15. Max Khawatir


“Kenapa pelayan yang aku panggil belum datang kemari?” pertanyaan dinginnya, tentu saja membuat kepala pelayan itu berdiri dengan gemetar.

“Maaf Tuan. Tapi, sejak tadi pagi, Katherine tidak ada.”

“Tidak ada? Maksudmu?!”

Kepala pelayan itu meremas sudut bajunya hingga kusut. Semoga saja, masalah Kathe tidak berimbas pada dirinya. “Terakhir, saya hanya melihat Katherine di sini—di ruangan Tuan. Dan setelahnya, saya tidak menjumpainya sejak pagi.”

Max mengibaskan telapak tangannya, pertanda memerintah pelayan itu pergi. Aneh juga, jika Kathe tidak ada di tempatnya sejak pagi. Hari sudah siang, bahkan dia belum memerintah apa-apa mengingat kondisi Kathe yang sepertinya tidak begitu baik.
Apa wanita itu menyerah dan pergi? Batin Max.

Tapi, mengingat kegigihannya sejak kemarin, Max yakin wanita itu tidak akan melepaskan pekerjaannya. Di mana lagi wanita itu bisa bekerja dan mendapatkan uang untuk membiayai perjudian ayahnya selain di perusahaannya? Lalu, di mana dia sekarang?

Nama Edlise sempat  terbesit untuk dia tanyakan keberadaan Katherine. Tapi, apa kata Edlise nanti, jika dia repot-repot menelepon hanya untuk menanyakan keberadaan wanita itu?

Astaga, CCTV.

Max tau harus mencari Katherine dengan apa. Dia pun mengutak-atik laptopnya di mana semua CCTV kantor terhubung dan bisa dia pantau. Dia mengulang rekaman saat Katherine keluar dari ruangannya tepatnya jam 7 pagi. Dan benar, Max mendapati Katherine masuk ke ruangan di mana tangga darurat berada dan tak keluar lagi dari sana.

Astaga, tangga darurat itu? Aturannya saat menjadi pelayan. Sialan! Semoga dia masih bisa aku selamatkan.

Max bangkit menuju tangga darurat berada. Jika benar wanita itu berada di sana, kemudian nyawanya tak bisa dia selamatkan. Maka, dunia akan mencatatnya sebagai atasan paling tak berperikemanusiaan sepanjang sejarah peradaban manusia.

***

“Emm?”

“Katherine, kau sudah siuman?”
Pelan-pelan, Katherine membuka mata dan mendapati Risa yang memegang tangannya. “Aku di mana?” tanya nya sambil menatap sekeliling ruangan yang ber cat putih.

“Kau ada di rumah sakit. Kau pingsan selama beberapa jam. Sebenarnya, apa yang terjadi pada mu Kathe?” Risa penasaran. Tadi, seseorang meneleponnya dan mengatakan jika Katherine berada di rumah sakit. Tentu saja, Risa segera pamit dan benar saja Katherine sedang terbaring lemah di rumah sakit.

Katherine memijat pelipisnya yang masih berdenyut. “Aku tidak ingat apa-apa Risa. Aku hanya ingat terakhir kali pandanganku menggelap di tangga darurat.”

“Tangga darurat? Apa yang kau lakukan  di tangga darurat?”

Katherine tersenyum tipis. Dia menatap Risa dengan pandangan lemah. Risa selalu saja, ingin mengusut rasa penasarannya sampai tuntas. “Ada pekerjaan dan aku mendadak pusing,” jawabnya.

Risa menghembuskan napasnya pelan. “Lain kali, hati-hati. Jaga kesehatanmu. Meskipun kau sudah mendapatkan pekerjaan, jangan terlalu over sehingga membuatmu kelelahan. Oke?”

Katherine mengangguk. Risa memang sahabat terbaiknya.

“Oiya, istirahatlah. Besok jika kau sudah baikan, dokter akan mengizinkanmu pulang.”

“Aku sudah baik, Risa. Bisakah kita pulang sekarang?”

“Tidak. Kau harus istirahat dulu. Di rumah, kau hanya akan direpotkan oleh si berengsek itu.”

“Risa .... “

Risa mencebikkan bibirnya. Kathe selalu saja membela ayahnya, se sadis apa pun ayahnya menyakiti Kathe luar dan dalam.

“Dan, aku akan menginap di sini juga untuk menjagamu agar tidak kabur, Katherine,” ujar Risa kemudian dan tak bisa, Kathe ganggu gugat. Apa pun keputusan Risa, wanita itu akan tetap mempertahankan pendiriannya.

****
3 Hari kemudian

Kathe meminum air dinginnya sambil menikmati bubur ayam yang dia bawa dari rumah. Dokter menyarankan, agar beberapa minggu ke depan, dia mengonsumsi makanan yang lembut dan mudah di cerna. Lambungnya bermasalah, itulah sebabnya dia pingsan beberapa hari sebelumnya.

Mendadak, setelah kejadian itu, hidupnya berubah. Lebih aman, tenteram dan damai sejahtera. Tidak ada lagi perintah aneh bin menyebalkan yang membuatnya menderita dari atasannya yang overdosis gila. Dia bekerja, selayaknya pelayan biasa. Tak ada tekanan, atau ancaman yang membuatnya ingin meledak.

Dia juga jarang bertemu dengan atasan menyebalkannya itu. Ayahnya, juga tidak pulang selama 3 hari ini. Entahlah. Kathe berpikir, jika uang yang dia berikan masih cukup untuk berjudi dan mabuk-mabukan. Hidupnya benar-benar aman.

“Katherine?”

“Ya?”

Katherine mendongak. Dan mendapati Edlise berdiri dengan elegan di depannya.

“Bagaimana kondisimu? Sudah baikan?”

Kathe mengangguk sambil bangkit dari duduknya. Bagaimana pun, Edlise menjadi atasannya yang harus dia hormati di sini.

“Aku baik, Tuan. Hanya belum bisa makan makanan orang normal.”
Edlise terkekeh pelan. “Itu artinya, dokter menyuruh gigimu untuk beristirahat sejenak.”

“Tuan, ingin memesan sesuatu?”

“Tidak. Aku hanya ingin menanyakan kondisimu, itu saja.”

Katherine dan Edlise tertawa bersama. Tanpa menyadari, jika di depan layar sebuah ponsel, ada seseorang yang miris melihat kedekatan mereka berdua.

“Keterlaluan kalian,” lirihnya lalu memasukkan ponsel itu ke dalam saku celana.

Maxime membuka pintu ruangannya. Ada dua orang yang harus dia beri peringatan.


*****
Versi Ebook juga sudah ada. Tapi barang kali ada yang mau versi cetak, silakan hubungi moting ya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top