01. Ramalan Sang Langit.
"Kami Informasikan pada yang mulia (Full Name).
Sebagai pengganti Amaterasu Omikami-sama.
Bintang-bintang telah berubah, dan peramal kami melihat sesuatu yang tak biasa akan terjadi dalam kurun waktu singkat ini.
Sebagai salah satu dewi berpengaruh, kami memperingatkan anda untuk berhati-hati akan tindakan anda.
Dan memohon dengan sangat untuk mengecek keberadaan ancaman seperti yang di informasikan ramalan kami. "
Pikiran ku melayang, kira-kira ancaman macam apa yang dikatakan surat itu. Bencana alam? Aku yakin manusia telah berevolusi menjadi lebih kuat dan mandiri untuk mengatasi hal itu, mereka saling bahu-membahu dan tolong-menolong.
GRADAKKKK...
bahuku berjengat kaget, apa itu? Tikus?
"Himeko?" panggilku.
"Himeko? " tak ada respon sama sekali.
Aku menatap tumpukan pekerjaan itu, menyiapkan festival, membasmi roh jahat, membersihkan kuil bukanlah hal yang mudah.
Bukan hanya aku yang satu-satunya kesulitan disini, Himeko juga. Kehilangan tuannya, Amaterasu-san pasti menjadi pukulan baginya.
"Aku akan pergi mengecek nya, mungkin Himeko butuh bantuanku" bangkitku, setelah menyelipkan surat berserta amplop merah itu di dalan obi ku.
Berbekal senter, mengingat matahari mulai terbenam dan kertas jimat aku berjalan keluar dari ruangan.
Kuil yang awalnya tak terawat ini menjadi lebih bagus dari pertama kali kami datang kemari, itu berkat kerja keras Himeko.
Gradkkk...
Gradakkk...
Kali ini kupastikan mengikuti asal suara itu, asalnya dari gudang terlantar dibelakang badan kuil.
Sejak awal kedatangan kami, Himeko tak pernah menyentuhnya, ia juga melarang ku untuk menyentuhnya.
Karna pintunya tersegel, pikirnya memang ada sesuatu yang sengaja di segel disana, Himeko tak ingin mencari tau apa itu. Bisa saja itu mengancam kehidupan di sekitar gunung ini.
Aku juga tidak diperbolehkan menyentuhnya, karna kekuatan ku mungkin bisa merusak segelnya secara tidak sadar.
"Repot juga" desahku tak nyaman.
Aku yakin suaranya berasal dari gudang ini, namun aku harus menemukan Himeko terlebih dulu untuk meminta izinnya.
"Mungkin hanya seekor tikus yang tak sengaja menyelinap di dalamnya" aku hampi meninggalkan gudang itu dan kembali berkutat dengan kewajibanku lagi.
"TOLONG! " Sontak aku menoleh, mendengar jeritan menggema di dalam kepalaku.
"Tolong selamatkan anakku" suara seorang wanita kembali menggema di kepala ku, disusul tangisnya yang menyayat hati.
"Hi-himeko? "
Apa yang harus kulakukan? Pikiran ku kalut, naluri ku mengatakan aku harus memasuki gudang itu. Namun Himeko bisa marah besar.
Selama ini Himeko menjadi pembimbing jalan ku, semua tindakan yang kulakukan kebanyakan adalah saran darinya.
"Kumohon, jika kau benar ada Kami-sama, kumohon, hanya untuk kali ini selamatkan anakku" rintihnya.
Aku memotong tali tambang yang menyegel gudang itu dengan belati milikku, dan merobek mantra segelnya dengan mudah.
Pintu itu roboh, karna terlalu lapuk termakan waktu.
Cahaya senter membantuku melihat isi ruangan gelap itu, tak ada apapun di dalamnya. Tak ada seorang wanita yang tangisnya masih terdengar keras di kepalaku.
Hanya sebuah sumur tua, dengan air jernih dan lumut yang menutupi dasarnya.
Aku mulai merasa pasrah, pernah sekali kudengar tentang dunia para roh, yang pintu masuknya hanya nampak pada orang-orang tertentu. Apa seseorang tengah terjebak disana?
Lantas bagaiaman caraku menuju kesana? Apa karna perbedaan kekuatan ku yang tak sedikitpun menyerupai Anaterasu-san.
Suara itu masih berlanjut, berupa jeritan wanita yang sama dan tangis seorang bayi.
Aku merinding sekaligus menangis, apa tak ada yang bisa kulakukan? Apa aku tak bisa menyelamatkan orang itu?
Aku bisa mendengar suara gemuruh air, berdiri ku lihat gelembung berangsur-angsur muncul ke atas permukaan air sumur.
Aku tak bisa menjelaskan nya secara detail, namun pasti ada sesuatu di dasar sana, sebuah petunjuk untuk menemukan suara itu.
Kutarik nafas dalam-dalam, dan membulatkan tekadku.
Byurrrrrr...
Dunia terasa seperti langit, birunya air menyamai warna langit cerah. Air ini mendorongku keatas.
Sesampainya di permukaan, ku ambil nafas sebanyak yang paru-paru ku bisa tampung, suaranya semakin terdengar.
Kulepas sandalku, merelakan alas kaki itu tenggelam ke dasar sumur, agar memudahkan ku memanjat keluar dari sumur.
Aku sadar, bahwa udara di sekitar ku menjadi lebih dingin dan tipis. Paru-paru ku terpaksa memompa dengan udara seadanya. Sesak dan dingin bagiku sudah melengkapi definisi rasa sakit.
Namun entah kenapa aku tak bisa berhenti berlari, mencari asal suara itu.
Salju menutupi tanah dan pepohonan, membekukan langkah kakiku.
"Halo!? Apa kau ada disini? " teriakku.
"Halo? Kumohon jawab aku" pandangan ku beredar, yang kulihatnya hanyalah pemandangan yang sama.
Kabut dan salju.
Langit malam, membuatku ketakutan akan lolongan serigala yang berkali-kali bersahutan. Ini bukan pertanda baik.
Nafasku mengepul, menciptakan udara hangat tipis yang langsung menghilang. Suara gaduh terdengar diujung sana, dibalik pepohonan, seperti derap kaki seseorang yang tengah berlari.
Kecepatannya bukan main, seperti bukan manusia biasa, terlebih tanah yang tertutup salju adalah medan sulit untuk berlari, buru-buru aku kembali berlari, mengitari tempat ini.
"Dimana, kau ada dimana? " pikirku.
Kutemui anak sungai, permukaannya mulai membeku dan disebrangnya terdapat bercak darah.
Lapisan es nya terdapat keretakan. Seseorang telah melewatinya.
Menatap kedalaman sungai itu, membuatku ketakutan, tingginya hanya satu meter takkan membuatku tenggelam. Namun dinginnya cuaca akan membunuhku secara perlahan dan pasti, jika sampai lapisan es tipis itu pecah dan aku tercebur ke dalam sungai ini.
"Tidak ada waktu untuk ketakutan!" mantapku dalam hati, akan kubuat pijakan besar.
Hingga hanya perlu selangkah saja agar aku bisa menyebranginya, beranilah diriku!
Aku mengendorkan ikatan Obi ku, agar tak tersandung di tengah jalan. Lariku cukup cepat, karna gunung telah menjadi tempat tinggalku selama 6 bulan ini.
(Obi : semacam kain panjang yang diikatkan di sekitar perut, agar kimono tak lepas)
"Hup" salah satu kakiku menyentuh lapisan es itu, sebagai pijakan untuk membuat lompatan besar lagi.
Aku berhasil menyebrang, meskipun tadi itu hampir saja. Kuikuti bercak darah yang membawaku ke sebuah gundukan salju kecil.
Samar terdengar suara tangisan di dalam sana, suara seorang bayi. Aku melihatnya lebih dekat, sebuah jemari mencuat dari gundukan itu.
Cepat-cepat ku bongkar gundukan itu, kaget bukan main ketika ku temukan sebuah mayat wanita di dalamnya. Punggungnya terluka lebar, hingga darah berceceran dimana-mana.
Dugaan ku ia meninggal karna pendarahan, kimono indahnya ternoda darah.
"Nghhh... Nghhh" suara itu lagi.
Ku cari dimana keberadaannya, dan ternyata wanita ini tak sendirian, ia memeluk bayi, sangat kuat hingga bahkan ketika ajal menjemput nya, pelukannya tak kunjung mengendor.
Bayi itu menangis, keras sekali. Jari-jemari wanita ini tak ingin melepaskannya.
"Kuat sekali, tolong lepaskan!"
Membuat air mataku mengalir deras, inikah kasih sayang seorang Ibu?
Bahkan ketika jiwanya tak lagi berada di raga, tubuhnya yang tak lagi bernyawa itu bertindak mengikuti nalurinya.
"Kumohon lepaskan! Kalau begini anakmu bisa segera menyusulmu" teriak ku dalam tangis.
Jari-jemarinya membeku, mungkin itu yang menyebabkan genggamannya sulit sekali dilepas. Tapi pada akhirnya aku berhasil melepasnya.
Bayi itu berhenti menangis, saat itu juga aku membuat janji pada jasad sang Ibu. Bahwa akan kulindungi anaknya dengan nyawaku.
"Disini kau rupanya! Aku lelah sekali bermain kejar-kejaran dengan mu wanita sialan!" seseorang datang, suaranya seperti seorang manusia.
Syukurlah, seseorang menemukan kami.
Cahaya bulan bersinar menembus pepohonan tak berdaun itu, menunjukkan dengan jelas, bahwa manusia bukan lah satu-satunya makhluk hidup di bumi ini dan monster itu bukan hanya ada di dalam cerita dongeng.
Suara ku tercekat melihatnya, kepalanya berbentuk manusia, dengan taring. Namun tubuhnya berbulu serigala dengan empat tangan dan kuku-kuku tajam.
Nafasnya terdengar menggerang, persis sekali seperti serigala kelaparan yang pernah kutemui di gunung. Makhluk apa ini?.
Tanpa aba-aba dariku, makhluk itu melompat memangsa jasad Ibu dari anak ini. Mengoyak bahunya hingga salah satu tangan wanita itu putus dengan sekali gigitan.
Tubuhku gemetaran, seorang binatang? Atau jangan-jangan kanibal? Aku bersumpah ia bisa berbicara layaknya seorang manusia. Selain tubuhnya yang berbulu itu, tangan dan kepalanya menyerupai manusia.
"Jangan makan tubuh orang itu! " teriakku, benar-benar membutuhkan keberanian ekstra untuk meneriakkan kata-kata itu.
Aku tak bisa membiarkan jasad Ibu anak ini terkoyak.
"Hoo~ ternyata ada gadis lain disini?" makhluk mengerikan itu meninggalkan tubuh yang telah mati dan menatapku.
Matanya putih seutuhnya, apa ia tak bisa melihat?
"Baumu berbeda dengan manusia lainnya, harum sekali, biarkan aku memakan mu" ujarnya mendekatiku.
Segera aku lari dari sana, dan mencari tempat bersembunyi.
"Tak apa, ia tak bisa melihat kami berdua" ku tenangkan diriku berkali-kali.
Ditengah jalan aku tersandung sebuah batu berlapis es yang cukup tajam untuk melukai kakiku. Membuatku jatuh tertohok dan hampir melepaskan bayi itu.
Ia menangis keras sekali, kuharap aku tak melukainya, kuharap ia tak terluka. Kulepas Haori kimono ku, menyisakan lapisan putih dan membalutkannya pada bayi itu.
(Haori : lapisan terluar kimono, semacem mantel, biasanya kimono ada 2 lapisan, tapi kalo lebij dari 3 tiga biasanya lapisan terluar itu Haori)
"Shhh.... Shhh" aku menimangnya sambil berjalan terseok, jika benar makhluk itu buta. Maka mungkin kami memiliki kesempatan untuk kabur hidup-hidup.
Melihat wajah tenang bayi itu aku kembali menangis, merasa gagal tak dapat menyelamatkan Ibunya. Jika saja aku datang lebih awal, mungkin saat ini ia akan berada di pelukan hangat sang Ibu. Ibunya juga bisa memberi asi untuknya, apa yang akan kukatakan padanya saat dewasa nanti.
Matanya terbuka, lalu tertawa terkikik melihatku, tangan-tangan mungilnya menggapai pipi ku dan membelainya. Anak ini, sungguh ramah dengan orang asing.
"Guhh... " aku terdorong maju, ketika tau-tau makhluk itu mengigit pundakku.
Kami berdua jatuh menggelinding gundukan salju yang cukup tinggi, beruntung kesadaranku cukup terjaga untuk tetap menggenggam anak ini.
Ranting-ranting pohon melukai wajah, tangan dan leher ku. Menyisakan goresan-goresan kecil yang jumlahnya tak bisa kuhitung dengan jari.
Kami sampai di bawah, pundakku sakit sekali, paru-paru ku tak bisa memompa udara dengan baik, aku sudah berada di batasnya.
Di depanku, ku temukan seorang wanita muda berseragam hitam dan Haori kupu-kupu berlari menuju kami.
"Tidak! Pergilah! Jangan kemari" cicitku.
Sampai akhirnya aku ambruk, sambil terus meracau agar keajaiban bisa menyelamatkan anak ini.
To be continue~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top