♟9♟I Believe.

In Hyun POV

Aku seorang gadis yang selalu seenaknya saja. Selalu tak beruntung dalam hal apa pun. Aku kadang berpikir kenapa aku selalu tak seberuntung mereka dalam hal apa pun? Kehidupan, pelajaran, bahkan dalam hal Cinta sekalipun. Aku tidak sempat tertawa, bercanda dengan ibu, kakak, dan teman-temanku, ketika hatiku terkena benturan yang hampir membuatku putus asa karena kehilangan Cinta pertamaku. Dan aku belum sempat berkata pada mereka bahwa aku baik-baik saja.

Entah bagaimana aku bisa sampai dan terjebak di zaman di mana nenekku saja belum lahir dan yang membuat aku tak bisa mempercayainya. Aku telah menikah dengan seorang laki-laki yang kini ada di hadapanku. Pernikahan kami akan diresmikan dua hari lagi. Seorang lelaki yang tak bisa membuat mataku berkedip sedikitpun. Karena sorot matanya yang tajam, bening melebihi embun pagi dan tatapannya yang kadang sayu seakan menyejukkan hatiku.

Author POV

Ketika In Hyun berputar-putar di taman dekat kolam tak sengaja dia menabrak Jeong Soon.

Jeong Soon langsung menarik tangan In Hyun, membawanya ke taman terlarang miliknya. Mereka kini berada di taman tersebut.

In Hyun kini terpaku menatap punggung Jeong Soon yang berdiri membelakanginya. “Kamu mau bicara apa membawaku ke sini?” tanyanya dengan nada sedikit gemetaran. Dia berpikir mungkinkah dia telah melakukan kesalahan.

“Aku minta maaf karena terlambat menemukan dan menjemputmu, sehingga kau kehilangan orang-orang yang telah menjaga dan mengurusmu.” Jawab Jeong Soon menatap ke arah kolam, teringat dengan nenek tua dan gadis pembawa pedang yang tak bisa diselamatkannya waktu itu.

“Takdir …” jawab In Hyun sambil berjalan mendekati Jeong Soon kemudian berdiri di sampingnya ikut menatap ke arah di mana Jeong Soon menatap juga.

Jeong Soon menoleh ke samping menatap In Hyun penuh dengan pertanyaan.

“Kau tahu, dulu aku sempat tak ingin mempercayai akan adanya takdir, bahkan aku selalu menyalahkannya. Karena kenapa takdir merenggut orang-orang yang aku Cintai? Namun kini …,” kalimat In Hyun menggantung mengingat mendiang ayahnya dan juga Nam Suuk yang telah meninggalkannya.

“Kini?” Jeong Soon masih dengan tatapannya. Dia berpikir bahwa orang-orang yang dicintai In Hyun adalah kedua orang tuanya dan juga pengurusnya.

“Kini aku percaya bahwa takdir juga lah yang telah mempertemukanku denganmu.” Lanjut In Hyun tersenyum tipis.

Jeong Soon berbalik badan menghadap In Hyun. Ditarik tangan In Hyun sehingga sontak berbalik dan menumbruk tubuhnya. Dilingkarkan kedua tangannya di pinggang In Hyun, memeluknya dengan erat. Diturunkan wajahnya lalu dagunya ditaruh di atas bahu In Hyun.

“Bisa kau ajari aku apa itu Cinta dan seperti apa? Meski aku mustahil bisa merasakannya karena kutukan itu, tapi aku juga ingin jadi orang yang bisa mencintai sepertimu,” ucapan Jeong Soon terdengar sangat lirih.

Jantung In Hyun berdegup sangat kencang. Selama dia berpelukan dengan Nam Suuk, tidak pernah sampai seperti itu. Kini kedua pipi In Hyun merah merona, dia sedikit berontak takut debarannya terasa oleh Jeong Soon dan takut juga ada yang melihat mereka. Namun Jeong Soon malah semakin mempererat pelukannya.

“Pangeran, bisakah kau sedikit melonggarkan pelukanmu? Aku merasa sulit bernapas.” In Hyun tampak mencoba mengatur napasnya dan mencoba menenangkan jantungnya.

“Hmm, joesonghabnida (Maaf).” Jeong Soon perlahan melepaskan pelukannya.

In Hyun menatap ke dalam kedua manik mata Jeong Soon yang seolah dipenuhi luka-luka yang dalam, entah luka apa itu?

Kutukan, kenapa ada kutukan seperti itu? Orang tampan seperti dia tidak bisa merasakan Cinta dan bagaimana aku bisa mengajarinya, sementara dalam hal Cinta aku juga selalu gagal, tak tahu juga bagaimana dan mulai dari mana mengajarinya?

“Apa kau sakit?” tanya Jeong Soon melihat kedua pipi In Hyun yang memerah.

In Hyun sedikit terkesiap, kemudian membalikkan tubuhnya membelakangi Jeong Soon dan menjauh dua langkah darinya.

“A-aku tidak apa-apa. Aku hanya sedikit kelelahan dan kepanasan di sini, huhh hawanya panas sekali.” Elak In Hyun sembari mengipas-ngipaskan telapak tangannya ke wajahnya. Wajahku pasti sudah berubah jadi ungu, duh malu-maluin, kenapa juga aku harus gugup jika bersamanya? Batinnya bergumam.

“Panas?” Jeong Soon memandang sekeliling taman yang di kelilingi pohon dan juga bunga, angin menerpa terus wajahnya memainkan rambut halus di keningnya dan hari sebentar lagi akan gelap. Tapi kenapa gadis itu mengatakan kalau di sana panas? Sementara hawa malah berubah semakin dingin.

Jeong Soon berjalan mendekati In Hyun, dibalikkan lagi tubuh In Hyun supaya menghadap kepadanya. Punggung tangan Jeong Soon kini menempel di keningnya. “Apa kau benar-benar sakit?” tanyanya tampak khawatir memeriksa suhu badan In Hyun.

“Ti-tidak, a-aku tidak sakit,” jawab In Hyun gelagapan sambil mundur selangkah, menghindari tangan Jeong Soon yang menempel di keningnya.

“Tapi kena-”

“Aku tidak apa-apa,” potong In Hyun. “Kalau sudah tidak ada lagi yang mau dibicarakan, aku mau ke kamarku lagi. Di sini sepertinya semakin dingin.” Ia melangkah pergi meninggalkan Jeong Soon yang masih berdiri terpaku. Sebenarnya dia mencoba menyembunyikan kedua pipinya yang merah itu.

Tadi panas, sekarang dingin, benar-benar gadis aneh. Gumam Jeong Soon pelan menatap punggung In Hyun yang semakin menjauh darinya.

Ketika melintas jembatan kecil, In Hyun menghampiri Mongyi dan Gahee yang berdiri di sana menunggunya dari tadi. “Kita kembali ke kamar.”

Mereka hanya menurut mengikuti In Hyun dari belakang.

Sesampainya di kamar.

“Aahhkk, kenapa di sini tidak ada lampu?” kata In Hyun melemparkan tubuhnya ke atas kasur yang kurang empuk itu.

“Lampu?” Gahee dan Mongyi saling menatap aneh.

“Iya, lampu yang terang.” Jawab In Hyun belum sadar.

“Oh, penerangan. Semua di sini memakai lilin atau lentera, apa lenteranya kurang, Putri?” tanya Mongyi kini mengerti.

“Kalau mau lebih terang, kami bisa menyuruh penjaga untuk menambahnya.” Gahee melihat beberapa lentera di kamar itu dan sebenarnya itu sudah sangat terang baginya.

Lampu? Lentera? Ya Tuhan aku lupa di sini kan belum ada listrik dan lampu, kata In Hyun dalam hati baru sadar. Dia pun langsung beranjak bangun dari atas ranjang. “Kalian pasti lelah seharian melayaniku, kalau begitu kalian pergilah ke kamar kalian, aku lelah sekali mau istirahat.”

“Tapi Putri …?” Mongyi merasa sedikit keberatan karena pekerjaan mereka belum selesai sampai waktu makan malam.

“Sudah, ayo sana, huss huss.” Canda In Hyun tersenyum sembari mendorong punggung kedua dayangnya itu menuju pintu.

“Maaf, Putri. Tapi Anda belum makan malam, jadi-”

“Aku sudah besar, kalau lapar nanti aku akan meminta ke pengawal di luar membawakannya ke sini.” Jawab In Hyun masih mendorong keduanya.

Setelah keduanya keluar, In Hyun langsung menutup pintu. “Huuhh, akhirnya lepas juga dari mereka. Seumur hidupku baru kali ini aku dikawal, diikuti kemanapun aku pergi, bahkan ke kamar mandi pun ditungguin, sampai kapan aku akan terkekang seperti ini?” gumamnya sembari tiduran lagi di ranjangnya, menenggelamkan wajahnya ke dalam bantal.

“Eomma, kak In Myun aku rindu kalian.” Tak terasa air mata menetes membasahi kedua pipinya.

Hari sudah malam. Waktunya makan malam.

Dari jendela yang terbuka. In Hyun memandang pemandangan Bulan Purnama. Semilir angin menerpa wajahnya, dihirup dan diembuskan napasnya lirih, teringat tentang Nam Suuk yang selalu mengajaknya ke taman memandang bulan Purnama.

Lamunannya seketika buyar. Mengerjapkan matanya ketika mendengar sayup-sayup dari kejauhan suara alunan suling yang sangat merdu.

“Suling? Siapa malam-malam begini memainkannya?” In Hyun bertanya-tanya sendiri.

Dia keluar dari kamar diikuti dua pengawalnya menuju ke taman terlarang. Terus berjalan sendirian melintasi jembatan yang tadi dilewati menuju taman, sementara dua pengawalnya menunggu di perbatasan kolam. Seluruh taman itu terang oleh lentera-lentera yang indah, menambah keindahan suasana taman di malam hari. Langkahnya semakin melambat ketika suara suling itu terdengar jelas di telinga.

Ternyata itu Jeong Soon yang sedang bermain seruling seperti biasanya.

In Hyun berhenti empat langkah dari Jeong Soon.

Ketika Jeong Soon mengetahui kedatangannya. Dia sontak berbalik badan, lalu menghentikan permainan sulingnya.

Dia melangkah mendekati In Hyun yang berdiri terpaku menatapnya. In Hyun mengerjap kala melihat perubahan warna manik mata Jeong Soon menjadi emas keperakan. Apa dia salah lihat karena malam hari?

Siapa yang menurunkan malaikat di malam ini? Tanya In Hyun dalam hati, matanya tak ingin berkedip terus menatap. Melihat Jeong Soon seakan bersinar terang tersinari Bulan Purnama.

Jeong Soon semakin mendekat, In Hyun tak sadar malah berjalan mundur, terus mundur sehingga menubruk sebuah pohon bunga sakura, dia tak bisa melangkah mundur lagi dan Jeong Soon sudah semakin mendekat.

In Hyun meremas bajunya erat, hatinya dag dig dug tak keruan. Ketika melihat Jeong Soon sudah berada dekat di hadapannya dan membungkukkan sedikit wajah ke dekat telinganya, membuat In Hyun sontak memalingkan wajahnya ke arah lain.

Jeong Soon berbisik, “kau tahu ini adalah taman terlarang dan tanpa seizinku, kau tak boleh masuk ke sini sembarangan.”

In Hyun sontak membulatkan matanya.

“Ma-maaf a-aku …” Suara In Hyun jadi terbata-bata.

“Ehemm.” Terdengar seseorang berdeham dari balik punggung Jeong Soon membuat keduanya terkesiap. Mereka menoleh ke arah datangnya suara itu.

“Lee, kau?” kata Jeong Soon, ternyata yang datang Lee Hwon, sepupunya.

“Maaf, apa aku mengganggu kalian?” tanyanya tersenyum renyah.

Jeong Soon sedikit menjauh dari In Hyun. “Kami-”

Aniyo,” jawab In Hyun cepat, “bagus kau datang, karena aku akan pergi dari sini.” Ia langsung melangkah pergi dari taman meninggalkan mereka. Kalau tidak boleh ya tidak apa-apa aku juga yang salah, asal masuk saja. Gerutunya dalam hati kesal sepanjang perjalanan menuju ke kamarnya.

Jeong Soon melangkah ke arah bangku lalu duduk di sana diikuti oleh Lee Hwon yang duduk juga di sebelahnya.

“Apa kalian tadi sedang berciuman?” tanya Lee Hwon menatap tajam Jeong Soon karena dia melihat mereka dari belakang saat Jeong Soon berbisik di dekat telinga In Hyun.

“Be-berciuman?” Jeong Soon malah menatap nanar pada Lee Hwon.

Ne, berciu-”

“Tidak. Aku hanya memperingatkannya agar tidak sembarangan masuk ke sini.” Potong Jeong Soon baru mengerti yang dimaksud Lee Hwon.

“Kenapa?”

“Kau tahu sendiri bahwa aku tidak suka ada yang masuk ke sini tanpa seizinku.”

“Kenapa kau tak pernah melarangku?”

“Karena kau saudaraku dan dia-”

“Dia istrimu. Apa kau lupa bahwa dia juga istrimu, jadi dia juga berhak masuk ke sini dengan semaunya.” Lee Hwon mencoba sedikit membuka hati Jeong Soon yang keras, seolah membeku dan pendiam itu.

“Entahlah, aku belum terbiasa akan hal itu. Lee, apa aku bisa berubah? Merubah perasaanku ini untuknya, kau tahu kan bahwa aku seorang Pangeran yang terkenal kejam, di medan pertempuran pun semua aku habisi tanpa perasaan, entah kenapa aku takut untuk lebih dekat dengannya? Aku takut akan menyakitinya tanpa aku sadari.”

Lee Hwon menepuk sebelah pundak Jeong Soon sembari menatapnya. “Hyung, sampai kapan kau akan menutup hatimu itu? Meski karena kutukan itu, apa kau tak mau mencoba untuk memberikan semua perasaanmu padanya? Merubah sikapmu. Aku yakin suatu hari nanti yang namanya Cinta akan kau rasakan keindahannya dan akan singgah di hatimu itu.” Ia mencoba menasehati kakak sepupunya itu.

Jeong Soon menatap kosong jauh ke depan menembus remang-remang malam. “Ya, mungkin sudah saatnya aku harus merubah sikapku.” Jawaban yang membuat Lee Hwon tersenyum lebar sembari menepuk-nepuk bahunya.

“Berusahalah, kami semua juga sedang berusaha untuk mencari cara agar kalian bisa lepas dari kutukan itu, kami ingin sekali melihatmu bahagia, Hyung,” ujarnya sembari bangkit berdiri. “Mari kita makan malam, aku sudah lapar sekali.”

Jeong Soon mengembuskan napasnya dalam-dalam. Mereka berdua melangkah pergi meninggalkan taman.

Ketika di ruang makan.

“Mana Tuan Putri?” tanya Jeong Soon menoleh ke sampingnya di sana tak ada In Hyun.

“Tadi dia makan duluan Pangeran dan mungkin dia sudah tidur.” Jawab pengawalnya.

Kaisar dan Ibu Suri hanya tersenyum melihat anaknya yang seakan tak bersemangat untuk makan malam karena tak ada istrinya yang duduk di sampingnya seperti tadi siang.

Jeong Soon merasa bersalah, tadi dia melihat raut wajah In Hyun yang tampak kesal. Jadi dia berniat ingin meminta maaf dan akan berkata dia bebas memasuki taman itu kapan saja.

Setelah makan malam selesai. Jeong Soon bergegas pergi ke kamar In Hyun, ketika masuk ke sana. Benar saja In Hyun sudah tertidur lelap.

Dia duduk di pinggir ranjang, dibelainya pipi In Hyun pelan, tanpa sadar dia mengecup bibirnya dengan lembut membuat In Hyun bergerak membuka sedikit matanya. Dilihatnya bayangan seseorang, saking ngantuknya dia pun tertidur lelap kembali.

Jeong Soon membenarkan selimut In Hyun yang di atas kakinya. Ditarik selimut itu, diselimutinya In Hyun sebatas dadanya. Kemudian melangkah pergi meninggalkan kamar dan kini dia berdiri di balkon depan kamar In Hyun.

Dia berdiri di ujung pagar teras balkon. Ditatapnya Bulan Purnama yang sudah di atas langit malam. Diusap bibir bawahnya pelan.

Ciuman. Jadi ini rasanya ciuman. Batinnya. Itu adalah ciuman pertamanya dan dia tak tahu kalau itu juga adalah ciuman pertama In Hyun. Dimiringkan sudut bibirnya, dihirup udara yang semakin dingin lalu diembuskannya lirih.

Pagi-pagi burung saling bersahutan, air masih gemericik, angin berembus sedikit kencang pagi itu, meniup embun-embun di atas dedaunan jatuh ke atas daun lainnya lalu jatuh menetes ke tanah.

“Tuan Putri.” Mongyi mencoba membangunkan In Hyun.

“Hmmm?” In Hyun hanya menyahutnya seperti itu.

Dibuka perlahan matanya, dia sebenarnya berharap ketika membuka mata pagi itu berada di kamarnya di zaman modern. Kebiasaannya meraba-raba ke samping mencari ponsel masih sering dia lakukan tanpa sadar.

“Hmmm, aku lupa,” ucapnya sembari bangun, mengingat kalau dia masih di zaman Joseon. Digosok-gosok kedua matanya sambil menguap.

Mongyi dan Gahee tersenyum melihat rambut In Hyun yang berantakan.

“Tuan Putri, Anda harus segera bersiap-siap, karena hari ini akan banyak tamu yang datang ke sini dari Kerajaan-Kerajaan lain.” Gahee segera menyingkirkan selimut dari atas tubuh In Hyun.

“Benarkah? Memangnya mau ada pesta apa?” tanya In Hyun masih mengantuk.

“Pesta?” Mereka berdua malah saling tatap lagi.

“Maksudku, perayaan apa?” ulang In Hyun.

“Perayaan penyambutan tamu undangan, besok Tuan Putri akan menikah dengan Pangeran Emberator.” Jawab Mongyi membuat In Hyun memutar matanya bosan.

“Baiklah.” Jawab In Hyun malas beranjak dari ranjangnya menuju ke kamar mandi.

Selesai mandi dan berdandan, In Hyun dibawa ke sebuah taman belakang jauh dari kamarnya. Di sana sudah banyak orang yang menunggunya. Ketika melihat kedatangannya, semuanya merundukan sedikit badannya ke bawah dan mengibaskan sapu tangannya ke bahu untuk salam ala perempuan istana dan menundukkan tubuhnya ke depan untuk salam ala para laki-lakinya.

In Hyun baru saja diajari oleh Mongyi dan Gahee salam ala Dinasty Joseon, jadi dia masih kaku melakukannya.

“Duduklah Tuan Putri.” Mongyi mempersilakan In Hyun untuk duduk di depannya dan Gahee.

In Hyun duduk di sebuah bantal di depan meja yang sudah dipersiapkan.

Mongyi dan Gahee duduk tenang di belakangnya.

In Hyun melihat banyak orang yang sedang minum dan menikmati hidangan di sana.

Matanya kini tertuju ke arah Jeong Soon yang sedang minum-minum dan tampak tak memperhatikan keberadaanya.

Semalam aku mimpi apa ya? Aku merasa ada sesuatu yang kenyal dan hangat menyentuh bibirku. In Hyun mencoba mengingat-ingat mimpi itu. Tanpa sadar mengusap-usap bibir bawah dengan jemari tangannya.

Ӝ----TBC----Ӝ

Revisi ulang*
22 Januari 2020

By~ Rhanesya_grapes 🍇

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top