♟31♟BI (Hujan) dan Penyerangan Pertama.
Keesokan harinya. Setelah kejadian kemarin.
Ketika Jeong Soon meminta maaf pada In Hyun. Ia kini menjadi dilema. Haruskah memaafkan atau berusaha jual mahal sedikit? Namun, di dalam hatinya ia sudah memaafkan Jeong Soon.
Pagi itu ketika In Hyun bangun. Di luar ternyata sedang turun hujan. Rupanya pergantian musim akan segera tiba, entah kenapa ketika mendengar bunyi hujan dia sangat merindukan Ibu dan kakaknya. Begitu sangat.. sangat merindukan keduanya. Dia bangkit dari atas ranjang. Bergegas turun lalu melangkah menuju ke ruang obat-obatan. Perlahan membuka jendela lalu duduk di sudut meja.
Semilir angin masuk ke dalam menerpa wajah dan memainkan rambutnya. Lamunannya melayang ke zamannya. Di mana ketika dia masih kecil, ia sangat senang sekali bermain hujan bersama dengan In Myun. Bahkan ketika Ibunya melarang pun mereka tak menghiraukannya, malah sengaja bersuka ria di dalam hujan, menari dan bernyanyi. Akh, aku sangat merindukan kalian berdua. Ucapnya dalam hati lesu.
"Ehmmm,"
Lamunannya sontak memudar karena terkejut oleh suara Jeong Soon. In Hyun menoleh ke belakang di mana Jeong Soon berdiri menatap keluar jendela juga.
Jeong Soon melangkah mendekatinya. Dia berdiri di dekatnya sembari menghirup udara dalam-dalam.
In Hyun menatapnya sekilas, lalu menatap kembali ke luar jendela menembus hujan yang masih turun dengan derasnya.
"Apa kau suka hujan istriku?"
"Hmmmm?" karena In Hyun sedang melamun, dia tersentak kaget ketika Jeong Soon bertanya.
"Apa kau suka hujan?" ulang Jeong Soon.
In Hyun menghela napasnya pelan lalu menjawab. "Sangat suka, karena kehadirannya selalu memberi kisah tersendiri bagi setiap orang," ia tersenyum tipis mengingat kenangan bersama orang-orang yang sangat dia sayangi termasuk teman-temannya.
In Hyun membulatkan kedua matanya. Senyumnya mengembang sangat lebar, sambil bertepuk tangan di depan dada. "Omo, Paduka. Bisakah aku bermain hujan?" tanyanya tiba-tiba ingin sekali bermain hujan.
"Tapi Adinda, ini masih pagi dan kau belum sarapan," jawab Jeong Soon merasa sedikit keberatan.
"Ayolah Paduka, sebentar saja. Aku sudah lama tak bermain hujan," bujuk In Hyun setengah merengek.
Jeong Soon tampak berpikir sejenak.
"Ayolah Paduka, jebal. Nanti hujannya berhenti," rengek In Hyun lagi memperlihatkan wajahnya yang sedih, dia terus membujuk Jeong Soon agar mengizinkannya bermain hujan.
Jeong Soon masih berpikir. Beberapa hari ini keadaan sangat tegang, dan dia telah membuat In Hyun menangis. Jika dengan bermain hujan membuat In Hyun melupakan sejenak masalah-masalahnya, maka tak jadi masalah jika itu bisa membuatnya tersenyum kembali. Akhirnya dia mengangguk mengizinkan.
"Yeeeee!" Teriak In Hyun girang. Ia bergegas berlari menuju pintu Taman blossom seperti anak kecil yang diperbolehkan main hujan oleh Ibunya, ia berlari menyeruduk ribuan hujan yang turun begitu deras langsung membasahi seluruh tubuhnya.
Jeong Soon berjalan ke dalam kamar. Membuka jendela kamar untuk melihat In Hyun di Taman blossom pribadinya itu, dilihatnya In Hyun menengadah ke langit sambil berputar-putar di tengah hujan dengan kedua mata terpejam.
"Akhirnya. Aku bisa juga bermain hujan." Ucap In Hyun senang. Bahkan hal apa pun tak bisa dibandingkan dengan senangnya ketika bermain hujan.
Jeong Soon meneguk minuman hangatnya masih menatap ke arah In Hyun, dia tersenyum tipis melihat kelakuan istrinya itu yang seperti anak kecil baru bermain hujan.
In Hyun berlari kesana-kemari. Berputar-putar, sekali-kali menengadah ke langit atau melompat-lompat di kumbangan air di atas rumput.
Jeong Soon berkata dalam hatinya. Semoga senyum kebahagiaanmu itu takkan pernah pudar dan lenyap selamanya, istriku.
Beberapa lama kemudian, In Hyun merasa kelelahan, akhirnya ia berhenti kesana-kemari lalu duduk di pinggir kolam. Memetik setangkai daun lotus. Lalu diam menatap sekeliling.
Zaman Joseon memang zaman yang tak bisa dibilang menyenangkan. Mungkin membosankan tepatnya. Tak ada elektronik, tak ada yang membuatnya bisa tertawa (film komedi), malah keadaannya yang sangat menyedihkan yaitu diperebutkan dan diincar oleh Ching Daiki.
Hujan deras perlahan berubah menjadi gerimis. Ia menatap ke tengah kolam di mana air hujan menimpa air kolam menghasilkan riakan-riakan Indah. Ditengah serta di pinggiran kolam di dekatnya bunga-bunga lotus bermekaran menambah keindahan di sana.
"Hmmm?" In Hyun merasa kenapa hujan berhenti membasahinya? Ia lalu mendongak ke atas.
Ternyata Jeong Soon yang memayunginya. "Adinda, masuklah. Aku takut kamu sakit dan masuk angin,"
In Hyun malah tersenyum. "Tenanglah Paduka. Tubuhku sangat kuat. Aku sering bermain hujan dan tak pernah sakit- haciiihhh." Baru saja dia menjawab, tiba-tiba bersin-bersin. "Hacuuhh!"
Jeong Soon terkekeh kecil. "Masuklah. Sudah cukup hujan-hujanannya,"
In Hyun mendongak menatapnya sebal, kemudian tersenyum kecil. "Paduka. Bagaimana kalau kau juga ikut hujan-hujanan denganku?" usulnya.
"Mueoseyo (apa)? Aku tak biasa bermain air hujan," jawab Jeong Soon menolaknya cepat.
In Hyun mengerucutkan bibirnya, lalu mendelik kesal pada Jeong Soon. Tangan Jeong Soon mengulur pada istrinya itu untuk membantunya berdiri, namun ditepis In Hyun.
Ketika akan bangkit sendiri, kaki In Hyun terpeleset hingga dia akan jatuh ke air kolam. Untungnya Jeong Soon keburu menangkap tubuhnya dan menariknya sekuat tenaga sampai sama-sama terjengkang ke belakang. Payung yang ada di tangan kirinya terbang ke belakang dan jatuh tak jauh dari mereka.
Bruugggg... kraaasss... Mereka berdua jatuh ke atas lumpur.
In Hyun mengedip-ngedipkan kedua matanya menatap wajah Jeong Soon yang hampir penuh terkena lumpur. "Ppptttthhh." Ia menahan tawanya.
Jeong Soon menatapnya aneh, kenapa In Hyun ingin tertawa. Perlahan gerimis menurunkan lumpur di wajah Jeong Soon. "Bangunlah Adinda. Nanti kita berdua bisa sakit," ujarnya sambil berusaha bangkit. Namun diatas tubuhnya masih ada tubuh In Hyun, dan In Hyun belum menyadari hal itu, dia masih terkagum pada wajah menawan Jeong Soon.
In Hyun tersadar ketika pegangan tangan Jeong Soon semakin erat di pinggulnya membuat dia membulatkan kedua matanya, ditambah semilir angin semakin membuatnya kedinginan. "Ahhh. Maaf Paduka," ucapnya bergegas turun dari tubuh Jeong Soon lalu bangkit berdiri. "Hacuuuhh.. Hacuuu!!" ia masih saja bersin terus.
Jeong Soon bangkit juga, ia buru-buru mengambil payungnya lalu memayungi lagi In Hyun. "Sudah kukatakan, kita harus segera masuk," ujarnya sembari melingkarkan tangan ke pinggang In Hyun.
In Hyun hanya bisa nyengir, kenapa sekarang tubuhnya tidak kuat bermain hujan? Padahal dulu dia bisa berjam-jam hujan-hujanan.
Mereka berdua berjalan bersama di bawah satu payung. Selalu dan selalu ingatan In Hyun masih pada Nam Suuk, mengingat kenangan ketika hujan dia dan Nam Suuk berjalan sambil berpayungkan jaketnya.
Keduanya tiba di kamar. Jeong Soon menyuruh In Hyun untuk segera berganti pakaiannya yang basah. Dia juga memerintahkan Gahee dan Mongyi menyiapkan makanan serta minuman hangat.
Ketika keluar dari kamar mandi. "Hacuuu!!" In Hyun bersin lagi.
Jeong Soon menyuruhnya untuk duduk, setelah In Hyun duduk, ia menyelimutinya dengan sebuah mantel tebal. "Tunggulah di sini, sebentar lagi makanan akan datang. Minumlah dulu minuman hangat ini. Aku akan berganti pakaian dahulu setelah itu kita makan bersama." Ujarnya menyodorkan secawan sedang minuman hangat. Ia terlihat sangat khawatir melihat keadaan In Hyun.
In Hyun hanya bisa mengangguk sambil buru-buru meraih cawan dan langsung meneguk minuman hangat itu.
Jeong Soon bergegas ke kamar mandi.
In Hyun menggerutu dalam hati. Sepertinya aku masuk angin. Apa benar aku bakalan sakit karena hujan? Ia merasa sedikit tak enak badan. Berpikir lagi kenapa juga dia bermain hujan ketika perutnya kosong?
Tak berapa lama. Makanan datang, Gahee dan Mongyi memberinya minuman penghangat tubuh juga. Melihat hidung In Hyun yang merah seperti buah tomat mereka juga merasa khawatir.
"Baginda Ratu. Apa Anda baik-baik saja?" tanya Mongyi.
In Hyun hanya bisa nyengir. "Aku baik-baik saja. Kalian jangan khawatir," jawabnya dengan suara sumbang.
Mereka sudah tahu kalau Permaisuri mereka tidaklah baik-baik saja. Datang Jeong Soon memerintahkan mereka menyiapkan api di ruang penghangat.
Keduanya pun membungkuk pamit mundur keluar dari kamar, melaksanakan apa yang diperintahkan oleh Jeong Soon.
Jeong Soon duduk diujung meja satunya sambil menatap cemas pada In Hyun. "Apa kau sakit, istriku?"
In Hyun menggelengkan kepalanya. "Aku baik-baik saja, Paduka," jawabnya sembari tersenyum agar Jeong Soon tidak merasa khawatir padanya.
"Kalau begitu makanlah. Setelah itu kita ke ruang penghangat untuk menghangatkan tubuhmu."
In Hyun juga hanya bisa mengangguk, ketika dia sedang makan. Tiba-tiba punggung tangan Jeong Soon mendarat di keningnya untuk mengecek suhu tubuhnya membuat In Hyun mengerjapkan matanya menatap aneh pada Jeong Soon.
Karena di dalam mulutnya masih ada makanan, jadi In Hyun bicara tidak jelas. "Haduka. Hau hedang hapa (Paduka. Kau sedang apa)?"
Jeong Soon tersenyum tipis, namun wajahnya tidak mengatakan begitu. "Kau demam istriku,"
"Demam?" In Hyun malah mengernyitkan keningnya. "Aku tidak demam," sangkalnya sembari menelan makanannya dengan susah payah, setelah itu beranjak berdiri. "Aku sudah selesai makan, Paduka. Jadi aku akan duluan pergi ke ruang penghangat." Ia membalikkan tubuhnya berniat berjalan menuju pintu.
Tetapi, entah kenapa kepalanya terasa sangat berat dan kini berjalanpun sempoyongan? Matanya pun mulai berkunang-kunang tak lama berubah gelap.
Jeong Soon menghitung sambil bergegas bangkit berdiri. "Satu.. dua.. tiga," ketika hitungan ketiga benar saja tubuh In Hyun melayang jatuh ke belakang.
Jeong Soon secepat kilat langsung menangkap tubuhnya lalu menggendong tubuh In Hyun yang tak sadarkan diri. Dibaringkan tubuhnya di atas ranjang. Ditatapnya dalam wajah istrinya itu. "Sudah kukatakan. Bahwa kau akan sakit, tidak seharusnya aku biarkan kau bermain hujan tadi," gumamnya pelan. Dia menyuruh Mongyi membawakannya mangkuk sedang berisi air dingin untuk mengompres kening In Hyun.
Di perbatasan.
Semua penjaga dan prajurit tampak selalu siap siaga, bahkan tidurpun mereka bergantian.
Siuuttt... clebbb... Tiba-tiba sebuah panah menancap di dada seorang prajurit yang saat ini berjaga di atas benteng perbatasan membuat prajurit lainnya panik melihat teman mereka mati seketika terkena panah.
"PENYERANGAN!! MEREKA MULAI MENYERANG!! SEMUA SIAPKAN SENJATA KALIAN!!" Teriak salah satunya membuat semua prajurit mulai memakai topi besi. Namun, teriakannya terhenti ketika sebuah anak panah menancap di lehernya.
Semua prajurit berlarian mengambil senjata mereka. Ada yang mengambil tombak, ada yang mengambil pedang beserta tamengnya. Ada yang mulai membakar anak panah apinya untuk pertahanan. Semuanya mulai aktif, mulai bergerak untuk membalas penyerangan dan untuk membentuk Benteng pertahan.
Siiuutt... cleebbb... bledarrr...!! Dari arah musuh semua mulai menyerang dengan anak panah beracun dan juga bom-bom yang mematikan.
Ching Daiki dan Yatsuko memelesat naik ke atas Benteng pertahanan. Ching mengayunkan pedang serta kekuatannya. Yatsuko mengeluarkan racun-racun apinya yang membakar seketika para prajurit. Mereka secepat kilat mengayunkan pedangnya. Sehingga dalam satu menit puluhan prajurit mati.
Di depan gerbang perbatasan, Wu Jhi ikut menyerang juga. Ketika tombak salah satu Panglima berhasil menusuk bagian perutnya, ia malah menyeringai. Sang panglima menarik tombak itu. Tak ada darah sedikitpun yang keluar dari perutnya. Malah lukanya yang menganga kembali tertutup dan tak meninggalkan bekas. Dia mencekik leher sang Panglima yang menusuknya barusan dengan tangan kirinya, diangkatnya ke atas.
Panglima itu mencoba berontak namun sebuah pedang ditangan kanan Wu Jhi mulai mengayun dan, craaasss... Tubuh Panglima itu menjadi dua, bagaikan memotong sebuah daging mentah. Begitu mudahnya Wu Jhi memotongnya menjadi dua dan darah segarpun mulai mengucur di mana-mana. Dia melemparkan tubuh yang tinggal sepotong itu ke tengah-tengah para prajurit Goguryeo yang sedang bertarung dengan prajurit Ching Daiki.
Note: Wu Jhi adalah seorang Panglima perang Kerajaan Goguryeo dulunya. Panglima perang paling Agung dan kuat pelindung Kaisar Goryeo. Dia mati ketika membela Kaisar Jeong Shuji. Dan dia mati di tangan Dhaici bersamaan dengan terbunuhnya Kakek Jeong Soon, Kaisar Jeong Shuji. Yatsuko sengaja membangkitkan mayatnya menjadi iblis prajuritnya dengan harapan itu akan semakin membuat Kerajaan Goguryeo kalah telak dan ketakutan melihat musuh mereka bukan dari manusia biasa melainkan setengah siluman. Dan mayat dari prajurit Kerajaannya sendiri.
Dalam waktu 15 menit puluhan prajurit pertahanan beserta dua Panglima mati di tangan mereka. Tak meninggalkan satupun prajurit yang masih hidup. Kaisar Dhaici menunggu gerbang dibuka dari dalam. Dia dengan santai masih duduk diatas kudanya.
Ching mendekati Kakeknya. "Kakek. Apa sekarang memang waktu yang tepat untuk menyerang mereka?" tanyanya ragu.
Kaisar Dhaici menyeringai sembari membelai-belai pelan jenggot putihnya. "Aku tidak akan salah perhitungan. Karena hari ini kita akan berhasil merebut Kerajaan Goguryeo."
Yatsuko dan Ching Daiki ikut menyeringai. Mengedarkan pandangannya ke sekeliling di mana mayat para prajurit Goguryeo bergelimpangan di mana-mana.
Perlahan gerbang mulai terbuka. Ching naik ke atas kudanya. Sementara Yatsuko naik ke atas kereta kuda. Mereka mulai berjalan memasuki tanah negeri kekuasaan Goguryeo melewati gerbang perbatasan.
Langit masih mendung. Angin bertiup sangat kencang, Burung dara putih yang terluka terbang membawa surat pemberitahuan ke Kerajaan Goguryeo bahwa musuh sudah menyerang.
Jeong Soon masih duduk di pinggir ranjang, kedua tangannya terus mengompres kening In Hyun. Suhu tubuhnya benar-benar panas.
Pangeran Lee Hwon, Wang Jhaojun, dan juga Luo Guanjong duduk di paviliun Lee Hwon. Mereka masih merencanakan tentang pertahanan dan pertarungan.
Tiba-tiba Panglima Zheng Yan datang ke sana. Setelah penjaga memberitahukan kepada mereka, Zheng Yan akhirnya dipersilakan masuk ke dalam.
"Hormat, kepada Yang Mulia Pangeran." Ucap Zheng Yan berlutut hormat pada semuanya.
"Apa ada kabar lagi dari prajurit pertahanan?" tanya Lee Hwon sudah bisa menerka dari ekspresi wajah Panglima itu.
Zheng Yan mengangguk lalu memberikan sepucuk surat yang baru saja diterimanya.
Lee Hwon langsung menerima lalu membuka dan membacanya, kedua matanya membelalak. Jantungnya berdebar sangat kencang, napasnya berembus memburu. Tangan gemetarnya memberikan surat itu pada Luo Guanjong.
Wang Jhaojun bergeser duduknya untuk sama-sama membacanya. Kedua mata mereka juga membulat besar.
"Ternyata mereka menyerang lebih cepat dari perkiraan kita." Ucap Wang Jhaojun mengepalkan tangannya.
"Kita harus memerintahkan semua Putri dan wanita untuk segera melakukan perjalanan menuju ke Kerajaan Silla." Perintah Luo Guanjong menyuruh Panglima Zheng Yan.
Tak membuang waktu lagi, Panglima Zheng Yan langsung keluar dari sana untuk mengamankan semua para Putri dan juga para wanita Kerajaan Goguryeo untuk segera pindah ke Kerajaan Silla sementara waktu.
Ketiganya bangkit berdiri. Mereka bergegas keluar untuk memberitahukan tentang penyerangan itu pada seluruh penghuni istana dan penduduk sekitarnya.
Wang Jhaojun menuju ke ruang perang untuk mempersiapkan para prajurit dan bala tentaranya. Luo guanjong pergi ke bilik Kaisar Goryeo, dan menyuruh para pelayan agar memberitahukan kepada para Putri untuk bersiap-siap pergi dari istana sesegera mungkin.
Sementara Lee Hwon berjalan dengan sangat terburu-buru menuju ke paviliun Jeong Soon.
Jeong Soon saat itu masih menatap dalam In Hyun yang belum reda panasnya itu. Tanpa sempat mengetuk pintu, Lee hwon membukanya sekaligus sambil berteriak. "HYUNG. MEREKA SUDAH MENYERANG!"
Ӝ----TBC----Ӝ
Revisi ulang*
03 Maret 2020
By~ Rhanesya_grapes 🍇
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top