♟56♟Keputusan In Hyun.
Jeong Soon bangkit duluan. Dia menyelimuti tubuh In Hyun sebatas dada dengan selimut yang ada di ruang penghangat. Dilihatnya ke luar jendela, hari masih gelap. Bergegas ke kamarnya untuk membereskan pakaian In Hyun selama tinggal di Kerajaan Silla.
Begitu juga dengan semua penghuni istana Goguryeo tengah bersiap-siap untuk pergi ke Kerajaan Silla. Termasuk Hie Jung dan kedua Putri lainnya bersiap-siap untuk pulang.
Ketika Jeong Soon sedang membereskan pakaian In Hyun. Datang Lee Hwon, Wang Jhaojun dan Luo Guanjong. Mereka mengajak Jeong berbicara di sebuah ruang pribadinya di istana baru. Duduk di atas bantalan empuk dan memutari sebuah meja pendek persegi empat di mana Jeong Soon biasa meramu obat ataupun membaca di sana.
Jeong Soon menatap sekilas Lee dan juga kedua sahabat baiknya secara bergantian. Tampak jelas kalau ketiganya tidak bisa tidur semalaman. "Sebaiknya kalian pergi ke istana Silla bersama dengan para Putri."
Luo merasa heran mendengar penuturan dari Jeong Soon. "Kenapa kita harus pergi meninggalkanmu berjuang sendirian di sini?"
Lee juga merasa tak menerima perintah atau lebih tepatnya sebuah pemaksaan untuk pergi ke istana Silla membiarkan kakaknya itu berjuang sendirian di sana melawan musuh yang paling tangguh. "Jika kau menyuruh Luo dan Wang pergi. Silahkan hyung. Tapi tidak berpengaruh kepadaku. Karena sebagaimana pun kau menyuruhku pergi, aku akan tetap di sini berjuang denganmu."
"Kami juga tidak akan pergi meninggalkanmu Jeong." Tambah Wang Jhaojun merasa tak tega meninggalkan Jeong Soon dan yang lainnya bertarung melawan Ching Daiki beserta para prajurit silumannya. Jika dia pergi, maka dia akan menjadi seorang pengecut untuk selamanya.
"Tapi, bagaimana jika kita semua gugur dalam pertarungan nanti? Maka, bagaimana nasib kedua Kerajaan lain jika Kerajaan ini juga berhasil direbut oleh Ching? Lebih baik kalian pulanglah dan jaga Kerajaan kalian. Di sini ada prajurit lembah kegelapan yang akan bertarung bersamaku-"
"Tidak Jeong!" sahut Wang memotong ucapan Jeong Soon dengan sedikit bernada tinggi. "Kita besar bersama, maka kita juga akan berjuang bersama-sama."
Jeong Soon hanya termenung. Di sisi lain hanya mereka yang bisa menjaga istana Silla dan Gojoseon jika Goguryeo berhasil direbut. Juga hanya mereka yang bisa menjaga In Hyun beserta bayi yang dikandungnya, itu pun jika dia tidak membawa In Hyun ke dalam kematian bersamanya di saat dia mati kelak.
Jeong Soon semakin menunduk dalam. Helaan napas lirihnya sesekali terdengar diembuskan terpaksa. Dia menatap kembali ketiga Pangeran itu satu per satu. "Jika aku mati kelak, maukah kalian menjaga terus Ratu Hyun bersama dengan anakku?"
Ketiganya terkesiap mendengar kata-kata Jeong Soon barusan.
"Hyung, apakah kau telah lupa, bukankah kau harus bertahan demi istri dan anakmu itu." Ujar Lee Hwon sedikit memberi semangat dan harapan agar Jeong Soon mau bertahan sekuat tenaga demi keluarga kecilnya itu.
"Lee benar Jeong," timpal Wang. "Bukankah jika kau mati, maka Ratu Hyun juga akan ikut mati." Ada nada menusuk di sana yang membuat Jeong Soon tersentak kaget dan baru menyadari kalau Wang dan Luo sudah diberitahu tentang kutukannya bersama istrinya.
Luo ikut mengangguk. "Kami memang bisa menjaga Ratu Hyun beserta calon Putra Mahkota, tapi hal itu jika mereka hidup setelah kematianmu Jeong." Ucapnya ragu.
"Apakah para Putri tahu tentang masalah ini?" tanya Jeong Soon tak bisa lagi menyembunyikan kekhawatirannya.
"Mereka tidak tahu," Jawab Wang Jhaojun lirih. "Bukankah kita sepakat untuk tidak memberitahu mereka."
"Baguslah." Jawab Jeong Soon sedikit lega.
Lee Hwon sedikit bergeser duduknya semakin mendekati Jeong Soon lalu menepuk pundak kakak sepupunya itu. "Kami mohon, izinkan kami untuk ikut bertarung demi mempertahankan istana ini. Setidaknya untuk menebus rasa bersalah kami ketika istana Barje direbut oleh keluarga Ching Daiki dan juga untuk membantumu agar tetap hidup demi Ratu Hyun dan anakmu itu." Dia terus memohon dan membujuk Jeong Soon agar mengizinkan mereka ikut bertarung.
Jeong Soon menunduk dalam. Dia juga tak yakin akan tetap hidup. Tapi, jika dia tidak berusaha untuk hidup. Maka ada dua orang yang akan ikut mati bersamanya, yaitu Istri beserta anaknya. Karena saking serius membicarakan hal itu.
Jeong Soon tak menyadari kalau In Hyun berdiri di balik dinding di dekat pintu. Ada rasa yang sangat pilu menerkam hatinya. Ada rasa sakit mendengar kenyataan bahwa jika Jeong Soon mati, maka dia juga akan ikut mati. Dia memang sudah tahu akan hal itu, tapi rasa sakit itu adalah karena jika suami tercintanya itu mati. Ia akan berada di istana Silla dan mati juga di sana. Terlintas dipikirannya apa yang harus dilakukannya, ada rencana lain yang akan dilakukannya di saat pertarungan yang mungkin akan terjadi di siang hari yang akan menjelang sebentar lagi.
In Hyun diam-diam pergi meninggalkan mereka menuju ke ruang perang di istana lama untuk merencanakan sesuatu.
Jeong Soon masih diam seribu bahasa. Sementara ketiga Pangeran itu masih menunggu keputusan apakah mereka bisa ikut bertarung mempertahankan istana Goguryeo atau tidak?
Akhirnya sudah diputuskan bahwa mereka boleh ikut berperang, tetapi dengan satu syarat. Jika istana berhasil direbut. Maka mereka harus segera pergi meninggalkan istana kembali ke Kerajaan masing-masing untuk menjaga semuanya. Termasuk Lee Hwon harus ikut bersama dengan Wang atau Luo.
Senyum mengembang di bibir ketiga Pangeran itu. Itulah waktunya mereka membalas dendam untuk keluarga istana Barje. Jika dulu mereka hanya bisa menunduk dan mendengar tentang berhasilnya istana Barje direbut. Kini mereka bisa mengangkat wajah mereka dengan rasa bangga melawan Ching Daiki beserta para Prajuritnya.
Kali ini mereka harus membuktikan bahwa dengan bersatunya ketiga Kerajaan, maka kekuatan apa pun takkan semudah itu merebut istana Goguryeo seperti merebut istana Barje.
In Hyun sudah kembali ke istana baru. Dia membawa sebuah benda dari ruang perang yang belum ada siapa pun di sana termasuk para pengawal yang kini sibuk mempersiapkan segalanya untuk perang di ruangan khusus senjata. Dia menatap dalam sebuah pedang lancip dan tajam yang kini di dalam genggaman kedua tangannya. Senyum miris kini menghiasi bibirnya. Hatinya sudah bulat bahwa dia takkan meninggalkan Jeong Soon. Apa pun yang terjadi, ia akan bertahan di istana itu demi suaminya.
Jika Jeong Soon mati, ia juga akan ikut mati. Jadi, buat apa dia pergi jika di mana saja dia akan tetap mati juga dan tak ada tempat pelarian baginya menghindari sang maut? Setetes air mata meluncur jatuh tak tertahankan. Jika dia mati di sana, apakah itu berarti dia akan menghilang di zamannya? di dalam hatinya ia berkata-kata. 'Eomma, Eonnie. Jika benar aku akan menghilang selamanya, aku harap kalian bisa mengenang akan keberadaanku dan aku harap kenanganku juga tak hilang di ingatan kalian. Maafkan aku yang menghilang begitu saja. Semua memang bukan keinginanku, tapi mungkin semua sudah takdirku …,'
Ada jeda sebentar di saat ia menghirup udara dalam-dalam lalu mengembuskannya perlahan lalu berkata pelan. "Aku merasa bangga pernah menjadi anakmu eomma dan aku juga bangga menjadi adikmu eonnie. Saranghae." Setelah itu ia menyembunyikan pedang di bawah ranjang.
In Hyun terkulai duduk di atas lantai meremas dadanya yang dirasanya semakin sesak. Air mata tak berhenti mengucur deras membasahi kedua pipinya. Apakah itu semua memang takdirnya? Bagaimana dengan anak yang kini ada di dalam kandungannya? Apakah dia juga akan ikut mati sebelum melihat indahnya dunia? Kenapa dia hadir di saat kedua orang tuanya menghadapi maut yang bisa menjemput mereka kapan saja?
Sebuah ketukan pintu mengembalikan In Hyun ke kesadarannya. Ia pun segera menghapus air matanya dan bergegas bangkit dari lantai, kini duduk di atas ranjang pura-pura membereskan keperluannya yang tadi sempat tertunda oleh Jeong Soon. "Masuk."
Perlahan pintu geser itu terbuka dari luar. Tampak Putri Hie Jung, Lii Shishi dan Nouran Chan masuk ke sana. Mereka bertiga sudah siap untuk pergi ke istana Silla di pagi hari yang baru saja terang itu.
Mentari masih malu-malu di balik awan pagi hari itu. Seiring terbitnya matahari, semuanya sudah menyiapkan kereta kuda dan juga membawa perlengkapan mereka yang langsung dinaikkan ke dalam kereta kuda.
"Apakah kau sudah siap Ratu?" tanya Lii Shishi menghampiri In Hyun.
In Hyun masih mencoba tersenyum seolah tak mengetahui apa-apa dan hanya bisa mengangguk. Ia sungguh sangat tahu jika ketiga Putri itu tak tahu apa yang akan terjadi menjelang siang nanti. Meski ketiga Putri itu tak tahu apa-apa karena mereka tak diberitahu tentang penyerangan itu.
Tapi, senyum kepura-puraan In Hyun yang jelas-jelas menyembunyikan kesedihannya membuat mereka hanya bisa bertanya-tanya dalam hati masing-masing. Apa benar mereka pergi ke istana Silla hanya untuk pernikahan Lee Hwon dan Nouran Chan. Tapi, bukankah itu masih terlalu awal untuk pergi ke sana?
Lii Shishi ikut duduk di sebelah In Hyun dan sisi lainnya Hie Jung duduk di sana. Sementara Nouran Chan berjongkok di hadapan In Hyun.
Dengan tatapan rasa ingin tahu. Nouran mencoba bertanya kepada In Hyun. "Ratu, sebenarnya ada apa? Kenapa kau terlihat sedih? Apakah ada sesuatu yang kau sembunyikan dari kami?" tanyanya sangat berhati-hati supaya In Hyun sudi bercerita tentang masalah yang belum diketahuinya.
"Iya Ratu, jika ada masalah. Tolong ceritakanlah kepada kami." Sambung Lii Shishi.
Hie Jung sangat hafal sifat In Hyun. Ia merebahkan kepalanya ke bahu In Hyun. "Kakak ipar, bukankah kita selalu melewati manis dan pahitnya sebuah masalah yang terjadi. Dulu kami sangat ingin sekali berada di sampingmu ketika istanamu dan juga kedua orang tuamu meninggal. Maka sekarang, berbagilah dengan kami bebanmu itu."
In Hyun menelan salivanya berat. Tapi, dia tak ingin merusak rencana suami berserta Pangeran yang lainnya. Pasti ada banyak alasan kenapa mereka tak memberitahukan tentang perang itu, sudah pasti juga mereka tak mau membuat para Putri yang lain panik atau bahkan mungkin akan sama sepertinya yang tak mau pergi meninggalkan orang yang sangat dicintainya. "Tidak ada apa-apa." Hanya itu yang keluar dari mulutnya.
Hie Jung masih belum percaya jika tidak ada apa-apa. Dia hendak bertanya lagi tetapi Jeong Soon keburu masuk ke sana.
"Apa kalian sudah siap berangkat? Siapa tahu kalau pernikahan mungkin akan dipercepat karena Pangeran Lee Hwon tampaknya sudah tak sabar ingin segera mempunyai istri seperti yang lainnya." Ia sedikit mencairkan suasana tegang di sana. Meski dia tahu kalau candaannya membuat seburat merah di pipi Nouran Chan.
"Kau benar suamiku. Rasanya lebih baik kalau pernikahan dipercepat agar semua lengkap berpasang-pasangan." Goda In Hyun juga.
Nouran Chan sedikit memajukan bibirnya. "Jika kalian mendadak pergi ke istana Silla hanya untuk merencanakan hal itu, lebih baik kita tak usah berangkat hari ini. Menunggu hari yang ditentukan saja-"
"Tidak bisa!" seru In Hyun sontak bangkit berdiri membuat ketiga Putri melonjak kaget juga. "Maksudku, bukankah semua sudah direncanakan dan semua persiapan sudah di atas kereta kuda. Mustahil diundur atau dibatalkan. Aku ingin sekali menginjak lagi istana Silla dan berendam kembali dengan kalian." Ia masih saja tersenyum untuk menghilangkan kecurigaan mereka.
Jeong Soon mencoba menahan air matanya. Ia tahu jika niat In Hyun adalah tidak membuat para Putri cemas atau panik. Meski senyum yang berulang kali ditunjukkan olehnya hanyalah kepura-puraan dan palsu belaka.
"Baiklah," Hie Jung tampak sangat bersemangat. "Kalau begitu, sebaiknya kita segera berangkat sebelum hari ini mungkin akan turun hujan salju."
Datang Mongyi dan Gahee memberi hormat pada Jeong Soon yang masih berdiri di ambang pintu. "Maaf Yang Mulia. Semua kereta kuda sudah siap berangkat." Ujar Mongyi.
"Ah, mari kita segera berangkat." Ujar In Hyun seolah sangat bersemangat dan tak sabar ingin segera berangkat.
Jeong Soon hanya tersenyum perih apalagi ketika In Hyun menggandeng tangannya dan melangkah keluar mengikuti ketiga para Putri menuju ke istana lama di mana kereta kuda berjejer rapi di sana.
Keduanya berjalan bergandengan. Sesekali In Hyun menoleh ke belakang menatap istana baru. Sedikit tersenyum melihat Gahee dan Mongyi yang berjalan di belakang mereka.
Jeong Soon menggenggam tangan In Hyun yang menggandeng lengannya itu. Selama berjalan dari istana baru ke istana lama, In Hyun sesekali menoleh menatap wajah suaminya itu.
Tak berapa lama, ketika sampai di halaman istana lama. In Hyun menoleh melihat empat penjaga yang menaikkan peti berisi pakaiannya ke dalam kereta. Saat itu jantungnya semakin berdebar kencang. Dia benar-benar ingin berteriak kalau dia tak mau pergi dari sana meninggalkan Jeong Soon. Tapi kata-kata itu ditahannya sehingga hanya menggantung di tenggorokan membuatnya menelan saliva dengan sangat berat.
Jeong Soon menangkup kedua pipi In Hyun. "Hati-hatilah di jalan dan berjanjilah kau akan menjaga diri dan anak kita baik-baik."
In Hyun memegang tangan Jeong Soon yang ada di pipinya. "Kau jangan khawatir Paduka, aku akan menjaganya baik-baik dan pasti aku akan selalu menunggu akan kedatanganmu." Ujarnya sembari langsung memeluk tubuh Jeong Soon membuat para Putri yang lain mengernyitkan keningnya aneh.
"Terima kasih," ucap Jeong Soon pelan. "Terima kasih karena telah mengisi hari-hariku yang sempat kosong dan hampa, karena selalu membuatku tersenyum, dan terima kasih pula karena telah memberikan hadiah terindah yang takkan bisa terlupakan." Ia mengecup pelan dan sedikit lama kening In Hyun. Ada rasa menusuk dan menyayat hatinya. Dia akan berjuang demi istri dan anaknya agar bisa tetap hidup, jika dia bisa berdoa untuk terakhir kalinya dan segera dikabulkan. Doanya adalah ingin istri dan anaknya hidup meski harus ditebus dengan nyawanya sendiri. Hanya itu yang ada di benak dan juga hati Jeong Soon saat ini.
In Hyun malah semakin menelusupkan wajahnya ke dalam dada bidang Jeong Soon. "Aku juga sangat berterima kasih padamu, Paduka," jawabnya dengan nada pelan juga. "Terima kasih karena telah mewarnai hidupku yang sempat hilang warnanya, karena telah hadir di hidupku ini, dan terima kasih atas cintamu yang besar itu," di dalam hatinya dia lalu berucap. Maaf jika aku tak bisa menjaga amanah darimu ini. Aku tak mau kehilangan lelaki yang sangat kucintai. Jika di zamanku, aku kehilangan karena dia meninggalkanku. Maka di zaman ini aku tak mau kehilangan karena meninggalkanmu, suamiku.
Jeong Soon memegang dagu In Hyun, mendongakkan sedikit wajahnya lalu mengecup bibirnya lembut. Tak peduli berapa puluh pasang mata kini menatap mereka malu menyaksikan pemandangan yang baru pertama kali mereka lihat itu.
In Hyun pun tak memedulikannya. Yang Mulia, aku sudah putuskan bahwa aku akan selalu berada di sisimu. Kita sudah ditakdirkan untuk sehidup semati, jadi aku akan mati di sisimu. Takkan ada yang bisa memisahkan saat-saat terakhir kita ini.
Jeong Soon menerima bisikan dari prajurit lembah kegelapan bahwa Ching Daiki sudah hampir mendekati perbatasan bersama dengan ribuan prajurit yang terlihat dan yang tak terlihat. Ia terpaksa menghentikan ciumannya itu. Mengusap lembut bibir In Hyun dari sisa kecupan mereka. "Pergilah, sudah tak ada waktu lagi." Meski dia mengatakan hal itu, ada rasa berat untuk melepaskan orang yang sangat dikasihinya itu.
In Hyun hanya mengangguk sembari menghapus air matanya. Lengkungan bulan sabit dari bibirnya kini menghiasi wajahnya. Senyuman tulus seorang istri, yang tak henti-hentinya berdoa untuk suaminya.
Ketiga Putri tak mau mengganggu moment yang aneh tapi romantis itu. Tanpa perkataan godaan ataupun sedikit ledekan yang biasa mereka lontarkan kepada sepasang suami istri itu. Mereka langsung naik ke atas kereta masing-masing.
Jeong Soon masih menggenggam tangan In Hyun di saat istrinya itu naik ke atas kereta sampai In Hyun duduk dengan sempurna. Baru di saat itu dia bisa melepaskan genggaman tangannya.
In Hyun menatap sayu kepada Jeong Soon. Dia akan tetap menjalankan rencananya yang tadi telah disusun dengan sangat rapi dan tak membuat Jeong Soon curiga sedikitpun kepadanya.
Begitu juga para Pangeran memeluk istri masing-masing untuk perpisahan. Awalnya para Putri sempat aneh dan melayangkan banyaknya pertanyaan. Tapi ketika mendapat sebuah alasan yang masuk di akal bahwa para Pangeran akan mengikuti mereka dari belakang karena akan mengurus sebuah urusan negara terdahulu. Maka para Putri tak ada yang banyak bertanya lagi.
Lee Hwon pun memeluk erat Nouran Chan seolah kepada istrinya. Dengan membisikkan sesuatu padanya. "Aku pasti akan menemuimu di istana Silla dan kita pasti akan segera 'menikah', aku janji akan hal itu. Jadi, tunggulah kedatanganku."
Seburat merah kini menghiasi pipi Nouran Chan. Tak usah dikatakan juga dia sudah tahu kalau mereka akan menikah. Kenapa pengucapan kata 'menikah' harus diberi penekanan yang jelas membuatnya tak bisa menjawab atau berkata apa-apa lagi. Hanya anggukkan kecil yang bisa dia tunjukkan untuk jawaban pada Lee Hwon.
Gahee dan Mongyi duduk di dalam kereta berhadap-hadapan dengan In Hyun.
Sebelum kereta melaju meninggalkan halaman istana Goguryeo. Jeong Soon masih sempat mencondongkan tubuhnya masuk ke dalam kereta dan mencium perut In Hyun sekilas. "Jaga Ibumu baik-baik. Dan jangan nakal, Ayah pasti akan segera menyusul kalian." Itulah kata-kata terakhir yang diucapkannya.
In Hyun memejamkan kedua matanya. Air matanya terjatuh lagi tak tertahankan.
Setelah Jeong Soon keluar dan menutup pintu kereta dengan kain penutup. Kereta pun melaju perlahan dan lama kelamaan melaju dengan cepat. Dia masih berdiri terpaku menatap kepergian kereta-kereta istana meninggalkan mereka di sana. Ia mengusap air matanya yang hampir saja jatuh menatap kereta sampai hilang di sebuah tikungan jalan.
Lee, Luo dan Wang mendekati Jeong Soon.
"Apa kau siap hyung?" tanya Lee Hwon.
"Dia pastinya sudah siap." Luo yang menjawab.
"Dan kita juga sudah siap, Paduka." Wang menepuk bahu Jeong Soon menunjukkan bahwa mereka telah benar-benar siap untuk pergi ke perbatasan menyambut kedatangan para musuh-musuhnya.
Mereka takkan membiarkan kalau musuh merusak kembali istana Goguryeo yang baru saja selesai direnovasi itu.
Tanpa membuang waktu lagi. Keempatnya masuk ke dalam ruang perang menyiapkan peralatan perang mereka. Dan pada saat itu Jeong Soon berubah menjadi sang pria bertopeng tapi kali ini takkan memakai topengnya itu agar membuat Ching Daiki merasa marah padanya saat mengetahui siapa pria bertopeng sesungguhnya. Karena orang yang bertarung dengan amarah takkan membuatnya bisa berpikir jernih tentang jurus apa yang akan dikeluarkannya.
Ketiga Pangeran mengumpulkan ribuan prajurit yang berbaris bersaf-saf. Para Prajurit gabungan dari tiga Kerajaan. Setiap prajurit dari satu Kerajaan mengibarkan bendera lambang istana masing-masing.
Barisan depan adalah prajurit yang akan bertempur duluan melawan musuh yang membawa tameng besi dengan pedangnya. Barisan tengah adalah barisan pembawa tombak dan tameng untuk pertahanan. Barisan ketiga adalah prajurit pemanah yang berjaga di belakang para prajurit yang bertempur di depan. Dan barisan terakhir adalah barisan prajurit pemanah handal yang akan berjaga di atas Benteng pertahanan, yaitu pemanah api.
Ketika Jeong Soon keluar menemui para Prajurit itu sebagai Pria bertopeng dan bukan sebagai Kaisar mereka membuat semuanya benar-benar terkejut tak percaya bahwa pria misterius yang sering menjadi topik utama obrolan mereka dan juga pria yang ingin sekali tahu siapa dia sebenarnya, kini pria misterius yang desas-desusnya penolong mereka ketika mengeluarkan jurus pelenyap bumi ternyata adalah Kaisar Agung mereka.
Semuanya serentak berlutut memberi penghormatan yang mungkin akan menjadi penghormatan terakhir mereka. Bahkan Panglima Zheng Yan dan juga Jhang Min menatap tak percaya pada apa yang dilihatnya. Mereka berdua pun ikut berlutut sembari menunduk dengan kedua tangan menyatu dan mengepal di atas kepala mereka.
Setelah menjelaskan bagaimana perang nanti dan strategi agar mereka tak cepat kalah oleh musuh. Jeong Soon memelesat ke atas pohon di mana pohon tersebut berada tepat di pinggir jurang lembah terkutuk. Dia melihat prajurit lembah kegelapan pun tampaknya sudah siap untuk menghadapi para prajurit tak terlihat gunung Huaguo.
Setelah siap dan diberi aba-aba. Mereka semua mulai berjalan menuju perbatasan yang jaraknya sekitar 3 km dari arah Utara istana.
Jeong Soon, Luo Guanjong, Wang Jhaojun, dan Lee Hwon menaiki kuda gagah mereka dengan senjata khas masing-masing.
Jeong Soon menenteng samurai iblis langitnya yang menggantung di ikat pinggang pedangnya. Dengan gagahnya dia berjalan di atas kuda kesayangannya yang berwarna putih tanpa belang sedikitpun.
Lee dan Wang menunggangi kuda berwarna hitam dengan sebuah pedang. Sementara Luo menunggang kuda putih dengan membawa tombak pedangnya.
Kaisar Goryeo juga dengan gagahnya menunggangi kuda berwarna cokelat tua dengan menenteng dua pedang sekaligus. Dia akan menghadapi orang yang ingin sekali dibunuh dengan kedua tangannya itu. Orang yang telah merenggut dua orang yang dikasihinya. Kaisar Jeong Shuji dengan istrinya Ratu Moryeo. Orang itu adalah Kaisar Daichi.
Itu adalah pertarungan kedua mereka melawan Ching Daiki beserta para prajuritnya. Kali ini mereka akan sekuat tenaga mempertahankan istana Goguryeo.
Benar saja kalau Ching Daiki beserta kakeknya serta Ratu Yatsuko telah sampai di perbatasan. Ching yang duduk di atas seekor kuda menyeramkan karena kuda itu bukan kuda sembarangan tetapi kuda siluman dari gunung Huaguo. Dia lagi-lagi menyeringai. Ternyata berita penyerangannya sudah diketahui oleh Jeong Soon. Terbukti dari ratusan prajurit berjajar dengan senjata yang mengacung ke arah mereka menjadi dinding penghalang di Benteng perbatasan itu.
Kali ini dia tak bisa memberi Jeong Soon sebuah kejutan lagi seperti waktu itu. Tetapi, hal itu membuatnya tersenyum senang karena di perbatasan tanahnya lebih luas dari istana yang dipenuhi bangunan-bangunan istana dan penduduknya membuatnya tak bebas bergerak dalam bertarung. Untuk kali ini juga dia benar-benar akan membunuh Jeong Soon dengan kematian yang sebenarnya dan karena itu dia tak mau merusak istana Goguryeo yang sebentar lagi akan dikuasainya dan akan ditempati olehnya bersama wanita yang sangat ia cintai, Hwa Young.
Ching Daiki menunggu kedatangan Jeong Soon sampai ke sana. Bersabar sedikit akan membuahkan hasil yang memuaskan. Itulah yang ada dipikirannya saat ini.
Jeong Soon sudah sampai setengah perjalanan menuju ke perbatasan. Sementara In Hyun juga sudah jauh sekali hampir melewati perbatasan di arah Timur istana. Mereka kini menelusuri jalanan tengah hutan yang biasa mereka lewati menuju ke istana Silla.
"Apa kalian sudah menyiapkannya?" tanya In Hyun baru membuka suara selama perjalanan mereka.
"Sudah Permaisuri," jawab Mongyi ragu.
"Tapi, Yang Mulia Ratu, apa Anda benar-benar yakin akan melakukan hal itu?" tanya Gahee ragu dan merasa bersalah karena telah menentang perintah Jeong Soon untuk menjaga In Hyun.
"Ya, Yang Mulia. Hamba mohon jangan lakukan itu." Bujuk Mongyi berharap In Hyun berubah pikiran.
In Hyun mengepalkan tangannya erat. "Sekarang atau nanti aku pasti akan mati, jadi biarkan aku mati di sisi suamiku. Aku tak mau mati tanpa sempat melihat wajahnya." Nada getir terdengar jelas dari bibirnya. Bibir yang mungil itu terlihat gemetaran. Ada seburat keputusasaan di wajahnya, dan ada juga secercah harapan di dalam hatinya. Jika dia harus mati, maka akan mati dengan senyuman di samping pria yang sangat dicintainya, Jeong Soon.
Kedua dayangnya menitikkan air matanya. Mereka pasti akan menyesal karena telah menuruti apa kata In Hyun. Tapi perkataan In Hyun barusan benar-benar membuat mereka tersentuh dan menjadi tak tega jika tak dituruti. Rasa bangga semakin bertambah karena mereka mempunyai seorang Ratu yang sangat berani dan juga Setia. Setia kepada suaminya meskipun nyawa sebagai taruhannya.
"Ingat, jangan pernah mengatakan kepada para Putri nanti. Dan jangan pernah mengatakan aku pergi ke mana sebelum sampai di istana Silla. Baru saat itu katakanlah bahwa aku mengucapkan banyak terima kasih kepada mereka."
"Ta-tapi Ratu-"
"Sstthhh!" In Hyun menghentikan ucapan Mongyi dan Gahee. Ia mulai menutup setengah wajahnya dengan kain penutup yang sengaja dibuatnya kemarin. Mulai melepas pakaian kebesarannya dengan pakaian biasa untuk bertarung.
"Berhenti!" seru In Hyun membuat para pengawal yang mengemudikan kereta menarik kudanya agar berhenti.
Empat penjaga berdiri di dekat pintu. "Ada apa Yang Mulia?" tanya mereka kaget.
"Maaf, Mongyi ingin muntah. Jadi tolong antarkan dia untuk mencuci wajahnya dan memuntahkan yang ada di perutnya," jawab In Hyun tak membuka kain penutup pintu. "Aku ingin istirahat, jadi jangan ganggu aku. Setelah Mongyi kembali ke kereta, kalian langsung saja melanjutkan perjalanan tanpa menunggu perintah dariku." Ujarnya mengakhiri perintah terakhirnya.
Mongyi dan Gahee langsung saja memeluk In Hyun erat. In Hyun menepuk-nepuk punggung keduanya. "Terima kasih atas segalanya, pengabdian kalian akan selalu aku ingat selamanya meski aku sudah tidak ada pun. Jagalah diri kalian baik-baik."
"Yang Mulia, jagalah diri Anda baik-baik juga. Maafkan kami jika pelayanan kami masih belum bisa disebut sempurna." Jawab Mongyi benar-benar terharu dan sedih.
"Saya juga Yang Mulia-"
"Sstthhh," kalimat Gahee dipotong oleh In Hyun. "Jika kalian menangis, maka itu akan membuat semua yang ada di luar curiga. Sekarang pergilah." Itupun perintah terakhir yang diucapkannya untuk keduanya.
Setelah melepaskan pelukan mereka. Mongyi keluar dari kereta dengan berpura-pura pusing dan mual berjalan menjauh dari kereta. Dua penjaga mengikuti Mongyi ke pinggiran jalan. Dua lagi berjaga di dekat pintu. Sementara pengawal yang lain sudah berjalan jauh mengikuti tiga kereta di depan mereka di mana tiga Putri lainnya tak menyadari kalau kereta In Hyun berhenti di tengah jalan seperti itu.
Gahee membuka jendela yang hanya terbuat dari kain cukup tebal juga karena zaman itu belum ada kereta kuda yang memakai jendela kaca ataupun pintu yang kokoh. Menengok keluar memastikan kalau tak ada pengawal yang berjaga di sisi sana, tetapi sayangnya ada satu penjaga yang berjaga di sisi kereta itu. Satu lagi berjaga di depan pintu.
Gahee terpaksa menutup kembali jendela dulu. Ia membuka pintu. "Pengawal, tolong berikan air ini pada Mongyi dan juga minyak gosok ini untuk menghilangkan rasa mualnya." Ia menyodorkan sebotol tempat air dari kulit hewan zaman itu dan juga botol terbuat dari kayu berisi minyak seperti minyak penghangat tubuh.
"Tapi …." Satu pengawal merasa ragu.
In Hyun mendengar penolakan sang pengawal. "Pengawal, cepat berikan pada dayangku, kalau terjadi apa-apa padanya. Maka aku akan memenggalmu." Ancamnya membuat sang pengawal langsung menerima dan berlari menghampiri Mongyi dengan dua pengawal lainnya.
Saat itu Gahee memerintahkan satu pengawal yang berjaga di sisi lain kereta untuk berjaga di depan pintu. Sang pengawal pun tak mau kena marah atau dipenggal oleh Ratu mereka hanya bisa menurut saja. Setelah sang pengawal berpindah posisi.
Baru In Hyun keluar dengan leluasa lewat jendela itu dengan berpegangan dan juga menapak pada kayu-kayu pinggir kereta. Setelah menapak di atas tanah. Ia bergegas melangkah menuju sebuah pohon paling besar di pinggir jalan itu untuk bersembunyi.
Gahee melambaikan saputangannya untuk terakhir kalinya. Dia tak tahu apakah akan bertemu kembali dengan In Hyun atau tidak? Yang pasti di dalam hatinya dia terus berdoa semoga semua itu cepat berakhir dan ketiga Kerajaan akan kembali aman dan sentosa seperti dahulu kala serta semuanya selamat dan tak ada yang gugur di medan perang nanti.
Ӝ----TBC----Ӝ
Revisi ulang*
16 April 2020 🌺
By~ Rhanesya_grapes 🍇
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top