07. Benih

Aku menggeliat,  tanganku bergetar ketakutan.  Yang kutau ia bukan orang yang sama dengan yang kutemui hari itu. 

"Le-lepaskan!" aku berusaha memukul tangan besar miliknya.

Ia bukan Rengoku yang kukenal,  ini bukan cuma perasaan ku namun tangannya juga lebih besar dari kemarin.

"Hentikan ayah! " kami berdua menatap asal suara itu,  ini baru suara yang kukenal. 

Menggebu-gebu, dan semangat tak peduli udara dingin menusuk paru-paru. 

Pria itu melepaskan ku,  membuatku batuk berkali-kali,  kehabisan nafas.  Ia mendecih tak suka sebelum akhirnya masuk kembali ke rumahnya. 

"Terimaka-" kuatatap asal suara itu,  melihat sosoknya baik-baik. 

"Whuah! " terlonjak kaget,  aku mundur beberapa langkah kebelakang. 

Yakin,  baru saja Rengoku masuk ke rumahnya,  kini ku lihat sosok Rengoku yang lain tengah berdiri di depanku,  membawah sebuah buntelan kain besar. 

"Si-siluman? " tanyaku. 

"Kau baik-baik saja? " ujarnya, mendekatiku. 

Terdapat beberapa luka di sekitar wajahnya,  dan darah mengalir disana.  Tak ada siluman yang mengeluarkan darah,kucoba berpikiran positif, mungkin Rengoku mempunyai saudara kembar. 

"Rengoku-san? "

"Iya? "

"Jadi yang barusan itu siapa? " tunjukku. 

---***---

Aku telah berada di dalam kediaman Rengoku,  didalamnya sangat bersih,  beberapa tempat terdapat lukisan kanji, khas rumah tradisional jepang lainnya. 

"Aku terkejut sekali melihat mu ada dua, kukira itu siluman atau semacamnya" ucapku mengikuti nya. 

"Tolong jangan di bawa hati,  Ayahku tidak bermaksud buruk! " ujarnya,  berbelok.

"Aku tau, sudah jadi tugas seorang ayah melindungi rumahnya dari orang asing" timpalku, tak ingin berpikiran macam-macam.

Kami memasuki ruangan dengan tungku penghangat kecil di tengahnya,  Rengoku menyajikan segelas teh hangat untukku.

"Jadi ada keperluan apa?  Shinobu-san tidak mengatakan tujuan dipanggilnya aku kemari" tanyaku langsung,  ada bagian dari diriku terbayang Yuma, yang akan segera bangun jika aku berlama-lama disini. 

"Adikku sakit" ujarnya keras, anehnya malah terdengar seolah-olah ia bersemangat mengetahui adiknya sedang sakit.

"Kalau begitu kenapa tidak memanggil Kakushi devisi paramedis saja? " tanyaku, benar-benar tak percaya akan alasan dipanggil disini. 

"Tidak bisa!  Aku tidak bisa menyalah gunakan kedudukan ku sebagai seorang pilar,  kudengar akhir tahun adalah waktu-waktu para Kakushi sedang sibuk-sibunya.  Langit sering sekali mendung,  awan menutupi matahari,  dan beberapa Iblis kuat bisa berkeliaran meskipun tak lama" jelasnya. 

Aku mengerti tujuannya baik,  namun aku bukan paramedis,  tau begini biarpun harus menggendong Aoi aku pasti akan melakukannya. 

"Jadi?  Dia sakit apa? " tanyaku.

"Aku sendiri tidak tau,  lebih baik kau melihat nya sendiri,  suhu tubuhnya panas dan ia terus berkeringat, aku kurang tau karna sudah tiga hari ini meninggalkan rumah, menyelidiki misi, ayah pasti menjaganya dengan baik, tapi kudengar dari gagak ku kondisinya memburuk" jelasnya. 

Jadi begitu,  sepertinya desas-desus bahwa para pilar sangatlah sibuk bukan omong kosong belaka.  Dilihat dari lukanya,  ia pasti buru-buru menyelesaikan misinya. 

Kami sampai di sebuah ruangan lain,  dengan pintu yang sama.  Lupakan!  Semua ruangan ini terlihat sama, hingga rasanya jika ku berpaling dari Rengoku sedikit saja,  aku bisa tersesat.

Rengoku membukakan pintu nya untukku,  nampak seorang bocah terbaring lemah, seperti yang dikatakan rengoku.  Lagi-lagi genetik keluarga ini mengejutkanku,  melihat bertapa miripnya mereka bertiga, Ayah,  Rengoku dan adiknya sendiri. 

Jika kulihat baik-baik, adiknya lebih imut. Aku mendekat,  kutempelkan dahiku ke dahinya.

"Panas sekali! " kejutku. 

Rengoku menyerobot,  tepat disampingku mengecek suhu adiknya dengan tangannya sendiri,  pipi kami bersentuhan.  Bisa kulihat cemas di kedua mata membara miliknya.

"Obat apa saja yang kalian berikan padanya? " tanyaku,  jika aku mengetahui penanganan sebelumnya,  kemungkinan aku bisa kembali ke kediaman kupu-kupu untuk meminta bantuan Aoi. 

"Tidak ada" jawabnya jujur,  itu bagus jika ia jujur,  tapi membuatku marah, melihat bocah ini kesakitan. 

"Apa!? "

"Oleh karna itu kubawakan dia berbagai macam obat yang kubeli di kota" Rengoku membuka bingkisan kain itu, isinya berserakan di depan mataku.

"Mereka bilang ini ampuh untuk demam" timpalnya lagi. 

"Rengoku-san!" suaraku bergemuruh. 

"Iya? " balasnya,  masih berkutat dengan barang-barangnya,  memilah mana duluan yang akan ia berikan untuk adiknya. 

Plakk...

Aku berdiri, dan memukul kepala meraknya dengan seikat daun bawang. 

"Apa kau tau!  Semua benda ini sama sekali tak berguna!?" teriakku. 

"Yang ini? " tanyanya menunjuk salah satu tanaman bewarna hijau.

"dilihat darimanapun,  Itu hanya rumput liar!"

"Ini juga? "

"Itu kotak p3k! Tidak akan membantu demam adikmu! "

"Oh aku tau!  Penjual itu bilang daging ini bagus untuk orang sakit!  Daging mengandung banyak protein, ini akan membantu mengembalikan stamina Senjurou! Beras ini juga!  Kentang,  dan sayuran ini juga!" Rengoku menunjuk setiap barang yang ia beli dan jujur saja semuanya tak berguna. 

"Tenangkan dirimu! " tepukku pada kedua pipinya.

Keringat dingin mengalir dari pelipisnya,  sekarang aku mengerti!  Keluarga ini tak biasa mengurus orang sakit,  mataku memicing, menatap daun bawang yang masih berada di genggamanku. 

"Kurasa aku bisa melakukan sesuatu dengan semua barang-barang ini, Rengoku-san,  dimana dapurnya? " pasrahku, bangkit menyeret buntelan kain berisi barang-barang tak berguna yang dibawa Rengoku itu. 

"Aku akan mengantarmu!" ia mendahului ku. 

Buru-buru aku memasak air dalam jumlah yang cukup banyak.  Setelah dirasa cukup panas, kupisahkan  sedikit menjadi tiga bagian.  Satu akan kugunakan untuk membasuh tubuh adik Rengoku-san, satu akan kugunakan untuk menanak nasi dan satu lagi akan terus dimasak bersama bahan lain. 

"Rengoku-san,  aku baik-baik saja sendirian disini, kau bisa meninggalkanku" ucapku yang melihatnya masih berdiri di ambang pintu. 

Barulah ia menghilang entah kemana.

Aku meninggalkan dapur sembari menunggu bubur yang kubuat matang, akan kubasuh tubuh adik Rengoku. 

Nafasnya terdengar berat, demamnya belum turun karna kami yang lama berdebat barusan.  Kutarik tali kuncir rambutnya,  membiarkan rambut kuning meraknya itu jatuh dan takkan menyakiti kepalanya lagi. 

Ia pasti kesakitan selama ini, perlahan ku tanggalkan seluruh pakaiannya dan mulai membasuh punggung,  perut dan seluruh badannya. 

Ia hanya bocah berusia tujuh tahun,  bukan masalah besar. Aku menyukai anak-anak dalam maksud baik. 

Pipi kenyalnya,  lembut,  memantul saat ku bersihkan sisa makanan disana. 

"Imutnya" cicitku,  bernostalgia dengan kenangan, tertawa begitu melihatnys menggeliat.

Pandangan ku beralih menatap futonnya,  yang mulai kusam dan lembab.  Pantas saja,  tiga hari sudah mungkin lebih,  ia berbaring di futon yang sama.  Begitupula dengan pakaian nya yang basah karna keringat. 

Kutinggalkan Senjurou-kun sebentar,  berniat mencari Rengoku, menanyakan apa ia memiliki futon lain dan pakaian Senjurou. 

"Rengoku-san! Rengoku-san! " aku mengitari kediamannya, yang luasnya minta ampun. 

Dan akhirnya terjebak di sebuah ruangan dengan pintunya agak terbuka, menampakkan taman dan Rengoku-san duduk bersama kendi besar disampingnya, melihat Kimono itu, aku tau itu bukan Rengoku,  melainkan ayahnya.

"Rengoku-san" panggilku. 

Ia menoleh, masih memasang wajah masam. 

"Apa? " tanyanya sinis. 

"Apa kalian punya Futon lain dan baju Senjurou-kun? " tanyaku. 

Ia bangkit,  meninggalkan botolnya dan mengambil sesuatu dari dalam lemari geser, masih di ruangan yang sama. 

Sebuah futon terlipat rapih,  lengkap dengan selimut dan kimono baru berukuran Seijurou-kun

Tanpa banyak bicara,  ia melemparkannya padaku dan kembali duduk menatap taman. 

"Anu! Aku tidak mengerti mengapa anda begitu membenci pemburu iblis,   tapi aku bukan bagian dari mereka,  aku hanya seorang tamu yang berniat membalas kebaikan mereka" jelasku. 

Perasaan ini begitu mengganggu! Aku tak bisa berpikir dengan tenang jika melihat orang salah paham padaku. 

Pria itu tak menanggapi, aku pasrah.  Setidaknya aku telah mempertegas siapa diriku disini.  Dan kuharap juga ia memberiku izin untuk berkeliling bebas menggunakan rumahnya. 

"Kalau begitu aku permisi!" pamitku membawa tumpukan futon dan kimono itu. 

Ingatan ku samar, jalan menuju kamar Senjurou-kun aku tak bisa mengingatnya. 

"Kurasa yang ini" pikirku,  menggeser pintu yang kurasa benar kamarnya.

"Siapa!? " sentak seseorang padaku. 

"Oh Rengoku-san,  syukur lah,  kupikir aku tersesat" tawaku sedikit menurunkan futon itu dari kepalaku. 

Bibirku menganga tak percaya, itu benar Rengoku,  yang berada di hadapanku. 

Tubuhnya bersih tanpa sehelai benang pun,  sisa air berjatuhan dari rambutnya yang masih basah,  mengalir melewati dada bidang miliknya. 

Matanya menatapku tajam,  tak sanggup ku hadapai dirinya jadi kualihkan pandanganku menatap apapun yang tak penting.  Contohnya tetesan air yang terus mengalir melewati perutnya yang telah terbentuk sempurna, dan sampailah ke barangnya. 

Buru-buru kutenggelamkan wajahku dalam futon, sambil meracau tak karuan. 

"Aku melihatnya!  Aku melihatnya!  Aku melihatnya! Benda itu!  Benda besar milik pria itu, aku melihatnya! " jeritku yang hampir berubah menjadi suara tangis.

"Sen-Senjurou-kun! "  teriakku yang masih bersembunyi dalam futon. 

"Kamar Sen-Senjurou-kun! " sambungku meracau. 

To Be Continue~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top