♟60♟Gagi Hajima (Jangan Pergi).
Setelah mengalahkan prajurit musuh. Para Takeda Riku sekaligus menjadi debu terbang tertiup angin. Tugas mereka telah selesai, tanah yang retak mulai kembali merapat dan dinding jurang lembah terkutuk pun kembali menutup bersamaan dengan hilangnya Takeda Riku, hilang juga prajurit lembah kegelapan kembali ke alamnya.
Kemenangan memang telah mereka dapatkan. Tapi rasanya tidak adil jika harus kehilangan juga. Apakah itu setimpal dengan apa yang harus mereka perjuangkan? Tiga Kerajaan telah selamat dari incaran, bahkan Kerajaan Barje kembali mereka dapatkan. Sayangnya, gugurnya seorang pemimpin yang adil dan bijaksana membuat kemenangan itu seolah tak berarti apa-apa.
Hanya tinggal beberapa ratus prajurit yang tersisa dari tiga Kerajaan. Ada sekitar tiga ratus lebih prajurit Ching Daiki yang menjadi tawanan. Mereka langsung disuruh mengumpulkan mayat dari Kerajaan mereka untuk dibakar di sebuah tanah lapang di tengah hutan tak jauh dari Benteng perbatasan.
Separuh prajurit dari Kerajaan Goguryeo pulang dengan wajah yang sedih. Dan separuh lagi berkemah di perbatasan untuk mendapat pengobatan. Sementara yang lainnya menjadi penjaga, ada yang ikut mengumpulkan jasad teman atau saudara mereka, prajurit yang gugur dari tiga Kerajaan akan dimakamkan dengan layaknya.
Mereka yang telah gugur dan yang masih hidup adalah pejuang yang takkan pernah terlupakan sepanjang sejarah. Hari sudah petang dan sebentar lagi akan gelap. Dari pagi mereka berjuang dan beruntungnya menjelang sore mereka telah mendapatkan kemenangan.
Jasad Kaisar Goryeo dimasukkan ke dalam peti di dalam kereta kuda. Dibawa pulang ke istana Goguryeo. Bahkan Panglima terkuat mereka Zheng Yan ternyata gugur juga dalam peperangan itu. Dia bersama dengan adiknya yaitu Gahee telah mengorbankan nyawa mereka demi istana Goguryeo. Dan kedua jasad itu akan disemayamkan dengan selayaknya seperti para Pangeran atau Putri, meski mereka hanya seorang Panglima dan juga seorang dayang.
Luo Guanjong dan Lee Hwon naik kuda pulang ke istana Goguryeo dengan wajah yang pucat. Rasa lelah, bahagia serta menahan rasa sedih kini bercampur aduk menjadi satu. Keduanya tak bisa membayangkan bagaimana ekspresi wajah Jeong Soon saat tahu telah kehilangan Ayah tercintanya. Mereka tak tahu jika di istana, sang Ratu juga dalam keadaan terluka parah, kini terbaring di atas ranjang antara hidup dan mati.
Jeong Soon yang dari tadi menunggu di luar kamar tampak mondar-mandir di depan pintu sembari menyilangkan kedua tangannya di belakang punggung. Hatinya cemas, gelisah, takut, khawatir dan entah apalagi bercampur aduk menjadi satu.
Di dalam kamar, nenek tabib yang sering memeriksa In Hyun masih terus memeriksanya. Sang nenek mencoba menempelkan bermacam obat ramuan untuk luka In Hyun. Tapi luka tusukan pedang itu benar-benar parah. Bahkan anak yang di dalam kandungan In Hyun ikut tertusuk juga dan telah mati sejak tadi.
Seandainya mereka ada di zaman di mana In Hyun dilahirkan. Sudah pasti peralatan canggih akan menyelamatkan nyawanya dengan cara operasi sesar. Meski sang bayi tidak mungkin diselamatkan karena baru menginjak usia lima bulan. Setidaknya nyawa In Hyun masih bisa ditolong.
Tapi, sayang. Sungguh sangat disayangkan. Di zaman itu belum ada semua yang dibicarakan tadi. Bahkan ketika terluka, mereka masih memakai tumbukan daun atau tumbuhan lain untuk mempercepat penyembuhannya. Belum ada betadine, plester luka atau alkohol untuk penahan rasa sakit. Jadi, kemungkinan untuk menyelamatkan nyawa In Hyun adalah 0%.
Ajaibnya, In Hyun masih bernapas meski keadaannya benar-benar kritis. Sang nenek tabib yang mengetahui siapa In Hyun dari awal tersenyum miris. Dia duduk di pinggir ranjang sembari menempelkan kain kompres di kening In Hyun yang mengigil tetapi badannya panas atau tepatnya In Hyun meriang, hal itu membuat hati sang nenek semakin pedih sekaligus tersayat.
Dia membelai pipi In Hyun dengan lembutnya. Di dalam hati dia berkata. Seandainya kau terlahir di zaman ini. Sudah pasti kejadian ini takkan pernah terjadi. Tapi siapa yang bisa menentang takdir. Kau ada untuk melengkapi sesuatu yang pernah hilang di zaman ini. Meski pada akhirnya kau harus pergi. Setidaknya kau telah merubah zaman yang akan datang dengan meninggalkan sejarah yang luar biasa dan tak terlupakan.
Braakkk...! Pintu digeser dengan keras atau lebih tepatnya setengah didobrak oleh Jeong Soon yang tak sabar ingin melihat keadaan istrinya saat ini. Kala melihat In Hyun terbaring dengan keningnya dikompres, tak kuasa dia menatap semua itu. Kalau saja tidak menguatkan diri. Sudah pasti tubuhnya akan jatuh terkulai bagaikan tubuh tanpa tulang.
Lututnya melangkah dengan gemetaran. Kedua tangannya mengepal dengan erat sampai kuku-kuku jarinya berubah putih. Kedua matanya tak lepas dari menatap istrinya yang terbaring tak berdaya dengan kain putih yang melingkar di pinggangnya menutupi luka. Rasa tak percaya masih saja memenuhi benaknya. Jantungnya pun berdetak di atas normal dengan bisikkan doa yang tak henti-hentinya keluar dari mulutnya.
Ketika berdiri di pinggir ranjang. Hatinya tercincang seolah ada sebuah pedang yang menusuk, memotong dan menghancurkannya. Napasnya tercekat membuat lidahnya pun menjadi kelu meski hanya sekadar untuk menyapa sang nenek tabib.
Nenek tabib menunduk memberi hormat seperti biasa sembari bangkit dari duduknya di pinggir ranjang. Dia bisa merasakan sakit yang menghujam sang Kaisarnya. Ia pun mulai melangkah untuk meninggalkan mereka berdua. Tetapi baru saja dua langkah, kakinya terhenti seiring pertanyaan yang dilontarkan oleh Jeong Soon kepadanya.
"Bagaimana keadaan istri dan anak saya?" nada getir dan gemetaran tampak jelas terdengar di telinga. Berat dan parau membuat sang tabib tertambah pilu. Jawaban apa yang ingin didengar Jeong Soon saat ini? Sementara pertanyaan yang dilayangkan sudah dia dapatkan sendiri jawabannya.
Jeong Soon menoleh ke belakang untuk melihat sang nenek tabib, ingin mendengar jawabannya. Sang nenek menggeleng pelan namun jelas, itu sebuah jawaban yang tak ingin Jeong Soon ketahui. "Maafkan hamba, Yang Mulia. Hamba memang bisa mengobati dengan sekuat kemampuan hamba mencegah maut. Tapi hamba tak bisa menentang takdir."
Jeong Soon terkesiap mendengarnya. Sang nenek menjawab begitu karena Jeong Soon juga tahu kalau dari dulu, nenek tabib paling hebat itu selalu bisa menyembuhkan orang yang terluka parah, berbagai penyakit yang belum diketahui, atau orang yang sakit parah dan sekarat terkadang bisa dia obati. Tapi kali ini lain lagi. Nenek tabib benar-benar tak sanggup untuk menentang semua kehendak takdir.
Tiba-tiba kepalan tangan Jeong Soon melonggar. Hatinya semakin terpukul hancur remuk tak tersisa. Air bening mulai tergenang di pelupuk matanya. Udara yang dihirupnya seolah menghilang membuat dadanya semakin sesak. Dan tubuhnya yang kaku terasa semakin kebas.
Nenek tabib melangkah kembali menuju ke arah pintu lalu keluar dari sana menutup pintu dengan rapat.
Ruang kamar semakin sunyi. Yang terdengar hanyalah embusan napas yang memburu dari In Hyun dan embusan napas Jeong Soon yang begitu berat dan lirih.
Tak bisa ditahan lagi, tubuh Jeong Soon roboh seketika terkulai ke atas lantai seolah tak ada tenaga untuk menopang tubuhnya itu. Luka luar yang belum mengering tak seberapa sakitnya melebihi sakit kenyataan yang harus dia terima saat ini. Dia menoleh dalam duduknya itu ke arah In Hyun. Lalu bergeser mendekati ranjang.
Dengan tangan gemetaran dia menyentuh tangan In Hyun lalu menggenggamnya erat. Dikecupnya lembut dan sedikit lama. Tangan In Hyun yang terasa panas tetapi giginya terdengar gemeretak sangat menggigil. Air mata yang dari tadi ditahan Jeong Soon menetes meluncur dengan cepatnya membasahi kedua tangan mereka. Ia melepaskan kecupannya lalu menatap dalam wajah istrinya dari samping.
In Hyun terlihat semakin menggigil membuat Jeong Soon semakin tak tega melihatnya. Ia bangkit dari lantai tanpa melepaskan genggaman tangannya lalu duduk di tepi ranjang. Perlahan ikut baringan di samping istrinya. Doa terus mengalir dari dalam hatinya. Ia sangat berharap sebuah keajaiban muncul saat itu juga.
Keajaiban?
Mustahil!!
Bahkan mengharapkan kata itu datang di saat-saat seperti itu memang terasa menggelikan. Apalagi satu nyawa telah mati di dalam sana, yaitu anaknya.
Jeong Soon melingkarkan lengannya ke dada In Hyun. Memeluknya dan tak ingin melepaskannya begitu saja. Jika dia bisa memilih dan bila kematian bisa menyatukan kembali di alam sana. Dia rela ikut mati bersama istri dan anaknya itu. Tapi kembali ke awal. Semua itu hanyalah kemustahilan.
Luo Guanjong dan Lee Hwon baru saja sampai ke istana. Keduanya bertemu dengan nenek tabib yang hendak ke dapur untuk menyiapkan ramuan-ramuan obat. Sang nenek berkata kalau jangan dulu mengganggu Jeong Soon.
Keduanya mengerti. Mereka menyuruh para pengawal untuk membawa jenazah Kaisar Goryeo menuju ke ruang untuk memandikan. Lalu keduanya langsung menemui Wang Jhaojun di mana dia saat ini tengah menatap wajah adik perempuannya untuk terakhir kalinya di sebuah ruangan pemandian untuk wanita.
Di istana baru.
Jeong Soon masih menatap wajah In Hyun. Sesekali dia mengelap keringat di wajah wanita yang sangat dicintainya itu yang mulai semakin berubah pucat. Bibir In Hyun sudah berubah putih bersemu biru. Dia benar-benar tak tega melihatnya. Seandainya... seandainya.. dan seandainya... jika sakit yang diderita In Hyun bisa berpindah kepadanya. Maka dia sanggup untuk menanggungnya.
Jeong Soon tak ingin memejamkan kedua matanya. Dia tak mau jika esok hari ketika membuka mata tak melihat dada In Hyun yang bergerak naik turun karena bernapas dan tak mau mendengar detak jantung In Hyun yang sudah berhenti. Dia sungguh tak mau menghadapi hal itu.
Namun. Semua hanya keinginannya semata. Tanpa kuasa dan tanpa bisa ditahan lagi, rasa kantuk yang begitu memberatkan kedua matanya karena lelah dalam bertarung membuatnya perlahan memejamkan kedua matanya.
Di tempat pemandian para jenazah.
Wang masih terpaku menatap wajah adik perempuannya. Masih teringat senyum tulus yang selalu ditunjukkan adiknya itu ketika kecil dulu. Masih terasa lucu di saat Jhao Feiyan mengatakan ingin menikah dengan Jeong Soon kala masih berusia tujuh tahun.
Luo memegang pundak kanan Wang lalu menepuk-nepuknya pelan. "Maafkan kami, karena tak bisa menyelamatkannya." Ucapnya menunduk sedih.
Lee juga memegang pundak satunya. "Ya, andai saja perang ini tak terjadi. Mungkin dia tidak akan mati seperti-"
"Dia pasti mati," kalimat Lee Hwon dipotong Wang. "Sejak dulu dia sudah mati karena Cinta. Kalian tahu kalau cintalah yang telah membunuhnya. Aku tak marah pada siapa pun dan memang tak ada yang perlu untuk disalahkan. Akan tetapi, aku kini bangga kepada adikku karena telah mengorbankan nyawanya demi Ratu In Hyun." Jawabannya terdengar getir namun bercampur rasa bangga.
Di hari terakhir pun Jhao Feiyan masih bisa mempertahankan istana serta menyelamatkan istri dari orang yang sangat dicintainya. Wang Jhaojun sedikit menerawang ke masa-masa kecil mereka. Di saat adik perempuannya itu bisa berjalan untuk langkah pertamanya. Di saat dia sakit, tertawa dan menangis. Hanya Jhao Feiyan adik satu-satunya yang dia miliki.
Waktu kecil Jhao Feiyan sangat ceria. Tetapi ketika tahu kalau Jeong Soon sudah ditunangkan dengan gadis lain. Dari saat itu sikapnya berubah. Bahkan cintanya semakin membuatnya posesif, ketika Hwa Young menghilang dan dari situ dia terus-terusan mengejar Jeong Soon tanpa kenal kata menyerah.
Yang lebih parahnya lagi, ketika In Hyun ditemukan dan menikah dengan Jeong Soon. Di saat itu sikap Jhao Feiyan semakin tak terkontrol bahkan sampai nekat menjadi pembunuh dan mulai berontak.
Luo Guanjong dan Lee Hwon juga setuju atas rasa bangga itu. Dan mereka juga sangat bangga kepada Jhao Feiyan. Setelah ketiga Pangeran itu melihat wajah Putri Jhao Feiyan untuk terakhir kalinya. Mereka pun bergegas ke kamar masing-masing di mana istri mereka mengalami hal yang sama dengan In Hyun, yaitu sedang terluka parah.
☆☆☆☆
Pagi hari menjelang.
Pagi itu terlihat sangat mendung dengan kabut tipis yang mulai perlahan menghilang. Suasana istana benar-benar sepi. Angin pun berembus berubah-ubah arah. Salju turun perlahan seolah ikut bersedih dengan apa yang terjadi di dalam istana. Bambu yang tertutupi salju bergoyang tertiup angin menjatuhkan salju dengan suara deritan.
Jeong Soon perlahan membuka kedua matanya. Mengerjapkannya perlahan mencoba mengumpulkan semua ingatannya. Dia merasa ada yang kosong dan hilang. Tiba-tiba kedua matanya membulat sempurna sambil menoleh ke samping di mana In Hyun sudah tidak ada di sana. "Ke- ke mana dia?" dia baru sadar kalau istrinya sudah tidak ada di tempat tidurnya.
Ia langsung bangkit berdiri mengedarkan pandangannya ke sekeliling kamar berharap menemukan istrinya, lalu langsung turun dari ranjang dengan tergesa menuju ke pintu. Dibukanya dengan tak sabar lalu berlari keluar. Dia tak peduli dengan hawa dingin yang menusuk pagi itu karena pakaian tipisnya. Yang ingin dia tahu adalah ke mana istrinya itu pergi? Dia bahkan berlari seperti orang gila. Sampai tikungan istana dia hampir menabrak Mongyi.
"Yang Mulia. Anda hendak pergi ke mana?" tanya Mongyi heran melihat wajah Jeong Soon yang penuh dengan ketakutan.
"Ratu Hyun. Ke ... ke mana dia pergi?"
Mongyi hanya menunduk.
Jeong Soon membulatkan kedua matanya hendak berlari lagi, tetapi jawaban Mongyi menghentikannya.
"Permaisuri ada di balkon istana, Yang Mu-" kalimat Mongyi belum selesai, Jeong Soon sudah berbalik badan berlari kembali lagi ke kamar lalu bergegas ke balkon.
Tadi dia mengira kalau In Hyun sudah berada di ruang pemandian. Sesampainya di balkon. Jeong Soon langsung menoleh ke bawah melihat In Hyun duduk di sebuah bantalan sambil bersandar ke dinding sendirian sembari melepas pandangannya ke depan menatap salju yang turun. Dia melangkah dengan gontai mendekati In Hyun.
In Hyun sedikit tersentak kaget melihat kedatangan suaminya. Ia mendongak menatap wajah suaminya yang kini menatapnya dengan tatapan yang sulit untuk diartikan. Rambutnya yang panjang dibiarkan tergerai begitu saja tanpa hiasan apa pun.
Beberapa waktu sebelumnya. In Hyun terbangun menatap sekilas Jeong Soon yang tertidur lelap sekali di sampingnya. Tubuhnya terasa sakit semua, dan sebelah tangan yang digenggam Jeong Soon terasa kebas. Teringat kembali kejadian kemarin sore. Dia yakin dirinya pasti akan mati di sana, apalagi merasakan anak di dalam kandungannya sudah tak bergerak lagi.
Tiba-tiba air matanya menetes tak tertahankan. Ia pun perlahan melepaskan genggaman tangan Jeong Soon lalu beranjak dari ranjang dengan perlahan. Dia tak peduli darah mengucur lagi dari luka punggungnya. Yang ingin dia lakukan adalah melihat pemandangan Joseon untuk terakhir kalinya. Sebelum dia mati di sana dan tak yakin akan bisa kembali ke zamannya atau mungkin tidak? Saat itu dia hanya bisa pasrah.
Dengan tertatih-tatih In Hyun berjalan ke arah pintu. Ketika membuka pintu dengan sangat perlahan takut membangunkan Jeong Soon. Dia sedikit terkesiap melihat Mongyi tertidur di depan pintunya itu.
Sejak sadar tadi malam dan mendengar kalau Gahee sudah meninggal. Mongyi dengan setianya menunggu di depan pintu paviliun In Hyun. Setidaknya jika In Hyun masih hidup. Dia ingin mengucapkan satu patah kata kepada permaisurinya itu. Namun, jika sudah mati. Dia ingin menjadi wanita yang pertama yang memandikan In Hyun selain suaminya. Karena dia tahu kalau para Putri juga tidak berdaya di atas ranjang masing-masing.
Mendengar pintu terbuka. Mongyi langsung saja bangun lalu menatap wanita yang sudah berwajah pucat di ambang pintu. Dia menunduk tanpa kata, tenggorokannya benar-benar terasa kaku dengan lidah yang menjadi kelu. Air mata mengalir tanpa bisa dibendungnya lagi.
In Hyun malah tersenyum. "Mongyi, bisa antarkan aku pergi ke balkon?" pintanya pelan.
Mongyi langsung mengangguk antusias. Setidaknya, itu adalah pengabdian terakhirnya. Ketika melihat darah membasahi kain yang melingkar di pingang In Hyun, dia begitu yakin kalau itu adalah pembicaraan mereka yang terakhir.
Mongyi merangkul pundak In Hyun lalu memapahnya perlahan ke arah balkon. Dalam langkahnya, sesekali terdengar rintihan In Hyun ketika berjalan. Kenapa Ratunya itu sangat ingin pergi ke balkon di saat keadaannya seperti itu? Tapi, dia tak bisa mencegah ataupun melarangnya. Pasti ada alasan di balik semua itu.
In Hyun bersandar ke dinding tatkala Mongyi mengambil bantalan tak jauh di sudut balkon lalu menyamankannya untuk tempat duduknya.
Mongyi kembali memapah In Hyun lalu perlahan membantunya duduk di sana.
"Mongyi, mana Gahee?" yang pertama ditanyakan In Hyun adalah Gahee.
Mongyi duduk di hadapan In Hyun sambil menunduk dan In Hyun tahu jawabannya bahwa Gahee telah gugur saat peperangan. Tiba-tiba Mongyi berlutut lalu bersujud di hadapan In Hyun.
In Hyun sedikit terperangah melihatnya. "Mo-Mongyi. Apa yang kau lakukan?" kalau saja In Hyun tak terluka. Sudah pasti dia akan langsung membangunkan tubuh Mongyi untuk tegak kembali.
Mongyi meraung pelan. "Yang Mulia. Izinkan hamba untuk bersujud memberi penghormatan kepada Anda." Dia tak berani mengatakan untuk terakhir kalinya, karena dia tidak tahu jika In Hyun mungkin akan mendapat keajaiban dan akan segera sembuh.
Tangan In Hyun perlahan mengulur menepuk-nepuk pelan punggung Mongyi. "Bangunlah. Jika kau ingin memberi penghormatan. Bisakah kau memelukku saja?"
Mongyi langsung saja bangkit dari sujudnya. Dia menatap In Hyun yang masih bisa tersenyum dengan kedua tangan yang direntangkan ke samping siap menerima pelukannya. Mongyi semakin menangis. Andai saja dia bisa menjerit dan menangis sejadi-jadinya. Saat itu juga ia ingin menangis meraung-raung tetapi ditahannya.
Ratu yang satu itu tidak pernah membedakan status sosial mereka. Dia selalu memandang semua orang seolah sama tanpa pernah membedakannya. Mongyi langsung saja memeluk In Hyun meski sedikit dilonggarkan agar tak semakin menyakiti In Hyun.
In Hyun menepuk-nepuk kembali punggung Mongyi sambil berbisik. "Pergilah minum ramuan untuk lukamu supaya kau bisa segera sembuh dan 'tolong'. Setelah aku tiada, jaga istana ini sebagaimana kau menjagaku."
Deggg! Jantung Mongyi serasa disayat sembilu. Ia malah terpaku mendengar kata tolong dan juga pergi? Apakah itu berarti ...?
"Mongyi. Bisakah kau meninggalkanku sendiri di sini?" ucapan In Hyun menyadarkan Mongyi dari lamunannya.
"Ba.. baik, Yang Mulia." Hanya itu yang bisa Mongyi katakan saat di mana semua kata seolah tersangkut di tenggorokannya. Dia tak mau banyak berkata dan mengganggu In Hyun lebih dari itu. Dengan berat hati, dia bangkit berdiri membungkuk sedikit untuk berpamitan lalu meninggalkan Ratunya sendirian di sana. Di sela langkahnya dia sempat menoleh menatap wajah In Hyun yang masih hidup untuk terakhir kalinya.
Tak berapa lama Mongyi bertemu Jeong Soon yang terlihat sangat ketakutan mencari istrinya. Setelah mengatakan di mana Ratunya berada. Kaisarnya itu menyusul In Hyun ke balkon.
Saat melihat istrinya ada di balkon. Jeong Soon perlahan berjongkok di hadapan In Hyun. "Apa yang kau lakukan di sini istriku? Masuklah, udara di sini sangat dingin." Ajaknya dengan nada lembut sembari mengulurkan tangannya meminta In Hyun segera menerimanya.
In Hyun malah tersenyum tipis sembari menggelengkan kepalanya pelan. "Aku sudah tidak punya banyak waktu lagi, Paduka."
Degg... degg! Jantung Jeong Soon bagai ditusuk oleh pedang dan malah terpaku di tempatnya.
"Aku mohon." Nada pelan, gemetar namun jelas kalau In Hyun menahan rasa sakit yang luar biasa bisa didengar Jeong Soon.
Tak ada yang bisa Jeong Soon lakukan saat ini selain menuruti apa yang istrinya inginkan. Dia pun ikut duduk di samping In Hyun. Menggengam erat tangan kanan istri tercintanya dengan tangan kirinya. Lalu tangan kiri In Hyun meremas pakaian Jeong Soon di bagian dada sembari merasakan debaran jantung suaminya itu yang terasa sangat kencang.
Sementara tangan kanan Jeong Soon masih mengepal erat di dekat pahanya. In Hyun menyandarkan kepalanya ke bahu Jeong Soon. Dia duduk semakin merapat pada tubuh suaminya itu. Rintihan halus terdengar menyayat. Namun, senyuman terus saja dia tunjukkan kala melihat salju turun semakin lebat. "Paduka,"
"Hmmm?" Jeong Soon hanya bisa menatap lurus ke depan. Dia tak berani menatap wajah istrinya yang semakin memucat.
"Apa kau tak mau mengatakan sesuatu?" tanya In Hyun pelan nyaris berbisik.
Genggaman tangan Jeong Soon terasa semakin erat. "Mengatakan apa? Kita masih punya banyak waktu." Dia berkata begitu hanya menertawakan diri sendiri. Waktu? Bahkan dia tak tahu berapa detik lagi istrinya itu akan pergi meninggalkannya.
In Hyun kembali tersenyum. "Tapi aku ingin mengatakan sesua-"
"Sstthh," Jeong Soon menghentikan ucapan In Hyun. Dia benar-benar tak sanggup mendengar kata-kata In Hyun yang terus menahan rasa sakitnya. "Baiklah, aku yang akan mengatakan padamu semua perasaanku selama ini."
In Hyun terdiam siap untuk mendengarkan perkataan suaminya itu. Selama ini, suaminya memang jarang sekali berkata manis ataupun romantis. Hanya perlakuan dia yang selalu ditunjukkan betapa berharga dirinya untuk pria yang saat ini sudah berkaca-kaca kedua matanya itu.
Jeong Soon memulai ceritanya ketika pertama kali bertemu, ketika In Hyun tercebur ke kolam. Ketika In Hyun melakukan ini dan itu. Nada bicaranya dia tunjukkan dengan sedikit kekesalan membuat In Hyun terkekeh kecil yang kadang kekehannya itu dihentikan Jeong Soon dengan alasan dia merasa kesal dan tak ingin ditertawakan. Padahal dia tak ingin mendengar kekehan bercampur rintihan itu.
"Gomasseumnida (terima kasih)," tiba-tiba In Hyun memotong cerita Jeong Soon.
Jeong Soon mengecup dahulu kening In Hyun. Tetesan air mata di pelupuk matanya sudah tak terbendung lagi. Ia menelan salivanya dengan susah payah. Dengan nada memelan karena menangis. "Apakah harus kulanjutkan ceritanya?"
Terasa dibahunya kalau In Hyun mengangguk pelan sambil berujar. "Saranghaeyo." Benar-benar terdengar Pelan dan lirih.
Jeong Soon menarik napasnya hendak melanjutkan ceritanya. Tiba-tiba saja darah mengalir dari sudut bibir In Hyun, tak lama kemudian tangan kiri In Hyun yang meremas baju bagian dadanya jatuh terkulai begitu saja ke atas lantai. Embusan napas In Hyun sudah tak terasa. Detak jantungnya sudah berhenti. Dan kedua matanya sudah menutup untuk selamanya.
Jeong Soon menangis tersedu-sedu. Air matanya yang dari tadi sudah mengalir benar-benar tak bisa dia bendung lagi. Bibirnya gemetaran, tangan In Hyun yang digenggamnya kini ditaruh di dada. "Jangan pergi, aku mohon jangan pergi. Kembalilah istriku, jangan pergi meninggalkanku sendiri di sini." Nada pelan yang terdengar sangat pilu.
Hati Jeong Soon sudah hancur berkeping-keping. Dia tidak tahu apakah In Hyun akan kembali lagi ke zamannya atau dia benar-benar telah meninggal dan tidak akan kembali ke zamannya? Ingin sekali dia berlari dan masuk ke alam sana untuk mengetahui jawabannya itu. Tapi, sekali lagi hal itu hanyalah 'mustahil'.
Jeong Soon menarik napas dalam-dalam lalu mengembuskannya perlahan. Air mata tak mau berhenti, terus membasahi kedua pipinya. Dia menoleh ke samping menatap wajah istrinya yang terlihat damai. Hilang sudah rintihan dari rasa sakitnya. Hilang sudah senyum dan tawa yang selalu ditunjukkannya. Dan hilang sudah wanita yang sangat dia cintai dan akan selalu mencintai wanita itu seumur hidupnya.
"Saranghaeyo gwa dongjeonghada. (Aku Cinta kamu dan merindukanmu)."
Angin berembus sepoi-sepoi menerpa wajahnya dan wajah In Hyun. Setelah air matanya tak lagi mengalir, setelah semua perasaannya diluapkan. Dia pun mulai bergerak. Sebenarnya dia masih ingin di sana, masih ingin mendegar suara istrinya, dan dia masih ingin mengenggam tangan In Hyun. Tapi, tugasnya sebagai seorang Kaisar masih banyak. Jadi dengan terpaksa dan berat hati, ia mulai beranjak dari duduknya lalu mengangkat tubuh In Hyun menuju ke pembaringan terakhirnya.
☆☆☆☆
Salju masih turun. Hari menunjukkan sudah hampir sore. Persiapan untuk pembakaran pun sudah siap semua. Di sebuah tempat dekat kuil yang sengaja diberi atap cukup tinggi dengan ruangan terbuka tanpa jendela atau dinding yang menghalangi.
Jeong Soon berdiri terpaku di tempat pembakaran itu. Kini dihadapannya dua orang tercintanya yang sangat dia kasihi. Istri dan Ayahnya. Tidak! Bukan hanya dua tetapi tiga. Dengan anak yang belum sempat melihat indahnya dunia. Anak yang sangat dia nantikan kehadirannya, tetapi harus ikut pergi bersama dengan Ibunya.
Dia mendekati jasad Ayahnya untuk penghormatan terakhir kalinya. Dan dia pun mendekati In Hyun yang tak jauh dari jenazah Ayahnya itu. Ditatapnya dalam wajah In Hyun, dikecupnya sekilas bibir In Hyun lalu mulai menutupinya dengan kain kafan.
Ketiga Pangeran berdiri tak jauh dari Jeong Soon. Menyaksikan kepedihan yang dialaminya. Ketiganya berdiri di sebelah wanita yang mereka cintai yang saat itu duduk di kursi masing-masing. Meskipun mereka masih terluka dan kesakitan. Tapi mereka ingin mengucapkan salam penghormatan terakhir kalinya untuk Ratu mereka In Hyun.
Andai saja mereka tak terluka kemarin. Sudah pasti mereka bisa berbincang meski barang sejenak bersama In Hyun untuk terakhir kalinya.
Lii Shishi masih manangis tersedu-sedu. Begitu juga Hie Jung memeluk pinggang Luo Guanjong. Di sebelah mereka ada Lee Hwon yang menggenggam tangan Nouran Chan serta menepuk-nepuknya agar sedikit meredakan tangisnya.
Wang menatap wajah adiknya Jhao Feiyan untuk terakhir kalinya. "Maaf." Hanya itu yang keluar dari mulutnya.
Kaisar Soji dan juga Kaisar Gojian beserta Ratu mereka ikut menghadiri pemakaman tersebut.
Api perlahan mulai membakar kayu bersama jasad In Hyun, Kaisar Goryeo dan juga Jhao Feiyan.
Jeong Soon masih diam terpaku di tempat. Sebelum kayu padam menjadi abu, dia takkan mau beranjak dari tempatnya. Kenapa dunia sangat kejam kepadanya? Tak ada lagi tempat untuknya melabuhkan segala perasaannya. Tak ada lagi tempatnya mengadu. Hanya pilu yang tertinggal di sana. Kakek, nenek, Ibu, Ayah, bahkan istri dan anaknya kini pergi meninggalkannya sendirian di sana.
Keringlah sudah air matanya. Keringlah sudah bersama luka yang menganga lebar di hatinya. Luka yang takkan pernah sembuh meski waktu terus berputar.
Angin terus menerpa wajahnya, memainkan anak rambutnya, membekukan hati dan perasaannya. Entah dia bisa lagi tersenyum atau tidak? Entahlah.
Ketika kayu dan jasad sudah menjadi abu. Dua guci kecil diterima oleh Jeong Soon. Abu In Hyun dan abu Kaisar Goryeo. Dia melangkah meninggalkan tempat itu membawa dua guci menuju ke kuil budha suci.
Sementara Wang Jhaojun menerima guci abu Jhao Feiyan dan akan dibawa kembali ke Gojoseon.
Jeong Soon masuk ke dalam kuil dengan ragu. Haruskah dia membenci Tuhannya? Apakah sikapnya itu terlalu berlebihan? Bagaimana caranya dia mengungkapkan rasa kecewanya kepada takdir? Bagaimana caranya dia meluapkan duka citanya? Dan bagaimana bisa dia menumpahkan rasa rindu ketika rindu itu memuncak kepada orang-orang yang sangat dicintainya nanti? Ke mana dia harus mencari? Dan kepada siapa dia harus berbagi? Sudah tak ada lagi yang bisa dia jadikan sandaran hatinya.
Jeong Soon meletakkan kedua guci itu di samping patung budha. Dia ingin abu orang-orang yang dicintainya tenang di alam sana. Dan dia juga berharap kalau In Hyun masih hidup. Hidup di zamannya, kembali bersama dengan Ibu dan kakaknya. Selalu bahagia, selalu tersenyum dan pastinya menemukan pria yang pantas dan juga sangat mencintainya. Tidak menyakitinya seperti pria yang bernama Nam suuk itu.
Ya. Hanya itu doa dan harapan Jeong Soon saat ini. Dia langsung berlutut di atas bantalan. Menatap abu guci-guci yang berjejer di samping patung budha. Mengambil beberapa dupa yang baru saja dibakar oleh para biksu di sana. Lalu membungkuk sedikit menggerakkan kedua tangan yang memegang dupa ke atas dan ke bawah memberi penghormatan yang terakhir.
Sang biksu suci tertua di sana tersenyum sembari mencipratkan air suci ke tubuh Jeong Soon. Saat itu sesuatu yang aneh terjadi kepada tubuhnya. Tubuhnya merasakan sebuah desiran dari ujung kaki ke ujung kepalanya. Panas dan dingin terasa merayap naik ke pundaknya. Beberapa detik kemudian di bawah pundaknya tepat di dekat leher. Sebuah lambang muncul, entah lambang apa masih terlihat samar? Tetapi hal itu tidak disadari olehnya dan dia hanya menganggap kalau denyut rasa sakit itu datang dari lukanya.
Ӝ☆☆THE END☆☆Ӝ
Akhirnya selesai juga revisi.. Sampai cerita PAPZ terbengkalai.. 😁🙏
Hanya tinggal epiloge.. Duhh tissu mana tissu.. 😭 tetap akan sad end karena sudh ada sequel.. Jika happy end.. Gk akan ada SOL donk.. Jhehe
Terima kasih atas kalian yk mau baca ulank cerita ini.. Terima kasih jg buat yk udh votement readers baru.. Senang kenal dgn kalian.. 😊❤
Revisi ulang-End*
18 April 2020 🌺
By~ Rhanesya_grapes 🍇
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top