♟25♟Ulang Tahun Jeong Soon.

Pagi itu semua tampak sibuk menghiasi seluruh istana, hari di mana Pangeran Jeong Soon ulang tahun.

In Hyun sudah bangun duluan untuk menyiapkan hadiahnya. Ketika Jeong Soon mandi, dia sibuk menyiapkan lalu menyembunyikan sebuah hadiah di dalam lemari kecil di dapur. Sesekali dia menguap karena semalaman dia kurang tidur akibat sibuk menyiapkan sesuatu yang akan jadi hadiah untuk Jeong Soon sekaligus kejutan untuknya.

Dia bangkit membuka jendela, ketika jendela terbuka, pagi itu juga dia melihat sesosok pria bertopeng jongkok di atas dahan lalu menghilang, kini dia tidak peduli siapa pria yang mempunyai jurus legend master Jeong Shuji itu, kini dia tidak risi lagi dibuatnya karena dia tahu kalau pria misterius itu bukan orang jahat.

“Putri,”

Lamunan In Hyun buyar oleh suara Jeong Soon.

In Hyun membalikkan tubuhnya sekaligus dan tak menyadari kalau suaminya itu berdiri tepat di belakangnya sehingga tubuhnya menubruk tubuh Jeong Soon. “Joesonghabnida.”

“Apa yang sedang kau lamunkan pagi-pagi begini?”

“Aku tidak melamun, hanya saja aku sedang menghirup udara segar di pagi hari ini.” In Hyun sedikit menunduk karena Jeong Soon berdiri dekat sekali dengannya. Kedua pipinya memerah mengingat kejadian semalam waktu dia mengecup duluan bibir Jeong Soon. Itu benar-benar membuatnya terus mengutuk diri sendiri atas tindakan bodohnya itu. “Pangeran, saengil Chukkae hamnida (selamat ulang tahun).”

Cuppp... Jeong Soon tiba-tiba mengecup puncak kepalanya. “Kau tahu, kata itu yang ingin aku dengar darimu sebelum orang lain yang mengucapkannya padaku,” ucapannya itu membuat jantung In Hyun berdebar sangat cepat sekali.

Oh tidak, jantung ini kenapa berdebar kencang sekali? Dia bisa mendengarnya. Batin In Hyun tampak gelisah.

Knokkk... knokkk... Terdengar ketukan pintu kamar.

“Masuk.” Jawab Jeong Soon.

Mongyi dan Gahee masuk sembari menunduk memberi hormat, Yang Mulia, Anda dipanggil oleh Yang Mulia Kaisar untuk ke paviliunnya sekarang juga.” Mongyi menunduk takut mengganggunya.

Jeong Soon mengangguk pelan, dia langsung melangkah meninggalkan In Hyun yang masih menunduk menuju bilik kedua orang tuanya.

“Selamat pagi Putri, apa Anda baik-baik saja?” tanya Gahee khawatir melihat In Hyun masih terpaku di tempatnya berdiri.

In Hyun mengangkat wajahnya menatap kedua dayangnya. “Mongyi, Gahee. Apa kalian punya obat herbal bunga, rasanya mataku mengantuk sekali.”

Melihat kantung mata In Hyun yang hitam itu mereka tersenyum. “Apa Anda kurang tidur lagi, Putri?” tanya Mongyi.

In Hyun mengangguk sembari menipiskan bibirnya.

“Kalau begitu, hamba akan membawa ramuan bunga itu,” kata Gahee sambil tersenyum.

Semua sudah berkumpul di taman. Di zaman itu belum ada yang membuat kue ulang tahun hanya makanan istimewa untuk perayaan saja.

In Hyun tampak mengendap-endap keluar dari dapur istana lama. Ia menyembunyikan sesuatu di balik punggungnya menuju kamar.

Setelah tiba di kamar. In Hyun menaruh hadiahnya ke dalam lemari dan baru saja pintu lemari ditutup. “Di sini sepertinya aman-”

“Putri?”

Lagi-lagi In Hyun terkesiap.

“HUAAA!” jerit In Hyun terkejut ketika Jeong Soon tiba-tiba saja sudah berada di belakangnya lagi. “Pangeran, bisakah sekali saja tidak mengagetkanku?!” ucapnya sembari memegang dadanya lalu terkulai duduk di lantai mendongak menatap wajah Jeong Soon.

“Tapi aku merasa sikapmu benar-benar mencurigakan.” Jeong Soon menatap aneh melihat wajah In Hyun yang sedikit pucat. Ia berjongkok di depan In Hyun sambil sedikit memiringkan kepalanya ke kanan memperhatikan wajahnya.

“Ma-maksudmu apa, Pangeran?” tanya In Hyun takut ketahuan.

Wajah Jeong Soon semakin mendekat lalu memegang kedua pipi In Hyun yang menunduk. Mengangkatnya sedikit agar mendongak melihatnya. “Apa yang ada di wajahmu ini?”

“Wajahku? Apa?” tanya In Hyun ingin mengusapnya. Namun, Jeong Soon keburu mengecup pipi In Hyun setengah menjilat dengan lidahnya. Dia mengecap rasa dari serbuk putih yang ada di pipi In Hyun.

“Terigu? Gula? Apa yang kau lakukan dengan wajahmu itu?” tanya Jeong Soon aneh di kedua pipi In Hyun ada terigu dan gula.

In Hyun nyengir. “Akh ini hanya ... hanya, tumpahan terigu dan gula, tadi aku mencari sesuatu di dapur istana tak sengaja menyentuh terigu dan gula.” Jawabnya sedikit gelagapan dan terpaksa berbohong.

“Kalau begitu basuhlah wajahmu dan bersiap-siaplah, aku akan menunggumu di taman, semua sudah menunggu kita di sana.” Jeong Soon bangkit dari jongkoknya.

In Hyun mengangguk cepat, setelah Jeong Soon sudah pergi dari sana In Hyun mengembuskan napasnya lega. “Hampir saja, jangan sampai ketahuan sekarang.” Ia tampak merencanakan sesuatu untuk nanti malam.

Setelah membersihkan wajahnya di kamar mandi, In Hyun menyusul Jeong Soon ke taman. Di sana sudah ramai orang seperti hari pernikahan mereka dan semua orang tampak mengucapkan selamat ulang tahun pada Jeong Soon.

“Tak ada kado yang dibungkus spesial, memang masih kuno jadi mereka hanya mengikatkan pita emas pada hadiah-hadiah mereka,” gumam In Hyun melihat tumpukkan hadiah-hadiah di atas meja.

Seperti biasa adat di Kerajaan adalah menimbang berat badan Jeong Soon dengan koin emas, lempengan uang emas (uang emas yang berbentuk perahu adalah alat untuk membayar zaman dahulu) dan giok supaya emas dan giok itu dibagikan pada rakyat jelata dan seluruh penduduk untuk mendoakan kebaikan padanya.

Seluruh penduduk yang menerimanya sangat senang dan selalu mendoakan kebaikan padanya. Di sebuah kedai tampak dua orang lelaki berjubah dan bertopi jerami ikut menerima hadiah itu, mereka menyeringai mengerikan.

Salah satu pria itu berkata dalam hati. Doakanlah kebaikan padanya. Karena bisa jadi doa kalian itu akan menjadi doa terakhir selamat panjang umur bagi Putra Mahkota kalian.

Di istana.

Para Pangeran dan Putri mengobrol terpisah. Sesekali Jeong Soon melirik In Hyun yang kadang melepas tawanya ketika mengobrolkan sesuatu yang lucu. Semoga senyum dan tawamu itu takkan pernah hilang, istriku, ucapnya dalam hati.

Begitu juga dengan In Hyun Sesekali melirik Jeong Soon yang seolah fokus mengobrol dengan para Pangeran dan yang lainnya. Semoga dengan bertambahnya usiamu itu. Kau akan selalu dalam lindungan Dewa dan Budha, suamiku.

Malamnya ketika perayaan sudah selesai.

Jeong Soon belum kembali ke kamarnya, In Hyun terlihat sangat gelisah karena belum memberikan hadiahnya pada Jeong Soon. Dia mondar-mandir di sana dengan sesekali melihat ke arah pintu.

Tak lama suara pintu bergeser terbuka lalu kedua kalinya bergeser tertutup, derak langkah Jeong Soon terdengar melewati ruang tengah tampak jelas menuju ke kamarnya.

Jeong Soon mengernyitkan keningnya, melihat lentera di kamarnya padam semua. “Apa Putri Hyun belum kembali ke kamar? Atau para dayang lupa menyalakannya?” tanyanya bergumam sendiri. Ketika baru selangkah masuk ke kamar dan hendak menyalakan lentera.

“SURPRISE!” teriak In Hyun keluar dari persembunyiannya di pinggir ranjang mengagetkan Jeong Soon dari belakang membuat Jeong Soon memutar cepat tubuhnya. In Hyun memegang satu lilin di tangannya yang kini menerangi kamar. Dia mengernyitkan keningnya ketika melihat ke bawah di mana kaki Jeong Soon berada tepat di depan perutnya. Hampir saja Jeong Soon menendangnya dengan keras karena kaget.

“Pangeran, kau mau menendangku?” In Hyun jadi gemetaran, sedikit lagi perutnya terkena hantaman keras dari kaki jenjang Jeong Soon.

Jeong Soon buru-buru menurunkan kakinya. “Maafkan aku Putri, aku kira kau-”

“Penjahat,” potong In Hyun, “kaupikir aku penjahat yang ingin membunuhmu.” Ia menjadi lemas lalu duduk di pinggir ranjang, tidak bisa membayangkan kalau perutnya yang rata itu terkena tendangan suaminya.

Jeong Soon ikut duduk di pinggir ranjang di samping In Hyun. “Kau benar-benar mengagetkanku Putri, jadi maafkan aku jika aku hampir saja menendangmu.” Ia langsung mendekap In Hyun dari samping. “Aku mohon jangan lakukan kebodohan (lelucon) seperti ini lagi, sekarang kita nyalakan lenteranya biar aku bisa melihatmu dengan jelas.”

“Tunggu dulu!” cegah In Hyun dengan nada sedikit keras, lalu menaruh lilin di nakas pinggir ranjangnya, “jangan dulu dinyalakan karena aku punya sesuatu untukmu.” Ia bergegas bangkit dari duduknya lalu berjalan ke arah nakas berukirkan warna emas, mengeluarkan sesuatu lalu menyalakan lilin di atasnya.

“Benda apa itu, Putri?” tanya Jeong Soon melihat benda bulat sebesar piring yang di atasnya lilin-lilin kecil.

“Ini adalah cake ulang tahunmu, Pangeran.” Jawab In Hyun tak menyadari ucapannya. Tadi siang sebelum acara dimulai dia meminta pada pelayan untuk meminjamkan dapur istana sebentar padanya, dia sengaja membuat kue khusus untuk Jeong Soon. Meski di sana belum ada oven untuk memanggang tapi dia punya ide dengan mengukusnya. Dan disembunyikan di dalam nakas kosong tempatnya menyimpan barang-barang berharganya.

“Cake ulang tahun? Makanan apa itu?” Jeong Soon baru mendengar kata itu.

“Jangan banyak tanya dulu, mumpung belum tengah malam jadi sekarang tiup dulu lilinnya,” ucap In Hyun mengerucutkan bibirnya mendengar Jeong Soon malah banyak bertanya.

Jeong Soon hanya menurut saja, setelah dia meniup lilinnya, In Hyun baru menyalakan semua lentera. Kini mereka bisa melihat wajah masing-masing dengan jelas seperti biasa.

Jeong Soon terus menatap kue yang bentuknya aneh itu. Dasar In Hyun asal saja membuatnya sehingga bentuknya tidak indah seperti yang dia bayangkan, itupun dengan hanya mengukusnya saja.

In Hyun menyuruh Jeong Soon untuk duduk di meja tempat mereka makan. Mulai membelah kue yang bentuknya sebesar piring itu lalu menaruhnya di piring kecil. “Silakan Pangeran dicicipi.” Ia menaruh separuh kue di depan Jeong Soon.

Jeong Soon mengambil sumpit namun keburu direbut oleh In Hyun. “Jangan pakai sumpit.”

Waeyo?” tanya Jeong Soon heran.

In Hyun mengambil piring kemudian mengambil separuh kue lainnya. Dengan tangan ia memakannya. “Begini makannya, kalau pakai sumpit malah akan menghancurkannya.”

Jeong Soon tampak ragu-ragu mengambil dengan jari-jarinya lalu memakannya. Dia mengunyahnya dengan lidah dan merasakan bagaimana rasanya.

“Bagaimana?” In Hyun berharap pujian dari Jeong Soon.

“Rasanya aneh.” Jawab Jeong Soon jujur.

“Sudah kuduga,” ucap In Hyun tampak lesu, dia memang tak pandai dalam hal apa pun.

“Tapi lama-lama rasanya terasa lezat.”

“Benarkah?” In Hyun tampak sedikit bersemangat.

Jeong Soon mengangguk dan dengan lahap memakan kue kukus itu.

In Hyun tersenyum melihatnya.

“Ahhh,” Jeong Soon meneguk soju dengan sekali tegukan. “Terima kasih istriku, ini adalah hari yang sangat spesial di hari-hari ulang tahunku yang lalu-lalu.” Ia tersenyum manis pada In Hyun sampai kedua matanya menyipit karena senyumnya itu.

In Hyun mengeluarkan sebuah benda berbentuk kotak yang dibungkus dengan kain yang dibentuk pita (karena tidak ada kertas kado) lalu menyodorkannya kepada Jeong Soon.

“Apa lagi ini?” Jeong Soon merasa aneh menerimanya.

“Bukalah.” In Hyun menopang dagunya dengan kedua telapak tangannya yang berada di atas meja sembari tersenyum.

Jeong Soon merasa bingung bagaimana membukanya.

“Aish, lama sekali,” kata In Hyun merebutnya.

“Jangan dibuka!” Jeong Soon merebutnya kembali. “Biar aku yang membukanya. Bukankah ini hadiahku,” ujarnya lagi seperti bocah kecil manja yang kesal karena hadiahnya direbut.

In Hyun tersenyum melihat sikap berbeda itu, Jeong Soon yang selalu terlihat kejam, dingin dan kadang menakutkan, pada malam itu tampak seperti bocah.

Akhirnya pita dan kain terbuka, Jeong Soon melihat bingkai lukisan namun bukan lukisan dan juga sebuah sapu tangan. Dia membeberkan sapu tangan itu melihat sulaman yang bermakna dia dan In Hyun, bunga sakura dan seekor kumbang. Ditaruh sapu tangan itu lalu melihat dengan kagum sebuah tulisan kanji di atas kain kanvas, tetapi tulisan itu bukan ditulis dengan tinta namun dengan daun-daun kering dan juga bunga sakura yang kering dibentuk menjadi sebuah nama dengan huruf kanji itu. ‘KAISAR JEONG SOON, SUAMIKU’ itulah yang ditulis In Hyun di atas kanvas itu.

Jeong Soon menatap tajam wajah In Hyun membuat wanita itu ketakutan. “Pangeran, apa kau tidak menyukainya?”

Jeong Soon menggelengkan kepalanya. “Aku tidak menyukainya,” sebuah jawaban yang membuat raut wajah In Hyun berubah pucat seketika. “Tapi sangat menyukainya. Gomasseumnida. Istriku,” ucapannya itu berhasil mengukir senyum yang semakin merekah di bibir In Hyun.

“Benarkah kau sangat menyukainya?” tanya In Hyun hampir tak mempercayainya.

Jeong Soon tersenyum sembari mengangguk.

“Akh senangnya,” ucap In Hyun girang.

Jeong Soon bangkit lalu membuka jendela di dekat mereka, di luar malam tampak terang oleh Bulan yang hampir Purnama. Dia menarik tangan In Hyun untuk berdiri di sana dengannya menatap Bulan. Tangan Jeong Soon melingkar di pinggang In Hyun memeluknya hangat.

Di dalam hati In Hyun berpikir, sudah berapa kali Bulan Purnama yang dilewatinya di Joseon. Dia berharap ibu dan kakaknya baik-baik saja di sana dan ingin rasanya dia segera pulang ke zamannya, dia tidak menyadari bahwa benih-benih Cinta mulai tumbuh dihatinya terhadap Jeong Soon. Dia hanya merasa kenyamanan yang dia rasakan hanyalah dari terbiasanya bersama dengan pria asing itu. Dan rasa amannya itu karena Jeong Soon adalah suaminya.

Semilir angin malam menerpa wajah keduanya, memainkan anak rambut masing-masing. Saat itu mereka tidak peduli tentang apa yang akan terjadi nanti. Yang mereka harapkan adalah tangan dan dekapan erat keduanya tidak terlepas untuk saat itu.

Di Kerajaan Barje.

Mata-mata istana tampak melaporkan tentang situasi Kerajaan Goguryeo.

Kaisar Daichi dengan wajah tenangnya sembari membelai-belai jenggotnya itu tampak tersenyum ringan. “Rupanya waktunya sudah dekat.”

“Tapi mengingat keadaan Ching sekarang kita harus mengundurkannya sementara waktu,” kata Ratu Yatsuko masih cemas pada cucu suaminya itu.

“Aku tahu hal itu, tapi untuk sekadar menggertak saja tidak apa-apa, kan? Dengan begitu hidup mereka tidak akan setentram sekarang,” jawab Daichi memicingkan kedua matanya tak sabar ingin segera menghancurkan dan merebut ketiga Kerajaan yang selama ini begitu sulit untuk ditundukkannya itu.

“Kau jangan khawatir suamiku, kita juga akan mengumpulkan bala bantuan dari Kerajaan siluman lain,” ujar Yatsuko menyeringai sembari membelai dada bidang Kaisar Daichi.

Sementara Ching Daiki di kamarnya juga sedang berdiri di dekat jendela menatap Bulan. “Begitu sulitkah untukku memilikimu Putri Hwa Young? Seperti dulu waktu kita masih kecil kau dijodohkan dengan si berengsek Jeong Soon, waktu itu hatiku sangat sakit dan berjanji akan merebutmu dan merebut Kerajaannya. Dengan begitu kau akan selamanya berada di sisiku, tak akan aku biarkan kau lepas lagi dari genggaman tanganku ini. Meski harus mengorbankan nyawa sekalipun untuk mempertahankanmu, atau kalau perlu kita mati bersama sehingga tak ada yang memilikimu selain aku,” pria itu menyeringai, dibarengi sebuah tangan melingkar di dadanya secara tiba-tiba.

Ternyata itu kedua tangan Jhao Feiyan yang memeluknya dari belakang. “Yang Mulia. Apa kau kesepian, budak ini siap untuk melayanimu-”

Greppp... Kedua tangan Jhao Feiyan digenggam erat lalu ditarik dengan cara diputar ke depan sehingga kini mereka saling berhadapan, dengan senyuman mengerikan Ching berkata, “Putri Jhao Feiyan, kau ingin memuaskanku?”

Jhao Feiyan mengangguk manja.

“Apa kau tahu apa yang aku rasakan sekarang?” tanya Ching lagi.

Jhao Feiyan masih mengangguk.

“Apa kau bisa mengobati hatiku yang terluka ini?” Ching semakin mengeratkan pegangan tangannya sampai Jhao Feiyan merintih kesakitan.

Jhao Feiyan tampak ketakutan lalu mencoba melepaskan pegangan tangan Ching. “Yang Mulia. Maafkan hamba, maksud hamba-”

“DIAM!” bentak Ching membuat Jhao Feiyan terkejut sembari meringis memejamkan kedua matanya. Perlahan Ching melepaskan genggaman tangannya. “Sebelum aku perintahkan kau datang ke sini, jangan berani-beraninya masuk tanpa izinku, jika kau ulangi lagi maka ...?” Ia tak melanjutkan ucapannya namun Jhoa Feiyan mengerti.

Nada dingin itu membuat orang yang mendengarnya merinding sekaligus ketakutan. Tangan Ching mengibas-ngibas menyuruh Jhao Feiyan enyah dari hadapannya.

Tanpa menunggu lama, Jhao Feiyan langsung pergi keluar dengan perasaan kesal. Di dalam hatinya dia benar-benar dendam pada In Hyun, sebaimanapun dia tetap ingin membunuhnya kapanpun ada kesempatan.

Ӝ----TBC----Ӝ

Revisi ulang*

23 Februari 2020 💖

By~ Rhanesya_grapes 🍇

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top