EIGHT

"Kenapa tidak mau sekolah, Jeff?" Marni mengelus puncak kepala si kecil Jeffrey yang baru saja menginjak kelas satu sekolah dasar.

Jeffrey menggeleng. "Pokoknya nggak mau, Bi. Bantu aku bilang sama Mama-Papa kalau aku enggak mau sekolah lagi."

"Ya, tapi kenapa, Raden Ganteng?" Marni menghela napas. Kadang kala, ada masanya seorang anak kecil enggan belajar. "Banyak PR, ya? Nanti Bibi bantu kerjakan."

"Bukan. Bukan PR, Bi. Aku nggak suka, gurunya jahat." Air mata Jeffrey menggenang.

"Sudah, sudah. Jangan menangis, Den." Marni memeluk Jeffrey untuk menenangkan si tuan muda. Sedih rasanya melihat anak yang biasanya ceria, berubah murung dan menangis tersedu-sedu.

Jeffrey mendongak dan menatap Marni penuh harap. "Bibi temani aku ngomong sama Mama dan Papa, ya?" pintanya.

"Iya. Akan Bibi temani," sahut Marni tersenyum.

Marni menggandeng Jeffrey menuju kamar utama. Setibanya di depan pintu, pengurus rumah tangga itu mengetuk pelan dan mengucap permisi.

"Pak, Bu, boleh saya masuk?" kata Marni. Sesekali ia melirik ke arah Jeffrey yang masih terisak dalam gandengannya.

"Masuk saja." Suara jawaban seorang lelaki terdengar dari dalam.

Marni tersenyum pada Jeffrey. "Ayo, Den, kita masuk." Dengan hati-hati ia membuka handle pintu menuju ruang kamar majikannya.

Di dalam kamar, tampak seorang lelaki dewasa sedang berdiri di depan cermin besar, memasang dasi pada lehernya. Sementara, si istri masih terbaring di atas ranjang dengan perut membesar karena mengandung.

"Lho, kenapa Jeffrey belum berangkat?" tanya si tuan besar.

Marni berdeham. "Begini, Pak Anwar, Den Jeffrey bilang tidak ingin ke sekolah. Waktu saya tanya alasannya, dia bilang gurunya jahat."

Si kecil Jeffrey bersembunyi di belakang tubuh Marni. Ia mengintip ke arah Anwar yang memandangi dengan tatapan dingin. Mimik muka sang ayah berubah mengeras, hidung lurus dan tinggi yang terbingkai kedua alis tebal, makin membuat wajah Anwar menakutkan.

"Jahat bagaimana, Jeff?" Anwar mendekati Jeffrey.

Jeffrey tertunduk, tak berani menatap fitur Mediteranian di depannya. "Jahat ... pokoknya jahat sama Jeffrey."

"Mereka bukan jahat, tetapi disiplin." Anwar mendecak dan kembali mematut diri di depan cermin. "Lain kali jangan terlalu didengarkan kalau Jeffrey merengek, Marni! Dia anak lelaki, harus tegar dan tangguh."

"Tapi, Papa ..." rengek Jeffrey. Tangisnya lagi-lagi pecah karena pengabaian Anwar.

"Berhenti menangis, Jeff! Anak laki tidak menangis, kalau masih menangis terus, besok Papa pakaikan kamu rok!" sentak Anwar.

Jeffrey menghambur memeluk Marni. "Bibi! Papa enggak mau belain aku! Aku enggak mau sekolah! Enggak mau!"

"Astaga, ada apa, ya, ini?" Misye --- ibu Jeffrey yang tengah hamil besar beringsut bangun dari ranjang.

"Jeffrey merengek, dia bilang tidak mau sekolah," sahut Anwar.

Misye menyorot Jeffrey sambil berkernyit. "Jeff, sekolahmu itu international school. Semua fasilitas ada. Selain itu, semua gurunya kompeten. Jangan menjadi anak manja yang sedikit-sedikit tidak mau sekolah."

"Tapi, aku nggak manja. Aku takut sama gurunya. Dia jahat, Ma," aku Jeffrey terisak-isak.

Tawa Anwar pecah. "Dulu kakek mendidik Papa dengan keras, tiap kali Papa malas belajar, kakek akan memukuli Papa menggunakan rotan kayu. Kamu ini termasuk beruntung, Jeff. Mana pernah merasakan dipukuli. Apa gurumu itu memukulimu?" selidiknya. Maklum, ia berasal dari keluarga keturunan Arab yang disiplin dan tegas dalam mendidik anak.

Jeffrey menggeleng. "Dia enggak pukul, tapi dia ..."

"Sudahlah, Jeff. Kepala Mama sakit dan mual parah," sela Misye. Ia kemudian beralih pada Marni. "Bi Marni, lekas antar Jeffrey ke sekolah. Nanti dia telat."

"Baik, Bu." Marni mengangguk terpaksa. Ia menggendong Jeffrey yang kembali meraung dalam tangis.

***

Netra pekat Jeffrey otomatis mengarah ke pintu utama hotel. Menyapu pandangan ke arah wanita cantik yang masuk ke dalam lobi. Black mini dress kontras membalut tubuh putihnya yang berlekuk sempurna. Rambut perak bergelombang, menjuntai hingga pinggang, bercahaya tertimpa golden hour. Fitur wajah wanita itu mungil dan manis --- seolah bayi tanpa dosa. Sangat berbeda dari yang terakhir Jeffrey lihat, babak belur.

"Kamu lihat, seperti malaikat, bukan?" bisik Daniel. "Sesuai namanya, dia Angel."

Jeffrey buru-buru memalingkan muka. "Ko, aku duluan, ya." Ia mengambil jalan memutar agar tak berpapasan dengan Raline. Jeffrey meninggalkan Daniel yang terbengong karena ditinggalkan begitu saja.

Cantik? Jeffrey mendecih. Mau secantik bagaimana pun, Raline Lara tetap saja seorang pelacur.

Jeffrey kesal, entah takdir macam apa yang kembali mempertemukannya dengan Raline. Ada banyak hotel di Surabaya, mengapa mereka kini harus berada dalam bangunan yang sama?

Lelaki itu kembali naik ke lantai atas, batal menunggu dewan komisaris di lobi. Jeffrey antisipasi, jangan sampai Raline melihatnya. Sudah cukup urusan di antara mereka berdua.

Sesampainya di lantai empat, Jeffrey melangkah lurus ke arah meja bar. Dengan sigap, bartender segera menyuguhi sang CEO dengan segelas koktail. Jeffrey pun meneguk campuran vodka itu secara impulsif.

"Acara belum dimulai, jangan mabuk dulu, Pak," goda Gisella.

Jeffrey tak merespon. Pandangannya nyalang dengan rahang yang mengeras. Sosok Raline Lara yang baru saja ia jumpai, menari-nari dalam benak. Bahkan segelas alkohol belum mampu melenyapkan bayang wanita lacur itu.

"Bibi merasa, jadi wanita panggilan bukan kemauannya."

Suara Marni terus berkelindan, semakin mengusik pikiran Jeffrey yang kacau.

"Padahal, kamu bisa saja menolongku ..." Kini berganti dengan ingatan saat Raline memohon kepadanya tempo lalu. Mata wanita itu sungguh sendu, seolah dunianya runtuh di tangan Jeffrey.

Jeffrey menengok dan meminta bartender untuk memberinya segelas lagi. Ia mengacuhkan mata Gisella yang memelototinya. Dan untuk kali kedua, Jeffrey menenggak alkoholnya dengan rakus.

"... Hitung-hitung untuk bersenang-senang. Dia masih awam ..."

"Dia masih awam."

Apa yang dikatakan seniornya, Daniel, memang benar. Raline Lara adalah seorang amatir dalam dunia pemuasan birahi. Jeffrey masih ingat, dialah lelaki pertama yang menembus selaput dara wanita molek itu. Merasakan liang sempit yang menciptakan gelenyar nikmat luar biasa.

Mungkin, sekarang Daniel bakal merasakan hal serupa. Menikmati tubuh polos Raline dengan tangan kotornya. Meninggalkan jejak noda di tiap jengkal kulit Raline yang seputih salju.

Tanpa bisa Jeffrey pungkiri, segala pikiran berkecamuk pada otak berhasil membuatnya kesal. Ada sensasi panas yang membakar relung dadanya. Ketidak-sukaan karena memikirkan Daniel sedang memompa tubuh Raline. Berbuat mesum kepada wanita lacur itu di bangunan yang sama dengan tempat Jeffrey berpijak.

Tidak hanya itu, mata sayu Raline yang menggenang selalu memancing rasa bersalah Jeffrey. Padahal, bukan kewajibannya untuk ikut campur ke dalam masalah Raline. Namun, mengapa semua tak bisa Jeffrey lenyapkan?

"Pak Jeff, Bapak Hari dan istrinya sudah datang," bisik Gisella.

Jeffrey meletakkan gelas koktail. "Oh ya," sahutnya.

Ia membuyarkan lamunan dan bergegas menyapa pemilik salah satu mal tempat store the MAXIMAL berada. Lelaki itu mengancingkan kancing jas dan melangkah penuh karismatik. Bibir Jeffrey tersenyum mengembang di balik berewok tipisnya.

Sang CEO kemudian menyambut kedatangan koleganya dengan ramah. Keduanya saling berbasa-basi singkat sembari membahas urusan bisnis.

"Valentine, ya? Apakah produk the MAXIMAL kali ini akan didominasi oleh warna merah muda?" tanya Hari.

Jeffrey menarik sudut bibir ke atas. "Pak Hari yang paling mengetahui kenapa kami bisa bertahan. Itu karena the MAXIMAL punya keunikan sendiri. Dan lagi, Valentine tidak harus identik dengan merah muda."

"Hmm." Hari mengangguk. "Anda berhasil membuat saya penasaran, Pak Jeffrey," ujar lelaki paruh baya itu.

"Pak Hari beruntung karena rasa penasaran Bapak akan segera tertuntaskan sebentar lagi," sahut Jeffrey.

Pikiran Jeffrey terus melancong memikirkan Raline. Semua tentang Raline, Raline, dan Raline Lara. Lelaki itu mengutuk dalam hati, mengapa ia bisa begitu tolol! Memikirkan pelacur saat sedang bekerja!

"Kalau begitu silakan menikmati acaranya, Pak." Jeffrey kehilangan kesabaran. Ia bergegas meninggalkan Hari dan berniat beramah-tamah lebih lama.

Jeffrey kemudian menghampiri Gisella. "Berikan aku ponselmu!" todongnya.

Meski bingung, Gisella segera menyodorkan ponselnya kepada Jeffrey. "I-ini, Pak."

Jeffrey menyambar telepon selular milik sekretarisnya. Ia berjalan menuju lift untuk turun ke lantai bawah. Akal sehat Jeffrey pasti sudah rusak. Bisa-bisanya dia meninggalkan acara penting perusahaan demi menuruti kata hati.

Senyum dari resepsionis mengembang saat melihat kedatangan Jeffrey. "Sore, Pak Jeffrey. Ada yang bisa saya bantu?"

"Mbak, boleh saya tahu di kamar mana Bapak Daniel Utomo Setya menginap, ya? Dia adalah salah satu kenalan saya. Tadi kami bertemu di lobi dan saya lupa menanyakan kamar hotelnya. Sementara, ponselnya tidak bisa saya hubungi," ujar Jeffrey tenang.

Resepsionis itu mengangguk. Sebenarnya, memberikan informasi soal nomor kamar tamu termasuk melanggar privasi. Namun, mana mungkin menolak seorang Jeffrey Daud Pratama, tamu VIP yang sedang menyelenggarakan event besar pada hotel mereka.

"Bapak Daniel Utomo Setya, ya?" ulang si resepsionis seraya memeriksa pada komputer. Tak berselang lama, ia lalu menatap Jeffrey sambil tersenyum. "Kamar 201, Bapak."

"Oke, makasi, ya, Mbak." Jeffrey menyeringai puas.

Jeffrey bukan lelaki sembrono. Ia menggunakan ponsel Gisella untuk menghubungi istri Daniel. Jeffrey memberitahu wanita malang itu untuk segera datang ke JW Marriot kamar nomor 201, tempat di mana suaminya sedang bertukar lendir dengan wanita panggilan.

Jeffrey tahu betul --- istri Daniel tidak akan membuat keributan, mengingat posisi Daniel sebagai kepala yayasan sebuah badan amal.

Kini tugas Jeffrey hanya tinggal mengulur waktu agar Daniel dan Raline tidak terlebih dahulu bersetubuh. Paling tidak, sampai sang istri datang melakukan bagiannya.

Sambil menyugar helai rambutnya, Jeffrey pun bergegas menghubungi nomor Daniel. Berkali-kali nada sambung, tidak juga diangkat. Sial! Apa jangan-jangan Daniel dan Raline sudah bercinta?

Ia terlambat?!

"Halo?" Suara parau Daniel terdengar dari balik speaker.

Jeffrey menyeringai. "Halo, Ko. Ada yang mau kubicarakan."

"Soal apa, Jeff? Kamu tahu, 'kan, I'm in middle of something," kelakar Daniel.

"Hal itulah yang mau kubicarakan, Ko. Jujur saja, aku kepikiran tentang penawaranmu. Namun, saat ini aku sedang berada di tengah acara launching."

"Maksud kamu?" selidik Daniel.

Jeffrey berdeham. "Maksudku, bagaimana kalau kamu menungguku beberapa menit sebelum bergumul dengan pelacur itu? Aku menawarkan permainan threesome, Ko. Dan, kamu bisa membebankan biaya wanita itu kepadaku."

Daniel hening sesaat.

"Threesome? Kamu, aku, dan Angel?" ulangnya.

"Ya. Bagaimana? Tapi, aku harus menyelesaikan urusanku dulu di sini," ujar Jeffrey.

Tawa Daniel terdengar lantang. "Aku nggak kira kamu ternyata punya fantasi begitu liar. Oke. Aku rasa threesome adalah hal yang menarik untuk dicoba. Aku akan menunggumu, Jeff."

Tarikan melengkung tercipta pada bibir Jeffrey yang merah. Senyum kemenangan.

***

Raline keluar dari bathroom dengan tubuh terbalut jubah mandi. Tidak segaris pun senyum terukir pada bibir plum-nya.

Hari ini ia harus melayani Daniel --- lelaki yang sering datang ke klub malam tempatnya bekerja dulu. Raline masih ingat perilaku genit dan kasar Daniel tiap kali bertemu. Berulang kali Daniel menggoda Raline dan dancer yang lainnya. Ia juga sering membuat onar saat sedang mabuk berat.

Rupanya, hal ini dimanfaatkan Bayu untuk menghukum Raline. Muncikari itu sengaja menjualnya kepada Daniel, lelaki mata keranjang yang teramat Raline benci.

"Sudah selesai mandi?" tanya Daniel. Ia duduk di atas sofa yang terletak di depan jendela lebar kamar hotel.

Raline mengangguk.

Daniel meletakkan ponsel di atas coffee table. Ia kembali melanjutkan, "Kita tunggu temanku dulu, ya. Enggak lama, kok. Dia ada di lantai empat hotel ini."

"Ma-maksudnya?" Raline terperanjat bukan main.

Daniel mengernyih. "Ya nunggu temanku. Kita main bertiga, Sayang."

Melayani Daniel seorang saja, Raline sudah hancur lebur. Lalu apa maksudnya ia harus menghadapi dua orang sekaligus?

"Harusnya tidak begitu, 'kan?" bantah Raline.

"Alah. Santai aja. Nanti kalau ada charge tambahan bakal aku bayar, kok. Lagian, Bayu bilang aku bebas melakukan apa pun kepadamu. Jadi, jangan sok jual mahal gitulah, Angel." Daniel mendecih.

Rasanya Raline ingin berteriak sambil menangis! Tapi, ia tak memiliki kuasa untuk melawan.

Daniel menyilangkan kaki seraya bersandar. "Kukasih tahu, ya, Ngel. Kamu itu jualan jasa. Jadi, tolong ramah dikit sama pelangganmu. Percuma cantik dan seksi kalau kelakuanmu tidak menyenangkan. Enggak akan ada yang mau memakaimu lagi. Coba, deh, profesional."

Raline memandang Daniel melalui mata yang berkaca-kaca. Lelaki itu begitu menjijikkan baginya. Ingin sekali ia mencekik leher Daniel dan melemparnya keluar melalui jendela.

"Nah, sembari nunggu temenku datang, gimana kalau kamu striptease dulu di depanku. Kata Bayu, side job-mu stripper. Baru tahu, lho, aku. Kalau tahu, dari dulu aku undang kamu untuk menari di acara-acaraku." Daniel menelisik tubuh Raline dari atas ke bawah. Kulit wajah lelaki Tionghoa itu memerah, mungkin karena mulai horny.

Mana sudi Raline menari di hadapan lelaki mesum seperti Daniel.

Daniel menepuk tangannya. "Ayo, Angel. Tunggu apa lagi? Buruan!"

Raline menarik napas dalam. Ia memejamkan mata sesaat untuk menenangkan diri. Sudahlah, ini adalah takdirnya. Ini nasib yang tak bisa ia tolak. Untuk bertahan hidup demi Sintia, ia harus ikhlas menjajakan tubuh.

Daniel terpaku ketika Raline mulai berlenggok di hadapannya. Wanita itu perlahan-lahan melepas bathrobe yang melilit tubuh. Pinggul Raline bergerak pelan menciptakan suguhan pembangkit libido bagi kaum Adam. Kedua tangannya bergoyang ke atas --- membebaskan gundukan kembarnya terekspos.

Daniel menelan saliva. Celana yang ia gunakan terasa sempit karena kejantanannya sudah bangun. Bagian bawah lelaki itu meronta ingin dibebaskan.

Raline berputar membelakangi Daniel, meliukkan tubuh pelan. Ia menungging seraya meraba pergelangan kaki dengan jemarinya yang lentik. Bokong Raline yang bulat semakin menggoda gairah Daniel. Panggul seksi itu bergoyang naik dan turun dengan ritme lambat.

Daniel mulai gelisah. Ia tidak sabar bergumul dengan stripper menawan di depannya.

Ketika lelaki Chindo itu resah, bunyi ketukan terdengar dari balik pintu kamar hotel. Wajah Daniel semringah, yang ditunggu-tunggu datang juga!

"Nah! Itu pasti temanku!" Daniel bergegas berjalan ke depan untuk membuka pintu.


Sudah tamat di BESTORY



EXTRA PART baca di KARYAKARSA

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top