I | Claudius

Petarung bertubuh gempal itu akan hancur.

Dengan hancur, bukan sekadar jatuh terjerembap tidak terhormat sementara sesosok gadis ramping terus melayangkan tinju tanpa ampun. Dengan hancur, bukan pula sekadar hidung bengkok, gigi-gigi rontok, atau rahang pecah.

Claudius Costa mengusap ibu jari pada bibirnya dengan gelisah. Ia bersandar pada dinding gua, menyaksikan dua gladiator mempertahankan hidup di bawah kubah gua yang temaram. Kehadirannya tersembunyi di balik riuh redam para penonton bertopeng kulit. Matanya memicing pada cara bot berlapis tapal besi sang gadis kini menginjak-injak perut sang petarung gempal. Mm, tidak bisa, tidak bisa. Lambungnya sudah pasti kena hantaman dan itu tak bisa dijual. Semoga liver dan ginjalnya aman. Itu harganya lumayan. Lagi pula, gadis berambut secerah sinar mentari itu sudah diperingatkan untuk tak pernah meremukkan relung dada lawannya.

Harga jantung adalah yang termahal.

Sembari memikirkannya, Claudius menyaksikan sang wanita mencolok kedua mata si gempal. Pria malang tersebut melolong kencang. Bibir Claudius spontan terbuka, agak kecewa. Melayang sudah dua ribu tiga ratus ponts. Ck. Dasar gadis emosional. Ingin sekali ia melambaikan tangan untuk memberi kode. Jangan lukai apa pun lagi toh si gempal sudah terkapar, sisa lolongan dari mulutnya menggema di langit-langit gua. Setiap inci kulit itu berharga, oke?

Beruntung, wasit segera merangsek sebelum si gempal mengembuskan napas terakhir. Ia segera menyentak si gadis menjauh, mengacungkan tangannya yang bersimbah darah, dan mengibarkan bendera emas.

"Hidup Nordicia!" seru sang wasit.

Gestur sang gadis petarung pun berubah. Citra mengerikan terempas seketika ia mengangkat dagu dan tersenyum puas, sementara percikan darah masih segar memerahkan pipinya. Ia nampak bagai putri yang gembira dengan perburuan seekor kelinci. Matanya berkilat gembira dan rambut pirangnya bercahaya di bawah pancaran ribuan lilin yang menggantung di langit-langit gua.

Claudius memicing. Dasar sok pamer.

"Hidup!" sorak sorai penonton bertopeng kulit memenuhi ruangan, menggetarkan dinding gua yang disandari Claudius. Serpihan debu berhamburan di rambutnya yang diminyaki rapi. Claudius berdecih. Ia menyingkirkan serpihan itu dengan jijik.

Kedua gladiator disingkirkan dari arena berdarah. Pandangan Claudius beranjak, tertuju pada balkon tinggi tepat di seberang posisinya berdiri. Di ceruk kehormatan yang dilapisi untaian tirai kristal, duduklah sang raja. Pria berwajah tiga puluhan dengan mata kelabu yang senantiasa bosan. Di sisinya, ratu menyaksikan pertunjukan dengan sungguh-sungguh. Ia mengaitkan jari seolah berdoa, menghaturkan syukur atas hantam-menghantam yang menghibur ini.

Berakhirnya acara berarti waktunya pasangan tirani itu pergi. Para hadirin beranjak dan menghadapkan tubuh ke arah balkon raja, membungkukkan badan dalam sudut tertentu dan meletakkan tiga jari pada mulut.

Claudius merapat dalam bayang-bayang. Ia ogah melakukannya. Menurut tradisi, itu gestur yang menunjukkan kesetiaan lebih dari sekadar ucapan.

Bagi Claudius—dan semua orang dalam hati mereka—itu adalah pembungkaman.

Raja yang pertama kali beranjak, tetapi ia dengan penuh kesantunan mengizinkan istrinya untuk meninggalkan ceruk duluan. Sembari menunggu ratu berlalu dengan dua dayangnya, Raja Aden melongok keluar ceruk dan menyapukan pandangan ke sekeliling.

Mungkin ini hanya halusinasinya saja, tetapi Claudius terperangah saat tatapan Raja Aden sempat tertumbuk padanya.

Sekujur tubuhnya merinding.

Claudius nyaris, nyaris sekali, menempelkan tiga jari pada bibirnya. Alih-alih, tangannya mengepal hingga buku-buku jarinya memutih. Ia menelan ludah.

Apakah Raja Aden benar-benar melihatnya? Apakah sang Raja menatapnya karena ia satu-satunya yang tidak melakukan gestur penghormatan? Mustahil. Jarak mereka terpaut lebih dari seratus meter dan ada ribuan penonton. Ditambah lagi, Claudius bersembunyi di bawah kegelapan tak tersentuh cahaya lilin.

Tapi ia adalah pria dengan sejuta kutukan. Siapa tahu ia bisa melihat secara jelas apapun yang berjarak jauh darinya. Itu spekulasi gila, tapi hal apa yang tidak gila mengenai Raja Aden?

Claudius bakal memikirkan potensi kepala terpenggal andai Raja tidak berbalik dan meninggalkan ceruk. Seisi penonton menegakkan tubuh, dan remasan tangan Claudius melemas. Ujung-ujung jarinya meremang dan bekas tancapan kuku di telapak tangannya agak perih.

Sebelum siapa pun mendahului, Claudius bergegas meninggalkan arena pertarungan. Riuh penonton dan derap desakan menuju pintu keluar terpantul pada dinding lorong yang dilaluinya sendirian. Ia mempercepat langkah hingga tiba di gerbang keluar menuju lapangan terbuka. Ia mengerjapkan mata, membiasakan diri pada sorot mentari di pukul dua siang.

Matanya lantas tertuju pada kemegahan kastel batu yang diserobot sesemakan berduri raksasa, berdiri angkuh dikelilingi parit air hitam. Aroma belerang tercium pekat bahkan dari jarak lontaran katapel. Lagi-lagi ada bangkai merpati yang tertancap pada tombak besi di puncak menara raja. Itu salah satu kutukan tertua Raja Aden, setua masa Tahun Hitam yang menginjak tahun ke-2738.

Oh demi langit, batin Claudius dengan helaan napas berat. Betapa ia sangat mendamba bahwa jasad rajalah yang tertancap di sana. Jika itu sungguhan terjadi, Claudius bakal menjadi pemanjat tercepat di menara dan menarik tubuhnya dari sana, merobek kulit pucatnya dan mengais-ngais organ untuk dijual. Claudius pasti bisa membeli sebuah kerajaan kecil dengan kekayaan itu. Pasti.

Namun, untuk saat ini, ia perlu berpuas diri untuk menjual jantung si gladiator gempal.

Mungkin, suatu saat nanti.

•••••••••••••••••••••••••••••

Appreciation tag for RuceMorgan and Khaiyenaaa for creating the original version of Claudius and Nordicia, respectively.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top