♟40♟Rencana Pembebasan.
Ketika Jeong Soon dan In Hyun berjalan di lorong menuju ke kamar. Keduanya berpapasan dengan Luo dan Wang kemudian diajak makan siang dahulu di taman.
Mereka semua berkumpul di taman terlarang untuk makan siang.
In Hyun sekali-kali melirik ke arah kolam, serta seluruh istana yang sudah banyak berubah itu.
Kaisar Goryeo menatap Jeong Soon. "Putraku, apa kau tahu tentang jurus pelenyap bumi?"
"Uhukk.. uhukk..!" Ketika mendengar jurus pelenyap bumi, Jeong Soon yang baru saja memakan makanannya terbatuk-batuk.
In Hyun kaget, ia menepuk-nepuk punggung Jeong Soon sedikit keras. "Bukk.. bukk.., paduka. Apa kau tidak apa-apa?"
Kaisar Goryeo, Wang Jhaojun dan Luo Guanjong tersenyum tipis melihatnya.
"Tidak apa-apa, uhukkk." Jeong Soon mengambil minumannya di atas meja lalu meneguknya. Sementara In Hyun masih menepuk-nepuk punggungnya.
"Ratu, jika kau memukul sekeras itu, sepertinya dia akan segera baikan." Canda Luo.
"Apalagi kalau ditambah pukulannya semakin keras." Imbuh Wang.
Jeong Soon malah menajamkan matanya menatap Luo dan Wang. "Ya.. ya.. ya. Apa kalian senang melihatku menderita!?" ucapnya sembari menaruh cawan airnya di atas meja.
In Hyun menjauhkan tangannya yang ada di punggung Jeong Soon. "Maaf." Ucapnya sembari nyengir kecil baru menyadari kalau pukulannya terlalu keras.
Semuanya jadi terkekeh kecil, ternyata mereka berdua sudah berubah menjadi lebih akrab dan terlihat hangat dari sebelum-sebelumnya.
Hening...
Semuanya sudah selesai makan siang.
Kaisar Goryeo hendak melanjutkan pertanyaannya yang tadi. "Bagaimana putraku, apa kau tahu tentang jurus itu-?"
"Maaf menyela," In Hyun mengerti melihat ketegangan di antara mereka. Sepertinya mereka hendak membicarakan sesuatu hal yang sangat penting dan sebaiknya dia pergi saja dari sana. "Paduka, aku sudah kenyang. Jadi bolehkan aku ke ruang seni lagi? Aku sangat menyukai suasana di sana."
Jeong Soon mengangguk. "Pergilah, nanti aku akan menyusulmu ke sana."
In Hyun bangkit berdiri, setelah membungkuk hormat izin pamit undur diri pada semuanya, dia diantar oleh dayang yang tadi menuju ke ruang seni lagi.
Luo tersenyum melihat In Hyun sudah jauh dari mereka. "Sepertinya Permaisuri suka sekali ruang seni."
Jeong Soon mengangguk. "Dia senang melihat pemandangan di sana …," dia tampak memikirkan sesuatu. Pemandangan di sana? Sungai yang mengalir? Istana? Dia menyeringai mempunyai sebuah ide untuk istrinya itu. Dia menoleh pada Ayahnya yang tengah meneguk obat yang diramunya untuk luka dalam dan luar. "Ah maaf Ayah. Aku belum menjawab pertanyaanmu tadi."
"Tidak apa putraku. Tenangkanlah hatimu dahulu, aku tahu kejadian kemarin memang sulit untuk dicerna oleh akal pikiran kita, dan kita berutang budi pada orang yang telah menyelamatkan istana."
Jeong Soon tahu maksud Ayahnya tentang jurus pelenyap bumi. Dia menghela napasnya pelan, bagaimana dia menjelaskan bahwa yang mengeluarkan jurus itu adalah pria bertopeng, dan pria itu telah menyatu dengannya. Dia akan berusaha untuk menyembunyikan rahasia itu dahulu sebelum tugasnya selesai. "Ayah. Mungkin saja yang mengeluarkan jurus pelenyap bumi, adalah orang yang sama yang telah menyelamatkanku dan juga istriku."
Wang tampak berpikir juga. "Sepertinya ucapanmu benar Jeong. Bahwa orang yang sama yang telah menyelamatkan kalian dan juga istana ini."
Luo mengangguk cepat. "Dan kita tahu orang itu."
Luo dan Wang saling menatap sekilas. "Pria bertopeng!" Ujar mereka hampir bersamaan.
"Pria bertopeng?" Kaisar Goryeo tidak kepikiran ke arah situ.
"Ya paman. Yang telah menyelamatkan Ratu In Hyun adalah pria bertopeng, mungkin yang menyelamatkan mereka dan istana ini adalah orang yang sama. Pria misterius sang pria bertopeng itu." Jawab Luo merasa yakin.
"Aku juga berpendapat sama denganmu Luo." Kata Wang merasa yakin juga.
Terlintas di benak Kaisar Goryeo tentang Ayahnya Kaisar Jeong Shuji. Terus apa hubungan pria bertopeng dengan jurus pelenyap bumi, jurus Ayahnya itu? Seumur hidupnya, itu adalah pertama kalinya banyak kejadian aneh yang menimpa Kerajaannya.
Kaisar Goryeo sangat berterima kasih pada sang pria bertopeng, yang dia pikirkan saat ini adalah keselamatan Lee Hwon. Dia adalah satu-satunya amanah alm adiknya, dan sebagaimanapun dia sudah menganggap Lee Hwon dan Hie Jung anaknya sendiri. Ia pun menjadi semakin cemas. "Lalu, bagaimana dengan Lee Hwon?"
Jeong Soon menoleh menatap Ayahnya. "Ayahanda jangan khawatir. Aku sudah merencanakan sesuatu. Kita akan menyerang ke sana besok pagi."
"Menyerang?!" Ketiganya merasa terkejut mendengar bahwa Jeong Soon akan menyerang esok dan akan berangkat di pagi hari.
"Ya. Menyerang mereka. Bukankah itu yang mereka inginkan, waktu itu mereka menyerang kita tanpa ampun. Kita pun akan menyerang mereka karena mereka yang mengundang kita."
"Tapi …?" Luo merasa sedikit keberatan mengingat bahwa para Panglima, prajurit bahkan dia dan Wang belum sembuh total dari lukanya.
Jeong Soon juga mengerti keadaan mereka. "Kau jangan khawatir Luo. Bukankah di perbatasan banyak prajurit Kerajaanmu (Silla) dan Kerajaan Wang (Gojoseon). Jadi aku akan pergi ke sana dengan prajurit yang masih kuat dan siap untuk bertarung."
"Tapi Jeong, itu akan sangat berbahaya. Kau sudah tahu bagaimana cara mereka bertarung, setengah dari mereka adalah prajurit siluman." Ujar Wang ikut keberatan juga.
"Kalian tenang saja. Sebelum Lee Hwon pulang dengan selamat, sampai saat itu aku tidak akan pulang ke istana ini." Ucap janji Jeong Soon pada mereka.
"Kalau begitu aku akan ikut denganmu." Luo.
"Aku juga!" Wang.
Jeong Soon tersenyum tipis, sebenarnya dia tak ingin membawa Luo dan Wang. Tapi jika dia menolaknya, mereka pasti akan merasa curiga. "Baiklah, besok pagi. Kita akan bersiap-siap pergi ke sana."
Luo dan Wang saling menatap, lalu mengangguk yakin.
Jeong Soon menyeringai menatap kolam, di dalam hatinya ia berkata. Tunggulah Lee, aku akan segera datang menjemputmu di sana.
In Hyun merasa jenuh di ruang seni terus. Jeong Soon juga belum datang ke sana. Hari sebentar lagi akan gelap. Dia penasaran dengan keadaan kamarnya, apalagi dari tadi belum mandi. Akhirnya dia memutuskan pergi ke kamarnya dan menyuruh dayang untuk istirahat. Dia berjalan sendirian menelusuri lorong istana. Hanya tinggal beberapa pegawai dan pelayan yang membereskan bangunan-bangunan reruntuhan istana.
Tak lama kemudian dia sampai di depan pintu kamarnya. Terlihat masih utuh dan juga kokoh, hanya beberapa goresan pedang yang membuat pintu terlihat cacat. Dia menghela napasnya panjang. Perlahan digesernya pintu itu.
Drrtthhh...
Ketika pintu terbuka, kamarnya masih sangat berantakan belum selesai direnovasi. Apa mereka bertarung di kamarnya itu? Bahkan dinding di sisi taman dekat jurang terbuka lebar sekali.
"Uhukk.. uhukk.. huhh, debunya banyak sekali." In Hyun melangkah masuk ke dalam menatap sekeliling kamarnya. "Kalau kamar seperti ini, sepertinya aku akan tidur di kamar lain." Gumamnya sembari mengedarkan pandangan. Ia melangkah semakin masuk ke dalam, melihat kamar mandinya, bahkan membuka lemari pakaiannya. Mengeluarkan beberapa pakaian yang masih tersimpan rapi dan bersih. Dia tampak asyik memilih-milih pakaian yang hendak dia pakai serta mengeluarkan hampir semuanya untuk dipindahkan.
"Apakah hantu itu mengikuti sampai ke sini? Mudah-mudahan saja tidak." Gumamnya mengingat leluhur yang sering Jeong Soon katakan. Sambil memilih pakaian, dia terus mendumel sendiri. Namun, ketika menoleh sekaligus ke belakang, ternyata Jeong Soon sudah berdiri dihadapannya sehingga membuatnya benar-benar terkejut.
"Kyaaa hantu!" Jeritnya memejamkan kedua mata sampai pakaian yang digenggamnya jatuh berantakan di lantai.
"Hantu?" Jeong Soon menurunkan sebelah alisnya.
Mendengar itu suara Jeong Soon, In Hyun perlahan membuka matanya. Dilihatnya Jeong Soon kini menatapnya aneh. "Paduka, kau? Aku kira kau …," dia tak berani melanjutkannya.
"Hantu." Lanjut Jeong Soon.
In Hyun tersenyum canggung dan tersipu malu. "Apakah malam ini kita tidur di kamar ini?"
Jeong Soon menatap sekeliling, keadaan kamar itu terlalu parah, mustahil mereka akan tidur di sana. Dia mengingat bagaimana pertarungannya dengan Ching yang hampir saja merobohkan kamarnya itu. Pandangannya mengarah pada ranjang yang terlihat masih berdiri kokoh. "Coba saja istriku, apakah ranjangnya masih kokoh?"
In Hyun melangkah mendekati ranjang. Ia duduk dipinggirannya. "Sepertinya masih kokoh, Paduka."
Jeong Soon mendekati ranjang itu lalu ikut duduk di sebelah In Hyun. Namun, baru saja dia duduk.
Kriieettt... brugghhh...!
"Aakkhhh!" In Hyun menjerit kaget karena ranjang tiba-tiba roboh tidak kuat menopang dua orang diatasnya.
Jeong Soon dan In Hyun baringan di atas ranjang rusak itu menatap langit-langit kamar.
Jeong Soon melihat kedua tangan In Hyun meremas erat bajunya. "A.. ahahahaha!" ia tak tahan menahan tawanya melihat istrinya ketakutan karena rasa kaget barusan.
In Hyun mengedip-ngedipkan kedua matanya. "Ppppttthhh.. Ahahaha!" Ia juga ikut tertawa. Keduanya tertawa lepas seolah tanpa beban.
"Sepertinya malam ini kita harus tidur di ruang seni." Kata Jeong Soon bangkit duluan. Ia mengulurkan tangannya membantu In Hyun untuk bangun dari atas ranjang.
"Ruang seni?" In Hyun tampak berpikir.
Jeong Soon mengangguk. "Untuk sementara kita tidur di ruang seni sebelum kamar ini selesai diperbaiki. Aku takut kalau kita tidur di sini, atap akan ikut roboh seperti ranjang itu dan menimpa kita. Bagaimana?" Ia tersenyum sembari memegang sebelah pipi In Hyun meminta persetujuan istrinya itu.
"Ya, sepertinya bagus begitu. Aku juga takut kalau ketika tidur nyenyak, sesuatu menimpaku-"
"Menimpamu? Maksudmu atap itu atau yang lain?" canda Jeong Soon sedikit menggodanya.
In Hyun memutar matanya malas. "Kumat lagi." Gerutunya pelan.
"Hmmm? Aku tak mendengar ucapanmu itu?"
"Tidak, aku tak berkata apa-apa." Jawab In Hyun membungkuk mengambil pakaiannya yang berserakan di lantai. Setelah itu Ia buru-buru melangkah menuju pintu luar.
"Kau hendak ke mana dengan pakaian itu?"
"Aku mau pergi mandi." Jawab In Hyun pura-pura tak melihat tampang manja Jeong Soon.
"Istriku!"
In Hyun menoleh ke belakang. "Ada apa lagi?"
"Bolehkah aku ikut?" goda Jeong Soon lagi.
In Hyun tersenyum seolah mengiyakannya. "Tidak mungkin!" lalu jawabnya sadis. Ia sontak membalikkan badannya melangkah keluar. Kedua pipinya menjadi merona dan ia tersenyum malu mengingat ketika di pemandian air panas di rumah kecil waktu itu.
Jeong Soon hanya tersenyum.
Malamnya mereka pergi ke ruang seni. Menggelar dua kasur (ala Korea) di lantai ruangan itu. Mereka masuk ke dalam selimut tebal tidur bersampingan menatap langit-langit.
"Paduka."
"Hmmmm?"
"Kapan para Putri akan datang kembali ke istana ini?"
Jeong Soon berpikir sejenak. "Tadi aku sudah memerintahkan pengawal dan Panglima Jhang Min untuk menjemput mereka di Kerajaan Silla. Kalau tidak besok, mungkin besok lusa mereka akan pulang ke sini,"
"Begitukah?" In Hyun tahu kalau para Putri lebih sering menginap di sana daripada di istana sendiri. Dan mereka pernah mengatakan kalau mereka akan tinggal di sana sampai semuanya aman serta mereka resmi menikah dengan pasangan masing-masing.
"Apa kau sangat merindukan mereka?" tanya Jeong Soon memiringkan tubuhnya sembari menopang kepala dengan telapak tangannya menatap In Hyun.
In Hyun masih menatap langit-langit. Ia sontak mengangguk pelan. "Aku sangat merindukan mereka, karena sekarang hanya merekalah keluargaku." Tak terasa air mata menetes mengalir ke pinggir matanya.
Jeong Soon perlahan mengusap air mata itu lalu mengecup sekilas keningnya. "Tenanglah, istana ini tidak akan diporak porandakan lagi oleh bajingan itu. Dan aku tidak akan membiarkanmu terus merasa kesepian dan diselimuti rasa takut, mereka akan segera kembali menemanimu."
In Hyun menoleh ke samping menatap Jeong Soon.
Jeong Soon langsung memeluknya. Merebahkan kepala In Hyun ke dadanya. Di dalam hatinya entah kenapa ia merasa bagai ada sebuah pedang menusuk-nusuknya ketika melihat air mata istrinya itu terus mengalir. Aku tahu kamu sudah menganggap mereka sebagai keluargamu sendiri. Namun, jauh di dalam lubuk hatimu yang paling dalam, kau sangat merindukan Ibu dan kakakmu.
Jeong Soon mengusap lembut puncak kepala In Hyun. Dia hampir lupa misi untuk menyelamatkan Lee Hwon. Perlahan ia mengibaskan tangannya ke depan wajah In Hyun agar dia tenang dan segera tidur dengan nyenyaknya.
In Hyun tiba-tiba merasa mengantuk sekali. Padahal tadi dia tidak bisa memejamkan kedua matanya sedikitpun. Tak menunggu lama, ia sudah tidur dengan lelapnya.
Jeong Soon merebahkan kepala In Hyun ke atas bantal. Ditatapnya sayu wajah istrinya itu, dinaikkan selimutnya sebatas dada lalu perlahan dikecup keningnya dengan lembut. Tunggulah di sini istriku. Sebelum matahari terbit, aku pasti akan segera kembali dan berada di sisimu lagi. Setelah mengucapkan hal itu, dia bergegas bangkit meninggalkan In Hyun sendirian di sana.
Kini dia berdiri di depan pintu sembari memejamkan kedua matanya. "Yang Mulia Qingrou Gun-in, hamba membutuhkan bantuanmu."
Wuussshhh... kretekkkkk... ggrrrtttt....
Tanah sedikit berguncang. Namun, seluruh penghuni istana tak ada yang menyadarinya. Angin berhenti berembus, awan di langit mulai menutup cahaya Bulan. Kepulan asap perlahan muncul dari dasar tanah. Kabut tebal mulai menyelimuti sekitaran ruang seni di mana Jeong Soon masih memejamkan kedua matanya merasakan kehadiran prajurit lembah kegelapan beserta sang Rajanya.
Beberapa saat keadaan menjadi hening. Kabut tebal berubah menjadi para iblis lembah kegelapan. "Bantuan apa yang hendak kau minta dari kami Jeong Soon?" tanya Kaisar Qingrou yang tiba-tiba sudah muncul di hadapan Jeong Soon.
Jeong Soon sontak membuka kedua matanya. "Hamba ingin menyelamatkan adik hamba Lee Hwon, saat ini dia disekap oleh Kerajaan Barje. Namun, sebelum itu, hamba ingin Yang Mulia memastikan apakah keberadaan Lee Hwon benar disandera di sana, atau hanya sebuah pancingan saja bagi kami?"
Kaisar Qingrou melayang ke sana kemari memperhatikan sekitar istana itu. Kemudian kembali lagi dan kini diam melayang di hadapan Jeong Soon, ia memejamkan kedua matanya lalu menyeringai. "Adikmu Lee Hwon memang berada di sana dan sebaiknya kita segera ke sana karena keadaannya semakin lemah dan parah."
"Kalau begitu, bolehkah hamba meminta beberapa pengawal Anda untuk menjaga kamar ini dan juga seluruh istana ini?" pinta Jeong Soon.
Qingrou mengangguk. "Seperti janjiku, apa pun itu pasti akan aku penuhi. Jadi, beberapa prajuritku akan menjaga tempat ini dan juga istana ini."
"Gomasseumnida, Yang Mulia." Jeong Soon membuka kedua telapak tangannya.
Sriinggg... Samurai iblis langitnya kini muncul di kedua telapak tangannya itu.
Kaisar Qingrou mundur melihatnya.
"Anda jangan takut Yang Mulia. Mustahil hamba melakukan hal yang membuat Anda terkhianati." Ujar Jeong Soon mengerti kenapa Qingrou dan para prajuritnya selalu mundur melihat samurai iblis langit itu.
Kaisar Qingrou menyeringai kembali. "Bersiap-siaplah, kita akan berangkat sekarang juga dan tak boleh membuang-buang waktu lagi."
Jeong Soon mengangguk. Dia pun menggantungkan samurainya di balik punggungnya. Sekali lagi dia membuka telapak tangannya, kini muncul sebuah topeng.
Srriinggg... Dari ujung rambut sampai ujung kakinya kini berubah menjadi pria bertopeng dengan rambutnya yang berwarna perak keemasan. Dia memakai topengnya, setelah itu memelesat naik ke atas dahan pohon. Ia menoleh sekilas ke belakang menatap pintu ruang seni, dilihatnya pula beberapa prajurit lembah kegelapan melayang menjaga tempat itu dan sekitaran istana.
Ӝ----TBC----Ӝ
Revisi ulang*
22 Maret 2020 🌺
By~ Rhanesya_grapes 🍇
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top