EIGHTEEN

Jeffrey sudah menunjukkan sisi terbaik dari dirinya. Ia merasa tubuh dan penampilannya sempurna. Susah payah mempertontonkan kemampuan renangnya, Raline Lara malah sudah pulang. Wanita tidak tahu diri! Setidaknya permisi dulu pada si tuan rumah. Tetapi ia malah pergi begitu saja seperti angin!

"Pulang?!" tanya Jeffrey.

Marni mengangguk. "Iya. Kenapa memang? Kok mendadak keki begitu?" ledeknya.

Jeffrey berkacak pinggang dan mendengkus. "Keki? Siapa yang keki? Aku merasa dia tidak sopan. Ini rumahku, dia seharusnya mengucap permisi sebelum pergi."

"Bapak Jeffrey, 'kan, yang bilang tidak mau menemuinya lagi," tukas Marni.

Benar juga. "Tetap saja wanita itu tidak punya manner."

Marni mempertahankan ekspresi datar. Ia mengangkat nampan dan bersiap masuk ke dalam rumah. Jeffrey mengekori Marni seperti seekor anak ayam.

"Bibi dan Raline bicara apa saja?" selidik Jeffrey.

"Ngobrol biasa," sahut Marni singkat.

"Ngobrol biasa seperti apa? Dia membicarakanku?" buru Jeffrey. Ia mengikuti Marni yang berjalan menuju dapur. Lelaki itu cuek meski belum mengeringkan badan dan bertelanjang dada.

Marni mengangguk. "Ya. Dia memang membicarakan Bapak," jawab Marni.

"Sudah kuduga." Kedua sudut bibir Jeffrey melengkung ke atas. "Lalu?"

"Lalu apa?" Marni berbalik tanya.

"Ya, lalu Bibi bilang apa ke dia?" cecar Jeffrey.

"Tidak ada. Bibi cuma menasihatinya untuk menjauhimu. Bibi menegaskan kalau Bapak terganggu dengan kemunculannya," dusta Marni.

Mata Jeffrey melotot. "Bibi bilang begitu?"

"Iya. Bibi tidak salah, bukan? Bapak sendiri yang bilang kalau Raline itu sangat mengganggu," sahut Marni.

Jeffrey berdeham. Raut wajahnya mengialkan kekecewaan. Namun lelaki itu berusaha menyembunyikannya demi menjaga harga diri yang tinggi.

"Iya, memang."

Jeffrey berhenti mengikuti Marni dan melengos begitu saja. Tanpa ia sadari, Marni sedang mengulum senyum penuh kemenangan. Sekuat apa pun Jeffrey mengingkari, Marni yakin bosnya itu menyukai Raline Lara.

Bertahun-tahun menjaga Jeffrey, Marni rindu melihat lelaki itu bahagia.

***

Raline membiarkan angin menerpa wajahnya yang putih. Wanita itu sengaja membuka kaca penutup helm yang sedang ia kenakan. Di atas boncengan ojek online pesanannya, Raline menyapu pandangan ke arah jalan.

Saat lampu lalu lintas berubah merah, Raline mengeluarkan ponsel dari saku. Ia membuka halaman pencarian dan mengetik nama Jeffrey, lengkap dengan embel-embel 'the MAXIMAL'.

Tidak butuh waktu lama, informasi seputar Jeffrey muncul pada layar. Raline pun mendesah berat.

Jeffrey Daud Pratama, pebisnis muda yang sukses mengembangkan perusahaan ritel the MAXIMAL. Ia merupakan anak dari pengusaha tekstil, Anwar Bahadir dan Misye Widyawati. Lelaki berdarah campuran Turki dan Jawa ini memulai bisnisnya sejak sembilan tahun lalu.

Raline menutup ponselnya. Semakin ia menggali tentang Jeffrey, semakin ciut nyalinya. Jeffrey bukan lelaki yang berada dalam jangkauan Raline.

Senyum Raline getir --- lebih tepatnya --- tidak ada lelaki yang pantas untuk pelacur macam dirinya.

Netra Raline mengikuti hilir mudik laju kendaraan. Tanpa ia sadari, air matanya pun menetes. Sudahlah, kisah telenovela hanya karangan semata. Realitanya, seorang pelacur tak akan pernah mendapatkan Pangeran.

***

"Apa aku tidak salah dengar? Bapak barusan menghubungi Bayu untuk memesan wanita?" tanya Marni. Mata pengurus rumah itu berkilat penuh ketidak-percayaan.

Jeffrey mengangguk tenang. "Aku pikir, tidak ada salahnya kembali memberi kesempatan pada Bayu. Toh, wanita-wanita pilihannya memang yang terbaik."

"Lalu, apa Bapak tidak memikirkan perasaan Raline?" cecar Marni.

Jeffrey menaikkan sebelah alisnya yang pekat. "Raline? Memang, apa urusannya sama dia?"

"Jeff ...?!" seru Marni.

Jeffrey buru-buru menyela. "Bibi bisa keluar dari kamarku. Siapkan saja ruang bermain untuk besok lusa. Peraturannya masih sama, tidak berubah."

Marni menyorot Jeffrey dengan tatapan kecewa. Ia terdiam sesaat karena berusaha meredam emosi. Marni sangat ingin memarahi Jeffrey, tapi seberapa pun lamanya mereka bersama, ia tetap saja pelayan. Wanita itu tidak memiliki hak mengatur majikannya.

"Baiklah, Pak," sahut Marni.

Setelah Marni pergi dan menutup pintu kamarnya, Jeffrey menjatuhkan tubuh ke atas ranjang. Lelaki itu yakin kalau ia tak punya rasa apa pun untuk Raline. Jeffrey hanya perlu mencari wanita baru. Wanita submisif lain yang mampu melenyapkan bayangan Raline Lara dalam benaknya.

Kembali menggunakan jasa Bayu adalah cara Jeffrey untuk mengirim sinyal pada Raline. Sebuah penegasan bahwa wanita itu harus berhenti mengusiknya. Raline Lara harus sadar, ia cuma wanita bayaran. Tak lebih.

***

Sintia menghampiri Raline yang sedang menyiapkan meja makan. Bola mata gadis belia itu membulat saat menemukan potongan daging pada piring.

"Wih, lauknya daging, Mbak?" kata Sintia. Ia bergegas menarik kursi kayu untuk duduk.

Raline tersenyum. "Iya. Dikasih sama Tante Evi tadi. Katanya ucapan terima kasih karena Mbak sudah bantu bikinkan pola buat kebayanya."

"Asyik ..." gumam Sintia.

Raline menyuguhkan semangkok sayur bayam untuk Sintia. Ia sangat bersyukur punya tetangga sebaik Evi. Kalau tidak ada acara khusus, atau uang berlebih, Raline tidak pernah sanggup menghidangkan olahan daging untuk Sintia.

"Makan yang banyak, Sin." Raline menggeser piring daging ke arah Sintia.

"Bagi dua aja, Mbak. Makan sama-sama," kata Sintia.

Raline menggeleng. "Mbak enggak suka daging. Lagian, kamu, 'kan, tahu kalau Mbak lagi diet," kelitnya.

"Diet buat apa, Mbak? Raline amati, Mbak sekarang nggak pernah masuk kerja. Mbak sudah berhenti jadi dancer, ya? Terus, Mbak sekarang kerja apa?" cecar Sintia.

Raline menelan saliva. Ia mengalihkan pertanyaan sang adik dengan menyendokkan potongan daging pada piring Sintia.

"Ayo, buruan dimakan," titah Raline.

Sintia menuruti perintah sang kakak. Ia menyuap sesendok penuh nasi dan irisan daging bercampur sayur.

"Bapak bilang sekarang Mbak kerja ikut bapak. Emang, bapak kerjanya apa, sih?" selidik Sintia.

Raline terdiam. Wanita itu mengaduk-aduk nasi dengan sendoknya. Bingung hendak menjawab apa.

Sintia melanjutkan, "Kata orang-orang, Bapak itu makelar. Makelar apa, sih, Mbak? Jualan, ya? Jualan apa?" tanyanya lagi.

Belum sempat Raline menjawab, Bayu tiba-tiba pulang dan masuk ke rumah. Speak to the Devil¹. Lelaki itu tampak sumringah melenggang menghampiri kedua anaknya.
(¹ Idiom yang berarti panjang umur. Misal sedang membicarakan seseorang dan orang itu muncul)

"Halo, Sintia. Lagi makan apa, Nduk?" Bayu mengusap-usap puncak kepala Sintia.

"Daging, Pak." Sintia mengulum senyum. Senang saja diperlakukan lembut oleh Bayu. Maklum saja, bapaknya itu jarang memberinya perhatian dan kasih sayang.

Mata Bayu membelalak. "Daging? Enak tenan. Bapak minta, yo?"

Raline buru-buru menepis tangan Bayu yang hendak mencomot lauk Sintia. "Itu buat Sintia!" sentaknya.

"Hmm, medite talah²," kelakar Bayu.
(² Hmm, pelit banget)

Raline mendengkus. Ia tahu, pasti Bayu sedang senang. Biasanya tiap pulang ke rumah, si bapak tiri selalu marah-marah. Kalau Bayu cengengesan begini, tandanya lelaki itu sedang banyak uang atau habis beli pil haram.

Bayu melengos menuju kamar, ia kemudian melirik ke arah Raline. "Line, lusa kerja."

Raline buru-buru menghampiri Bayu, ia mendorong tubuh bapaknya untuk masuk ke dalam kamar. Saat sudah berdua saja di dalam ruangan, Raline menutup rapat pintunya. Ia tidak mau Sintia mendengar percakapan mereka.

"Uang hasil kerjaku yang kemarin, 'kan, melebihi tarif aslinya. Aku sudah bilang kalau tidak ingin melayani dalam waktu dekat! Bapak lupa?" bentak Raline sambil membisik.

Bayu terkikik. "Uang segitu mana ada artinya, Line. Lagian, apa kamu tidak bosan diam-diam di rumah melulu? Kan enakan kerja. Dulinan manuk³."
(³ Bermain 'burung')

"Pak!" sentak Raline. "Aku sama sekali tidak menikmati pekerjaan ini. Tolonglah, izinkan aku kembali kerja di klub malam sebagai dancer."

"Ya, enggak apa-apa. Balik aja jadi dancer. Ada Sintia bisa gantikan kamu," ancam Bayu. Ia menyeringai culas ke arah Raline.

Raline menggertakkan gigi demi menahan amarah. Berdiskusi dengan Bayu adalah hal mubazir. Bapak tirinya merupakan iblis dalam wujud manusia.

"Pak ... tolonglah. Aku sedang tidak ingin melayani ..."

Bayu menyela, "Alah. Udah, deh, Line. Kamu ini masih aja keras kepala. Lama-lama bakal terbiasa. Percaya sama Bapak!" Ia menowel dagu Raline sambil tersenyum. "Beruntung kamu hari ini aku lagi senang. Andai enggak, sudah kuhajar lagi kamu biar berhenti ngeyel."

Raline mendengkus. Padahal, uang yang tempo lalu diberikan Jeffrey cukup banyak. Raline tidak menyisihkan untuk dirinya, dengan harapan Bayu tidak akan mengusiknya selama sebulan ke depan. Ternyata, Bayu memang tidak bisa dipercaya.

"Sudah. Sana kamu keluar. Aku mau pilih-pilih foto, gadis mana yang cocok buat Bapak Jeffrey," usir Bayu.

Raline terperanjat. "Pak Jeffrey?"

"Iyo! Pak Jeffrey menghubungiku," sahut Bayu. Ia mendecih. "Huh, dasar. Kemarin saja sok jual mahal tidak mau menemuiku."

Lutut Raline melemas. Memang ia sudah menyerah soal Jeffrey. Namun, mengetahui bahwa lelaki itu hendak bercinta dengan pelacur lain, membuat hatinya remuk.

Hola, DARLS!

KINKY sudah tamat di Bestory, silakan kunjungi akun Ayana Ann untuk baca jalur cepat. Part utuh tanpa potongan dan cukup 2K saja, bab tsb menjadi milikmu seumur hidup.

Link bisa kalian temukan di papan percakapan Ay, ya!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top