23. Tertembak
Beberapa hari berlalu.
Kathe merasa sangat betah di mansion itu, terutama karena ibu Max yang baik dan Max yang belum menyadari keberadaannya. Ya—meskipun beberapa kali, Max menaruh curiga. Dan beruntung, ada ibu Max yang melindunginya.
Kini, hidupnya damai. Tidak ada lagi ayah yang menyakitinya dan meminta uang saat dia pulang, dan dia pun tidak perlu bekerja keras di perusahaan dengan atasan yang menakutkan. Sekarang, dia hanya perlu mengerjakan pekerjaan rumah seperti biasa. Dan juga, menjaga jarak dengan sang majikan.
“Katherine, temani aku ke toko bunga ya?” suara Rose terdengar. Kathe yang saat itu sedang membersihkan meja, mengangguk sambil tersenyum manis.
“Baik Nyonya,” jawabnya.
Setelah bersiap-siap. Mereka pun pergi ke toko bunga yang Rose tuju. Ternyata, toko bunga itu adalah milik wanita itu. Dan kepergiannya ke sana, hanya untuk sekadar mengecek kinerja karyawan juga membawa pulang bunga mawar berwarna putih—itu saja.
“Kathe, tidak apa-apa ya, jika kita mengunjungi Maxime sebentar?”
Katherine mengangguk. Tidak ada yang perlu dia takutkan. Lagi pula, Max sudah mengenalnya sebagai Vanya si pelayan karena pembelaan ibu Max sendiri.
Mobil pun melaju menuju perusahaan. Hingga beberapa menit kemudian, mereka sudah sampai.
Katherine tersenyum tipis begitu melihat Max sudah stand by di depan pintu perusahaan. Mendadak dia salut dengan sosok Max yang sangat menyayangi ibunya, sampai-sampai Max rela menunggu ibunya di depan pintu kantornya walau mendapat tatapan aneh dari para karyawan.
“Max, biasa seperti itu ya Nyonya?” pertanyaan polos Katherine, membuat Rose tertawa terbahak.
“Dia itu tipe anak yang patuh sama orang tua loh Kathe, meskipun di mata orang lain menakutkan,” jawab Rose membuat Katherine tersenyum simpul. Malu dengan pertanyaannya tadi.
“Ayo, turun. Kasihan dia di lihat in aneh begitu. Sekalian, bunganya kita bawa ke dalam.”
Kathe mengangguk. Mereka pun turun dari mobil, searah dengan Max dan Edlise yang juga melangkah ke arah mereka.
Jarak mereka tinggal beberapa langkah saja. Hingga, dari arah berlawanan, Kathe melihat seorang pria yang memakai penutup kepala, menodongkan senjata di tangannya dan itu tepat mengarah ke tempat—Max berada.
Astaga! Katherine tercekat. Sebelum sesuatu terjadi menimpa Maxime dan membuat wanita di sampingnya merasa sedih, Katherine pun berlari dan berteriak—
“Maxime awas!”
Dor! Dor!
Tak peduli dengan apa yang akan terjadi pada dirinya, Katherine mendorong Maxime menjauh hingga dirinyalah yang menjadi sasaran peluru, sampai menembus dadanya.
“Katherine!”
Teriakan Rose yang menggema, bersamaan dengan tubuh Kathe yang jatuh dengan darah yang membanjiri tubuh Katherine sampai membuat bunga mawar yang di peluk Katherine berubah warna. Merah pekat karena darah kental.
Edlise yang paham situasi, segera mengambil senjata di balik jasnya dan melepaskan tembakan untuk pelaku penembakan itu.
Dor! Dor!
Tembakan Edlise mengenai sasaran. Tapi tak sampai membuat pria itu terbunuh. Edlise hanya membuat pria itu terkapar dengan peluru bersarang di kakinya agar tak bisa lari. Dia perlu pria itu hidup-hidup, untuk mencari dalang di balik semua insiden ini.
Maxime bangkit. Dia menghampiri kemudian membalik tubuh pelayan yang dia kenal sebagai Vanya dan memangkunya dengan raut wajah khawatir.
“Aku mohon, bertahanlah Vanya,” lirihan Maxime, membuat Rose yang sejak tadi mematung di tempatnya berdiri, melangkah cepat dan bersimpuh di samping Kathe yang mulai kehilangan kesadarannya.
“Katherine. Hiks, hiks. Bertahanlah, Nak. Aku mohon.” Rose menangis terisak. Pemandangan tubuh Kathe yang di penuhi darah, juga wajah Kathe yang memerah oleh cipratan darahnya, membuat wanita itu tak berdaya.
Maxime membatu. Mendengar nama yang di panggil ibunya, tanpa banyak tanya, dia pun melepas rambut Vanya, dan benar. Wanita yang sedang menghadapi maut karena menyelamatkan nyawanya adalah Katherine. Wanita yang sangat ingin dia hancurkan.
“Katherine?”
“Iya, dia Katherine. Wanita yang sangat ingin kau hancurkan. Sekarang lihat! Dia menyelamatkan dirimu. Jika dia tidak selamat! Maka Ibu akan membencimu seumur hidup!”
***
3 Hari kemudian.
Alat pendeteksi kehidupan itu masih berkedip. Max tak henti-hentinya meminta dokter untuk mengecek kondisi Katherine, dalam satu kali dalam se menit. Mengetahui jika Katherine yang menyelamatkan nyawanya, tentu menjadi pukulan terberat. Wanita yang selama ini dia cari, dan sangat ingin dia hancurkan, ternyata bersembunyi di rumahnya sendiri, dalam lindungan ibunya pula.
Pantas, dia tidak lagi menemukan keberadaan Katherine di mana pun setelah memecatnya dari kantor. Ternyata, Katherine bersembunyi di rumahnya dengan wajah baru.
Apa Max harus mengumpat sekarang? Tidak. Max sudah mengetahui semuanya. Alasan apa saja, yang membuat ibunya dan Edlise sampai membohonginya dan berpihak pada Katherine.
Merekalah yang menolong dan menyembunyikan Katherine dari dirinya. Katherine, yang beberapa hari ini dia ketahui sebagai Vanya si pelayan. Kenapa dia begitu bodohnya sampai tak mengenali penyamaran itu?
“Tuan. Saya mendapatkan bukti jika Katherine tidak bersalah.”
Perkataan Edlise tadi malam, semakin membuatnya merasa bersalah. Hanya karena dia ingin membuat Katherine kalah, insiden itu membuatnya buta sampai-sampai tak mau mendengarkan penjelasan Katherine. Dengan mudahnya, dia menuduh Katherine dan mempermalukan Katherine di depan banyak orang.
‘Astaga, betapa berengseknya aku?’
Maxime memegang tangan Katherine yang dingin. Dingin seperti manusia yang sudah tak bernyawa. Tapi setidaknya, lewat monitor itu, dia masih punya harapan, jika wanita yang terbaring di depannya itu masih hidup.
“Kau harus hidup untuk memukulku.”
Itulah yang selalu Max ucapkan setiap waktunya. Berharap, Tuhan masih memberinya kesempatan untuk menebus dosa.
Max meneliti wajah Katherine lebih intens. Wajah cantik yang selama beberapa hari terakhir, membuatnya tak bisa terlelap. Wajah Katherine yang sialnya, berhasil mencuri perhatiannya.
Egonya yang terlalu tinggi, membuatnya mengingkari perasaannya sendiri. Nyatanya, Wanita pembangkang yang sama sekali tak masuk dalam daftar tipe wanita idamannya sudah berhasil menjeratnya.
Ya, setelah Katherine sadar nanti. Dia akan mengakuinya. Jika Katherine berhasil mencuri hatinya. Membuatnya tak bisa untuk tak memikirkan wanita itu se detik saja. Membuatnya membenci Edlise, karena berani mendekati Katherine. Membuatnya mengeluarkan banyak uang, demi keamanan Katherine agar tak diganggu oleh ayahnya yang pemabuk. Dan membuat Katherine berada di kantor sepanjang malam, agar bisa dia lihat dari balik ponselnya. Benar-benar sialan kan?
“Kau harus segera bangun, harus Katherine!”
***
Tersedia versi cetak dan ebook
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top