08. Benang Merah Yang Kau Rajut.

Telaten ku ganti futon Senjurou-kun dengan yang baru,  lengkap dengan selimut dan bantalanya.

Aku kesulitan memasangkan kimononya,  setiap jemariku yang menyentuh tubuh Senjurou-kun mengingatkan ku dengan tubuh atletis Rengoku kembali.

Syukurlah itu semua telah berlalu,  dan kini Senjurou kembali berbaring dengan kompres di dahinya dan daung bawang melilit lehernya. 

Semangkuk bubur telah kudinginkan,  agar tak melukai lidahnya. 

Aku menatap bocah itu damai, senja semakin dekat,  samar rembulan telah menampakkan wujud cantiknya.  Derap langkah menyapa telingaku. 

Seseorang mendekat,  dan aku yakin itu adalah Rengoku. Ku edarkan pandangan ku mencari temat bersembunyi. 

Pintu geser terbuka, sebelum aku sempat menyembunyikan diri.  Suara bersemangat khas milik Rengoku menyapa telingaku, membuat pikiranku kacau balau,  entah telah semerah apa wajahku saat ini. 

"Bagaimana keadaan Senjurou? " tanyanya duduk disebelahku, seolah tak pernah terjadi apa-apa diantara kami berdua. 

Nampaknya hanya aku yang merasa paranoid,   kurasa Rengoku tak terlalu memikirkannya,  lagipula itu hanya sebuah kecelakaan yang tak disengaja dan aku pun akan segera berusaha melupakannya. 

"Rengoku-san,  tolong berikan buburnya pada Senjurou-kun,  aku akan menjemur futon ini" pintaku padanya,  seraya aku akan menjemur futon milik Senjurou-kun

"aku mengerti! " balasnya singkat,  mulai membopong adik semata wayangnya itu untuk duduk perlahan.

Aku kembali, mengintip dari celah pintu kutemukan dua bersaudara itu tengah asik berbincang. Aku yakin,  tak setiap hari mereka berdua bisa melakukan hal ini. 

Enggan rasanya untuk mengganggu kebersamaan mereka. 

"Apa yang kau lakukan berdiri disana? " tanya Rengoku,  ternyata telah memergoki ku, memperhatikan mereka. 

"Permisi... " aku masuk, insting seorang Hashira benar-benar mengerikan. 

"Senjurou-kun,  bagaimana keadaan mu? " ia menatapku kebingungan, pantas saja,  kami belum memperkenalkan diri. 

"Aku (Full Name) yang saat ini membantu Hashira serangga di kediaman kupu-kupu,  Kouchou Shinobu-san, aku kemari menggantikan Aoi san memeriksamu atas permintaan Rengoku-san" jelasku,  tersenyum ramah. 

"Salam kenal (Last Name)-san, aku Rengoku Shinjurou adik Rengoku Kyouju aduh! " ia mengigit lidahnys sendiri.

"Pelan-pelan saja oke? " balasku terkikik geli. 

"O-oke! " pipi tembamnya bersemu merah.

"Lalu bagaimana perasaan mu sekarang?  Apa kau merasakan sakit di beberapa tempat? " tanyaku duduk di sampingnya. 

Ia menatapku ragu, lalu menatap Rengoku,  kakaknya.  Begitu terus,  hingga aku sadar sesuatu. 

"Rengoku-san, aku memasak kare dari sayuran dan daging yang kau bawa, kurasa sudah matang,  aku akan menggantikan mu menyuapi Shinjurou-kun" tawarku. 

"Umu! Kebetulan aku kelaparan" ia melesat pergi,  meninggalkanku bersama Shinjurou berdua.

"Shinjurou-kun,  apa kau baik-baik-"

Kutatap wajahnya pucat,  di dalam mulutnya seolah menahan sesuatu. 

"Kau harus mengeluarkannya! Keluarkan apapun yang ingin kau muntahkan" paksaku. 

Ia menggeleng ragu,  air mata mulai meresak keluar dari matanya. 

Ku peluk tubuh kecilnya,  yang sangat pas di kedua tanganku itu,  sambil kutepuk pelan punggungnya. 

"Jangan ditahan! Keluarkan! Aku tidak akan memarahimu" pintaku baik-baik. 

Dalam sekali muntahan,  ia mengeluarkan banyak sekali cairan.  Nampaknya makanan sebelumnya telah tercerna,  namun kondisinya memburuk dan dorongan makanan lain membuatnya muntah. 

"Sudah semua? " tanyaku memastikan.

Ia mengangguk,  kecil ku dengar suaranya tersedu-sedu. 

"Aku tidak marah, sungguh! "

"Tapi seragammu,  kotor dan basah" balasnya.

"Onee-san baik-baik saja,  lagipula ini bukan seragam tapi apron dapur" tawaku,  menenangkannya. 

"Muntahnya tak  bau,  hanya saja basah,  lagipula aku terbiasa dengan ini,  Yuma juga melakukannya padaku" tawaku lagi,  mengingat saat-saat sulit memberi makan bayi yang seolah-olah sengaja memainkan makananan,  menelannya dan memuntahkan susu nya.

"Aku tak bisa mengatakan kondisi ku di depan kakak Kyoujurou,  posisinya sebagai Hashira api pasti sudah sangat menyibukkannya,  aku tak boleh membuatnya khawatir" jujurnya. 

"Shinjurou-kun, akan lebih baik jika  kau lebih jujur atas perasaan mu,  Rengoku-san adalah kakak mu bukan?  Apa kau pikir ia akan menganggap mu sebagai beban?  Aku tidak tau bagaimana tanggapan orang lain,  tapi menurutku, begitulah keluarga! Tak ada rahasia diantara kalian" saranku, membuatnya kembali menangis. 

"Ah!!  Aku tak bermaksud memarahimu sungguh!  Aku tidak marah,  lihat" ku pamerkan senyum terbaikku. 

Ia mengangguk,  menyunggingkan senyum singkat. 

"Berhubung kau telah memuntahkan semua isi perutmu, sekarang makanlah bubur ini"

Ia telihat berpikir dua kali, dan lagi-lagi aku mengerti maksud tersirat hanya dari melihat raut wajahnya. 

"Aku tau rasanya hambar,  tapi tebak apa?  Taraaa! Tempura udang! Ini akan membuat rasa buburnya lebih baik!  Rahasiakan ini dari kakakmu,  dan makanlah oke! Katakan ahnn" aku menyuapinya.

Namun belum sampai,  sendok itu menyentuh permukaan lidah Senjurou, Rengoku datang bersama panci penuh berisi Kare dan nasi, membuatku kaget. 

"Rengoku-san!  Ini anu~" aku mencoba mencari alasan.

"Oh?  Tempura udang!  Bagus! Makanan laut memiliki gizi yang baik, makanlah yang banyak Senjurou! " teriaknya,  telah terlebih dulu duduk di sebelahku dan melahap makanannya rakus. 

Baik!  Hashira tak hanya luar biasa,  kebodohan mereka juga luar biasa.

"Hm?  Ada apa dengan pakaian mu? " tanya Rengoku.

"Maafkan aku,  aku ceroboh dan menumpahkan teh di pakaian ku sendiri,  tak apa!  Aku baik-baik saja" ujarku. 

"Senjurou,  kau bisa makan sendiri bukan? " tanya Rengoku,  Senjurou mengangguk. 

"Kalau begitu (Name), tinggalkan Senjurou, aku akan mengawasinya!  Sementara itu gantilah baju mu dengan kimono mendiang ibuku di kamar sebelah. 

"Eh?  Aku baik-baik saja sungguh!" potong ku,  keras kepala. 

"Kau bisa-bisa terkena demam seperti Senjurou!  Pergilah (Name)! " Rengoku bersih keras, membuatku memakai pakaian baru yang bersih dan kering. 

Jika kupikir lagi benar juga,  cuaca ekstrim seperti ini tak ada jaminan, jika aku bisa selalu sehat. 

"Kalau begitu,  aku pergi dulu!  Makanlah yang banyak Senjurou-kun! " aku melesat pergi, kamar sebelah hanya beberapa langkah dari ruangan Senjurou. 

Kamarnya bersih, bahkan tebilang kosong hanya terdapar kimono tergantung ,  sinar mentari bisa mereka masuk lewat jendela kamar. 

"Bukankah ini Tomosode? " bisikku sendiri,  sebuah kimono formal milik wanita yang telah menikah, aku tak mempersalahkan bentuknya yang indah dan lebih "wah" dibanding kimono kasual pada umumnya, hanya saja kimono sejenis ini biasanya memiliki lambang kekuarga di sekitar punggung dan bagian dadanya. 

"Ungh!! " lenguhku,  berpikir dua kali. 

"Ini lebih baik daripada aku jatuh sakit dan tak bisa membantu kediaman kupu-kupu " pikirku, sebisa mungkin aku harus berguna bagi mereka yang telah menolongku.

Tak butuh waktu lama,  untuk memakai kimono sendiri.

"Sippp..." ujarku puas, hanya saja... 

"Rengoku-san! Bisakah kau kemari sebentar?" teriakku,  yang kuyakin dapat didengarnya dari ruang sebelah. 

Tak butuh waktu lama, ia memenuhi panggilanku, yang anehnya masih menenteng piring berisi kare yang telah berkurang.

Irisnya berkaca-kaca melihatku,  hingga menjatuhkan sendok nya ke lantai tatami, sekilas ku lihat bibirnya memanggil sesuatu,  sesuatu yang tak dapat kudengar dengan jelas. 

"Rengoku-san?  Kau baik-baik saja" tanyaku, tak butuh waktu lama ia sadar.

"Ada apa? " tanyanya.

"Bisa tolong bantu aku mengencangkan ikatan obi nya? " pintaku,  takut sekali,  benar-benar takut jika kimono ini renggang dan lepas tanpa ada kesiapanku.

Aku memunggunginya,  kedua tangannya menyentuh punggungku,  terampil mengikat tali obi kimono itu. 

"Rengoku-san? " panggil ku. 

"Kurasa kau mengikatnya terlalu kuat" tangisku, kedua tangan kekarnya itu terasa mencekik perutku. 

"Benarkah?  Aku terbiasa mengikatnya seperti ini, seperti inilah ukuran ibuku" balasnya spontan,  tersirat nada sedih dari suara besarnya itu. 

"Maafkan aku terlalu gemuk!  Haruskah kulepas saja? Aku merasa tak enak memakai, kimono mendiang Ibumu" tanyaku. 

"Tidak!  Tak apa,  kau cocok sekali mengenakan kimono itu" pujinya,  membuatku tersipu malu. 

Setelah selesai mengikatkan Obi,  aku mengemasi pakaian ku sebelumnya dan berniat untuk pamit karna hari semakin sore. 

"Baiklah,  aku pergi dulu, nanti malam akan kuantarkan obatnya dengan gagak, pastikan Senjurou-kun meminumnya setelah makan" pamitku undur diri. 

"Tunggu sebentar! " cegah Rengoku, mengamit lenganku.

Aku tak kuasa berbalik menatapnya, mendengar suaranya yang berubah menjadi payau itu.

"Apa ada lagi yang kau butuhkan? " tanyaku menatap kedua matanya. 

"Aku akan mengantarmu! " ucapnya. 

"Aku baik-baik saja,  matahari masih terlihat,  tidak akan ada iblis yang bisa menyentuhku selama aku berjalan di bawah mentari" tolakku halus.

"Aku harus pergi melapor ke kediaman Oyakata-sama! " paksanya. 

"Hmmm,  begitu yah!  Baiklah!" aku setuju,  lagipula aku tak begitu hafal jalan pulang. 

Setelah pamit ke Senjurou,  kami berjalan beriringan, meskipun Rengoku banyak membicarakan hal,  aku tak begitu sering menanggapinya,  karna pikiran ku hanya tertuju pada suatu tempat saat ini,  kediaman Rengoku terbilang cukup ramai,  dengan orang-orang yang berlalu-lalang. 

Yang anehnya orang-orang itu,  terus berbisik setiap melihat kami berjalan. 

Beberapa dari mereka menyapa Rengoku,  dengan sebutan "tuan" lalu memberikan banyak bingkisan sebagai rasa terimakasih telah berjuang keras sebagai pemburu iblis. 

Lalu beberapanya juga mendoakan yang terbaik untuk kami berdua. 

Tak lama kemudian,  aku memaksanya nya berpisah di depan kediaman Ubuyashiki.  Mengatakan bahwa laporannya lebih penting daripada mengantarku hingga kediaman kupu-kupu. 

Ia menyerah,  melambai padaku dan berterimakasih. 

"(Name)-sannn!"

"(Name)-chwannn! " sayup-sayup kudengar, suara familiar memanggilku. 

Tanjirou,  bersama kedua teman absurdnya berlari,  tapi bukan itu yang membuatku khawatir. Mereka berlari sambil membawa Yuma.

"Yuma terus menangis! Dan tidak mau diam!" adu Tanjirou,  sambil mengatur nafasnya. 

Aku mendekapnya,  dalam sekejap Yuma tertawa,  mengundang tawa rinduku pada bayi itu. 

"Aku pulang! " ujarku,  menangkannya. 

"Ayo pulang! " ajakku pada ketiga pria yang telah berbaik hati mengurus Yuma selama aku pergi itu. 

"Kalau begitu,  sekali lagi kuucapkan terimakasih! Aku akan mencuci kimononya nanti" pamitku lagi. 

Anehnya Rengoku hanya menatapku tak bergeming tanpa membalas ucapanku. 

Aku mengkhawatirkan nya,  namun Zenitsu telah lebih dulu menarikku ku pergi. 

Meninggalkan nya yang terlihat hampir menangis disana. 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top