10. Kabar Baik

Katherine mengusap keringat yang bercucuran di wajahnya. Berlari kencang menempuh jarak beberapa meter, disertai ketakutan, nyaris membuatnya terkapar di jalanan karena kelelahan.

Sungguh, jika Kathe tidak ingat siapa pria yang mengejarnya, lebih baik Kathe berjalan santai saja. Apalagi dengan kondisi perutnya yang keroncongan minta di isi. Ya Tuhan, entah nasib sial apa yang mengikutinya, sampai-sampai harus berurusan dengan pria berengsek bin menyebalkan yang sialnya, bisa melakukan apa pun yang pria itu inginkan.

“Katherine!”

Suara melengking, yang sudah menjadi makanan sehari-harinya, tiba-tiba terdengar hampir memecahkan gendang telinga.

Lamunan Kathe tadi, tentu berlarian ke sana-kemari. Siapa lagi pelakunya, jika bukan Risa--sahabatnya yang konyol bin setengah gila.

“Risa, jaga nada bicaramu! Siapa yang mau menjadikanmu mantu jika kamu masih saja bar-bar seperti itu!” sungut Kathe sambil menutup telinganya menggunakan ke dua tangan.

Saat ini,  dia sedang menyelonjorkan kakinya yang kelelahan, dan Risa malah menambah deritanya dengan teriakan melengkingnya yang membuat telinga Kathe berdengung—kuat karena tak siap menerima teriakan Risa.

Risa tersenyum lebar tanpa dosa. Deretan giginya yang putih menambah aura konyolnya yang kentara. “Aku terlalu antusias, Katherine. Lagi pula, aku ini manis dan ngangenin. Siapa cobak, yang nggak mau mantu sholehah seperti aku?”

Katherine mengusap dadanya pelan. Berdekatan dengan Risa, membuat Katherine harus banyakin sabar. Sebelum dia stres di usia muda.

Demi apa? Kata-kata spontan yang selalu keluar dari bibir Risa, selalu membuatnya naik darah.

“Sholehah dari Hongkong?! Woy! Ngaca dulu, Buk! Anda bangun kesiangan!”

Bukannya marah mendengar perkataan Katherine, Risa malah menganggukkan kepalanya sambil nyengir tak jelas.

“Udah ngaca, malah sampai-sampai kacanya pecah. Heran aja, sampai saat ini, Chriss Hemswort belum juga, mau halalin gua!”

Kathe menepuk jidatnya pelan. Jika, dia terbawa arus kegilaan Risa, bisa-bisa dia juga ikutan gila. Dan, untuk saat ini, dia malas bercanda. Dia ingin serius, dan juga diseriusin. Tolong, garis bawahi.

“Oke-oke. Sorry, hari ini, aku nggak punya stock kesabaran untuk menerima semua kegilaan kamu,” jawab kathe sambil mengangkat kedua tangannya pertanda—menyerah. “Sekarang katakan. Apa yang membuatmu sampai seperti kuda loncat, begitu?” lanjutnya, membuat Risa tiba-tiba, membuat mimik wajah sedih.

“Ish, ngomongnya Buk ... Nggak sopan. Hatiku terluka. Kau jahat! Nanti, aku bilangan ke Aak Chris, baru—“

“Aku pergi saja.”

“Jangaannn ... !”

Risa memegang tangan Kathe cepat. Jika seperti ini, Risa tau jika Kathe sedang tidak mau di ajak bercanda. Mungkin, Kathe sedang bad mood, dan Risa memahaminya.

“Maaf,” ucap Risa dengan prihatin. “janji. Nggak bakal bercanda lagi. Kau ada masalah lagi ya?” lanjutnya, sambil menatap Kathe yang mulai berkaca-kaca.

Katherine mengusap wajahnya kasar. Semua yang terjadi dalam hidupnya selama beberapa hari terakhir, tentu saja membuatnya merasa lelah, ingin menyerah, dan pasrah. Tapi, Kathe tidak bisa hanya duduk diam, sambil menunggu takdir yang entah akan memberikan takdir apa padanya esok hari. Kathe harus tetap berjuang hidup, walau apa pun yang terjadi. Dia masih sayang pada dirinya, juga pada ayahnya walaupun—ya begitulah.

Mendadak dadanya sesak. Dia ingin menangis dengan keras, agar sedikit beban hidup nya sedikit terasa ringan. Tapi, tidak. Dia tidak boleh menangis di depan Risa. Dia tidak mau merepotkan Risa lagi. Sudah cukup, Risa membantunya dan merasakan penderitaannya.

“Aku hanya merasa ... lelah. Ya, aku lelah.  Itu saja,” Jawab Kathe, membuat Risa memegang telapak tangan Kathe dan mengusapnya lembut.

“Aku tau. Kau sedang menyembunyikan semua kesedihanmu. Tak apa, aku mengerti. Tapi aku mohon. Tetaplah berjuang Katherine. Kau bisa melewati semua ini. Yakinlah, Tuhan tidak akan selalu menguji kesabaranmu. Ada saatnya, Tuhan akan memberikanmu hadiah atas kesabaran, keteguhan hati, juga perjuanganmu selama ini.”

Perkataan Risa, membuat Kathe tersenyum simpul. Risa benar. Roda kehidupan akan selalu berputar. Tapi, apakah dia mampu terus bertahan di atas putaran roda yang ingin menghancurkannya? Entahlah. Saat ini,  dia pun bingung.

“Oiya, aku membawa kabar baik untukmu.”

Perkataan Risa kali ini, membuat Wajah Kathe tiba-tiba berbinar.

“Kabar baik?”

Risa mengangguk dengan wajah Semringah. Dia ikut senang, saat melihat sahabat satu-satunya itu juga bahagia. “Iya, dan kabar baiknya adalah ... Taaraaaa! Aku sudah mendapatkan pekerjaan untukmu.”

Astaga!

Kathe menutup mulutnya tak percaya. Akhirnya, dia bisa mendapatkan pekerjaan dan tidak perlu merepotkan Risa lagi.
Kathe mengambil kartu nama yang dipegang Risa. Membolak-balikkan kartu itu dengan senyuman mengembang di wajahnya.

“Benarkah? Ya Tuhan—aku senang sekali.”

Kathe mengusap se tetes air mata yang jatuh di sudut matanya. Sungguh, dia merasa bahagia. Akhirnya, masalah terbesar dalam hidupnya saat ini, mulai menemukan jalan keluar.

“Kau mendapatkan ini di mana?” tanya Kathe—penasaran.

“Di restoran. Seorang pria dengan setelan jas mahal khas orang kaya, yang memberikannya padaku. Mungkin, dia adalah malaikat penolong yang Tuhan utus untuk meringankan bebanmu.”

Katherine mengangguk. Semoga saja, yang di katakan Risa benar. Setidaknya, dengan mendapat pekerjaan baru, dia tidak harus meminjam uang lagi. Dia bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari, dan juga, memberikan ayahnya modal berjudi agar ayahnya tak berniat menjualnya ke tempat laknat itu.

“Aku tidak tau, ada lowongan pekerjaan apa di perusahaan itu. Tapi, kau bisa mendatangi perusahaan itu, besok,” ucap Risa.

Kathe kembali mengangguk—penuh rasa haru. “Tidak apa-apa, Risa. Aku tidak memikirkan pekerjaan apa yang tersedia untukku di sana. Yang terpenting, aku mendapatkan pekerjaan baru, dan aku sangat berterima kasih padamu. Kau sahabat terba—ik di dunia!”

Risa mencebik asal, mendengar perkataan Katherine. “Jangan berlebihan Katherine. Tapi, Kau juga sahabatku yang paling imut di dunia!”

Kathe memeluk Risa. Mereka tertawa bersama, meskipun Kathe dan Risa tidak tau, bahaya apa yang sedang mengancam hidup Katherine di balik kartu nama perusahaan, yang di baliknya berlambangkan,
D’ORION COMPANY...

***

Keesokan harinya ...

Katherine membawa nampan berisi makanan dan segelas air putih di tangannya. Dia melangkah pelan memasuki sebuah kamar usang berukuran 3x4 meter yang di dalamnya meringkuk pria pemabuk yang terbaring lemah selama beberapa hari ini. Katherine berharap, semoga saja, kondisi pria itu tetap seperti ini, agar tidak kembali ke tempat yang rutin di kunjunginya setiap hari.

Tap!

Katherine duduk di sebuah kursi kayu yang warnanya juga turut memudar seperti tempat tinggalnya. Entah, Kathe juga lupa. Kapan, terakhir kali, rumahnya di perbarui. Seingatnya, sejak dirinya menjadi korban rampok ayahnya, dia tidak punya tabungan untuk memperbaiki rumahnya, walaupun sekadar memperbarui cat nya saja.

“Eughhh ...!”

Suara yang tiba-tiba terdengar, seiring kelopak mata ayahnya yang terbuka, membuat Kathe harus bersiap-siap untuk menerima semua kemungkinan yang bisa terjadi di sana.  Dia sudah terbiasa. Jadi Kathe akan menulikan pendengarannya jika sewaktu-waktu ayahnya  mengancamnya dengan kata-kata kasar.

Mereka saling bertatapan. Kathe dengan sorot mata kerinduan yang mendamba kasih sayang seorang ayah, sedangkan Jack yang melihat Kathe penuh kebencian.

“Puas! Kau melihatku lemah seperti ini, huh?!” sinis Jack sambil memalingkan muka melihat ke langit-langit ruangan kamarnya yang rapuh dan tampak berlubang di beberapa bagian.

Kathe menghela napasnya kasar. Kapan, ayahnya akan berubah sedikit lembut padanya? Sungguh, dia memimpikan  momen itu sejak lama.

“Aku membawakan makanan. Sekarang Ayah harus makan. Agar kondisi, Ayah membaik.” Kathe mengalah. Dia mengubah topik pembicaraan. Setidaknya, dia tidak ingin bertengkar dengan ayahnya di hari yang baik ini.

“Apa pedulimu!? Kamu yang sudah membuatku seperti ini!”

“Kalau begitu, aku minta maaf. Tapi, setidaknya kau harus pulih.”

“Tentu saja. Karena setelah aku bisa bangun dari ranjang keparat ini, aku akan segera menjualmu ke tempat pelacuran itu!”

Kathe tersenyum miris. Sebegitu bernafsunya, ayahnya sendiri berniat menjual dirinya ke tempat itu. Ya Tuhan, bolehkah dia meminta ayahnya untuk tetap sakit saja?

“Tidak akan. Karna aku sudah mendapatkan pekerjaan, dan setiap hari, aku akan memberikan Ayah uang. Jadi, Ayah tidak perlu repot-repot menjualku ke tempat kotor itu!”

Kathe meletakkan nampan yang di bawanya. Lantas dia bangkit dan segera keluar dari kamar itu.

Tuhan, tolong berikan kelembutan untuk ayahku. Batinnya berteriak.

****











Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top