♟34♟GADHYEO (Terjebak).
♥Jika Cinta tak bisa menyatukan kita. Belum tentu kebencian yang dapat memisahkan.
Jika takdir tengah mempertemukan, Biarkan takdir jua yang memisahkan.
Tuhan telah menyatukan. Maka takkan ada manusia yang bisa memisahkan kita diluar kehendaknya.
Kau adalah anugrah yang tercipta untukku. Tuk mengisi kekosonganku. Mengobati hati yang terluka, menenangkan hati yang gelisah.
Angin berembus lembut, bulan Purnama bersinar redup.
Bintang-bintang menampakan diri, seakan ingin ikut menjadi saksi.
Di bawah sinar rembulan yang menerangi kegelapan. Di malam itu kita tengah mengikat janji. Tanganmu menggenggam erat tanganku, bibirmu bergetar mengucapkan janji tulusmu. Tatapan sayumu menyejukkan hatiku, senyum manismu mewarnai kehidupanku. Jangan pernah melepaskan tanganku, seperti yang tengah kau ucapkan di dalam janjimu. Genggam terus tanganku dan akan aku bisikkan padamu, sesuatu yang Indah dari dalam lubuk hatiku, ♥♡SARANGHAE♡♥
Gerimis tak mau berhenti. Langit masih mendung dan angin berembus sangat kencang.
Jauh di dasar jurang lembah terkutuk. Seekor burung Elang hinggap di pinggir lengan seseorang yang tergeletak di atas tanah. Burung itu menatap tajam bibir yang masih mengalirkan darah segar dan tubuh yang dipenuhi darah segar juga yang bercampur hujan gerimis.
Khakkk..! Burung Elang itu bersuara seolah memanggil seseorang. Ternyata orang yang tergeletak itu adalah Jeong Soon. Sang Elang masih menatap tajam mata Jeong Soon yang terpejam dan masih terbaring tak berdaya di atas tanah. Sekelebat bayangan putih langsung menghampiri tubuh Jeong Soon dan dalam sekejap mata tubuhnya hilang dari sana bersama sang Elang juga.
☆☆♣☆☆
Di istana Goguryeo semua kini bisa bernapas lega mendengar penuturan satu prajurit yang melihat prajurit Kerajaan Barje beserta Raja mereka sudah pergi meninggalkan istana. Memang sebuah keanehan bagi semuanya. Di saat mereka menghilang, tahu-tahu mereka sudah angkat kaki dari Kerajaan Goguryeo. Itu berarti kemenangan untuk Kaisar Goryeo dan lainnya.
Di paviliunnya, Kaisar Goryeo tengah diobati oleh para tabib di sana. Di hatinya bertanya-tanya. Siapa yang tengah menyelamatkan istana ini? Aku sangat yakin sekali yang menyelamatkan istana ini adalah yang mengeluarkan jurus pelenyap bumi. Sehingga mereka tak bisa melihat kami, begitupun sebaliknya. Mereka terpaksa meninggalkan tempat ini dengan membawa kekalahan. Dia menghela napasnya berat. Jurus pelenyap bumi hanya dimiliki oleh Ayah dan dia telah tiada. Lalu, siapa yang telah mengeluarkan jurus itu?
Kaisar Goryeo masih berpikir. Namun, siapapun yang telah menyelamatkan kami semua, dia pasti pelindung istana ini. Aku sangat berterima kasih padanya.
Di bilik Luo Guanjong tengah diobati oleh tabib juga, disebelahnya Wang Jhaojun yang duduk di kasur satunya. Luo masih memikirkan keanehan tadi dan bagaimana bisa mereka tak bisa saling melihat sampai Ching Daiki beserta bala tentaranya pergi begitu saja dari istana? Mereka tidak tahu adanya jurus pelenyap bumi.
"Wang. Apa kau merasakan keanehan itu?" tanya Luo menoleh pada ranjang satunya.
"Ya. Ini pertama kalinya kejadian aneh itu terjadi," jawab Wang Jhaojun memikirkan sesuatu yang di luar akal sehatnya juga.
"Mungkin pelindung istana ini yang telah menyelamatkan kita, tapi ...," Luo teringat sesuatu.
"Tapi apa?" tanya Wang Jhaojun menoleh menatapnya heran.
"Lee Hwon juga menghilang. Selain itu Jeong Soon dan Permaisuri In Hyun belum ditemukan. Jika mereka sudah meninggal pasti jasadnya ditemukan. Namun, sampai saat ini di dalam hutan serta di lembah terkutuk juga tidak ada yang menemukan jasad mereka berdua." Ujar Luo Guanjong sembari mengembuskan napasnya lirih.
"Biarkan besok kita mencari keseluruh pelosok Desa, lembah terkutuk dan juga hutan. Hari sebentar lagi gelap dan para prajurit pasti kelelahan, banyak dari mereka yang terluka parah juga." Usul Wang Jhaojun sambil merebahkan tubuhnya ke atas kasur.
"Aku juga berpikir begitu. Hari ini adalah hari yang panjang untuk mereka, dan banyaknya prajurit kita yang gugur dalam pertarungan tadi." Ucap Luo Guanjong merebahkan tubuhnya juga ke kasur.
Mereka berdua menatap langit-langit dan memikirkan nasib Lee Hwon, Jeong Soon dan juga In Hyun yang menghilang begitu saja entah ke mana?
Tiikkk...
Tikkkk...
Tikkkk...
Air menetes menimpa sebuah kubangan, sehingga menghasilkan suara yang merdu menemani malam yang sepi.
Di suatu tempat yang gelap, lembap dan juga dingin. Tampak dua orang terbaring bersampingan di atas sebuah Batu besar. Dua orang itu adalah Jeong soon dan In Hyun.
Keduanya terbaring di atas batu yang berlumut tetapi lumut tersebut sangat tebal seperti sebuah karpet hampir menutupi seluruh batu besar itu, bahkan terasa hangat.
Entah memang lumut itu yang hangat atau karena menjadi hangat dari suhu tubuh keduanya karena betapa dinginnya goa itu.
Perlahan kedua mata Jeong Soon terbuka. Namun, gelap masih menyelimutinya sehingga dia mengerjapkan matanya beberapa kali. Dia berusaha bangkit, menahan sakit di seluruh tubuhnya. "Aaakh," rintihnya merasakan dadanya yang sesak dan tengkuk lehernya yang terasa sangat sakit.
Dia duduk di tempat menatap sekitar yang benar-benar gelap gulita, bahkan satu telunjuknya-pun tidak terlihat. "Di mana ini?" dia masih bertanya-tanya pelan pada diri sendiri.
Tiba-tiba sebuah cahaya menghampirinya, membuat jantungnya berdetak kencang. Cahaya itu semakin membesar sehingga menerangi seluruh ruangan itu.
Jeong Soon kini bisa melihat keadaan tempat itu dan kini ia mengedarkan pandangannya menatap sekeliling di mana di sana hanya tampak dinding-dinding Batu yang terlihat kokoh. Ternyata dia berada di dalam sebuah Goa yang tidak terlalu luas bahkan seolah tak ada jalan keluar dari sana. "Bagaimana aku bisa berada di sini?" gumamnya pelan.
Dia mengingat pertarungan dengan Ching Daiki dan tusukan pedang di dadanya. Bukankah dia melayang jatuh ke dasar jurang? Seharusnya dia masih di sana dan pastinya sudah mati, karena terjatuh menghantam tanah dengan kerasnya. Tapi kenapa dia malah berada di dalam Goa yang lembap dan juga dingin itu?
Tangannya menyentuh sesuatu yang dingin. Ia pun sontak menoleh ke samping, dilihatnya seorang wanita terbaring di sana. "Istriku?" Dengan mata yang membulat sempurna dia langsung meraih menggenggam tangan In Hyun, lalu digosok-gosok oleh kedua tangannya mencoba untuk menghangatkannya. Sekali-kali ditiupkan uap dari mulutnya pada tangan In Hyun agar menghangat sedikit, kemudian kembali melanjutkan menggosok-gosoknya.
Dia menyentuh nadinya memastikan kalau In Hyun masih hidup. Hatinya sedikit tenang mengetahui kalau jantung In Hyun masih berdetak, untuk saat ini otaknya benar-benar beku tak bisa berpikir jika dia masih hidup, sudah pasti istrinya juga masih hidup. Tetapi dinginnya tangan In Hyun melebihi dinginnya suhu tubuhnya yang sedikit hangat sehingga membuatnya panik seketika.
Kini di benaknya berputar seribu pertanyaan diatas pertanyaan lainnya. Kenapa dia ada di dalam sana? Siapa yang telah menyelamatkannya? Bukankah tadi In Hyun dibawa oleh Jhao Feiyan? Bagaimana bisa sekarang mereka berdua berada di dalam Goa itu? Luka ditubuhnya telah menutup namun masih menyisakan rasa sakit dan ngilu.
Semilir angin dari celah-celah dinding goa menerpa wajah Jeong Soon memainkan rambut dan anak rambutnya. Dia baru sadar kalau cahaya tadi masih menerangi mereka.
"Jeong Soon cucuku," terdengar suara menggema memanggilnya sampai suara itu memenuhi Goa, membuatnya terkejut mencari darimana asalnya suara itu?
"Si-siapa kau?" Suara Jeong Soon juga menggema memenuhi Goa itu sehingga suara itu memantul kembali. Ia mengedarkan pandangannya ke sekeliling, tapi tidak ada siapapun di sana.
Cahaya itu perlahan menjadi sebuah asap putih lalu membentuk menjadi seorang pria tua dengan rambut dan janggut putih yang sangat panjang serta masih memancarkan cahaya.
Deggg... Jeong Soon terbelalak menatap pria tua yang memancarkan cahaya itu. Bibirnya bergetar dan sedikit menganga, jantungnya seolah berhenti berdetak. "Ka-kakek?!" ia menatap tak percaya pada asap bercahaya itu. Apa ini sebuah mimpi?
Kaisar Jeong Shuji tersenyum sembari mengangguk. "Ya. Ini aku cucuku," jawabnya menatap sayu pada Jeong Soon.
"Tapi kau sudah meninggal. Apakah kami juga sudah meninggal?" tanya Jeong Soon aneh.
Jeong Shuji menggelengkan kepalanya. "Kalian masih hidup." Jawabnya lagi masih dengan senyuman.
"Jika kami masih hidup, apa kakek yang telah menyelamatkan kami?" tanya Jeong Soon penasaran.
Jeong Shuji masih menggelengkan kepalanya.
"Jika bukan kakek yang telah menyelamatkan kami. Jadi siapa yang telah menyelamatkan kami?"
"Takdirmu."
"Ta-takdirku?" Jeong Soon terbata-bata dan masih tidak mengerti.
"Yang menyelamatkan kalian adalah takdirmu. Dan sebentar lagi kalian akan menyatu kembali."
"Takdir? Menyatu? Hamba tidak mengerti apa yang kakek bicarakan?"
Jeong Shuji tersenyum lebar menatap pergerakkan kecil dari In Hyun.
Jeong Soon terkejut sontak menoleh pada In Hyun yang tiba-tiba menggigil kedinginan. Dia meraih kembali tangannya lalu menggosok-gosoknya lagi. "Bertahanlah istriku. Aku yakin kau bisa bertahan." Ucapnya sembari meniupkan kembali uap dari mulutnya.
"Dia sudah tak mempunyai banyak waktu lagi,"
"Ba-banyak waktu? Apa maksud kakek, istriku akan meninggal? Jika dia meninggal, maka hamba juga begitu?" Ujar Jeong Soon sudah tahu hal itu akan terjadi.
Jeong Shuji mengangguk. "Kalian harus segera mengakhiri kutukan yang menimpa kalian berdua itu,"
"Kutukan. Bagaimana kami bisa memusnahkan kutukan itu dari tubuh kami, kakek?" tanya Jeong Soon tak sabaran. Akhirnya dia menemukan cara untuk mengakhiri kutukan itu.
"Ritual suami istri." Jawab Jeong Shuji menatap tajam kedua mata Jeong Soon yang seketika langsung membulat sempurna.
"Ri-ritual su-suami istri?!" Jeong Soon benar-benar terkejut mendengarnya.
"Ya. Kalian harus segera melakukan ritual suami istri." Jeong Shuji mempertegasnya.
"Tapi kek. Hamba tidak bisa melakukannya, lihatlah keadaannya. Hamba tidak tega dan tidak akan pernah bisa untuk melakukan bersamanya," jawab Jeong Soon melirik kembali pada In Hyun yang wajahnya semakin bertambah pucat.
"Pilihan ada pada dirimu sendiri cucuku. Jika kalian tidak segera melakukannya, maka kau juga akan segera kehilangannya."
"Kehilangan? Apa kami benar-benar akan meninggal?" tanya Jeong Soon masih ragu dan tidak tega melihat keadaan In Hyun.
Jeong Shuji menggelengkan kepalanya lagi. "Hanya dia yang akan menghilang di zaman ini dan juga di zamannya. Dia akan lenyap dari muka bumi ini untuk selamanya." Jawaban Jeong Shuji membuat pertanyaan lain dibenak Jeong Soon.
"Zaman ini? Zamannya?" gumam Jeong Soon pelan. Dia benar-benar tidak mengerti apa yang hendak disampaikan oleh kakeknya itu?
"Cucuku, sudah saatnya kau harus tahu bahwa istrimu bukanlah Putri Hwa Young anak dari Kaisar Jumong. Dia datang dari masa mendatang dan akulah yang telah memanggilnya ke zaman ini." Jelas Jeong Shuji ingin meyakinkan cucunya itu.
Ctaaarrrr...!! Bagaikan sebuah petir menyambarnya dengan keras mendengar hal itu. Jeong Soon kini diam terpaku dan tubuhnya membeku, menegang seketika.
Jeong Shuji mulai menjelaskan dari saat Jeong Soon menyelamatkan In Hyun dari para bandit di tengah hutan ketika pengasuh dan kakak angkatnya meninggal. Saat itu Hwa Young juga telah meninggal, dan jika Hwa Young meninggal maka Jeong Soon juga akan meninggal. Kakeknya tidak mau jika cucu satu-satunya harapan dia untuk membalaskan dendam pada Dhaici beserta seluruh musuhnya akan mati begitu saja. Dan juga jika Jeong Soon meninggal, maka keempat Kerajaan akan dikuasai semua oleh musuh. Jadi, dengan kekuatannya beserta bantuan dari dunia kegelapan, dia berhasil memanggil In Hyun datang ke zamannya.
Jeong Soon masih terpaku menatap In Hyun. Kini semua pertanyaan yang dia cari jawabannya telah dia temukan dan terpecahkan sudah. Memang benar sekali, banyak kata-kata yang diucapkan In Hyun tidak dimengertinya.
In Hyun sering keceplosan mengatakan. "Zamanku, sorry, surprise, olahraga, serangan jantung," dan banyak lagi yang dia katakan. Jeong Soon mulai mengerti kenapa In Hyun mengatakan hal-hal yang bukan sebuah kata-kata dari zamannya. Ternyata dia datang dari masa depan. Masa yang akan datang.
"Demi melengkapimu karena kutukan itu, dan agar kau tetap hidup. Kakek memanggilnya untuk menjadi istrimu. Ingatlah cucuku, hanya dia satu-satunya yang akan menghilangkan kutukan itu, dan kini kaulah satu-satunya yang bisa menyelamatkan nyawanya dari zaman ini dan juga zamannya."
Jeong Soon benar-benar tak bisa berkata-kata lagi. Saat ini dia benar-benar bingung, jika tidak melakukan ritual itu, maka dia dan In Hyun akan meninggal. Jika dia dan In Hyun meninggal, maka di masa mendatang wanita itu juga akan menghilang. Dia juga teringat tentang In Hyun yang sering memanggil Ibu dan kakaknya yang bernama In Myun.
"Jadi dia benar-benar masih mempunyai Ibu dan seorang kakak perempuan di masa depan." Gumam Jeong Soon menatap wajah In Hyun yang semakin memucat. Bibir In Hyun yang membiru dan bergetar itu membuat Jeong Soon terus berpikir kembali. "Kek, apakah tidak ada cara lain selain melakukan ritual suami istri?" tanyanya benar-benar ragu dan bingung.
Kaisar Jeong Shuji menggelengkan kepalanya.
Jeong Soon melirik In Hyun dan masih menggenggam tangannya dengan erat. Ia tak bisa melakukan hal itu, apalagi melihat keadaan In Hyun yang seperti itu, mustahil baginya melakukan hal tersebut.
Tiba-tiba. Tangan In Hyun di dalam genggamannya perlahan menjadi bayangan dan menghilang membuat Jeong Soon tambah terbelalak dengan bibir yang semakin gemetaran. Wanita itu akan lenyap, sebentar lagi dia akan hilang dan lenyap dari dua zaman untuk selamanya.
Jeong Soon melihat hanya tangannya saja yang perlahan menghilang, tak lama muncul dan terlihat utuh kembali. Dia duduk membelakangi In Hyun, menatap tajam pada kakeknya meminta penjelasan atas kejadian yang terjadi barusan.
Di saat itu In Hyun tersadar dan perlahan membuka sedikit kedua matanya, tatapannya masih remang-remang namun dia masih bisa mendengar percakapan Jeong Soon yang entah sedang berbicara dengan siapa.
"Jadi kami benar-benar harus melakukan ritual suami istri. Jika tidak Istriku In Hyun akan meninggal. Lalu hamba juga akan meninggal dan menghilang untuk selamanya," ujar Jeong Soon tak tahu kalau In Hyun mendengar perkataannya itu.
Deggg... Jantung In Hyun terasa berhenti berdetak dengan masih memejamkan kedua matanya, dia berkata dalam hati. Ritual suami istri? Meninggal? Menghilang? Jika kami tidak melakukannya maka aku akan meninggal. Maka di zamanku juga aku akan lenyap terlupakan. Lalu aku pastinya tidak akan bertemu lagi dengan Eomma dan Kak In Myun."
Wuusss... wussss...
Beberapa obor yang tergantung di dinding Goa mulai menyala menerangi seluruh Goa itu.
In Hyun sontak membuka kedua matanya dan saat ini penglihatannya sudah jelas. Perlahan dia berusaha bangkit dari baringannya.
Jeong Soon sontak menoleh kala merasakan pergerakan In Hyun, dia malah menatapnya dalam lalu menatap sekilas pada tangannya yang masih menggenggam tangan istrinya itu. Di dalam hatinya dia benar-benar takut jika In Hyun akan menghilang saat itu juga.
"Syukurlah kau sudah sadar, istriku."
In Hyun mengatur napasnya berat. Merasakan seluruh tubuhnya yang sakit sambil meraba punggungnya yang terluka bekas sayatan pisau Jhao Feiyan ternyata telah menutup kembali. Ia kini mengedarkan pandangannya ke sekeliling. "Paduka. kau berbicara dengan siapa?" tanyanya tak melihat siapa-siapa di sana.
"A-aku. Sedang berbicara dengan ...?" Jeong Soon akan menjawab sedang berbicara dengan kakeknya atau lebih tepatnya arwah kakeknya. Namun, ketika menoleh ke belakang di mana kakeknya tadi berdiri, beliau sudah hilang dari sana.
In Hyun menurunkan sebelah alisnya. "Berbicara dengan siapa, Paduka?" tanyanya bingung masih mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Apa suaminya itu sudah gila berbicara sendiri?
"Aku hanya berbicara dengan leluhurku tentang ...?" kalimatnya terhenti. Jeong Soon hanya bisa menatap sekilas pada In Hyun lalu menunduk.
In Hyun juga berpikir, apakah dia benar akan mati di sana dan tidak akan kembali lagi ke zaman di mana ia dilahirkan dan di sana ada Ibu serta kakaknya yang entah bagaimana keadaannya sekarang? Dia menoleh menatap sayu pada Jeong Soon. Jika dia mati, maka Jeong Soon juga akan ikut mati. Dan jika Jeong Soon mati, maka Kerajaan Goguryeo akan jatuh pada Ching Daiki, pria yang sangat dibencinya.
Jeong Soon dan dia harus tetap hidup. Tapi dia berpikir lagi, apakah tidak ada cara lain selain melakukan ritual suami istri? Atau yang lebih tepatnya malam pertama untuk mereka.
"Uhukkk.. Uhukkk!" In Hyun terbatuk-batuk kala memikirkannya.
Jeong Soon yang sedang memikirkan sesuatu mengangkat kepalanya menatap In Hyun, lalu menggengam tangannya erat. "Apa kau tidak apa-apa, istriku?" tanyanya bertambah khawatir.
"Aku tidak apa-apa." Jawab In Hyun mencoba tersenyum. Namun, keadaannya tidak mengatakan begitu. Ketika dia batuk, tiba-tiba darah mengalir dari sudut bibirnya.
Jeong Soon duduk disebelahnya lalu mengusap darah di sudut bibir In Hyun dengan ibu jarinya kemudian memeluknya erat, menyandarkan kepala In Hyun di dadanya yang bidang. "Apa yang harus aku lakukan untuk menyelamatkan kita dari keadaan dan juga tempat seperti ini?"
In Hyun yang bersandar di dada Jeong Soon mendongak mengangkat wajah menatapnya. "Lakukan apa yang diperintahkan oleh leluhurmu. Maksudku, leluhur kita." Jawabnya tak punya pilihan lain.
"Apa?!" Jeong Soon sedikit terkejut mendengarnya.
"Aku sudah tahu apa yang kalian bicarakan tadi. Jika kita tidak melakukannya, maka kita berdua akan mati di sini." Jawab In Hyun meremas erat baju Jeong Soon di bagian dadanya.
"Apa saja yang kau dengar, istriku?" tanya Jeong Soon takut jika In Hyun mendengar semuanya bahwa arwah kakeknya lah yang telah memanggilnya ke zamannya itu. Dan itu akan membuatnya membenci kakek dan sudah pasti dirinya karena telah memisahkannya dari Ibu dan juga kakaknya.
In Hyun menelan salivanya berat. "Ki-kita ha-harus melakukan ri.. ritual itu, kalau tidak kita berdua akan mati. Di sini di tempat sedingin dan segelap ini." Jawabnya dengan nada gelagapan.
Kata-kata terakhir yang diucapkan In Hyun membuat Jeong Soon tersenyum. Memang benar jika melihat keadaan di sana, sebuah Goa yang gelap hanya diterangi oleh obor-obor. Dan mereka berdua kini hanya duduk di atas sebuah Batu yang datar dan lebar beralaskan hamparan lumut.
"Uhukkk..!" In Hyun batuk kembali, meneteskan darah dari bibirnya.
Jeong Soon segera menggengam erat tangan In Hyun, ia melihat tangannya perlahan menghilang begitu saja seperti tadi dan kembali lagi, sementara In Hyun tak menyadari hal itu. "Apakah itu tidak masalah untukmu, istriku?" tanyanya ragu-ragu. Dia juga tak punya pilihan lain lagi.
In Hyun menggelengkan kepalanya masih mencoba tersenyum. Di saat itu tak ada pilihan lain bagi mereka. Suka atau tidak, terpaksa atau tidak mereka harus melakukannya.
Jeong Soon memegang kedua pinggir pundak In Hyun, menatap sayu wajahnya yang terlihat pucat. Kemudian mengusap lagi darah di sudut bibir In Hyun. Perlahan menyatukan keningnya dengan kening In Hyun, sehingga deru napas keduanya terasa hangat di dinginnya goa itu. Bibirnya mengecup bibir In Hyun dengan lembut, terasa dingin bercampur hangat oleh uap yang keluar dari mulut masing-masing.
Perlahan direbahkan tubuh istrinya ke atas batu datar dan besar itu. Dengan menelan saliva susah payah ia menatap wajah In Hyun yang mulai memejamkan kedua matanya serta kedua tangan In Hyun yang meremas erat bajunya.
"......."
Di luar Goa, awan yang mendung menutupi bintang-bintang mulai menghilang digantikan sang Bulan Purnama yang mulai menerangi malam yang gelap. Dinding Goa menjadi saksi bisu di saat mereka melakukan ritual suami istri.
Ketika kedua Tattoo Naga lambang kutukan yang berada di dada kanan In Hyun dan dada kiri Jeong Soon menyatu saling bersentuhan. Ada getaran yang sangat panas dan menyakitkan, Jeong Soon dan In Hyun yakin kalau kutukan mereka akan segera menghilang saat itu. Tubuh keduanya seolah terbakar. Dada masing-masing terasa sesak, apalagi bagian yang ada tattoo Naga itu. Seolah disayat oleh pisau yang sangat panas yang baru diangkat dari Batu bara menyala.
"................."
Hening...
Goa yang dingin tadi kini menjadi terasa hangat. Cahaya-cahaya kecil berterbangan mengitari mereka berdua.
Jeong Soon menyelimuti In Hyun yang tampak tertidur lelap dengan pakaian luarnya, sementara dia memakai pakaian tipis putih dalamnya saja karena keadaan di sana tak sedingin tadi. Dia menopang kepalanya dengan satu tangannya sembari berbaring menyamping di samping In Hyun. Entah kenapa hatinya menjadi menghangat? Ada perasaan yang berbeda yang saat ini dirasakannya.
Ketika memandang wajah istrinya itu, ada rasa tak ingin kehilangan yang begitu besar bercampur menjadi rasa takut. Rasa takut akan ditinggalkan pergi oleh In Hyun. Debar jantungnya menjadi berdetak sangat kencang. Itu pertama kalinya dia merasakan hal itu, kedua matanya masih menatap sayu wajah In Hyun. Kini senyum tulus terpancar dari bibirnya, perlahan dikecupnya kening In Hyun sambil membelai lembut pipinya.
Tiba-tiba sebuah cahaya bersinar menyilaukan kedua matanya. Kakeknya datang kembali namun kali ini dia tidak sendiri, beliau datang dengan sebuah bayangan lain yang sangat menyilaukan.
Ӝ----TBC----Ӝ
Revisi ulang*
13 Maret 2020 🌸
By~ Rhanesya_grapes 🍇
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top