37. Atas nama Matahari

"Nanti ketika kita telah sampai pada puncaknya dan gugur, kita takkan pergi kemanapun"

"Tidak ada surga ataupun Neraka yang menunggu kita semua,  tidak  ada kehidupan selanjutnya yang dijanjikan pada jiwa kita,  aku dan yang lainnya hanya akan menghilang di ruang hampa"

"Oleh karna itu, para dewa memiliki kekuatan untuk bebas melakukan apapun yang mereka mau,  karna setelah kami tiada, takkan ada lagi yang tersisa... "

"Tidak bahkan penerus selanjutnya,  reinkarnasi tak menjamin kami dapat seutuhnya menjaga jiwa ini tetap sama,  perasaan kami akan terurai,  sepenuh nya terhapus permanen dan generasi baru berhak memperoleh perasaannya sendiri"

"Kalaupun ada reinkarnasi yang masih memiliki perasaan pendahulunya,  mereka hanya dapat dihitung dengan jari,  dari 800 juta dewa dewi Shinto"

"Hanya ada beberapa yang memiliki kekuasaan itu"

"Dan aku,  memilih menghabiskan waktuku bersama mu... "

"Mentariku... "

***

"(Name)-san!" jerit seseorang padamu. 

Tetesan hujan membasahi pipimu,  kau mencoba membuka kelopak mata, berat sekali.  Seperti mencoba bangun pagi setelah seharian bekerja keras. 

"Eh?  Tanjirou-kun?" sapamu menatapnya yang duduk tepat di wajahmu. 

"Selamat pagi!" sambungmu. 

Pria itu semakin menangis tak karuan,  bersama sang adik yang lebih dulu memelukmu, terisak. 

"Aw aw aw auchhh! Nezuko-chan selamat pagi! " sapamu. 

Menatap langit kau tak melihat tanda-tanda hujan, tapi pipimu basah akan tetesan air.  Kau melihat baik-baik sekitar.

Reruntuhan rumah, bekas terbakar, dan puluhan orang terluka,  lalu pemandangan Tanjirou yang tengah menangis. 

Uwapahhh??? 

"Ta-tanjirou kunn? Kenapa kau menangis?  Apa- apa ada sesuatu yang mengganggu mu? " kau gelagapan,  berusaha menenangkannya. 

"Apa kau baik-baik saja?  Apa ada yang terluka?  Sini sebentar! Coba perlihatkan wajahmu!  Aku yakin Daki tadi melukai wajahmu bukan?  Apa matamu baik-baik saja? " kau mencengkram pipi Tanjirou, memeriksanya baik-baik. 

Hingga sampailah kau melihat tanda merah di keningnya itu, tanda itu juga dimiliki pria yang ada di mimpi mu. 

Mungkinkah...

"Ini salah mu!  Jika kau tak terpotong semuanya pasti tidak seperti ini! " cemoh Gyuutarou pada kepala adiknya.

Yang tergeletak tak berdaya di tanah. Mereka begitu dekat bahkan di akhir hayat mereka,  sayang kedua saudara itu tak bisa mengakui perasaan mereka. 

"Oh!  Jadi ini salahku?  Bukankah sudah kubilang untuk menghabisi mereka semua selagi sempat! Ini salahmu karna terlalu banyak bermain-main dengan mereka! " pekik Daki tak mau kalah. 

"Oh jadi ini salahku?  Kalau begitu coba saja kalahkan mereka sendirian!  Kau iblis bulan atas yang tak berguna!" balas Gyuutarou. 

"Apa!?  Tidak mungkin!  Tidak mungkin pria menjijikkan seperti mu adalah kakak ku! Kita mungkin saja bukan saudara kandung! " Daki terus meluapkan emosinya. 

Tanjirou dan dirimu melihat pemandangan itu miris,  melihat hancurnya sebuah ikatan persaudaraan. 

"Jangan bercanda!  Kau benar-benar tak berguna! Slama ini akulah yang melindungimu,  kau tak memiliki satupun kelebihan! Sekarang aku benar-benar menyesal telah melindungimu sepanjang saat! Andai saja kau tak ada di dunia ini!  Andai saja kau bukan saudariku! Maka hidupku takkan-"

Tanjirou membungkam mulut Gyuutarou, memandangnya miris,  mengasihani takdir malang kedua saudara itu. 

"Itu bohong "

"Itu semua bohong" ujarnya. 

"Kau sebenarnya tak sedikitpun berpikiran seperti itu! Satu-satunya yang kalian berdua miliki adalah satu sama lain" timpal Tanjirou. 

"Jadi cobalah untuk akur" sarannya lagi. 

"Kalian membunuh,  kalian dibenci,  kalian, kalian direndahkan,  takkan ada seorang pun yang akan memihak kalian,  namun setidaknya... " Tanjirou menggantung kalimatnya. 

"Jangan saling mengutuk..."

Meskipun begitu Gyuutarou tak mau mendengarkan Tanjirou,  ia terus mengutuk Tanjirou yang telah menebasnya. 

"Tidak!  Tidak!  Aku tidak mau menghilang! " Daki terus meronta,  kembali menyalahkan kakaknya. 

Salah satu tangan mu yang terluka parah membungkam mulutnya.  Wanita itu sempat melirikmu tajam. 

Kau mengabaikannya...

"Kumohon..."

"Kau harus mengatakan apa yang ingin kau katakan pada kakakmu" tangismu.

Jika mereka terus mengutuk hingga akhir hayat mereka seperti ini, kau merasa khawatir kedua orang itu akan meninggalkan penyesalan. 

"Kakak! Lakukan sesuatu pada orang-orang ini!  Aku tak mau menghilang!  Kakak aku-" kepala itu sepenuhnya menjadi abu.

Suara Daki tak lagi dapat terdengar dimanapun,  jiwa nya pun tak lagi bisa kau rasakan.

Mereka berdua telah lama tiada,  spiritual murni itu pasti telah menunggu di suatu tempat,  ribuan tahun lamanya. 

"Dakiiii!" Gyuutarou memanggil namanya. 

Kau menatap pria itu sedih,  menyayangkan suaranya takkan dapat mencapai tempat dimana Daki menunggu. 

"Tidak! Nama adikku bukanlah Daki! Itu nama yang buruk! Namanya adalah Ume,  tetap saja nama itu tak begitu bagus"

Gyuutarou mulai menggunakan waktu nya yang tersisa menceritakan mereka telah ssampai di titik ini. Mengapa mereka memilih menyerahkan diri pada Iblis. 

Kedua saudara itu lahir dari rahim seorang Ibu  tanpa sosok ayah, ratusan tahun yang lalu,  saat dizaman zaman masih memiliki kedudukan kaum berderajat rendah dan tinggi. 

Ia yang dilahirkan dengan wajah yang buruk rupa dan hampir dibunuh oleh Ibu kandungnya sendiri. 

Ia yang selalu selamat dari maut itu entah bagaimana,  ia yang selalu memakan bangkai tikus dan serangga untuk bertahan hidup. 

Ia yang menyerah berharap namun enggan untuk mati.

Dan ia yang dikaruniai dengan seorang adik,  wajahnya cantik jelita.  Gyuutarou berpikir kehidupan mulai memihaknya. 

Ia menemukan pekerjaan yang bisa ia lakukan. Ia bisa melindungi adik perempuannya. 

Namun ia harusnya tau,  bahwa mimpi indah seperti itu tak pernah terjadi pada hidupnya. para dewa tidak adil dengan mereka.

Mereka hanya memiliki satu-sama lainnya,  dan akhirnya takdir mengambil adiknya,  terbakar sekarat oleh tangan-tangan tak bertanggung jawab. 

Ia yang putus asa,  dan dipertemukan dengan Douma, lalu memilih untuk hidup lebih lama dan membalas dendam. 

Air mata mengalir di pelupuk matanya,  kepalanya pudar tertiup angin. 

"Kalian semua manusia sialan!  Ingat saja!  Tak peduli berapa kalipun,  aku akan kembali menjadi Iblis! "

"Slamat tinggal"

****

"Kakak! Tempat apa ini!? Tempat ini begitu gelap! Aku tak mau disini kak!"

Sosok remaja Ume berlarian,  mengejutkan Gyuutarou, wajahnya ketakutan,  seolah telah menunggu begitu lama sang kakak. 

"Tempat mu disitu" Gyuutarou menunjuk persimpangan jalan mereka. 

Satu jalan dengan penerangan cahaya,  dan satumya lagi adalah jalan gelap gulita. 

"Tunggu sebentar! Apa kita akan berpisah disini!?" tanya Ume menarik lengan sang kakak. 

"Lepaskan aku!  Kau menganggu!  Aku tidak membutuhkanmu!" pekik Gyuutarou,  memukul mundur langkah adiknya. 

Setidaknya,  ia ingin akhir hidup adiknya itu lebih baik.  Ia ingin Ume hidup dibawah sinar hangat mentari,  tanpa harus mengikutinya yang tak memiliki masa depan itu. 

"Aku tidak-" tangis Ume tersendat. 

"HAH!? Apa!? " kembali Gyuutarou menyentaknya. 

"Aku tidak mau meninggalkan mu kakkkk! " tangis Ume pecah,  ia melompat begitu saja pada punggung bungkuk sang kakak. 

Deru tangisnya memenuhi ruangan.

"Aku tidak peduli jalan mana yang mau kau tempuh!  Kau sendiri bukan yang bilang bahwa jika kita bersama,  kita pasti bisa melewati semuanya,  kelaparan,  kedinginan,  semuanya... "

Pria yang telah mencoba menegarkan diri itu tak kuasa untuk tak menangis. 

Ia menitikkan air mata nya,  pertama kalinya dalam hidupnya yang panjang itu. 

"Jangan tinggalkan aku kak! "

"Ta-tapi,  jika kau bersamaku, kau akan... " Gyuutarou mencoba menyuarakan perasaannya,  kekhawatirannya, semuanya yang ia ingin lakukan adalah demi kebaikan adik semata wayangnya.

"Itu benar!  Jangan tinggalkan dia" sebuah suara mengganggu percakapam haru mereka. 

Kedua orang itu menatap asal suara itu,  tak yakin seseorang bisa mengintrupsi kenangan milik mereka berdua.

"Kau!" Gyuutarou seolah tak mau mempercayai pengelihatan nya,  gadis yang telah memenggal kepala adiknya itu,  kini ada di depan mereka. 

Reflek Gyuutarou menyembunyikan Ume di belakangnya, kau tersenyum bahagia, mengetahui kedua bersaudara itu masih saling peduli.

"Apa yang kau lakukan disini!?" jerit Gyuutarou, amarah mendorongnya, terlebih mendapati Ume yang bergetar menahan tangis ketakutan di belakangnya.

"Aku tidak akan menyakiti kalian" menatap ruang gelap itu, sedikit demi sedikit kunang-kunang dengan cahaya seterang api menyinari tempat itu.

"Di tempat ini semua orang diperlakukan sama" imbuhmu, memamerkan senyum pada mereka

Namun Gyuutarou yang telah lama hidup di dunia  busuk itu tak semena-mena percaya, terlebih pada wanita yang telah memenggal kepala adiknya. Dan kau tau itu, tetap tak bisa melakukan apapun akan kewaspadaannya yang tinggi.

"Yang ingin ku katakan pada kalian adalah, aku ingin kalian mengambil jalan yang sama" pintamu.

"Tak perlu kau tegaskan pun, aku akan mengambil jalan yang sama dengan kakak ku! Meskipun jika itu berarti kami harus berakhir di neraka!" teriak Ume.

"Bagus!" ujarmu.

"Namun kalian tidak akan pergi ke neraka, aku ingin kalian pergi ke pintu lain" jemari mu menunjuk salah satu pintu berukuran sedang, berwarna coklat dengan lilin dan hiasan rumahan sederhana yang begitu hangat.

"Sebenarnya apa maumu!" tanya Gyuutarou, ragu masih terlihat di kedua manik hijaunya.

"Aku ingin kalian dipertemukan lagi" ucapanmu membungkam bisu kedua bersaudara itu. 

"Surga takkan menerima kalian, sementara Neraka bukanlah tempat yang bisa disebut seenak hati, tempat itu benar-benar mengerikan, kau maupun adikmu, tak satupun dari kalian akan dipertemukan bahkan diizinkan untuk saling bertemu, kutawarkan nama ku pada kalian dan pergilah ketempat itu, kujanjikan dua hal pada kalian, selamanya abadi bersama atau kembali melihat dunia sebagai dua saudara sekali lagi" 

 Keduanya, masih membeku, tawaran yang mereka dapatkan begitu menguntungkan, hingga rasanya seperti sebuah mimpi yang tak nyata.

Pintu ketiga itu terbuka, menampakkan seorang wanita berkimono dengan topeng rubah, membawa sebuah lentera dan menunggu mereka berdua.

"Pergilah! Dia akan menuntun kalian, tebus dosa-dosa kalian, itu harga yang harus kalian bayar untuk tetap saling bersama selamanya, dan kuharap suatu saat kita bisa bertemu lagi" kau tersenyum, melepas dua orang yang melangkah maju dengan bergandengan tangan itu.

Entah keputusan yang tepat atau bukan, memberikan keringanan pada seorang pendosa seperti mereka. Namun apapun itu kau takkan menyesalinya.

Tbc~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top