Tomioka Giyuu

Memburu iblis adalah kegiatan sehari-hari dari sang laki-laki yang bertitel sebagai pillar air, Tomioka Giyuu.

Bertahun-tahun ia hidup di bawah naungan pemburu iblis, tak menyebabkan ia jenuh meski selama ini ia harus berkelana seorang diri.

Tanpa teman, tanpa tujuan, tanpa arah yang jelas untuk membantai seluruh iblis yang ada. Semuanya mengalir begitu saja bagaikan angin yang berlalu.

Kesepian? Mungkin saja.

Karena bagaimanapun juga, semua orang butuh teman, butuh orang yang bisa diajak berbicara atau bersenda gurau bersama.

Termasuk pula seorang Tomioka Giyuu.

Yah ... meski terkadang Giyuu memilih diam walau ada seseorang yang bersama dengannya. Atas dasar ini, sebagian besar orang memilih untuk menjauh dari sosok laki-laki ber-haori dwimotif ini.

Pengecualian pada seseorang ...

"Tomioka-san, Tomioka-san! Cepatlah~! Jangan berjalan pelan-pelan seperti itu!"

... yang dengan seenaknya masuk ke dalam kehidupannya.

***

Kala itu, malam hari menyelimuti daratan Jepang, tak ada bintang-bintang yang berpendar. Hari itu sangat gelap, hanya cahaya bulan sajalah yang menjadi sumber cahaya sepanjang Giyuu berlari mengejar iblis.

Lari.

Giyuu terus berlari, dipicu oleh teriakan dari seorang perempuan di tengah hutan sana. Ia tak boleh terlambat, bisa-bisa perempuan itu akan mati diterkam iblis.

Sasaran telah berada tepat di depan mata, di mana dua orang--atau lebih tepatnya dua iblis tengah memojokkan sesosok gadis, mereka bersiap menerkam gadis itu hanya dalam hitungan detik.

Untungnya, Giyuu berhasil tiba di tempat itu, tanpa keterlambatan sebagaimana insiden keluarga Kamado yang telah berlalu itu.

Giyuu mencabut katana miliknya, seraya mengambil kuda-kuda serangan yang akan ia gunakan untuk menebas kedua iblis tersebut.

"Mizu no kokyuu, shi no kata! Uchisio!"

Hanya dalam satu serangan, kepala kedua iblis itu sudah tak lagi berada di posisi sewajarnya. Ekspresi datar diperlihatkan oleh Giyuu, tak bereaksi atas kematian dua iblis tersebut.

Berkebalikan dengan gadis yang tadi diserang oleh iblis, kedua netranya melebar dengan pandangan berbinar-binar, menatap Giyuu dengan kekaguman yang tersirat dari cahaya matanya.

"Waah? Anda ... berhasil membunuh iblis itu?" Sepasang netra cantik gadis itu berbinar, menambah kilauan indah yang tersirat di matanya. Senyuman manis merekah di wajah cantiknya, membuat sisi 'estetika' muncul karenanya. "Anda sangat menakjubkan! Aku luar biasa mengagumkan, tuan!"

Giyuu menatap gadis itu datar, tampak tak berminat pada kalimat pembuka pembicaraan yang dibawakan oleh si gadis. Toh, menurutnya pujian itu laksana 'sarkas' belaka, selayaknya orang lain yang sudah ia selamatkan.

Alih-alih menjawab apresiasi atau sekadar menanggapi perkataan gadis tersebut, Giyuu justru meletakkan katana-nya ke dalam sarung pedangnya. Netra biru tuanya yang bagai kolam tak berdasar tak memancarkan cahaya sedikitpun.

Giyuu membalikkan badannya, bersiap mengambil langkah untuk meninggalkan tempat itu. Ia berjalan pelan, tanpa mengucap sepatah kata apapun pada si gadis.

Si gadis terdiam. Mengapa orang aneh ini mengabaikannya? Bukankah ia sudah berperilaku sopan dan bahkan berterima kasih pada lelaki itu?

'Dasar laki-laki tak sopan!'

Gadis itu menghela napas panjang. Ia berlari kecil mengejar langkah Giyuu, entah apa yang membuatnya ingin berbicara pada laki-laki itu.

Begitu jarak mereka terpaut beberapa langkah, gadis itu menarik lengan kanan haori Giyuu, menghentikan langkah pria berusia dua puluh satu tahun itu.

Giyuu menghentikan langkahnya seraya berbalik badan. Netra kosongnya menatap wajah gadis itu dengan datar seperti biasa.

"Hn?"

Hanya gumaman kecil itu yang terucap dari bibir seorang Tomioka Giyuu.

Jika saja Giyuu bukan penyelamat hidupnya, dengan senang hati gadis itu akan menampar Giyuu sebanyak dua belas kali.

"Anu, namaku (Surname) (Name)."

Gadis yang telah diketahui bernama (Name) itu memasang senyuman termanis yang ia miliki, dengan harapan agar Giyuu menjadi luluh dan bersikap lebih ramah padanya.

Namun, (Name) tidak mengetahui ...

"Lalu?"

... kalau seorang Tomioka Giyuu sangat tidak peka.

Raut wajahnya tidak berubah sedikitpun.

Oh, lihatlah ekspresi datarnya itu. Alih-alih membuat Giyuu terlihat tampan, sebaliknya ekspresi datarnya justru membuat (Name) ingin membunuh Giyuu–atau minimal melemparnya ke dasar Palung Mariana.

"Anda telah menyelamatkanku."

"Lalu?"

"Jadi, aku ingin mengucapkan terima kasih pada anda."

"Lalu?"

"Hmm, ya sudah. Aku hanya ingin mengucapkan terima kasih."

"Ooh, baiklah. Apa aku sudah boleh pergi sekarang?"

Demi Tuhan, jika saja (Name) sudah tidak memiliki hati, sudah pasti ia akan menghadiahkan lima belas tamparan dan sepuluh tendangan, serta dua puluh satu pukulan pada seorang Tomioka Giyuu.

Bahkan, bisa lebih.

Dari semua lelaki yang pernah ia temui, laki-laki inilah yang terburuk. Bagaimana bisa ia berpikir 'tidak apa-apa' setelah dicampakkan begitu saja oleh Giyuu?

Ya Tuhan. Ini bukan berarti (Name) terlalu percaya diri, tetapi ia yakin wajahnya yang–cantik ini seharusnya bisa membuat lelaki manapun menunjukkan ketertarikan padanya, seperti kejadian sebelum-sebelumnya yang telah berlalu.

Namun ... ah, sudahlah.

(Surname) (Name) terlalu malas untuk membahas kejadian yang SANGAT memalukan baginya ini.

"Anda boleh pergi, tuan." (Name) mengulas senyuman tipis di wajahnya, dengan maksud menarik atensi dari seorang Tomioka Giyuu. "Hmh, hutan ini gelap sekali ya ... aku merasa takut."

Ini adalah satu taktik yang dipilih oleh (Name) untuk membuat laki-laki itu sedikit mengeluarkan empati untuknya. Apakah pria di hadapannya ini tega meninggalkan seorang gadis sendirian di tengah hutan? Ahaha, tentu saja (Name) yakin kalau itu tidak mung–

"Baiklah, kalau begitu aku akan pergi. Tolong berhati-hatilah dan jangan main ke hutan seorang diri."

–kin?

Giyuu membalikkan badannya. Kemudian ia mengambil langkah untuk keluar dari hutan itu, tak merasa peduli meski ia meninggalkan (Name) sendirian.

(Name) hanya bisa bergeming lantaran sikap yang ditunjukkan laki-laki itu padanya. Netranya membulat dengan sempurna, ekspresinya seakan-akan berkata 'wtf!' atas kelakukan laki-laki itu.

Mengabaikan ucapan terima kasihnya, buru-buru ingin pergi dari sana, tidak termakan taktik bulus (Name) dan malah meninggalkannya sendirian begitu saja?

Ini ... sangat menyebalkan.

Rasanya seperti 'ditolak' meski (Name) memang tidak memiliki perasaan apapun pada Giyuu.

Ini tidak bisa dibiarkan.

Gadis itu mempercepat langkahnya, guna mengejar langkah kaki Tomioka Giyuu yang tergolong sangat cepat itu. Ia tidak mau seperti ini. Meski ia merasa sangat kesal, ia merasa 'tertarik' pula untuk mengenal laki-laki itu dengan lebih dalam lagi.

"Hei, tunggu aku, tuan!"

Seperti hero yang menghentikan langkah heroine yang akan pergi dari tempat itu, (Name) menahan tangan Giyuu untuk yang kedua kalinya.

Giyuu menghela napas panjang, sesaat sebelum menoleh ke belakang dan mendapati sosok gadis tadi–yang lagi-lagi menahan langkahnya itu.

"Kau lagi? Apa masih ada yang ingin kau bicarakan–"

"Tolong, tuan! Izinkan aku ikut dalam perjalananmu memburu iblis!"

Satu detik, Giyuu bergeming.

Dua detik, netra biru tua laki-laki itu menyipit tajam.

Memasuki detik ketiga, untuk pertama kalinya ekspresi datar di wajahnya digantikan dengan ekspresi lain: keterkejutan.

"Hah?"

***

Kira-kira, begitulah kejadian awal mengapa sosok Tomioka Giyuu bisa membawa seorang gadis dalam perjalanannya untuk memburu blis ini.

Tampak konyol dan tak masuk akal, memang. Namun, Giyuu tak berbohong sama sekali–toh, memang gadis unik ini yang menyerempet untuk masuk dalam kehidupannya sebagai pemburu iblis.

Apa Giyuu merasa risi atau terganggu akibat kehadiran (Surname) (Name) dalam kehidupannya?

Jawabannya, bisa iya, tetapi bisa juga tidak.

Mengapa tidak?

Sebab sesungguhnya (Name) adalah gadis yang sangat baik–bagi Giyuu–lantaran ia adalah satu dari segelintir orang yang mau mencoba akrab dengannya.

Yah, ini membuat Giyuu merasa–senang, mungkin? Entahlah, ia bahkan kesulitan mendeskripsikan perasaannya sendiri.

Walau terkadang serampangan, bisa dibilang (Name) tergolong berani juga. Meski secara tidak langsung, beberapa kali (Name) membantunya kala iblis menyerang–dengan mengumpankan dirinya sendiri ke arah iblis.

Tentunya, bukan Giyuu yang menyuruh gadis itu melakukannya. Itu murni keserampangan–atau keinginan (Name) sendiri, mengingat katanya ia ingin membalas budi pada Tomioka Giyuu.

"Aku sudah bilang itu SANGAT berbahaya, (Surname)-san."

Puluhan kali kalimat tersebut terucap dari bibir Giyuu, tetapi alih-alih mengindahkannya, (Name) merasa semakin tertantang.

Untungnya, (Name) bertemu dengan Giyuu.

Jikalau yang ditemui (Name) adalah pillar barbar seperti Shinazugawa Sanemi, dengan senang hati laki-laki berambut perak itu akan mematahkan kaki sang gadis supaya ia tak lagi melakukan kegiatan cari mati.

Selanjutnya, alasan yang membuat Giyuu merasa risi atau terganggu.

Alasannya masih menggunakan jawaban yang sama, karena (Name) terlalu serampangan dan pemberani.

Sejujurnya, pikiran negatif melayang menguasai Giyuu.

Bagaimana jika suatu saat, ia tak bisa menolong (Name)?

Bagaimana jika suatu saat, ia salah langkah sehingga membuat gadis itu terluka?

Bagaimana jika suatu saat ... ia gagal melindungi nyawa (Name)–seperti saat ia kehilangan Sabito dan Tomioka Tsutako, kakaknya yang sangat ia sayangi?

Tidak, itu tidak akan terjadi.

Karena satu-satunya 'teman' yang dimiliki Giyuu dalam perjalanannya adalah (Name), ia tak akan membiarkan siapapun menyakiti (Name).

Siapapun.

Setelah beberapa bulan (Name) masuk ke dalam kehidupan Giyuu, ada suatu 'rasa' yang tumbuh dalam hati sang pillar air.

Suka? Cinta? Sayang? Peduli? Entah jikalau harus disebut apa, yang jelas–(Surname) (Name) telah mendapat titel 'spesial' yang diberikan dengan tulus oleh Giyuu.

"Hmmh, Tomioka-san! Apa kau tidak lapar? Bagaimana kalau kita mampir dahulu ke kedai di dekat sana itu?"

Monolog seorang diri Giyuu terhenti, ia tersadar dari lamunannya. Ia mengerjakan mata beberapa kali, sesaat sebelum mengalihkan pandangan ke arah gadis yang berjalan di sampingnya.

"Aku ... tidak lapar. Namun, kalau kau lapar, aku akan menemanimu makan di sana." Giyuu menatap datar (Name), ujung bibirnya sedikit terangkat untuk mengulas senyum.

(Name) menyadari senyuman di wajah Giyuu, ini adalah senyum pertama yang ia lihat di wajah laki-laki itu.

Dalam hatinya, (Name) merasa senang. Bukankah ini berarti hubungannya dengan Giyuu ada suatu kemajuan?

"Aku tidak mau makan seorang diri." (Name) menarik lengan kanan Giyuu untuk melangkah dengan lebih cepat ke arah kedai di ujung jalan. "Ayolah!"

"Hanya menemani. Aku tidak lapar."

"Oh yaa? Kudengar, di kedai itu menjual salmon yang sangat lezat, lho~!"

"... Baiklah, tiba-tiba aku merasa sangat lapar. Ayo kita ke sana sekarang juga."

"Tentu~!"

Yah, setidaknya hidangan di kedai itu akan mengisi perut keduanya sebelum malam nanti.

Kita ... takkan tahu apa yang akan terjadi setelahnya, bukan?

***

Siapa yang akan menyangka ... pada kejadian tak terduga selayaknya ilusi semata ini?

Apa ini?

Kibutsuji ... Muzan?

Netra merah yang tajam milik sang pria bertitel 'ayah dari para iblis' memicing tajam, kala ia menatap Giyuu dengan sebelah mata. Ekspresi wajahnya yang terkesan dingin menambah perasaan benci yang menjadi-jadi padanya dalam hati Giyuu.

Giyuu tak pernah bertemu iblis ini sebelumnya–tetapi firasat kuat Giyuu mengatakan bahwa ialah Kibutsuji Muzan.

Ia dihadapkan pada suatu adegan.

Di mana sang gadis yang menjadi 'teman' seperjalanannya itu bersimbah darah, dengan luka-luka di seluruh tubuhnya. Kuku-kuku Muzan yang tajam menusuk bahu (Name), yang mana bisa merobek bahu gadis itu hanya dalam sekali tarikan.

Giyuu belum bisa berkutik–takut akan prediksinya yang menduga Muzan akan mencabik (Name).

"Menyedihkan."

Satu kata terucap dari si pria pucat itu, netra tajamnya menilik sinis ke arah Giyuu. Pandangannya seolah merendahkan dan membuat siapapun akan gentar terhadapnya.

"Apa kau tahu–kau dan gadis ini terlihat begitu menyedihkan di mataku?"

Giyuu menarik napas dalam-dalam, bermaksud ingin menyelamatkan (Name) hanya dalam satu tarikan napas.

Giyuu tidak bodoh. Ia takkan bertingkah konyol dengan memaksakan untuk menyerang Muzan. Kondisinya ini–tak memungkinkan. Ia tak bisa meremehkan Muzan, meski orang itu terlihat lemah sekalipun.

Prioritasnya sekarang adalah menyelamatkan (Name).

"Mizu no kokyuu, juu no kata ... "

Giyuu melesat cepat ke arah Muzan dan (Name), mengarahkan katana-nya pada Muzan. Ilusi serupa naga berwujud air tampak muncul, menggambarkan teknik yang dipergunakan oleh sang pillar air.

"... seisei ruten!"

Muzan menyeringai tipis melihat usaha penyerangan Giyuu terhadapnya. Tidak, Muzan sama sekali tak terkesan. Alih-alih terkesan, hanya satu kata terlintas dalam benak pria itu.

Percuma.

Di hadapan seorang Muzan, satu orang pillar bukanlah ancaman baginya. Sebaliknya, justru nyawa lawan yang akan terancam.

Benar saja, tak ada satu pun serangan Giyuu yang berhasil menggores Muzan, barang satu senti saja. Berbanding terbalik dengan yang diharapkan, justru Giyuu yang menerima luka pada tubuhnya. Entah bagaimana caranya–Muzan berhasil menoreh luka berat pada Giyuu, cukup untuk membuatnya kehilangan banyak darah.

Muzan tertawa merendahkan, pandangan matanya yang tajam seakan memandang Giyuu hanya dengan sebelah mata.

Dengan ekspresi khas yang tak kunjung berubah milik Muzan, pria itu melempar tubuh (Name) yang bersimbah darah–sepertinya gadis itu tak sadar.

"Kau mau gadis ini, bukan? Ambil saja–toh tampaknya dia akan mati sebentar lagi."

Muzan menghela napas panjang seraya membetulkan letak topinya yang kacau. Ia melangkahkan kaki guna meninggalkan lokasi kejadian.

"Dengar, bocah air. Aku tak tertarik pada manusia lemah yang tak bisa menahan efek darahku."

Semudah itu.

Sesaat setelah mendengar perkataan Muzan, pandangan matanya semakin kabur. Sosok yang terakhir kali ia lihat sebelum kehilangan kesadarannya adalah ...

'(Surname) .... san.'

... (Surname) (Name) yang tergeletak lemah di atas tanah.

***

Giyuu mengerjapkan matanya beberapa kali, sebelum pada akhirnya ia sadar dengan sempurna. Entah sudah berapa lama ia tak sadarkan diri–mengingat luka yang diterimanya cukup fatal.

Ia mendapati dirinya berada di suatu–gua yang agak dalam, jauh dari paparan sinar matahari. Luka-luka yang ia dapat telah dibalut dengan sobekan kain yang sangat Giyuu kenali motifnya.

'Potongan kimono ini ... .'

"(Surname)-san? Kau ada di sini?"

Giyuu memosisikan dirinya untuk duduk di atas tanah, haori dua motif yang tadi menyelimuti dirinya ia kenakan kembali. Kondisi Giyuu memang tak sepenuhnya pulih–tetapi jelas jauh membaik.

"(Surname)-san?" panggil Giyuu sekali lagi, seraya mencoba berdiri guna mencari sosok gadis yang ia cari.

Giyuu mengandalkan instingnya untuk mencari (Name), ia yakin gadis itu masih berada di dalam gua ini.

Benar saja, di pojok gua tersebut, ia menemukan gadis yang duduk termenung dan memeluk lututnya sendiri. Ia tak bereaksi mendengar panggilan Giyuu, membuat Giyuu berinisiatif menghampirinya.

Tepat sesaat sebelum Giyuu menyentuh kepala (Name), gadis itu menepis tangan Giyuu, seraya mundur beberapa langkah guna menjaga jarak dari si laki-laki.

"To ... mioka ... sadar?"

Giyuu tersentak mendengar suara (Name) yang sangat lirih, membuat lekaki itu merasa khawatir. Ia mendekati (Name) kembali.

Namun, seperti reaksinya yang sebelumnya, gadis itu memilih untuk kembali menjauh. "Jangan ... dekat."

Lelaki itu merasakan hal tak beres kala mendengar ucapan (Name) yang terbata dan terputus–dan juga sedikit tak jelas maknanya.

Sekali lagi, Giyuu mengulurkan tangannya ke arah (Name). "(Surname)-san. Apa kau–"

Crashhh!

Tenggorokan Giyuu tercekat, perkataan yang baru akan ia ucapkan pun tertahan begitu saja.

(Name).

Menyerangnya.

Dengan kuku tajam, padangan mata tajam yang menusuk.

Gigi taringnya terlihat oleh karena seringainya yang merekah, darah segar perlahan turun dari sisi bibirnya.

Giyuu spontan memasang posisi siaga, ia mengetahui fakta kalau gadis ini bukan lagi manusia. Sebagai pemburu iblis–harusnya ia berpikir rasional dengan memenggal kepala (Name).

"Aku ... buat Tomioka ... luka?" (Name) memasang ekspresi ngerinya sendiri, akan tetapi instingnya sebagai iblis mengambil alih, membuatnya kembali menyerang Giyuu–terpancing oleh darah segar yang mengalir. "Tomioka ... mati!"

Giyuu menghindari serangan (Name) tanpa berniat melakukan serangan balasan sama sekali. Ia tak kuasa–ia tak sanggup menyerang (Name). Pikirannya terus berkata bahwa membunuh (Name) adalah solusi terbaik.

'Benar. Aku harus membunuhmu. Dengan begitu ... kau takkan menderita sebagai iblis, (Surname)-san.'

Giyuu mengambil katana miliknya yang tergeletak tak jauh dari sana, ia menghunuskan katana tersebut tepat di depan wajah (Name), membuat gadis itu terdiam di posisinya.

"Bunuh ... aku." Setetes air mata mengalir dari netra (Name), rasa kemanusiaannya masih ada–akan tetapi ia tak bisa melawan instingnya. Ia harus memakan manusia–atau setidaknya darahnya saja untuk kelangsungan hidup. "Aku ... harus mati. Aku ... lukai Tomioka."

(Name) menyibakkan rambutnya, guna membuat lehernya terlihat supaya Giyuu bisa membunuhnya dengan mudah. Napasnya terengah-engah tak stabil. "Ce ... pat sebelum ... aku kembali serang."

"Benar, (Surname)-san. Kau ... akan lebih tenang jika mati di sini, kau takkan menderita lagi." Giyuu mengeratkan genggamannya, ia bersiap menebas leher (Name) hanya dalam sekali serangan.

(Name) tersenyum samar, air matanya yang mengalir ia hapus dari wajah. Ia sudah siap. Ia memejamkan mata, sesaat setelah Giyuu mengangkat katana-nya dengan satu tangan.

Namun–alih-alih tebasan yang menyakitkan ...

"Aku tak bisa ... (Surname)-san."

... sebuah pelukan erat menggantikan tebasan itu.

Sebutlah Giyuu seperti bocah telat pubertas–ia tak rela membunuh sang terkasih yang kini ada dalam pelukan. Eksistensi seorang (Surname) (Name) terasa lebih berharga, dibanding titelnya sebagai pemburu iblis kelas atas.

"Bunuh ... aku, Tomioka!" (Name) meronta dalam pelukan Giyuu, ia tak mau instingnya kembali bekerja dan menerkam lelaki itu sampai mati. "Aku ... nanti lukai Tomioka!"

"Aku tak peduli."

Giyuu mengusap lembut pucuk kepala (Name) yang masih menangis dalam pelukannya. Tanpa sadar, seulas senyum samar tercipta di wajahnya itu.

"Akan kuberikan darahku. Atau sebagian dagingku. Atau apapun yang kau mau." Pandangan Giyuu kembali menjadi sendu. Ia mengangkat wajah (Name) dengan jarinya, memaksa gadis itu untuk bertatapan. "Namun–kumohon. Hiduplah demi aku. Jadilah (Surname) (Name) yang kukenal."

(Name) memandang Giyuu dengan tanda tanya, ia mengerti perkataannya. Namun, ia tak paham tujuan Giyuu yang sesungguhnya. "To ... mioka?"

"Aku tahu ... kau akan menderita jika hidup sebagai iblis." Giyuu mengeratkan pelukannya, seakan tak ingin melepaskan (Name). "Namun ... akulah yang akan menderita jika kau mati."

Lengan (Name) bergerak tanpa sadar untuk membalas pelukan Giyuu. Ia menangis–dengan rasa kemanusiaan yang ia miliki. Ia tak mengerti–mengapa Giyuu sampai sedemikian ini terhadap dirinya?

Rasa terharu sekaligus sedih memancar di dalam lubuk hati (Name). Ia hanya bisa menangis tanpa suara dalam pelukan Giyuu.

"Maafkan aku yang begitu egois. Aku akan mencari cara untukmu bisa kembali menjadi manusia. Aku ... tak rela harus kehilangan orang yang kusayangi lagi, (Surname)-san."

.

.

.

.

End

.

.

.

.

Halo halo!
Rashi di sini!
Apa ada yang masih baca book ini? Atau menunggu Rashi untuk update?
Akhirnya, sekarang Rashi update nih! Setelah ngilang cukup lama ya kan heheh

Ada yang kangen gak?
/ngarep kamu Rash

Maaf ya Rashi hilang tanpa jejak gini :( Sebagai permohonan maaf, Rashi buat chapter ini panjang loh kalau pada sadar–sekitar 2700 word lebih.
Wow, pegel :D /ga

Yak, ini adalah requestan dari ascellworld senpai, e-entah senpai masih inget apa enggak. Maaf membuat senpai menunggu SANGAT lama. Maaf juga karena alurnya ngebut sengebut lightning mcQueen :(

Ngomong-ngomong, Rashi rasa cerita ini bakalan bagus juga kalau Rashi buat jadi book sendiri, dengan cerita lebih diperdalam dan banyak scene antara Giyuu x Reader dong~! Gimana menurut kalian?

Ada yang mau gak nih? 👀
I-itu juga kalau ascellworld senpai selaku pemberi ide mengizinkan sih uwu

Sekali lagi maaf banget udah buat kalian nunggu lama :( Semoga masih ada yang berminat baca cerita ini huwaaa

Jangan lupa pencet tombol bintangnya ya hehee, biar Rashi lebih semangat updatenya, umu!

See you!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top