♟13♟Kecerobohan.

Pagi-pagi Jeong Soon sudah tidak ada di kamarnya. Sementara In Hyun, karena semalam kedua matanya terus terbuka, ia merasa terlalu risi melihat Jeong Soon yang tertidur di sampingnya sehingga membuatnya terjaga semalaman. Menjelang pagi Akhirnya saking tak tertahankan rasa kantuk, ia tertidur dengan lelapnya.
Hari sudah siang. Mongyi dan Gahee sudah berdiri di depan kamar Jeong Soon. Tampak ragu dan takut untuk masuk membangunkan In Hyun seperti biasa. Karena itu bukan kamar In Hyun, mereka tak berani sembarangan masuk. Akhirnya hanya bisa berdiri menunggu Pangeran dan Tuan Putri mereka bangun, tanpa tahu kalau Jeong Soon tidak ada di dalam.
Jeong Soon datang dari arah taman menghampiri keduanya. Dan ketika melihat Jeong Soon mendekat, mereka menyapa Tuannya dengan salam tanpa kata seperti biasa.
“Kalian siapkan sarapan, biar aku yang akan membangunkannya.” Perintah Jeong Soon mengerti kebingungan keduanya.
“Baiklah Pangeran.” Jawab mereka berdua langsung melangkah pergi meninggalkannya.
Sebelum masuk, ia menghela napasnya dalam-dalam. Digesernya perlahan hingga pintu terbuka setengah kemudian melangkah masuk langsung menuju ke arah ranjang. Perlahan melangkah mendekati In Hyun yang semalam tertidur membelakanginya.
Dengan membungkukkan sedikit tubuhnya, dikecup lembut pipi In Hyun sembari berkata pelan. “Istriku bangunlah, hari sudah siang,” ucapnya sambil menegakkan tubuhnya kembali.
“Mmmhh.” In Hyun hanya menggeliat lalu tidur lagi.
“Istriku ba-”
Belum selesai Jeong Soon berkata, In Hyun langsung bangkit membuka kedua matanya mendengar kata-kata itu. Digosok-gosok kedua matanya mengerjap-ngerjap menatap Jeong Soon yang berdiri di samping ranjang tersenyum melihatnya bangun.
Tiba-tiba saja In Hyun menutup wajah dengan kedua telapak tangannya. “Akh! Jangan melihat ke sini.”
“Kenapa? Apa kau baik-baik saja?” tanya Jeong Soon kaget.
“Kau putarlah badanmu ke belakang, jangan melihat ke sini,” ucap In Hyun lagi.
“Tapi ...?”
“Ayo lihat ke belakang.”
Jeong Soon tanpa banyak bertanya memutar badan, kemudian berdiri membelakanginya.
In Hyun membuka jari-jari telapak tangannya. Ia langsung beranjak turun dari ranjang hendak berburu ke arah kamar mandi. Namun saking buru-burunya, tanpa sadar seperti biasa ia menginjak ujung bawah baju tidurnya.
“Akhhh!?”
Bruukkk!! Tanpa terelakan lagi, akhirnya dia jatuh ke lantai dengan keras.
Jeong Soon terkejut sontak membalikkan tubuhnya melihat In Hyun sudah merintih kesakitan di lantai. Ia melangkah berburu menyongsongnya. “Apa kau tidak apa-apa, Hyun?” tanyanya khawatir melihatnya.
“Aku tidak apa-apa, ini sudah biasa.” Jawab In Hyun tersenyum mencoba berdiri, namun ternyata kakinya terkilir dan terasa sakit sekali sehingga memaksanya untuk duduk kembali di lantai.
“Kenapa kau ceroboh sekali?” Jeong Soon segera mengulurkan tangannya.
“Tidak apa-apa, aku bisa berdiri sendiri.” Jawab In Hyun terus mencoba berdiri sendiri dan tidak menghiraukan uluran tangan Jeong Soon. Tapi kakinya benar-benar terasa ngilu dan sakit.
Jeong Soon menghela napasnya saat In Hyun tak menghiraukannya. Dia berjongkok langsung mengangkat tubuh In Hyun. “Apa kakimu benar-benar terasa sakit?” tanyanya sembari menggendong In Hyun menuju ranjang.
In Hyun menggelengkan kepalanya.
Setelah dia didudukkan di atas ranjang. Jeong Soon ikut duduk di pinggir ranjang terus menatapnya aneh.
“Ke-kenapa kau menatapku seperti itu?” In Hyun menjadi gugup sembari memalingkan wajahnya ke arah lain.
“Kenapa kau tadi terus menyuruhku untuk membelakangimu?” Jeong Soon balik bertanya masih menatapnya penasaran.
“I-Itu karena wajahku tidak memakai apa-apa. Sekarang aku pasti terlihat jelek di matamu, kan.” Jawab In Hyun polos, membayangkan dia yang bangun tidur dengan wajah yang kacau, kantung mata berwarna hitam, serta rambut yang berantakan.
Jeong Soon tiba-tiba saja tertawa, membuat kedua pipi In Hyun merah merona karena malu, ia memberanikan diri menatap tawa yang renyah dan hangat itu serta berpikir bahwa Jeong Soon memang menertawakan hal bodohnya itu.
In Hyun membuang lagi mukanya ke samping sembari cemberut. “Sudah kuduga,” dengusnya.
Tangan Jeong Soon mengusap lembut pipi In Hyun lalu memalingkan agar menghadapnya. Ditatap ke dalam kedua mata In Hyun sembari tersenyum. “Kau tahu, bagaimanapun rupa, penampilan dan keadaanmu, kau tetap istriku, dan asal kau tahu setiap kali aku melihatmu sedang tidur atau bangun dari tidurmu, kau selalu terlihat cantik di mataku.”
Degg! Sebuah jawaban yang tak di sangka-sangka yang akan keluar langsung dari mulut lelaki yang kadang dingin itu, seolah mencairkan suasana tegang, menghangatkannya, serta membuat debar jantungnya seolah meledak-ledak.
In Hyun bergumam dalam hati. Bagaimana bisa seorang laki-laki yang tak bisa jatuh Cinta berkata seromantis itu? Aku yakin di dalam hatinya, dia memang bisa mencintai dan pantas untuk dicintai. Tapi aku berharap saling mencintai itu bukan denganku.
Jeong Soon bangkit dari pinggir ranjang. “Mandilah, aku akan menunggumu di gazebo untuk sarapan.” Ia langsung melangkah pergi meninggalkan In Hyun yang masih bengong.
Setelah Jeong Soon keluar dari kamar.
“Kau memang bodoh Hyun, sampai kapan kau akan ceroboh terus?” Rutuk In Hyun pada diri sendiri sambil menepuk-nepuk kepalanya agak keras.
Tak lama Mongyi dan Gahee masuk menghampiri In Hyun atas perintah Jeong Soon.
“Selamat pagi Putri, Chukahamnida atas pernikahan Anda. Kami mohon maaf kemarin kami belum sempat mengucapkannya,” kata Mongyi menyongsong padanya senang.
“Ne, karena atas perintah Kaisar kami beristirahat dan meninggalkan Tuan Putri sendirian di sana.” Imbuh Gahee.
“Tidak apa-apa, aku masih senang kalian sekarang masih mau mengurusku meski aku sudah mempunyai suami, tapi kalian masih saja mau menjagaku. Aku kira kalian sudah tak akan bersamaku lagi.” In Hyun menatap haru pada kedua dayangnya itu, tak terasa menetes air matanya merindukan dua sahabatnya Sun Hi dan Euna.
“Apa yang Tuan Putri bicarakan? Meski Tuan Putri sudah menikah dengan Pangeran. Tugas kami masih sama seperti semula, terus menjaga dan mengurusi semua kebutuhan Anda, selamanya.” Jawab Mongyi terbawa haru juga.
“Ne Tuan Putri, meski nanti kami sudah tak terpakai lagi oleh Anda, kami tidak akan pernah melayani Putri lain, Anda-lah yang terakhir bagi pengabdian kami.” Imbuh Gahee lagi.
“Kalian memang dayang-dayang yang setia, beruntung aku mempunyai kalian di sini.” In Hyun turun dari ranjangnya berniat pergi ke kamar mandi.
Namun...
“Akh!?” Tiba-tiba In Hyun jatuh ke lantai karena merasa kakinya yang mungkin terkilir tadi kini terasa sakit untuk berjalan.
“Tuan Putri kenapa? Apa ada yang sakit?” Mongyi membantunya berdiri lalu didudukkan lagi di pinggir ranjang.
“Tadi aku jatuh dan kakiku terkilir, bisa kalian membantuku pergi ke kamar mandi? Aku sudah tak tahan lagi.” Pinta In Hyun yang langsung diangguki oleh Gahee dan Mongyi. Dia dipapah oleh Gahee menuju ke kamar mandi.
Mongyi berlari ke luar menuju ke gazebo dekat kamar Lee Hwon.
Sesampainya di sana. Mongyi langsung menghadap Jeong Soon yang saat itu sedang minum teh bersama semua teman-temannya. Dia melaporkan tentang kaki In Hyun.
“Hyung, semalam kau apakan dia sampai kakinya terkilir begitu?” Goda Lee Hwon menatap curiga pada Jeong Soon.
“Yang pastinya mereka melakukan yang seharusnya, namun kau kejam sekali kepada istrimu itu.” Luo Guanjong ikut mencandainya juga.
Wang Jhaojun ikut terkekeh geli. “Apa yang kalian katakan? Jangan kalian goda dia yang tidak-tidak, dia bukan kejam tapi karena terlalu bersemangat.”
Jeong Soon hanya tersenyum tipis menanggapi ucapan-ucapan mereka. “Sudahlah, aku tinggal pergi dulu melihat bagaimana keadaannya.” Ia bangkit dari duduknya kemudian melangkah menuju ke kamarnya diikuti oleh Mongyi.
Semua yang di sana tersenyum dan mengobrol kembali.
“Segera panggil tabib untuk memeriksa dan mengurut kakinya.” Perintah Jeong Soon pada Mongyi yang masih mengikutinya dari belakang.
“Baiklah, Yang Mulia.” Jawab Mongyi langsung berbelok ke arah lain.
Sementara di kamar mandi. Setelah buang air kecil, In Hyun memutuskan untuk sekalian mandi pagi karena tak mau bolak-balik menyusahkan kedua dayangnya. Ia pun kini sudah selesai mandi dan berendam.
Ketika dia hendak bangkit dari berendamnya. Kakinya yang terkilir malah semakin keram, jadi dia mencoba keluar dari kolam untuk meraih handuknya namun dia tak bisa bangun untuk berdiri.
Jeong Soon tiba di kamar menghampiri Gahee yang tengah membereskan tempat tidur sambil menunggu In Hyun selesai. “Di mana Putri sekarang?"
Gahee langsung membungkuk. “Di dalam kamar mandi, Pangeran.”
“Kalau begitu, pergilah ke dapur suruh pelayan untuk merebus akar gingseng dan akar-akar obat lainnya untuk meredakan rasa sakit.” Perintah Jeong Soon.
Gahee hanya mengangguk kemudian meninggalkan kamar itu menuju ke dapur istana.
In Hyun masih terus mencoba berdiri namun kakinya benar-benar terasa sakit, jadi dia mulai menyerah dan akhirnya mencoba memanggil-manggil Mongyi dan Gahee untuk membantunya.
“Mong yi! Gahee! Bisa kalian masuk ke sini? Aku tidak bisa berdiri dan memakai pakaianku!” panggil In Hyun tidak mengetahui kalau mereka tak ada di kamar. Karena tak ada jawaban dari keduanya, ia pun mengulanginya lagi.
Jeong Soon yang masih berdiri menunggu tabib dan ramuan datang. Tidak tega mendengar In Hyun berteriak meminta bantuan kepada kedua dayangnya karena tak bisa berdiri, akhirnya dialah yang terpaksa masuk ke sana.
Ketika membuka pintu ia terbelalak melihat In Hyun duduk di lantai pinggiran kolam tanpa sehelai benang-pun menutupi tubuhnya.
“Aaakkhh!” jerit In Hyun keras. “Apa yang kau lakukan? Kenapa kau masuk ke sini?” tanyanya dengan tangan yang mencoba menggapai kain atau handuk di atas meja yang sedikit jauh dari jangkauannya. Mencoba juga menutupi seluruh tubuhnya yang terbuka bebas dengan kedua tangannya.
Jeong Soon langsung memalingkan wajahnya ke arah lain. “Aku hanya berniat membantumu, bukankah kau membutuhkan bantuan?”
“A-Aku memanggil kedua dayangku, kenapa kau yang masuk?” In Hyun masih mencoba menggapai kain dengan tangan kanannya sementara lengan kiri menutupi tubuh bagian dadanya.
“Mereka aku perintahkan untuk memanggil tabib dan membuat obat untukmu. Jadi jangan banyak bicara lagi, biarkan aku membantumu atau kau akan sakit jika berlama-lama di kolam air panas ini,” ujar Jeong Soon sambil melangkah mencoba mendekatinya tapi dengan wajah menghadap ke samping.
In Hyun tampak berpikir sejenak. Benar juga apa katanya, saat ini kakinya sudah benar-benar keram dan tak bisa digerakkan, seluruh tubuhnya juga sudah mulai terasa dingin. “Baiklah, tapi dengan satu syarat. Kau harus memejamkan kedua matamu.” Ia pun terpaksa menyetujuinya.
Jeong Soon menghela napas panjang kemudian memejamkan kedua matanya sesuai dengan apa yang In Hyun inginkan sambil mulai berjalan lagi semakin mendekati In Hyun.
“Stop! (Bahasa Inggris adalah bahasa yang dianggap asing dan tidak dimengerti oleh seluruh Kerajaan di Joseon dan In Hyun selalu mengucapkannya tanpa sadar). Berhenti di situ!” serunya sembari mendongak ke atas melihat mata Jeong Soon apakah masih tertutup atau sudah terbuka.
Jeong Soon sontak berhenti di tempat.
“Sekarang kau ambil dulu kain yang berada di samping kananmu itu lalu lemparkan ke depan.”
Jeong Soon membungkuk sedikit sambil meraba-raba ke arah kanan meraih sebuah kain putih lalu dilemparkannya ke depan.
In Hyun langsung menangkapnya kemudian dia langsung membelitkan kain itu membungkus seluruh tubuhnya. Dari dada sampai bawah lutut layaknya sebuah handuk. “Sekarang maju dua langkah,” perintahnya lagi.
Lagi-lagi Jeong Soon menghela napasnya panjang. Selama ini belum pernah ada yang berani memerintahnya, apalagi oleh seorang wanita manapun selain ibunya. Tapi kenapa kini saat In Hyun yang memerintahnya. Ia langsung saja menuruti apa yang diucapkan istrinya itu.
Jeong Soon melangkah dengan mata masih terpejam. Namun, karena lantai marmer itu begitu licin membuat kaki kanannya terpeleset sehingga tubuhnya menjadi tak seimbang dan kini dia akan jatuh ke kolam.
In Hyun membulatkan kedua matanya melihat tubuh Jeong Soon oleng tetapi entah akan jatuh ke arah mana? Arah kolam atau arah dinding di belakangnya?
Namun ...?
Bruukkkk!
Akhirnya meleset dari perkiraan In Hyun. Tubuh Jeong Soon ternyata jatuh ke depan dan melayang tepat kearahnya.
Jeong Soon sontak membuka kedua matanya. Dilihatnya In Hyun merintih di bawah menahan tubuhnya. Kini mereka saling bertatapan.
Kedua mata In Hyun mengerjap tak percaya, begitu juga kedua mata Jeong Soon menatap wajah In Hyun yang sangat dekat dengan wajahnya. Ia tak menyadari kalau dirinya menindih tubuh In Hyun.
“Cepat bangun, kau berat sekali.” In Hyun sontak menyadarkan Jeong Soon.
“Ma-maaf.” Jeong Soon segera bangkit dari atas tubuh In Hyun.
“Matamu.” Tunjuk In Hyun karena Jeong Soon tak memejamkan matanya.
Jeong Soon langsung memejamkan kembali kedua matanya, lalu berjongkok mencoba mengangkat tubuh In Hyun.
Karena keduanya gugup dan serba salah. Jeong Soon ingin mengangkat tubuh In Hyun, sebelah tangannya berada di belakang punggung dan yang satunya di bawah lutut. Namun, karena dia tidak melihat malah menyentuh bagian belakang In Hyun tepatnya bagian pantatnya.
“Hey, kau menyentuh bagian yang salah!” sahut In Hyun malu karena Jeong Soon menyentuh belahan pantatnya.
“Akh, maaf sekali lagi.” Jeong Soon menurunkan tangannya ke bawah sedikit. Akhirnya tubuh In Hyun digendongnya dengan hati-hati keluar dari kamar mandi. Dia terpaksa membuka kedua matanya menatap In Hyun yang pipinya sudah merah terlalu lama terkena uap air panas di kolam.
“Aku bilang apa pun yang terjadi jangan membuka kedua matamu.” In Hyun menatap malu pada Jeong Soon yang kini berjalan sambil terus menatap wajahnya.
“Kalau aku menutup mataku terus, bagaimana aku bisa membawamu keluar dari kamar mandi, kita bisa jatuh. Mungkin akan menabrak dinding atau juga pintu.”
“Tapi kan-”
Cuppp!
Jeong Soon menghentikan ocehan In Hyun dengan mencium bibirnya lembut sambil berjalan terus menuju ke arah ranjang.
In Hyun malah membeku. Setiap kali Jeong Soon mengecup bibirnya, dia benar-benar tak bisa bicara atau berkutik lagi dengan perlakuan seperti itu.
Setibanya di pinggir ranjang. Jeong Soon mengakhiri ciumannya. “Akhirnya kau diam juga.” Ia tersenyum tipis kemudian membaringkan tubuh In Hyun di atas tempat tidur.
Tak lama tabib dan Mongyi datang ke sana.
“Biarkan dia memakai pakaiannya dahulu, kemudian periksa kakinya. Aku harap tidak ada yang retak atau patah.” Perintah Jeong Soon pada nenek tabib.
“Baik, Yang Mulia.” Jawab Nenek Tabib.
Jeong Soon pergi ke luar kamar membiarkan mereka mengurus istrinya itu.
“Tuan Putri, Anda tidak apa-apa?” tanya Mongyi melihat kedua pipi In Hyun yang merah.
In Hyun menggelengkan kepalanya masih terpaku bisu menatap nanar ke depan. Ia teringat ciuman Jeong Soon barusan seperti sebuah racun yang mengalir di nadinya sampai tubuhnya lemas dibuatnya.
“Yang sakit kaki sebelah mana, Tuan Putri?” tanya nenek tabib.
In Hyun malah menunjuk tepat di hatinya. “Di sini. Kenapa sakit sekali?”
“Jadi Anda sakit bagian dada dan juga kaki, Putri?” Mongyi jadi terlihat panik dan khawatir.
In Hyun tersentak sadar. “Tidak-tidak yang sakit kaki kananku.” Jawabnya langsung menoleh ke arah nenek tabib dan juga Mongyi yang menatapnya cemas.
“Saya mengira Putri menderita sakit di jantung juga.” Mongyi merasa lega.
Nenek tabib tersenyum melihat tingkah In Hyun. “Baiklah, kalau begitu pakailah pakaian Anda dulu, biar saya memeriksa kaki Anda.”
Mongyi membantu In Hyun berpakaian, lalu setelah itu nenek tabib menyuruhnya keluar dahulu.
“Nek, apa ada cara untuk menghilangkan kutukan itu? Aku merasa kasihan padanya. Dan apa Nenek juga tahu kalau kami berdua terkena kutukan yang sama?” In Hyun berharap ada cara agar kutukannya hilang seperti di dongeng-dongeng cerita para Putri Snow White atau Pangeran Katak.
Nenek tabib menggelengkan kepalanya. “Kalau kami tahu ada cara agar kutukan kalian bisa hilang, kami sudah melakukannya dari dulu. Mungkin hanya dengan sebuah keajaiban kalian bisa dibebaskan dari belenggu kutukan itu.”
“Keajaiban?” In Hyun tersenyum kecut, “dari kecil aku selalu berharap keajaiban itu ada, keajaiban kalau ayahku hidup kembali, keajaiban kalau kak Nam Suuk menikah denganku, keajaiban aku menjadi seorang milioner. Tapi bagiku memang keajaiban itu tidak ada, dan mungkin keajaiban untuk kutukan kami juga sesuatu yang mustahil.”
“Putri, apa Anda siap untuk diurut? Sepertinya kaki Anda memang hanya terkilir, setelah diurut akan segera pulih dan tidak akan sakit lagi,” ucapan nenek tabib membuyarkan lamunannya.
“Ah, baiklah.” Jawab In Hyun meringis melihat kakinya diberi sebuah ramuan tumbuk-tumbukan dan akan segera diurut.
“Tahanlah,” ucap nenek lagi sambil perlahan mengurut kemudian memutar sekaligus kaki In Hyun.
Kriieekk..! Akkkhhh!! In Hyun menjerit menahan sakit, ia lalu menggigit selimut yang dipegangnya dengan keras. Rasanya seakan ingin pingsan. Baru pertama kali dia jatuh sampai kakinya terkilir begitu parah seperti itu.
Jeong Soon yang berada di paviliun mengepalkan tangannya erat seakan merasakan juga sakit yang dirasakan In Hyun.
“Apa kau baik-baik saja, Hyung?” tanya Lee Hwon melihat Jeong Soon yang wajahnya sedikit memucat.
“Aku baik-baik saja. Kalian lanjutkan saja makannya, aku akan sarapan bersama istriku di taman blossom (taman terlarang).” Jeong Soon langsung bangkit dari duduknya melangkah lagi menuju ke kamar.
“Baru kali ini aku melihat perhatiannya tertumpah semua pada Putri Hwa Young.” Lee Hwon tahu bagaimana sikap dinginnya pada semua orang. Namun, kini dilihatnya sisi lain dari kakak sepupunya itu terhadap In Hyun.
“Itu sudah sewajarnya, karena dia adalah istrinya. Kalau bukan perhatian darinya, dari siapa lagi?” Luo Guanjong menatap punggung Jeong Soon yang sudah jauh.
“Kisah mereka memang menarik.” Wang Jhaojun tersenyum tipis sembari memicingkan matanya.

“Dalam beberapa hari kakimu akan sembuh kembali Putri,” kata nenek tabib memberi perban agar obat yang dioleskan menyerap ke tulang.
“Terima kasih, Nek.” In Hyun merasa kakinya agak mendingan.
“Minumlah Tuan Putri.” Gahee menyodorkan segelas ramuan padanya.
“Minumlah, itu akan sedikit meredakan rasa sakit kakimu itu, dan setiap akan tidur olesilah dengan ramuan ini.” Nenek tabib menaruh sebuah botol terbuat dari bambu di dalamnya sebuah ramuan.
Jeong Soon masuk melihat In Hyun sedang meminum ramuan herbal yang diberikan Gahee. “Bagaimana keadaannya?” tanyanya pada nenek tabib.
Semua dijelaskan secara terperinci oleh nenek tabib tersebut.
“Terima kasih sekali lagi, Nek.” In Hyun tersenyum padanya.
Nenek tabib membalas senyumnya sembari membungkuk, kemudian melangkah keluar dari kamar diantar Gahee.
“Mongyi. Katakan pada pelayan agar segera menyiapkan meja dan makanan di taman blossom, kami akan sarapan di sana.” Perintah Jeong Soon pada Mongyi.
“Baik, Yang Mulia.” Jawab Mongyi mengerti.
Jeong Soon berdiri di samping ranjang menatap In Hyun. “Apa kau benar-benar tidak apa-apa? Bagaimana kakinya, apa masih sakit sekali?”
“Yah lumayan. Sudah terasa mendingan, terima kasih karena tadi di kamar mandi sudah menolongku.” In Hyun menunduk menyembunyikan kedua pipinya yang merona mengingat kejadian tadi.
Sebelum Jeong Soon sempat berbicara lagi. Mongyi dan Gahee memberitahukan dari luar kalau sarapan mereka ternyata sudah siap di taman.
“Kita sebaiknya sarapan dulu, setelah itu istirahatlah lagi.” Jeong Soon mendekati In Hyun.
“Kau mau apa?” tanya In Hyun curiga karena Jeong Soon semakin mendekat.
“Membawamu ke taman. Kau kan tidak bisa berjalan.”
“Tidak usah, a-aku bisa berjalan sendiri.” Di saat seperti itupun gengsinya masih selangit, tetapi di zamannya juga dia memang tidak mau selalu merepotkan orang lain.
Jeong Soon hanya berdiri terpaku melihat In Hyun terlihat menahan sakitnya saat memaksakan diri turun dari ranjang.
Diturunkan pelan-pelan kakinya dan mencoba berjalan dengan satu kaki. Karena masih ngilu dia akan terjatuh juga tidak kuat menopang tubuhnya dengan satu kaki. Untungnya Jeong Soon langsung menangkap tubuhnya.
“Hampir saja. Kau ini keras kepala sekali Hyun.” Jeong Soon menatapnya dalam pelukan lalu langsung menggendongnya menuju ke taman.
“Turunkan. Aku bisa jalan sendiri.” Rengek In Hyun sedikit berontak.
Jeong Soon tidak menghiraukannya.
“Aku bisa jalan sendiri,” In Hyun masih merengek, “nanti Ayahanda Raja dan Ibunda Ratu melihat.”
Jeong Soon sontak menoleh menatapnya membuat In Hyun terdiam dan refleks menutup bibirnya takut dicium seperti tadi. Hal itu membuat Jeong Soon tersenyum tipis.
Mongyi dan Gahee yang mengikuti dari belakang tersenyum senang melihat tingkah laku keduanya.
Ketika sampai di pagar jembatan. Mongyi dan Gahee berhenti mengikuti tidak berani ikut masuk, membiarkan mereka terus berjalan berduaan.
Akhirnya mereka sampai di taman terlarang. Dilihatnya sebuah meja yang penuh dengan makanan.
“Kali ini kita akan sarapan hanya berdua untuk pertama kalinya.” Jeong Soon menurunkan In Hyun, mendudukkannya di sebuah bantal empuk di depan meja pendek.

Ӝ----TBC----Ӝ
Revisi ulang
26 Januari 2020
By* Rhanesya_grapes 🍇
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top