27. Pilihan Katherine

Ke esokan harinya.

Katherine bangun pagi-pagi sekali demi memasakkan makanan untuk Max sebelum Max pergi.

Hari ini, Max akan pergi ke Washington DC demi sebuah pertemuan. Dan dia, dia akan menepati sumpah yang sudah dia sepakati dengan seseorang.

Sumpah yang dia buat demi menyelamatkan nyawa seseorang, meskipun  harus mengorbankan hubungannya dengan seseorang pula.

Tapi, tak apa. Max akan bahagia setelah berpisah dengannya. Max akan menemukan wanita yang jauh lebih sempurna dari pada dirinya.

Grep!

Tiba-tiba, sebuah tangan memeluknya dari belakang. Siapa lagi pelakunya jika bukan Maxime.

“Kenapa bangun pagi-pagi sekali? Padahal, aku masih ingin memelukmu lebih lama.”

Suara serak Max, membuat Katherine mengusap air matanya yang mengalir sejak beberapa menit yang lalu. Dia masih tak habis pikir. Secepat inikah hubungannya dengan Max harus berakhir?

“Aku harus memasakkanmu sesuatu sebelum kau pergi, “ jawab Katherine—mencoba menetralkan suaranya se normal mungkin agar Max tak curiga jika dia sedang menangis.

Maxime meletakkan kepalanya di atas bahu Katherine yang terbuka. Kemudian ... Cup! Maxime menjatuhkan kecupan hangatnya di pipi Katherine yang memerah.

“Aku akan membatalkannya jika kau murung karena hal itu.” Perkataan Max, membuat Katherine berbalik arah sambil menggeleng kuat.

“Tidak. Kau tidak boleh membatalkannya hanya karena aku. Aku baik-baik saja.”

“Kau yakin?”

“Iya. Tentu saja. Lagi pula, kau hanya sebentar di sana.”

Max mengusap pipi Katherine pelan. “Percayalah, Katherine. Aku tidak akan macam-macam. Tidak akan ada wanita lain yang berhasil menempati posisimu,” ucap Max penuh keyakinan.

Katherine mengangguk sembari mengambil tangan Max di pipinya kemudian mengecup punggung tangan Max dengan lembut.

“Terima kasih sudah mau mencintaiku,” balas Katherine—kemudian menjatuhkan dirinya dalam pelukan Maxime lagi.

Waktunya sudah tidak banyak. Dia hanya punya beberapa menit tersisa untuk memiliki sekaligus merelakan Maxime lepas dari hidupnya. Tak ada pilihan lain. Dia harus tetap melakukannya, agar Maxime tetap bahagia—tanpa dirinya.

“Aku harus menyajikan sarapanmu dulu.” Katherine melepaskan pelukannya. Jika terus berada di dekat Maxime seperti ini, dia bisa lemah.

Maxime yang sudah rapi dengan setelan jas mahalnya, memilih duduk dengan pandangan tak lepas dari Katherine. Maxime merasa, ada sesuatu yang terjadi dan Kathe sembunyikan darinya. Sifat Katherine mendadak aneh sejak kemarin. Wanita itu lebih banyak diam dan melamun. Bahkan, beberapa kali, Max tak sengaja melihat Katherine yang berderai air mata. Seperti ada duka, ketakutan, juga kecemasan yang bisa dia baca dari raut wajah Katherine yang berubah-ubah. Tapi, sayangnya dia tidak mengetahui sumber kemurungan Katherine itu sekarang.

Katherine dengan cekatan menyajikan masakannya di atas meja makan. Dia ingin secepatnya menyelesaikan pekerjaannya itu, agar bisa melepaskan air mata yang sejak tadi dia tahan sampai-sampai membuat dadanya sesak.

“Aku ke dalam dulu, “ pamit Katherine, tapi sayangnya, Max sudah lebih dulu memegang tangannya—tak mengizinkannya pergi.

“Mau ke mana? Kau Juga harus sarapan.”

“Aku sudah kenyang. Tadi, aku makan beberapa helai roti,” tolak Katherine. Berharap, Max akan membiarkannya pergi.

“Kalau begitu, temani aku makan. Jika tidak? Maka aku tidak akan sarapan.”

Kathe menghela napasnya pelan. Sepertinya, dia harus bersabar, untuk menumpahkan semua rasa sakit nya. Ya—lagi pula. Kebersamaannya dengan Maxime hanya tinggal beberapa menit lagi. Setelah itu, Maxime bukan hanya, akan pergi sebentar, tapi selamanya dari hidupnya.

Aku relakan kau bahagia tanpa Aku Maxi. Batin Katherine menjerit sakit.

Sarapan pagi itu di isi oleh keheningan. Katherine yang hanya diam, membuat Max tak mengambil tindakan apa-apa untuk mengganggunya. Mungkin, Katherine sedang tak ingin di ganggu. Wanita itu seperti larut dalam kesedihannya. Dan Max bisa apa? Jika penyebab kesedihan Katherine adalah kepergiannya.

“Selamat pagi!”

Suara Rose yang tiba-tiba terdengar, membuat Max dan Katherine kompak menoleh bersamaan.

“Pagi Ibu,” jawab Maxime, sedangkan Kathe hanya menyunggingkan senyuman tipis yang sangat terkesan dipaksakan.

Rose duduk di tempatnya seperti biasa. Wanita itu mengaduk teh hangat yang sudah tersedia di meja setelah menambahkan sedikit gula.

“Kau tidak sarapan Katherine?” tanya Rose, dan  dijawab Katherine hanya dengan gelengkan kepala saja.

Rose melirik Max, dan Max hanya mengangkat bahunya pertanda tidak tahu menahu dengan sikap Katherine yang semakin aneh saja. Sikap Katherine tentu saja membuat penasaran. Tapi, bagaimana Max akan menyelidikinya? Hari ini dia harus berangkat untuk pertemuan besar antar para penguasa.

“Tuan, saatnya kita berangkat.” Suara Edlise yang terdengar, membuat Max bangkit dari duduknya. Max menghampiri ibunya kemudian mengecup pipi ibunya kilas.

“Ibu, aku berangkat,” pamitnya.
Rose mengangguk sambil menepuk bahu tegap putranya itu. “Hati-hati Maxime, dan segera lah kembali dengan selamat.’

Maxime menghampiri Katherine. Bisa dia lihat, manik mata Katherine yang biasanya menyorot penuh ketegasan, kali ini malah berkaca-kaca dengan kecemasan di sana.

Maxime menarik tangan Katherine dan membawanya dalam pelukannya. Tak hanya diam di sana, Maxime membawa Katherine melangkah menuju pintu keluar tapi tak melepaskan Katherine sedikit saja.

“Bagaimana kalau kau ikut saja,” ucap Maxime.

Katherine tersenyum simpul. Seharusnya dia bisa menahan dirinya agar tak terlihat aneh di mata Maxime. Tapi mau bagaimana lagi, air matanya tak bisa dia bendung lagi.

“Tidak perlu. Aku hanya sedih, karena harus berjauhan darimu. Jika aku ikut? Siapa yang akan menemani ibumu di sini?”

Maxime menghapus air mata Katherine dengan lembut. “”Baiklah. Tapi kau tidak boleh menangis seperti ini.”

“Ya. Hanya saat ini aku akan menangis di depanmu,” jawab Katherine.

“Wanita pintar, “ balas Maxime membuat sudut bibir Katherine terangkat membentuk senyuman. “Oiya, aku punya hadiah untukmu,” lanjut Max sambil memberikan sebuah kartu  identitas.

“Apa ini?” tanya Katherine—penasaran.

“Sebuah apartemen—untukmu. Dan ini, kartu identitas agar kau bisa masuk.”

“Kamu berlebihan Maxime. Aku tidak membutuhkannya.”

Katherine menolak. Dia tidak mau, Maxime menganggapnya sama dengan wanita di luaran sana yang hanya menginginkan kemewahan dari sebuah hubungan.

Maxime mengusap pipi Katherine lembut. “Ambillah. Anggap sebagai permintaan maafku karena sudah membuatmu menangis. Setelah pulang nanti, aku ingin menghabiskan waktu berdua denganmu di apartemen itu. Bagaimana?”

Katherine mengangguk. Dengan senyuman cantiknya, dia pun menjawab, “Baiklah. Aku akan menunggu kepulanganmu di sana.”

Cup! Maxime mengecup kening Katherine cukup lama, sebelum memasuki mobil.

Kini, pria itu sudah pergi. Pergi bersama kenangan manis mereka. Tanpa Maxime ketahui, ada badai besar yang siap memorak-porandakan hubungannya dengan Katherine yang baru saja di mulai. Sampai akhirnya, hanya akan ada kenangan pahit dan kebencian yang akan memisahkan cinta mereka berdua.

***

Katherine sesekali mengusap air matanya yang berjatuhan. Tidak pernah dia bayangkan, dia akan kembali menginjakkan kaki di tempat kotor dan hina itu. Tapi, dia tidak punya pilihan lain. Janji tetaplah janji. Dia tidak mau, karena keegoisannya ada seseorang yang harus tersakiti dan kehilangan nyawanya.

Bau alkohol yang menyengat membuat Katherine mual. Di depannya kini, berserakan botol minuman dengan para penjudi dan wanita murahan yang menempeli pria-pria itu bagai lintah.

Pria itu berada di sana, dengan seringaian tercetak jelas di bibirnya kala melihat gudang uangnya sudah datang. Rupanya, wanita itu tak pernah ingkar janji dan dia tentu saja—suka.

Katherine mendekat tanpa rasa takut. Baginya, dunianya sudah hancur seiring penyerahan dirinya sebagai pelacur. Ini sudah menjadi pilihannya. Lebih baik dia hancur sendirian, dari pada membuat orang lain kehilangan.

“Ayah, mari mulai kesepakatannya,” ucap Katherine dengan penuh ketegasan.

****

Nb :  Isi bab bisa kalian baca di ebook atau karyakarsa.
Link : https://karyakarsa.com/Riskihakiki

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top