskan waktu bersama tunangan, ya?"

"Ya begitulah," sahut Adinda seraya melirik Jeffrey.

Di lain sisi, Jeffrey dan Raline saling mencuri pandang. Mereka berdua menyampaikan kerinduan melalui tatapan dalam.

"Ehm, Din," ucap Rafli segan. "Jadi, ini adalah ..."

Adinda bergegas menyela, "Raline Lara, 'kan? Ya,ya. Jeffrey sudah cerita." Ia memandang sinis lewat sudut mata. "Papi yakin ini bukan yang palsu lagi? Aku khawatir tiap bulan bakal muncul Raline-Raline yang lain."

"Adinda!" Rafli dan Jeffrey kompak berseru bersamaan.

Adinda terkikik. "Sorry not sorry." Ia lalu menghampiri Raline dan menepuk pundaknya pelan. "Semoga kamu betah di sini."

"I-iya, Mbak." Raline menjawab kikuk.

Adinda mendecih. "Panggil Adinda saja. Terdengar aneh kamu menyebutku 'Mbak'."

"I-iya," sahut Raline.

Mata Raline berbinar. Adinda --- saudarinya sangat cantik dan anggun. Bertubuh tinggi dan memiliki kulit sebening porselen Cina. Caranya berjalan dan bicara benar-benar menunjukkan kepercayaan diri yang tinggi. Adinda sungguh berkelas. Ia bagaikan putri raja yang semenjak kecil telah dididik dengan baik dalam lingkungan mewah dan serba ada.

Tanpa basa-basi, Adinda melengos menuju tangga. "Aku lelah. Kita jadi makan malam bersama, 'kan?"

"Tentu saja," jawab Rafli.

"Bagus. Ada yang mau kusampaikan, Pi." Adinda tersenyum singkat dan melenggang begitu saja dengan santai.

Sementara itu, Rafli kembali merangkul Raline seraya tersungging lebar. "Lihat, bukan? Adinda ternyata bisa menerima keberadaanmu dengan baik, Honey. Tak perlu stres lagi dan hiduplah nyaman."

"Syukurlah," gumam Raline.

"Papi sangat bahagia sekali hari ini, Raline." Rafli menatap Raline penuh kasih sayang.

Sepintas, Adinda menoleh ke belakang dan menyaksikan kehangatan Rafli pada Raline. Wanita itu menyembunyikan seringai. Semula ia ragu akan keputusan yang akan ia buat. Namun, setelah mendapati perlakuan Rafli yang begitu spesial kepada 'si anak haram', Adinda tak lagi ragu.

Raline Lara.

Wanita sial yang memiliki segalanya. Ayah yang menyayanginya, kehidupan tercukupi, dan seorang kekasih. Enak saja. Bukankah gara-gara dia dan ibunya, kehidupan Adinda berkubang kesepian. Menjalani masa kecil tanpa hadirnya sosok papi maupun mami. Terpaksa melihat maminya menangis tiap malam hingga ajal menjemput.

Dulu ibu si jalang itu merenggut kebahagiaan maminya. Kini dia tiba-tiba muncul dan hendak mengambil semua? Tidak semudah itu.

***

Masih ada beberapa jam sebelum makan malam. Raline tetap gelisah entah mengapa. Ia duduk pada tepian ranjang sambil melamun. Ia juga memikirkan Sintia yang sendirian di rumah sakit. Raline berharap Sintia lekas pulih dan diperbolehkan pulang. Berada dalam rumah yang nyaman pasti mampu membuat badan Sintia kembali membaik. Dokter berpesan kalau Sintia harus menaikkan berat badan agar bisa segera menjalani kemoterapi.

Sikap Adinda tadi terngiang dalam otak Raline. Ada sesuatu yang terasa aneh. Tetapi sebisa mungkin Raline mengesampingkan pikiran buruknya. Ia terlalu overthinking. Memikirkan sesuatu yang belum pasti kebenarannya.

KRAK. Raline terhenyak saat pintu kamarnya tiba-tiba terbuka. Biasanya para pembantu bakal mengetuk dulu. Begitu pun dengan Rafli.

Apa jangan-jangan Adinda?

Raline bergegas menuruni ranjang dan berjalan menuju pintu. Netranya terbelalak ketika melihat Jeffrey sedang mengunci pintu dari dalam.

"Kamu gila?!" pelotot Raline.

Jeffrey meringis. "Aku kangen."

"Apa kamu gila?!" ulang Raline menyentak. "Kupikir kamu pulang ke rumahmu. Kenapa ada di sini dan malah masuk kamarku?!"

"Capek bolak-balik kena macet. Mending di sini sampai nanti jam makan malam," jawab Jeffrey santai.

Raline meremas kemeja linen Jeffrey kuat-kuat. Ia masih melotot. "Kenapa di kamarku? Nanti dilihat orang bagaimana? Kalau Pak Rafli tahu bagaimana?!" cecarnya.

"Om Rafli dan Farzan baru saja pergi karena ada urusan pekerjaan. Selain itu, rumah ini terlalu luas, tak akan ada orang yang tahu aku di sini," jawab Jeffrey.

"Bagaimana dengan Adinda?!"

"Ah, dia cuek. Kemarin saja aku membiarkan dia liburan dengan kekasihnya. Jadi, apa salahnya kalau aku ingin menemuimu di sini sekarang?" Jeffrey memeluk mesra Raline yang masih sibuk mengomel. Ia tak peduli dengan penolakan dari tubuh sang kekasih. Jeffrey malah makin mendekap Raline kencang.

"Cepatlah keluar, Jeff!" usir Raline.

"Sssh. Jangan berisik. Teriakanmu yang malah memancing atensi orang-orang." Indra penciuman Jeffrey menikmati aroma lavender pada rambut Raline yang hitam dan panjang.

Raline mendengkus dan pasrah dalam kurungan Jeffrey. Lelaki itu pun menenggelamkan kepala dalam lekukan leher kekasihnya.

"Kamu tidak merindukanku, Sayang?" bisik Jeffrey.

"Sedikit," sahut Raline.

"Jahatnya ...? Masa cuma sedikit?" Jeffrey merengek bak anak kecil.

Kelakuan Jeffrey yang semakin lama semakin manja dan childish membuat Raline tak bisa menahan tawa. Sosok lelaki dingin dan nyaris tanpa ekspresi yang semula ia kenal pertama kali seolah lenyap. Berganti dengan Jeffrey yang sekarang --- kekanak-kanakan.

"Tentu saja aku merindukanmu," kata Raline. Ia akhirnya menerima pelukan Jeffrey dengan mengaitkan kedua lengan pada pinggang lelakinya.

Jeffrey tersenyum. Ia lantas menegakkan badan dan membelai lembut dagu Raline. Akibat ulahnya, Raline tersipu seraya menggigiti bibir bawah. Dengan cepat, Jeffrey pun menciumi bibir plum wanitanya itu.

"Aku sangat suka menciummu," bisik Jeffrey.

Raline terpejam dan menikmati Jeffrey yang kembali mengecupnya. Seolah gemas, lelaki itu mengisap bibir Raline secara impulsif. Ia juga membelit lidah kekasihnya dengan rakus. Semakin lama, ciuman Jeffrey makin ganas dan liar. Pertemuan kedua kulit bibir yang lembut dan kenyal itu membangkitkan gairah bak percikkan api.

Raline kesulitan bernapas karena lumatan Jeffrey yang panas. Miliknya di bawah sana pun refleks berdenyut akibat pagutan mereka.

"Ah! Ya ampun!" pekik Raline ketika Jeffrey mengangkat tubuhnya secara tiba-tiba.

Jeffrey membopong Raline menuju ranjang. Ia lalu membaringkan wanitanya ke sana dan ikut menyusul.

"Jeff, kamu serius?" sentak Raline.

"Menyenangkan, bukan? Memancing adrenalin karena takut ketahuan." Jeffrey menyeringai.

"Ta ... emph!" Raline tak mampu menyelesaikan kalimat karena bungkaman bibir Jeffrey.

Jeffrey lagi-lagi mencium bibir Raline. Ia tak berniat membiarkan submisifnya bicara. Ditambah Raline yang sedikit melawan, membuat gairah lelaki itu kian membumbung. Tautan Jeffrey meliar penuh nafsu. Tangannya jahil menuruni leher Raline menuju ke dada. Ia meremas gundukan kenyal wanitanya yang masih terbalut dress panjang dengan potongan A-line.

Bagian atas pakaian yang berbentuk V begitu mudah untuk Jeffrey sibakkan. Ia menggeser penutup itu hingga menampakkan payudara Raline yang tak tertutup oleh bra.

"Kamu sungguh nakal, Raline. Memakai pakaian begini seksi untuk menggodaku, bukan?"

( CUT. Baca utuh di Karyakarsa!!! Cari SERI : Raline & Jeffrey )

***

Meja makan persegi panjang pada ruang makan kediaman Hardiawan sudah dipenuhi bermacam hidangan. Meski hanya empat orang yang akan menikmati makanan, namun sajiannya melebih acara pesta besar. Pelayan sigap di sudut jika majikannya membutuhkan. Sementara staf dapur hilir mudik menyiapkan menu masakan selanjutnya.

Rafli duduk tepat di tengah, bak raja yang membawahi para rakyat. Sementara Adinda memilih duduk di samping Raline. Berbeda dengan Jeffrey yang mengambil kursi di berseberangan.

"Kalian ke mana saja?" tanya Rafli memecah keheningan. Ia memandang Jeffrey dan Adinda secara bergantian. Senyum lelaki matang itu makin terkembang karena kedua putrinya duduk berdekatan.

Adinda memilih tak menjawab. Membebankan kebingungan melanda Jeffrey.

"Ehm, aku dan Adinda ... hanya di ..." Jeffrey terbata.

"Pi, bisa aku bicara sekarang?" Adinda bergegas menyela.

Rafli pun mengalihkan atensi pada Adinda. "Ya, silakan. Tentang apa ini, Din?"

"Tentang aku dan Jeffrey," jawab Adinda.

Raline dan Jeffrey kompak saling melirik.

"Kenapa, Honey?"

Adinda meletakkan garpu saladnya ke atas piring. Ia menyorot Rafli dengan tatapan serius dan tajam.

"Pi, aku hamil."

Darls, lama juga Raline & Jeffrey tidak menyapa kalian di Wattpad. Kangen nggak? Kalau kangen brutal dan nggak sabar tunggu, kalian bisa langsung temui mereka di Karyakarsa AyanaAnn, ya! Udah tamat lho!

ANW, aku abis bikin short novel spicy berjudul Daddy's Ecstasy. Kalian bisa baca spoiler 5 bab-nya di Wattpad. Short Novel ini punya gaya bahasa yang beda dari novel-novelku yang lain. Lebih gamblang, nakal, dan dijamin bikin kalian panas sampai muncrot. Hahahah. Buruan cekidot, ya!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top