58. Pengkhianat & Pengkhianatan

"Aku ingin pergi dari sini"

.
.
.

Aku menatap langit-langit, yang diterangi cahaya rembulan, membiaskan Gradi biru begitu indah.

Tokitou sudah terbaring pulas di sampingku. Tangannya menggenggam erat tanganku, aku menemukan setitik bekas air mata dari sudut hidungnya.

Rumah yang sedang kami huni ini adalah peninggalan keluarga Tokitou-kun.

Tanganku meraba lantai tatami dari bambu kering yang dianyam oleh Tokitou-kun. Dia adalah anak yang terampil dan pekerja keras.

Tempat ini berdiri kokoh, meskipun sudah setahun sejak Tokitou-kun meninggalkannya, bercak darah di dindingnya tak mau hilang kecuali jika di cat kembali.

Aku tau semuanya, aku melihat ingatan Tokitou-kun.

Kami berdua kabur...

Meninggalkan Markas Kisatsutai, dan bersembunyi di bukit ini. Kagaya memiliki obsesi yang tak dapat ku ukur, ia dan catatan panjang leluhurnya memiliki obsesi pada otoritas Amaterasu-sama.

Pria itu pasti akan mencari ku bahkan jika harus mengobrak-abrik Takamagahara.

Aku menyikap selimutku, dan melangkah pergi diam-diam, mengenakan lapisan kain untuk sedikit menghangatkan tubuh.

Pandanganku menatap gelapnya hutan, menembus area tak tersentuh rembulan itu dengan tajam.

"Ada yang tidak beres dengan bukit ini" gumamku.

Mengeluarkan kertas mantra, aku merobeknya menjadi 100 bagian, lalu menerbangkannya ke segala penjuru.

"Tempat ini..."

Harus segera di murnikan? Apa begitu saja sudah cukup? Selam hampir tiga bulan ini aku sudah mencoba berbagai macam cara untuk memurnikannya.

Dengan membagikan energi ku, ke pepohonan, binatang, sungai bahkan tanah.

Namun seperti nya tidak banyak hal yang berubah dari tempat ini.

Ini tidak seperti kampung halaman yang kulihat dari ingatan Tokitou-kun. Masih belum pasti memang, apakah berada di ingatan seseorang dan tempat aslinya mempengaruhi atau tidak.

BUMP!!

"HUFTT! HUFTT!" Nafasku mulai memburu, tersengal-sengal aku jatuh terduduk, dengan seluruh keringat dingin di pelipis ku.

"Hari ini pun aku sudah mengerahkan semua energiku" dadaku terasa panas.

Tanda matahari yang dititipkan Amaterasu-sama itu seolah memberitahu, inilah batasanku.

Aku mencoba meraih setiap inchi dari bukit ini, mencari kejanggalan, dan mungkin dalang di balik semua ini.

Tempat yang harusnya tak banyak dihuni manusia ini, harus nya tidak banyak di huni energi jahat.

Kalau siluman beda lagi ceritanya, mereka ada di mana mana disekitar sini.

"Ah tidak-" gumam ku.

"Kimono pemberian Tokitou-kun, ternoda oleh bercak tanah" Aku menggosok-gosok kainnya.

"Ini milik Ibu Tokitou-kun.."

!!!!!

"HUH!!!"

Tidak salah lagi! Aku merasakannya! Aku merasakan kehadiran eksistensi lain. Perasaan membakar dan menyengat punggunggu.

Cepat, aku berlari kembali dan membanti pintu Shoji.

"TOKITOU-KUN!!" pekik ku.

Kami berdua bertatap muka, saling kebingungan.

Ia sudah memasang kuda-kuda, dalam kondisi setengah bangun, dirinya sudah mencabut pedang nichirin nya dari sarung pedang.

"Kau-"

"Kau baik-baik saja"

Aku menghampiri nya sempoyongan, hatiku seperti ingin mencelos rasanya. Ia menangkap tubuhku di dekapannya.

"Apa kau baik-baik saja? Apakah Oni melukai-"

"Ah! Tidak! Aku baik-baik saja" buru buru kuputus kalimatnya.

"Tidak ada oni disini, aku hanya terkejut mendengar suara dari dalam rumah, kupikir itu beruang atau hewan buas lainnya" ucapku berbohong.

"Maaf yah, Apa aku membangunkanmu?"

Tokitou-kun menggeleng lemah, ia menguap kecil dan menjatuhkan kepalanya di dahiku.

"Aku sudah terbangun kok, sepertinya ada serangga yang menggigit ku, aku terkejut dan terbangun, tapi yang membuatku lebih terkejut adalah kau tidak ada di futon mu" tangannya mengusap leher.

Ia membuka matanya, menatapku instens, kurasa ia menginginkan jawaban.

"Ah, aku itu...."

"Kupikir aku ingin menghirup udara malam, aku juga digigit serangga dan tidak bisa tidur kembali, tapi sekarang aku sudah mengantuk! Lihat! Hoam!!!"  Tipu ku.

"Begitu yah, kalau begitu besok aku akan mencari herbal untuk mengusir nyamuk" ia duduk bersila di depanku, menepuk kepalaku lembut sembari tersenyum manis.

Aku mengangguk lemah, ketika kesadaranku makin menghilang, samar kulihat noda darah di lehernya.

Mungkinkan bekas gigitan nyamuk? Entahlah...

Mataku, sudah sangat berat...

.
.
.

"Tokitou-kun..." Bisikku.

"Tokitou-kun" kali ini aku mengguncang pelan tubuh mungilnya.

"Tokitou-kun sarapannya sudah matang" ucapku.

Aku menatap sinar matahari dari balik kertas penutup jendela, dilihat dari teriknya waktu mungkin berada di pukul sembilan sampai sepuluh, entahlah aku hanya bisa menerka-nerka.

Di era ini jam dan penunjuk waktu nampaknya masih belum digunakan untuk khalayak umum, beberapa pelancong dari luar negri yang berada di Ibukota dan kota-kota memang memilikinya.

Namun hanya bisa dihitung jari masyarakat yang sudah mawas diri kepada pentingnya menandai waktu dengan akurat.

"Tokitou-kun? Kau tidak mau makan?..." Ujar ku lagi.

"(Name-)"

Aku melihat bibirnya bergerak, dengan lirih dia memanggil namaku.

"Hm? Apa? " Kudekatkan telinga di kepalanya.

"Aku mau, tunggu sebentar badanku-" Tokitou-kun kembali menarik nafasnya kembali.

Ia seperti sangat kelelahan hanya dengan berbicara saja.

Susah payah, ia menopang tubuh nya untuk duduk, namun badannya kembali ambruk. Aku melihat futonnya yang basah meresap banyak keringat Tokitou. Disekitar pelipis Tokitou-kun juga dibanjiri peluh keringat.

Pupil ku menjelajahi tubuhnya, nafas Tokitou-kun berubah, menjadi terburu-buru, perutnya naik dan turun tidak normal.

Ekpresi diwajahnya menjadi seperti kesakitan.

"Apa kau baik-baik saja, Toki-"

Aku hendak mengukur suhu badannya, namun segera kutarik kembali tanganku tatkala kulit ku terasa tersengat. Ujung jemariku terasa terbakar, dengan luka bewarna ungu, namun luka itu segera menghilang dalam sekejap.

Terbakar menjadi percikan api begitu saja.

"AAAAAARRGH!" Muichirou meronta, lalu terkulai lemas, seolah-olah jiwanya sedang di cabut.

"Kenapa -" tubuhmu tak bergeming, kau ketakutan.

Apa itu? Luka yang muncul dari leher Muichirou, nanah dan darah keluar berbau tak sedap. Sementara kulit nya berangsur-angsur menjadi pucat.

"BERTAHANLAH! BERTAHANLAH! AKU AKAN MENCARI DOKTER" Teriaku.

Pontang-panting, kau seolah kehilangan kewarasanku.

KLOTAKKK!

Tak sengaja, kakiku menendang pot berisi sup untuk sarapan kalian hari ini. Panas arang membakar permukaan telapak kakiku, namun acuh ku abaikan rasa sakit itu dan memakai sendal geta mu.

Suara dedaunan kering yang berkumpul di tanah, bergesekan seiring ku berlari menginjak mereka. Badanmu kedinginan, sakit, paru-paru kuseolah-olah meletup.

Namun aku tak bisa berhenti memikirkan kondisi Muichirou yang sedang sendirian melawan rasa sakit itu.

"Sejak kapan?"

Bbertanya-tanya, apa ia sudah seperti itu sejak semalam.

Setelah berhasil menuruni bukit, aku singgah di kota terpencil yang paling dekat dengan tempat tinggal kami.

"Dokter! Apa disini ada dokter!" Tanyaku asal, pada siapapun yang bisa kutemui.

"Tabib! Apa disekitar sini ada tabib! Kumohon! Tokitou- "

Hasilnya nihil, orang-orang cenderung sibuk dengan urusan mereka masing-masing, mereka bahkan mengusir atau bahkan tak segan didorong hingga jatuh.

Tempat ini adalah kota miskin, dimana semua orang yang ada disini harus sungguh-sungguh bekerja agar mereka tidak berakhir mati kelaparan atau berakhir dijual di rumah bordil.

Aku merasa frustasi, darah mengucur dari kuku-kuku jemari ku yang menraup tandah tandus.

Kemana setelah ini? Kepala ku tidak bisa memikirkan tempat lain selain markas Kisatsutai.

"Apakah aku harus kembali?"

Tapi tempat itu sangat jauh, aku mengingatnya! tiga hari dua malam, adalah waktu perjalanan yang kami tempuh.

Apa Tokitou-kun bisa bertahan selama itu? Tidak! Aku akan bertaruh dengan kepala ku sendiri, dia tidak akan.

"Tidak bisa seperti ini..." Merasa masih harus berjuang, aku bangkit.

Menarik seorang pelayan wanita yang nampak menarik pengunjung untuk masuk ke kedai teh mereka.

Dan mendobrak pintu kedai teh itu.

"BERIKAN AKU DOKTER ATAU KUHABISI WANITA INI" ancam ku, sedikit menggores leher gadis tak berdosa itu dengan jepitan berbahan dasar perak.

Orang-orang di dalam kedai berteriak, bangkit dari tempat duduk mereka lalu menjauh.

"N-nyonya-" tangan gadis itu meraih, ia nampak kehabisan napa, untuk sedetik aku merasa ragu, namun kuurungkan niat itu karna pada dasarnya aku tidak berniat untuk benar-benar mencelakai gadis itu.

Dalam kericuhan itu, aku menatap putus asa orang-orang di dalam kedai itu.

Mengapa? Mengapa tidak ada yang menolongku?

Ini tidak seperti kalian memiliki bahasa yang benar-benar berbeda, meskipun kenyataannya berbeda era kalian masih satu warga negara.

"(Name)-sama"

Mendengar suara yang begitu familiar sontak membuatku menoleh, entah bagaimana kau menjelaskan selega apa perasaanmu.

.
.
.

"Sudah berapa lama Muichirou-sama seperti ini?"  Tanya Amane.

"Aku tidak tau pasti, tapi pagi ini dia sudah seperti ini"

Istri Ubuyashiki Kagaya itu menatap dokter yang tak bergeming dihadapan badan Muichirou.

Pria yang menggunakan setelan kimono coklat itu menggeleng lemah.

"Saya tidak bisa menemukan kejanggalan pada tubuh anak ini, memang benar nafasnya tidak teratur, bisa jadi itu gejala Aritmia"

"Tidak mungkin!" Sulutmu.

"Lalu bagaimana dengan luka ini? Lukanya semakin menyebar hingga ke wajahnya" tunjukmu.

Dokter itu menatap mu kebingungan.

"Maaf, tapi luka yang mana maksud anda?"

Kalian bertiga minus Muichirou yang sedang tak sadarkan diri hening.

"Apa anda mau mengatakan luka sebesar ini tidak terlihat! Lihat baik-baik!"

Pria itu mengenakan kembali kacamata bacanya, meskipun sudah melihat dengan jarak yang begitu dekat dia masih tak bisa menemukan sedikitpun luka yang kau maksudkan.

Melihat ada yang tak beres, Amane segera memutuskan untuk menyudahi pengobatan itu membayar biaya yang diperlukan dan meminta dokter tersebut undur diri.

"Amane-san apa anda juga tidak bisa melihatnya? , Luka di leher Muichirou, merambat dengan cepat, Muichirou seperti..."

Ragu kau melanjutkan kalimatmu.

"Kertas yang tengah dilahap api"

"Saya tidak bisa melihat apapun selain tubuh pucat Muichirou-sama, (Name)-sama sepertinya ini tidak ada hubungannya sama sekali dengan penyakit manapun"

SRAKKK!!

SRAKKK!

Amane langsung melempar pandangannya ke arah pintu, menjadi nyonya dari Kisatsutai membuat indranya lebih tajam dari wanita manapun.

Kau begidik setengah mati, seperti ada tombak yang menembus ulu hati mu dari arah pintu.

Kalian berdua menyadari, ada seseorang yang sedang menuju kemar, apapun yang kini tengah berdiri di depan pintu itu, auranya terasa begitu jahat.

"Apa aku boleh masuk?" Tanyanya.

Amane sudah menarik belati dari sarung yang tersembunyi di dalam obinya. Wajahnya sungguh tak menyambut baik siapapun yang berada di luar rumah ini.

Pintu Shoji bergeser, tanpa disentuh.

Memperlihatkan seorang wanita berpakaian Miko bewarna hitam dengan garis merah mengkilat.

Wajahnya tertutup kain putih dengan tulisan kuno bewarna merah.

Di sampingnya tergeletak sebuah mayat tanpa kepala dengan darah yang masih segar mengalir menodai dedaunan.

"Oh ini? Ini tangkapan pertamaku, kurasa orang ini ada di pihak kalian jadi aku harus melenyapkannya, yah meskipun sayang sekali aku menjatuhi hukuman langit padanya dan dia mati dengan cepat"

Datar, ucapnya setelah mengetahui bola matamu sempat melirik orang itu.

"Siapa kau!" Tanya Amane.

"Apa kau Oni! Bagaimana kau menemukan tempat ini! Apa Muzan mengirim mu! Katakan dimana dia!"

Agresif...

Amane melontarkan pertanyaan itu tanpa rasa gentar dari dirinya, kau merasakan luapan amarah darinya.

"Kami bergerak atas titah Nya, dia adalah penguasa kami, bintang bintang adalah anak-anaknya, namaku Tsubaki pelayan Nya yang paling setia" gadis itu memperkenalkan diri.

Senyumnya merekah, bibir Semerah darah itu mengkilat bersama tawa kecil yang anggun.

"Jawab pertanyaan ku! Apa Kibutsuji Muzan mengirimmu! Dimana dia sekarang!" Amane kembali mengintimidasi.

Ia merasa di asing kan, wanita yang telah melahirkan tiga penerus Kagaya itu sadar, yang di depannya ini bukan manusia.

Dan dia juga sadar, bahwa dirinya jauh berada dibawah nya, selain itu Amane tau, dirinya sama sekali tidak dianggap, dia bukan mangsa utama.

Tapi...

"Aku bisa merasakannya dari dirimu, inkarnasi matahari"

"Tidak akan kubiarkan, kau menyentuh (Name)-sama sedikitpun!" Amane mengambil ancang-ancang, untuk menikam gadis yang menamai dirinya dengan Tsubaki itu, dan membiarkan mu melarikan diri.

"JANGAN BERGERAK AMANE!" pekik mu.

"(Name)-sama?"

"Apakah kau tidak bisa melihatnya?, kalau kita bergerak tubuh kita akan terpotong-potong seperti dokter itu" pupil mu bergerak, melirik tubuh tanpa kepala disamping Tsubaki.

"Hmm? Ada apa ini? Apa wanita ini pelayanmu? Apa dia Shinkimu? Hahaha! Percuma saja, tidak ada yang bisa kabur dari benar merah ku"

Kau tidak bisa menjawab, sibuk berfikir bagaimana caranya kalian keluar dari situasi ini.

"Aku sudah mengawasi kalian berdua cukup lama, bocah ini, jadi kutukannya sudah aktif yah"

"Jadi itu kau yah! Energi yang mengusik ku selama ini, mau apa kau dengan Muichirou! Dia tidak ada hubungannya-"

"Kau akan menyerahkan segel Amaterasu pada ku" potongnya.

Tubuh Muichirou telah melayang, menghampiri gadis itu, di hadapannya tangan kurus penuh noda darah milik Tsubaki meraba-raba wajah Muichirou.

Membuatnya menjerit kesakitan bahkan di alam bawah sadarnya.

"Hentikan! Berhenti! Kau bisa membunuhnya" cegah mu.

"Dia akan mati, dia pasti mati tengah malam nanti, kutukannya sudah menyebar, kau bisa menyelamatkan nya dengan memberikan segel itu sukarela"

"Kenapa kau melakukan ini! Siapa sebenarnya tuan mu? Apa itu orang yang bernama Kibutsuji Muzan, tapi kau ini bukan oni kan? Kau bahkan tidak benar-benar hidup"

Ia tidak memiliki bayangan, begitulah Tsubaki terbias dimatamu, entah bagaimana Amane melihatnya atau tidak.

"Aku bukan makhluk hina itu, aku adalah pelayan tuanku, dan perintah untuk merampas segel Amaterasu itu dititahkan oleh tuanku, akan tetapi, wanita sialan itu! Dia berencana terlahir kembali lebih terang dari sebelumnya, dia pasti sudah gila, dia akan menelan Tuanku"

"Apa maksudmu? Aku tidak mengerti! Siapa yang terlahir kembali! Amaterasu-san tidak seperti itu dia-"

"Apa kau yakin akan membahas ini? Kurang dari tiga jam, nyawa bocah ini akan menghilang, kutukan nya sedang melahap jiwanya, tidak hanya kematian, dia bahkan tidak bisa berinkarnasi lagi, kau mungkin tidak akan menyerahkan segel mu secara sukarela, namun kami akan menemukan cara lain yang efektif "

"(Name)-sama! Jangan lakukan itu! Saya tidak akan membiarkan anda" Amane kukuh.

Ia tidak bisa membiarkan engkau yang dinanti selama generasi demi generasi Ubuyashiki menghilang begitu saja.

UGH!

Tenggorokan Amane berlubang, wanita itu memuntahkan sejumlah darah segar dari mulutnya.

"Berisik sekali" ungkapnya.

Melihat sesuatu yang lebih berbahaya datang bermaksud menuntaskan Amane, kau membungkus sesuatu dengan kertas di tanganmu.

Ctasssh!

"AMANE!" dan menendang Amane ke sisi ruangan lain.

Lantai kayu yang kalian pijaki, kini memiliki banyak lubang, bersama langit-langit rumah yang juga sama berlubang nya.

"Begitu yah, sepertinya aku terlalu meremehkan mu hanya karna kau seorang manusia biasa, ternyata kau tetaplah seorang yang dipilih oleh Amaterasu" Tsubaki memuji.

Ditangan mu sudah berpindah tangan belati milik Amane dengan bungkus kertas di pegangannya.

Kau melihatnya, dengan jelas.

Ratusan atau bahkan ribuan benang merah menyala yang berada di luar rumah ini. Tidak ada tempat untuk lari...

"Tengah malam..." Ujarmu.

"Kita bertemu lagi disini tengah malam! Kau benar, aku tidak akan menyerahkan segel nya begitu saja, tapi aku harus memastikan tidak ada tawanan lagi sebagai pertukaran selain Muichirou " meskipun telah memotong seluruh benang yang melilitmu dan Amane, kau tetap tidak  bisa meraih Muichirou.

"Aku akan membawa Amane pergi dari hutan ini, dan kembali untuk melakukan pertukaran"

"Sampai saat itu tiba tolong, tunggu aku! hentikan kutukannya! " Pintamu.

"Baik, keputusan yang bagus, kuizinkan kau membawa pergi wanita itu, tapi tentang kutukannya, sayang sekali aku tidak bisa melakukan apapun" ucap Tsubaki acuh.

"Apa maksudmu! Kau yang menempatkan kutukannya! "

"Aku yang menanamnya" ia nampak meralat ucapannya.

"Tapi itu bukan milikku" Tsubaki melempar sekantung penuh akan biji bijian yang lalu berserakan di lantai kayu.

Aura hitam menguar sekilas dari setiap biji itu.

"Itu Biji yang diambil dari pohon di Tokoyami, meskipun seorang manusia kau juga pengganti Amaterasu, pasti paham kan"

Siapapun yang menelan makanan dari Tokoyami atau dunia bawah, tidak akan kembali ke dunia mereka.

"Tuan kami memiliki metode khusus untuk memanen nya dan menjadikannya sebuah kutukan"

"Katakan! Tsubaki, apa Tuan mu itu ratu dunia Yomi? " Tanyamu.

Jika memang benar, rasanya itu masih tidak bisa dipercaya. Ratu dunia bawah adalah dewa yang terbuang, dia selamanya berada di dunia bawah akan tetapi bahkan jika Amaterasu sendiri yang melawannya di dunia bawah, itu akan menjadi pertarungan yang tak bisa Amaterasu menangkan.

"Siapa yang tahu" ucap Tsubaki seolah membuatmu gemetar atas asumsi mu sendiri.

"Yang pasti bocah ini, Tokitou Muichirou akan menjadi penghuni dunia bawah selamanya jika sedikit saja kau terlambat, hanya benang ku yang terhubung di perutnya lah yang bisa menarik kembali biji dari Tokoyami, namun semua itu tetap tidak berguna jika biji itu telah sepenuhnya tercerna" wanita itu tersenyum licik.

Lipstik merah nya mengkilap berpantulan dengan cahaya bulan yang kebiruan.

Tsubaki menghilang dari hadapanmu, seperti sebuah buntalan benang yang terurai, membawa Muichirou bersamanya.

Tegar! Kau harus kuat, tidak ada waktu untuk merasa gemetaran.

Dirimu menghampiri Amane, yang masih sanggup menjaga kesadarannya.

"Amane, aku akan mengantarmu sampai keluar dari hutan ini"

"(Name)-sama saya tidak setuju! Tolong jangan lakukan ini! Tolong jangan bahayakan diri anda" pinta Amane, ia nampak sudah sekarat.

Beruntung pita suara nya tidak terluka, wanita itu mungkin akan mati malam ini, namun sebisa mungkin ia ingin mengubah keputusan mu.

"Amane, kau harus pulang..." Bibirmu mengulum senyum yang tak bisa Amane tafsirkan.

Kau membopong nya, dan bergegas keluar dari hutan.

Selama berada di perjalanan, Amane banyak bicara, seperti seseorang yang nampak akan segera meninggalkan dunia ini.

Kau mengacuhkannya, karna kau tak memiliki apapun selain usaha, usahamu untuk mengantarnya pulang.

"Amane, berjanjilah padaku kau akan pulang" ujarmu tiba-tiba di sunyinya hutan.

"Saya-"

"Saya letih sekali (Name)-sama, apa saya boleh beristirahat sebentar? Saya kedinginan" ucapnya.

"Tidak!" Tegas mu.

"Kita akan terus bergerak"

Matamu sudah memerah, mati-matian menahan tangis agar tak meledak. Suka tidak suka, tidak akan mengubah fakta bahwa keluarga Kagaya termasuk Amane adalah pengikut pertama mu.

Tempat ini begitu asing, begitu menunjukkan penolakannya padamu, mengucilkanmu, membuat punggungmu terkadang terasa kedinginan.

Tapi Amane bisa dibilang ada disana, tidak setiap saat memang, tapi sangat membantu membuatmu tegar, sesekali menjadi sosok Ibu yang terasa begitu asing untukmu.

Sebagai dewa yang mereka sembah, mustahil untukmu meninggalkannya disini. Namun tidak seperti itu, kau menganggap Amane lebih dari itu.

"Amane..."

"Amane?"

Langkahmu terhenti, lalu bahumu bergetar, isakmu kini terdengar sunyi. Kini tidak adalagi suara Amane.

Dia telah tiada...

To be continue~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top