78. Pemukiman Di Balik Kabut
"Hei! Kalau menyetir itu yang benar!" hinanya pada seorang kusir yang juga seorang Kakushi
Tangan mu yang tak cukup kuat, hanya sanggup memukul-mukul perut Sanemi. Sesak sekali kau rasakan dihimpit tubuh besarnya itu.
Terlebih di kereta yang telah penuh sesak barang ini, astaga, padahal kau sudah mati-matian menahannya, berada di ruang sempit yang bagimu tak nyaman.
Apa yah namanya? Bagaimana yah menyebutnya? Berbulan-bulan berada di era ini, rasanya juga membuat ilmu pengetahuanmu juga ikut mundur.
Ah! Claustrophobia, phobia dengan ruang sempit itu, mengakibatkan pusing dan mual, kau takut akan memuntahkan makan malam serta obatmu di kimono Shinazugawa dan membuatnya makin marah.
"Hmmpp menyingkir"
Bukk
Bukk
Kau bisa mendengar pukulan lemah mu itu berbunyi kecil.
"Menyingkir! " lagi-lagi kau meminta.
Namun nampak Shinazugawa tak peduli olehnya. Terpaksa kau melepas Uchikake mu, dan menyusup keluar lewat celah-celah yang ada.
Kaki mu menendang pintu keluar dari sisi kanan, membuatnya terbuka meskipun harus merusak engselnya.
(Uchikake : Semacam Haori tapi Uchikake sendiri Cuma digunakan untuk pengantin baru atau pertunjukan seni karna corak motifnya yang bener-bener rame dan cerah"
"UWEEEEEEKKKKKK"
"HOEKKKKKKK"
Semua isi perutmu yang sebelumnya teraduk-aduk karna perjalanan terjal kalian, kini semuanya telah dimuntahkan.
Kau menatap nanar cairan yang belum halus benar itu, seolah menyayangkan sesuatu.
"Sayang sekali obatnya harus ikut dimuntahkan, padahal aku sudah bersusah payah menelan obat super pahit itu" tangismu menutup mulut, mencegah muntahan susulan yang lain.
"Oi!" Shinazugawa menarikmu, dan mendekap badan yang lebih kecil darinya itu.
"Kau ini apa-apaan sih! " jeritmu berusaha melepaskannya.
Apa ia akan membunuhmu disini? Hanya karna ia tak menyukaimu? Benarkah begitu? Memangnya sebenci apa ia denganmu?
"Sssshhht" dengan isyarat itu, ia memintamu diam.
Kau mengintip dari balik pelukannya, wajah serius yang tengah bersungguh-sungguh ingin melindungimu itu, melihatnya membuatmu merasa tenang.
Tanpa sadar kau balas pelukannya, lenganmu mendekapnya meskipun tak begitu erat.
"Ia pria yang baik" pikirmu.
"Kusirnya, Kakushi yang menjadi kusirnya hilang dengan jejak darah!" jelasnya.
"Jadi jangan jauh-jauh dariku" sambung Sanemi.
Kau membuka matamu, terkejut mendengar pernyataannya. Pria itu? Apa kalian kecolongan? Padahal ada kalian berdua di dalam kereta nya.
Bagaimana mungkin? Kenapa tidak ada suara teriakan? Harusnya meskipun sekilas ada suara kegaduhan yang bisa kalian dengar.
"Jangan-jangan waktu itu? " kau melepaskan pelukanmu, dan berlari menyusuri jalan, meskipun beberapa kali tersandung, dengan sendal kayu geta yang cukup tinggi itu.
"Sudah kubilang jangan jauh-jauh denganku! " bentak Sanemi.
Kau mengabaikannya, ternyata benar, jalannya baik-baik saja.
"Kita kecolongan! Sejak guncangan itu, yang membuat kereta berhenti" kau meyakinkannya.
"Jangan bodoh! Ini gunung! Guncangan seperti itu bisa terjadi kapanpun, kalau jalannya penuh bebatuan terjal" sangkal Sanemi.
Ia tak mau mengakuinya, jika dirinya yang seorang pillar kecolongan seperti ini. Itu tidak mungkin terjadi, terlebih ia tak merasakan kehadiran Iblis dimanapun.
"Jika jalannya penuh bebatuan terjal?" ulang mu.
"Iya" tegas Sanemi.
"Lihat itu? Apa kau bisa melihatnya? Kau pasti juga bisa melihatnya bukan? Di sepanjang jalan ini hanya ada tanah gembur yang subur, jangankan guncangan, ngebut saja tidak mungkin di jalanan seperti ini! "
Kalian berdebat, di tengah hutan pegunungan sepi seperti itu.
"Ada yang datang! " sela Sanemi.
Ia memasang ancang-ancang, siaga satu Pernafasan angin miliknya itu, siap menebas siapapun di depan sana.
Kau menatapnya baik-baik, lampu ublik yang kuno menembus rimbunnya hutan.
"tunggu sebentar! Itu bukan Oni! " kau memaksanya untuk tak gegabah, bisa saja itu manusia atau bahkan seseorang yang tinggal disini.
"Lepaskan aku! Makin lama bersamamu, semakin aneh saja dirimu! Mana ada kehidupan di tempat ini!" kukuh Sanemi, bersiap mengayunkan pedangnya.
Kau menyeret lengannya, mendekapnya erat agar tak melepaskan serangan berbahaya itu.
Sanemi begitu kuat, itu tak diragukan lagi, ia masih bisa menganggkat pedangnya denganmu yang masih bergelantungan di lengan kanannya.
"Kubilang lepaskan! Aku juga akan menerbangkanmu bersama serangan ini! " ancamnya.
"Tidak! Tidak mau! " disana kau menggeleng, tetap tak mau melepaskannya, entah apapun yang terjadi.
Sempat terbesit di pikiran mu, bagaimana jadinya nasib gunung ini dan penghuninya jika sampai Sanemi mengamuk?
"Pokoknya tidak boleh! Bukankah Kagaya-san sudah memperingatkan! Jangan mengamuk! " sekuat tenaga kau menurunkan pedangnya.
"Diamlah! Cerewet! Apapun yang terjadi, aku akan membunuh Oni itu!" Sanemi yang lebih kuat darimu membanting mu.
Kau jadi ingat kejadian lalu, ini sama saja dengan waktu itu, di latihan Dojo pilar angin? Apa hasilnya akan sama saja seperti waktu itu? Kau akan kalah dan pingsan.
"Kubilang hentikan!! " kau membuka mulut, lebar-lebar, dan menancapkan gigi gigimu ke lengannya.
Darah merembes, membanjiri indra perasa mu, ada sensasi aneh di dalam mulutmu, rasa manis yang mengejutkan lidahmu.
"Apa kau mengingatnya?"
"Siapa jati dirimu sebenarnya?"
"Siapa yang ada di balik tabir itu? Wahai sang predator para penguasa"
"HOEERKKKKKK"
Sebelum kau menelannya, kau memukul-mukul perutmu agar memuntahkan darah Shinazugawa yang sempat tertelan sedikit.
"Oii! Oi! Ada apa dengan mu, apa rasanya darahku seburuk itu? "
Tidak! Itu tidak benar, semua darah harusnya terasa sama. Kau juga kebingungan, bagaimana bisa kau rasakan manis yang membuatmu kecanduan dengan darah pilar angin.
"Tck! Tenangkan dirimu!" melihatmu kesakitan, memuntahkan semua isi perutmu, Sanemi perlahan menepuk punggungmu.
"A-apa yang sedang kau- "
"Uweeeeekkkk! "
Timbul kedutan di kepala Sanemi, sampai akhir hayatnya, ia akan melihatmu sebagai wanita tak tau diri.
"Asalnya dari sini! " kalian berdua menoleh, menatap asal suara kerumunan jejak kaki yang membelah rerumputan liar yang tingginya mencapai perut pria dewasa.
Bersama dengan lentera kuno, yang ramai-ramai menerangi malam, orang-orang itu memergoki kalian berdua di sepinya malam.
"Apa yang mereka lakukan disini? Pasangan mesum? " tanya salah seorang wanita paruh baya, yang separuh badannya bersembunyi di belakang para pria.
Kerumunan itu dengan tatapan was-was membawa berbagai senjata tajam, yang sebagiannya adalah perlatan berkebun, dan hanya sedikit yang membawa senapan api maupun katana di tangan mereka.
"Bagaimana ini? Apa kita harus mengaraknya sampai ke rumah kepala desa? " tanya seorang Ibu-ibu yang lain.
"Oi! Si Pria membawa katana di tangannya! " mereka mencabut pedang mereka, dan mengincar Sanemi.
Kau segera membersihkan bibirmu dan mencoba berbicara baik-baik dengan mereka.
"Anu, permisi, kami hanya lewat di sekitar sini, dan berencana menuju ke desa Mukade"
"Wanita itu bicara? Apa mereka tidak tau malu, sudah tertangkap basah berbuat mesum di sini, masih mau mengelak" sela mereka berbisik-bisik.
"Ah! Bukan begitu, kumohon maafkan kegaduhan yang kami timbulkan" tak dapat membohongi dirimu sendiri, kau merasa marah.
Mana sudi kau berbuat mesum dengan pria kasar seperti Shinazugawa Sanemi.
"Lihat! Lihat ini! Kami sudah menikah! " kau menarik tangan kiri Sanemi, meskipun pria itu sempat berusaha menyembunyikannya.
Kau menatap nya dengan senyuman manis, yang dipat diartikan sebagai.
"Berikan tangan kirimu bodoh! "
Dan Sanemi membalas tatapan mu dengan urat yang muncul di sekitar dahinya.
Mungkin jika diartikan dalam sebuah kalimat akan membentuk.
"Tidak akan pernah sialan!"
"Sayang, kurasa telingamu itu kemasukan sesuatu? Kubilang berikan tangan kirimu! " tarik mu paksa, sembari terus memplototi nya.
"Lihat! Kami ini sudah sepasang suami istri, kami sudah MENIKAH! Tentu saja berbuat mesum di sembarang tempat tak mungkin kami lakukan " tawamu, menekan kata Menikah.
"Oh begitu yah" akhirnya mereka mau menurunkan senjata mereka, dan kau bisa bernafas lega.
Sekarang giliran Sanemi, kau harus memutar otak, agar ia mau mengikuti sandiwara ini.
"Sebenarnya apa yang terjadi di tempat ini? " Sanemi maju, ia mencengkram kimono salah seorang pria yang membawa katana di tangannya.
"Sa-sayang! " kau mendorongnya, hingga terjungkal dan melepas kan kerah kimono orang itu.
"Maafkan perlakuan suami saya yang tidak sopan" bungkuk mu berkali-kali.
"Sialan kau!" cicit Sanemi, mengusap kepalanya yang sempat terantuk batu.
"Sebenarnya, perjalanan kami sempat terhenti, karna kami kehilangan kusir kereta kami, tanpa nya kami tak bisa sampai ke desa " jelasmu, menunjuk kereta kuda yang bagiannya telah terpecah belah itu.
"Dua kuda yang membawa kami juga hilang, mengesampingkan kudanya, kami sangat khawatir dengan kusirnya, dia tiba-tiba menghilang begitu saja dengan jejak darah di kursi kemudinya" kau merasa resah.
Rasa bersalah akan dirimu yang sibuk cekcok dengan Sanemi di dalam kereta itu muncul lagi, jika saja kau lebih fokus, Hal seperti ini tak mungkin terjadi.
Orang-orang desa itu membawa lentera mereka mendekati kereta kuda kalian yang rusak parah, telaten mengecek tiap-tiap bagian, dan benar saja, ada darah di bagian kursi kemudi dan tali kuda.
"Di sekitar sini sering ada penyerangan serigala" jawab mereka.
"Serigala? "
"Iya, gunung ini sudah jadi kawasan mereka berburu, mungkin saja kusir dan kuda anda sudah dimakan"
Kau mencerna informasi itu baik-baik, kawanan serigala yah...
Ada banyak hal yang aneh di penjelasan mereka, namun belum bisa dipastikan bahwa orang-orang ini berbohong atau tidak, habisnya jikapun Oni lah pelakunya, mereka tidak mungkin serta merta percaya begitu saja.
(Kurleb jalanan seperti ini yang kalian tempuh, Sumbernya dari Printest yah. tapi bayangin aja waktu itu malam)
"Kejadian ini sering sekali terjadi, terlebih di malam hari, maka dari itu orang-orang desa meninggalkan jalan ini, dan memilih memutar jika ingin pergi ke kota, meskipun butuh waktu tiga hari untuk menempuhnya, itu lebih baik daripada harus menjadi santapan srigala" salah seorang pemuda gagah, kemungkinan usianya tak jauh dari Sanemi menimpali.
Dilihat dari postur tubuh dan informasinya, mungkin pria itu yang sering berpergian ke kota menggantikan penduduk desa yang telah lanjut umur.
"Begitu yah..." tak bisa berbuat apa-apa, kau yang merundung, atas kesalahan yang belum tentu milikmu.
"Kami turut berduka cita atas kehilangan kalian, sebisa mungkin kami akan menelusuri gunung dan mencari mayat kusirmu, dan jika kami menemukannya kami akan menguburkan nya dengan layak" tawar mereka.
"Terimakasih banyak, kalian baik sekali" pujimu.
"Lalu rencana anda setelah ini bagaimana? Ini sudah lewat tengah malam, dan jalan utama masih sangat jauh, semalaman menggunakan kuda saja tidak cukup, apalagi jalan kaki" tanya orang yang sama.
Kau menatap jauh jalan yang gelap itu, orang-orang desa ini tak berbohong tentang jalan yang masih jauh ini. Buktinya, di sepanjang mata memandang, tak satupun lampu penerang jalan ada disana, perjalanan kalian melewati gunung ini hanya sekedar menggunakan lampu yang dipasang di sisi kereta dan bantuan sinar rembulan.
"Kalau tidak keberatan, kami bisa memperbaiki kereta anda, dan memberikan kalian berdua, sepasang suami istri tumpangan di desa kami, kudengar anda melewati jalan ini untuk sampai di desa selanjutnya bukan? Bulan madu yah? Kalau begitu kenapa tidak sekalian menggunakan desa kami sebagai tempat bulan madu kalian? " tawar seorang nenek yang sekiranya masih berusia 50 tahunan.
"Saya senang sekali mendapat bantuan yang begitu banyak dari kalian, padahal baru bertemu, tapi sudah di suguhi kebaikan sebanyak ini, tapi-" kau menggaruk tengkukmu, yang merinding bukan main dibuat oleh suasan hutan ini.
"Soal bulan madunya" kau mencoba merangkai kata paling tepat untuk menolak kebaikan yang tak wajar dari orang-orang ini.
"Kenapa? Desa kami tempatnya begitu asri, terletak di lembah yang sejuk dan masih sangat alami, kami juga punya pemandian yang bagus untuk kulit, suami anda akan merasa senang bukan main, melihat istrinya yang bertambah cantik setelah mandi di onsen kami" rayu mereka.
"Aha! Ahahahahaaha" kau tertawa ringan, tak dapat menghindari semu merah di kedua pipimu.
"Bagaimana yah... " kalimatmu masih menggantung, sesekali melirik Sanemi yang masih sibuk mengepaki barang bawaan kalian.
"Oh! Anak muda, bukankah kau setuju dan ingin melihat istrimu itu bertambah cantik" teriak salah satu paman yang merangkul Sanemi.
"Oh, jangan khawatir, kami akan memberikan kaliam villa sendiri untuk kalian pengantin baru yang masih ingin berbagi kasih" tawanya berbisik.
"Cih" Sanemi melirik tajam, pria yang mencoba akrab dengannya itu.
"A-ada apa anak muda? " kau menatapnya lesu, mengapa ia masih tak mengerti tujuannya datang kemari.
"Terimakasih banyak, Keramah tamahan ini, dengan senang hati kami akan menerimanya" Sanemi membungkuk dalam.
Kau dibuatnya terkejut, dengan frasa super sopan yang bisa ia katakan dengan mulut kotornya. Rasanya sedang melihat orang yang berbeda.
"Kalau begitu sudah diputuskan! Satoshi! Akame! Murakame-kun, kalian bertiga, bantu pasangan ini membawa barang-barangnya" wanita itu mendorongmu, untuk mendahului para pria yang berjalan sekaligus berjaga-jaga di belakang mereka.
"Jadi nak... "
"Anu, Namaku (Full Name), jika tidak keberatan, kumohon panggil aku (Name) " tawarmu.
"(Name), nama yang cantik sekali" pujinya.
Kalian berdua berjalan seiring, menembus semak belukar yang berkat kimono panjang mu, takkan melukai kaki.
Meskipun ketakutan dengan serangan ular di malam hari, kau tetap maju, mencoba untuk tenang.
"Jadi nak (Name) dilihat dari kimono kalian baru saja menikah? " tanyanya antusias.
"Benar, kami buru-buru menikah sore ini"
"Kenapa harus buru-buru? Bukannya lebih baik pernikahan itu di rencanakan secara matang? " tanya nya, membantumu mengangkat kimono mu, ketika kalian menyebrangi anak sungai yang kedalamannya hanya sebatas telapak kaki.
"Saya dan Sanemi, suami saya, hubungan kami tidak direstui oleh orang tua saya" jelasmu dengan air muka sedih.
"Oh! Maaf sekali, harus membuatmu menceritakan hal ini" sesalnya.
"Sungguh tidak apa-apa, kumohon jangan merasa bersalah" pintamu.
"Sebelumnya hubungan kami baik-baik saja, ketika Sanemi masih menjadi samurai, pelayan seorang keluarga besar di desa kami, namun karna perselisihan internal yang di alami oleh tuannya, tuan Sanemi meninggal dunia, dan membuatnya harus menjadi Ronin" kau melanjutkan kisah sedih itu, sambil sesekali melirik reaksi wanita yang terus mendorongmu, menceritakan hubungan suami istri kalian.
"Jadi begitu, itu sebabnya suamimu membawa pedang, dan Haorinya bertuliskan bunuh" kau mengangguk, menitikan air mata sedih.
Tunggu sebentar! Haori??? Bunuh?
Buru-buru kau menengok Sanemi yang berjalan dengan rombongan pria lainnya, namun dari tempat mu beridiri saat ini, kau dapat melihat haori putihnya yang bertuliskan kanji yang berarti "Bunuh/Binasakan"
"Orang itu! Sejak kapan dia mengganti pakaiannya" cicitmu, mengigit ibu jarimu, kesal.
"Apa kau mengatakan sesuatu? " tanya wanita itu padamu.
"Ti-tidak! Aku baru saja mengatakan, bahwa suamiku itu terobsesi dengan memburu, itu adalah hobinya hahaha" baik, kini alasan itu semakin mengada-ada.
Tidak boleh ada kegaduhan di desa yang damai dan berisi orang-orang baik seperti mereka ini, kau tak bisa mengatakan bahwa Sanemi adalah pemburu iblis.
"Lalu? Apa kau mencintanya? " pertanyaan itu, sekarang seolah telah lancang merogoh batasan yang harusnya tak boleh orang asing ketahui.
Terlebih pertanyaan wanita itu, terdengar seperti obsesi yang harus kau jawab, dengan satu jawaban pasti.
"Mmmm" kau mengambil nafas panjang, resiko ini biarlah kau yang akan menanggungnya nanti.
Dengan senyum lembut itu, baik tutur kata ataupun aura mu, menjadi begitu hangat.
"Saya mencintainya dengan hidup saya"
"Jika saya tidak mencintainya, kami tidak mungkin memenuhi janji dan bertemu dikuil untuk meminta doa dari para dewa dewi, agar merestui kawin lari kami ini, menggantikan orang tua ku yang membuangnya saat ini" kau menyentuh dada mu, senyum manis seolah singgah abadi di sana.
Meskipun ini semua hanya karanganmu, jauh di dalam hati kecil itu, kau berharap, akan bertemu dengan pria yang akan membuang segalanya hanya untukmu.
Dengan begitu mungkin kau juga akan melakukan hal yang sama, dan jika dunia ini menentang cinta kalian berdua.
Kau hanya perlu membuat janji, agar kalian berdua bertemu di kuil, meskipun bukan dunia dan manusia yang menjadi saksi cinta kalian, biarlah para penghuni langit yang merestuinya.
Jika saja ada seseorang yang mencintamu seperti itu...
Bukankah dunia kelam itu, akan menjadi sedikit bercahaya?
"Saya begitu menghargai perasaan anda, yang begitu murni" tepuk wanita itu.
"Nama saya Sato Himono, selamat datang di desa kami" ia mempersilahkan mu.
Menatap ciptaan tuhan yang begitu menakjubkan itu, tak pernah kau lihat pemandangan seindah desa itu.
Padahal tadi, kalian hanya bisa melihat kabut tebal, dan kegelapan yang menutupinya, padahal tadi hanya ada hawa dingin yang menusuk kulit.
Tapi tempat ini begitu menakjubkan, benar-benar terletak di lembah, dihimpit oleh gunung ini, tempatnya begitu asri. Hamparannya yang luas, di tempati oleh perkebunan teh dan berbagai macam tanaman.
Lahan padi yang berjajar, dengan daunnya yang menunduk menguning, air terjun, dari atas gunung yang dimanfaatkan sebagai irigasi lahan pertanian dan perkebunan, juga tenaga pembangkit listrik sederhana.
Di pintu masuknya kalian disambut oleh dua menara pengawas dan sebuah lonceng logam yang berdiri tergantung diantara kedua menara pengawas itu.
Pohon-pohon lembah itu berwarna kekuningan, daunnya seperti lonceng.
"Indah sekali" kau menganga.
Hanya dengan berdiri menatap indahnya tempat itu, membuatmu ingin memikirkan masa depan, dan benar-benar memiliki keluarga.
Disini, ditempat itu kau ingin membangun lahan pertanian mu sendiri, menghasilkan beras terbaik dan daging dari sapi ternak yang terbaik, lalu menghabiskan waktu dengan damai dan finansial yang terjamin.
Kau menggeleng keras-keras, tempat ini bukanlah tempat yang bisa di gambarkan dengan kata-kata. Kealamiannya, seolah menarik jiwa manusia untuk kembali ke alam.
Desa bak disentuh oleh tangan dewa.
"Ahahaha, kalian ini seperti tak pernah melihat pedesaan saja" kau merasa tepukan yang kuat menyadarkanmu.
Di samping kananmu berdiri Sanemi yang sama mematungnya dengan mu.
Iseng, kau genggam tangannya, ia bangun dari halusinasinya, dan menatapmu tajam.
"Bukankah ini tempat yang sangat indah? Kurasa kita akan betah berada disini" tawamu jahil.
Jika ada kesempatan balas dendam pada semua siksaan yang Sanemi berikan, maka inilah saatnya.
Kau punya waktu seminggu untuk membuatnya tersiksa, sebagai seorang suami.
"Heheheh" tawamu makin mengerikan, membayangkan apa saja yang bisa kau lakukan pada maniak iblis itu.
"kalian bisa bersenang-senang nanti! Kami akan mengantar kalian ke penginapan terlebih dahulu"
Singkat cerita kedua pasutri itu disambut dengan sangat baik di desa itu, mereka mengatakan bahwa untuk pergi ke kota mereka harus menunggu kendaraan yang akan menjamput hasil bumi mereka yang akan dijual ke kota Minggu depan, dengan begitu keduanya bisa menumpang sampai ke kota.
Tapi siapa yang tahu, apa keduanya akan benar-benar bisa pergi dari hutan ini? Hidup-hidup
To be continued~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top