42. Hilang dan Datang

Seseorang menarikmu, langkahnya buru-buru.

"Tunggu sebentar! Siapa kau dan mau apa dirimu!? " ia tak mendengarkan mu.

Apa orang ini berniat jahat padamu, kau tidak tau. Anehnya tidak ada orang-orang desa yang menghentikan kalian.

"A-nu! Kumohon bisakah kita berjalan lebih pelan? Aku- aku ini tidak bisa melihat! " pintamu di sela-sela perjalanan kalian.

Seperti tak dihiraukan, kau sedikit menarik tangannya.

"Dengarkan aku! " pintamu.

Kalian berhenti, kau menarik nafas lega. Menarik nafas panjang, kau menyeka keringatmu.

"Sebenarnya kemana kau akan membawa ku pergi? " tanya mu.

Lama kau berikan pertanyaan itu, ia masih juga belum menjawabnya. Tidak kau rasa niat buruk terpancar dari diri orang asing itu.

Hanya saja...

"Tunggu dulu! Kubilang mau kemana kita? " ia kembali menarik mu, tangannya dingin, dan kasar.

Tangan itu kecil, hampir mirip dengan tangan seorang wanita. Tapi permukaan kulitnya kasar.

Setelah cukup lama diseret, kalian berhenti, tanah yang kau tapaki seolah berbeda, lebih gembur daripada jalanan desa.

Bisa kau tebak kini kalian sedang ada di hutan. Tumbuhan obat-obatan segera menyergap hidungmu, baunya menyengat, tak heran, ciri khas sebuah obat mentah.

Beberapa aroma dedaunan yang dikeringkan juga menyapamu. Suara bising tawon berkerumun, di sekitar kepala mu.

"Dimana kita? "

Lagi-lagi tak ada jawaban.

Pintu diketuk, engsel sederhana yang telah berkarat itu terdengar buruk di telingamu.

Suara batuk seorang pria berusia lanjut terdengar melengking, Ia sempat menjerit singkat, sampai kau dengar suaranya seolah di sumpal.

"Anu... "

"Siapa gerangan nona ini? " tanyanya dengan suara kantuk.

"Aku, aku tidak tau, tiba-tiba aku diseret oleh orang ini sampai disini, sebenarnya ini dimana? " tanya mu.

"Ini lahan perkebunan obat-obatan milik keluarga Motoki" balasnya.

"Pantas saja, bau obat-obatan disini begitu kuat, lalu apa yang kau butuhkan datang membawa ku kemari, kuingatkan padamu yah, aku ini bukan tabib atau peracik obat" kau bertanya pada orang itu, yang bertanggung jawab atas dirimu yang diseret kemari.

"Tunggu sebentar... " kau seolah mengingat sesuatu yang harusnya tidak kau lupakan.

"Motoki-Dono? Apa ini benar kediaman Motoki-Dono? " kau kegirangan, hingga tak sadar hampir menabrak pria renta itu.

"Sudah kubilang ini perkebunannya, bukan kediamannya, kepala keluarga Motoki adalah orang terpandang di desa ini, ia satu dari banyaknya tetua desa" cercanya.

"Kalau begitu bagus! Aku ada di tempat yang tepat! Langsung saja ke intinya, aku kemari atas permintaan pillar serangga, Shinobu Kouchou-san untuk mengambil madu lebah merah yang keluarga Motoki janjikan"

"Utusan pilar serangga? Lantas apa buktinya? " tanya pria itu.

"Itu dia masalahnya, Shinobu-san menitipkan Haorinya, hanya saja baju kebesarannya itu kini telah terbelah menjadi dua, bisakah aku mengambilnya tanpa Haori itu? " pintamu baik-baik.

"Eiii kau ini! Mau menipu yah! Kalau ingin menipu disini bukan tempat yang tepat! "

"Tunggu sebentar paman! " Kau berusaha mencegah orang itu pergi, meraba-raba, tak kau jumpai lagi badannya berdiri di depanmu.

Terus maju kau mendapati pintu yang hampir tertutup.

BRAKK!

Sontak kau lepaskan tangan mu dari pintu itu, hampir saja terjepit olehnya.

"Ce-cepat katakan apa yang ingin kau katakan"

Kau bertanya-tanya, mengapa orang itu masih berbicara denganmu? Sementara baru saja pintu rumahnya telah dibanting kasar.

" Haorinya rusak, aku tidak berbohong"

"Bagaimana bisa kau merusaknya! " cela nya padamu.

" Itu salahku! Murni salahku, aku melemparkannya sembarangan pada pillar kabut dan membuatnya tak sengaja memotong bawaan ku" jelasmu

"Pilar kabut katamu? " kau mengangguk.

Ia tak memberimu balasan, bahkan sepatah katapun.

"Oh tapi-tapi! Pilar kabut benar-benar tidak bersalah, hari ini aku sempat menanyainya, hanya karna aku khawatir apa aku sempat melukainya dengan barang bawaanku, jadi itu sepenuhnya salahku" timpal mu, menautkan kedua jari telunjuk mu.

"Kumohon..."

Kau memelas, menurunkan ego mu, kau berharap bisa mengerahkan semua yang kau punya untuk membantu para pemburu iblis..

"Ini! Ambil ini"

Tiba-tiba pria itu memberi mu sebuah guci tanah liat, aroma lembut madu tercium dari kain sutra penutup nya.

"Ini adalah stok terakhir madu, yang membuatnya khusus daripada yang lain adalah, madu ini telah di racik dan di fermentasi selama 10 tahun lamanya"

Suaranya terdengar berat, kau mengerti mengapa ia begitu berkelit hanya untuk sebuah madu.

"Saya mengerti, terimakasih atas kemurahan hatinya matoki-dono, sebagai gantinya suatu saat saya akan membalas kebaikan anda" ucapmu tulus.

Sunyi diantara kalian, hanya gemerisik ranting serta dedaunan menambah kesan asrinya perkebunan itu.

"Eiii! Sudahlah cepat pergi! Cepat pergi! " ia mengusir mu, kau kembali di tarik oleh orang misterius itu.

Sempat berpamitan singkat pada penjaga perkebunan, kau memasang senyum terbaik milik mu.

Bunga-bunga menunduk malu melihatnya, mereka tak sanggup mengalahkan senyum mu.

Dari kejauhan, sang penjaga perkebunan itu berbisik, bahwa ia merasa sangat terhormat bisa menemuimu, di akhir hidupnya yang akan mengakhiri masa kepemimpinan keluarga nya.

Selama perjalanan kau tak bersuara, kau rasakan genggaman orang misterius itu lebih erat dari sebelumnya.

"Apa kau baik-baik saja? Apa kau kedinginan? " tanyamu memastikan.

"..." meskipun lagi-lagi tak sepatah katapun..

"Terimakasih banyak telah membantuku hari ini" kau mendekap guci itu, layaknya sebuah permata berharga.

Senyum sederhana terukir di bibir mungil mu.

"Hari ini Shinobu-san menugaskan ku untuk mengambil obat yang paling langka di era ini, ia bilang madu ini akan di jadikannya balsam, pereda luka dan nyeri, aku merasa senang sekali, akhirnya bisa membantu Kisatsutai " ceritamu.

"Oh kalau kau tidak tau siapa itu Shinobu-san dia adalah seorang pillar loh, yang kuat dan berbakat, meskipun hanya seorang wanita, ia benar-benar cerdas" kau memuji sosok seorang Shinobu.

"Setelah bertarung sendiri dengan para Iblis, aku jadi khawatir dan selalu memikirkan ini, andai aku bisa melakukan sesuatu untuk meringankan luka para pemburu Iblis, jadi mereka tak harus khawatir dengan lukanya" kau bercerita begitu banyak.

Menikmati cerita-cerita itu sendirian, meskipun begitu kau tetap menyukainya, cerita tentang kehebatan para pemburu Iblis khususnya para pillar.

"Kalau kau bagaimana? " kali ini kau bertanya padanya, berharap ia mau berbagi kisah dengan mu.

Guntur menyambar, membungkam bisu kisah-kisah kalian berdua. Jatuh tersungkur, kau sempat berniat melarikan diri dari murka sang guntur.

Kau meraba-raba, pandangan mu gelap, hawa dingin menusuk tulang-tulang mu, kesepian menghancurkan kepercayaan dirimu.

"Kau dimana? " jerit mu putus asa.

"Kau ada dimana!? "

"Jangan tinggalkan aku sendirian, kumohon janhan tinggalkan aku sendirian! " pintamu.

Kedua tangan itu kembali meraba-raba udara, kau temukan tangan mungilnya. Sontak kau genggam erat tangan itu, tak mau melepasnya sampai guntur berhenti menyambar.

Orang itu membawa mu, berteduh. Tangamu gemetar hebat.

"Aku ini begitu takut pada guntur" kau membuka suara.

Nada mu terdengar begitu pasrah.

"Apa kau percaya itu? Padahal hanya ada kurang dari 1% kasus kematian yang disebabkan oleh petir"

Memeluk dirimu kau, menggigil kedinginan. Suhu udara tipis pegunungan, memaksa paru-paru mu bertahan dengan kualitas udara tipis.

"Tapi ini bukan hanya tentangku, ini bukan tentang hidupku, ini tentang nenekku"

"..."

"Apa kau akan mendengarkanku? " tanyamu.

Kau tak dapat mendengar suaranya, tapi hangatnya nafas miliknya menandakan kalian begitu dekat dan dipastikan ia benar-benar memperhatikan.

"Keluarga nenek mengadopsi ku, untuk menemani nenek, karna penyakitnya nenek butuh di temani, aku memenuhi tugas ku, bukan sebagai anak ataupun cucu, namun sebagai orang yang berterimakasih telah dipungut"

"Nenek yang mengajarkanku budi pekerti, ia yang menanamkan kebajikan di hidupku, ia adalah orang yang begitu polos dan baik, diusianya yang tak lagi muda itu nenek selalu mendahulukan orang lain" tak sadar kau tertawa.

"Dulu kupikir orang yang membantu orang lain itu hanya orang bodoh, tapi sekarang tidak, Tuhan tidak tidur, disetiap kebajikan yang kita lakukan akan di bayar berkali-kali lipat"

"Ne, kau itu orang baik, biarpun aku tidak tau namamu, atau bagaimana rupa mu, tapi kau itu orang baik" sayu di mata mu, memancarkan kekecewaan..

Kecewa jika nanti kau berpisah tanpa tau siapa dirinya.

Ia menggenggam lengan mu, menuntun jari jemari mu meraba wajahnya.

Kau sentuh, basah di ujung matanya.

"Apa kau menangis? Apa aku mengatakan sesuatu yang kau tidak sukai? " kau khawatir telah menyinggung perasaannya.

Mendekatkan diri kau mendekapnya, ternyata tubuhnya begitu mungil dalam dekapanmu, seperti tubuh seorang gadis, meskipun ia begitu kuat, surainya panjang dan lembut.

Membelai rambutnya, kau bersenandung.

"Tidurlah... Tidurlah wahai sayangku"

"Tidur dalam dekapanku, esok kan menanti, dimana aku menunggumu bersama pagi"

Kau rasakan dagunya mendongak, tertawa ringan kau menatap lurus kedepan.

"Aku ini anak tertua yang hidup di panti asuhan dulu, jadi wajar jika aku bersikap seperti ini setiap kali, adik-adikku merasa kesulitan, aku berhutang budi kepadamu, jika suatu hari lagi kita tak bisa bertemu lagi aku harap aku bisa membalas budimu"

Ia menerima alasanmu, dan tenang di dalam pelukanmu.

Suhu tubuhnya begitu dingin, namun kau rasa jauh di dalam hatinya telah membeku dan tertutup oleh kabut.

Kabut...

Ia mengingatkan mu dengan pria malang itu.

TBC.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top