Kamado Tanjirou
"Hei, kau tahu, (Name)? Sepertinya, aku akan menikah."
Meski hanya kalimat sesederhana itu yang diucapkan, tapi kalimat sederhana tersebut justru membuat gadis bernama (Surname) (Name) itu bergeming di posisinya.
Menikah?
Kamado Tanjirou?
Cinta pertama (Name) yang belum pernah berubah sekali pun?
Hanya seulas senyum paksa yang dipasang di wajah manis (Name), yang kala itu dirinya harus menahan rasa perih dalam hati yang tak tertahankan.
Jikalau bisa, ia ingin berteriak sekencang-kencangnya sekarang juga, melampiaskan perasaan yang berkecamuk dalam lubuk dada, dikarenakan sang 'tercinta' akan mengikrarkan janji sucinya pada orang yang belum tentu dirinya.
"Oh, benarkah itu, Tanjirou-kun?" tanya (Name) dengan nada antusias yang dibuat-buat, meski dalam hatinya ia berkata lain. "Omedetto."
"Masih 'sepertinya', (Name). Aku belum benar-benar memikirkannya." Tanjirou berkata dengan canggung seraya tersenyum khas, ia berusaha menahan rona merah yang akan terlukis di wajahnya itu.
(Name) tertawa kecil melihatnya. Meski saat ini Tanjirou telah menginjak usia dua puluh lima tahun, Tanjirou tetaplah polos dan lembut seperti dulu.
Bahkan saat Tanjirou membahas masalah 'cinta' seperti ini, meski dirinya sendiri sudah berusia cukup matang, (Name) yakin si pemilik anting hanafuda itu terlalu canggung untuk membicarakannya.
Tanjirou terdiam sesaat. Ia mengambil mangkuk kecil berisikan sup miso dan menyesap kuahnya. Hidangan yang dimasak sendiri oleh (Name) tak pernah membuatnya bosan, ia sangat menyukai masakan buatan gadis itu.
"Rasanya lezat seperti biasa, (Name)."
Hanya seulas senyuman yang diberikan oleh (Name), alih-alih menggunakan kata-kata sebagai jawaban.
"Ngomong-ngomong, apa kau sudah punya 'calon', Tanjirou-kun?" tanya (Name) sebagai basa-basi, berupaya menunjukkan rasa antusiasnya. Meski ... itu hanyalah sebuah antusias yang dibuat-buat.
"Huwaaaa! Aku belum berpikir sampai itu, (Name)!" Tanjirou menggeleng-gelengkan kepalanya dengan cepat, seraya membuat tanda silang dengan kedua tangannya.
Sekali lagi, (Name) tertawa kecil.
Benar, bukan? Tanjirou terlalu polos dan lembut untuk membicarakan hal semacam pernikahan ini.
"Haaa ... (Name), reaksimu benar-benar mirip dengan reaksi Zenitsu dan Nezuko." Tanjirou tertawa canggung seraya menggaruk pipinya. "Mereka berdua langsung menanyakan siapa 'calon' itu. Dan ... tentu aku belum bisa menjawabnya."
"Oh, Agatsuma dan Nezuko, ya?" (Name) terkekeh kala mendengar dua nama yang disebut, mengingat Zenitsu dan Nezuko yang semakin kompak sejak mereka telah menyatakan janji suci untuk menjadi pasangan yang berbahagia.
Yah, (Name) mengetahui dengan jelas kalau bocah petir satu itu cinta mati pada Nezuko. Namun, pada awalnya (Name) tak percaya bahwa Nezuko akan menikah duluan sebelum kakaknya sendiri.
"Ah, bagaimana kriteria wanita idamanmu, Tanjirou-kun?" tanya (Name) seraya memiringkan kepala, menunjukkan rasa ingin tahunya.
"Hmm ... jika harus disebutkan, aku menyukai orang yang lemah lembut, elegan, dan yang paling penting adalah dia adalah orang yang mencintaiku dengan tulus."
(Name) tersenyum simpul kala Tanjirou mengatakan hal tersebut padanya.
Bukannya ia merasa terlalu percaya diri, atau merasa kalau ialah orang yang paling pantas untuk menjadi pendamping hidup Tanjirou.
Ia benar-benar mencintai Tanjirou dengan tulus sepenuh hatinya.
Meski hanya satu kriteria itu yang ada pada diri (Name) ...
... bolehkah (Name) berharap untuk kali ini?
Walau dikatakan berharap pun, sejujurnya (Name) juga tak terlalu yakin. Apakah dirinya bisa menempati posisi 'yang tercinta' dalam hati Tanjirou? (Name) tak yakin akan hal itu.
"Kalau gadis yang seperti itu ... aku rasa kau cocok dengan Kanao-san, Tanjirou-kun."
Ya Tuhan.
Apa yang baru saja kau katakan ini, (Name)?
"Kanao?"
Tanjirou menatap (Name) kebingungan, dengan penuh tanda tanya di kepalanya. Matanya sedikit menyipit, seakan meminta jawaban atas maksud perkataan (Name) barusan.
"Eh, yah ... Kanao-san sangat ideal sesuai kriteriamu, bukan? Dia lemah lembut dan elegan ... dan aku yakin dia mencintaimu dengan tulus."
Nada yang agak menurun pada kata 'mencintaimu' disadari oleh Tanjirou. Meski begitu, sang laki-laki bersurai kemerahan memilih bergeming dan tak mengomentari itu.
"Menurutmu Kanao, ya ... ."
Tanjirou mengangguk-anggukkan kepalanya pelan, dengan ekspresi wajah yang tak bisa diartikan. (Name) memandang laki-laki yang duduk di sampingnya itu, ekspresi aneh yang ditunjukkannya membuatnya heran.
"Ada apa, Tanjirou-kun?" tanya (Name) dengan nada gugup, sesaat setelah ia menelan salivanya sendiri. "Maaf jika perkataanku menyinggung hatimu."
Tanjirou menghela napas singkat, sesaat sebelum ia kembali tersenyum khas seperti biasanya. Tanjirou mengelus pucuk kepala (Name), dengan senyuman yang belum hilang dari wajahnya.
"Bukan apa-apa! Arigatou, (Name)!"
(Name) menghela napas lega dalam hati. Senyuman merekah di wajahnya, ia memegang kepalanya yang baru saja dielus oleh Tanjirou.
"Douitashimashite, Tanjirou-kun."
***
Selang beberapa hari setelah perbincangan singkat antara Tanjirou dan (Name). Hari ini, mereka berdua tengah berjalan-jalan di pusat kota yang semakin maju itu. Hanya berdua.
"Maaf karena aku menyita waktumu dengan mengajakmu pergi bersamaku, (Name)."
(Name) menggeleng cepat, membantah perkataan Tanjirou. "Tidak sama sekali. Sebaliknya, aku merasa senang pergi berdua denganmu."
Mereka berdua berjalan di pusat perbelanjaan kota, dengan kimono non-formal yang terkesan sederhana tetapi tetap menarik. Beberapa pasang mata seringkali mencuri pandang untuk menatap Tanjirou dan (Name), dan itu membuat (Name) sedikit canggung.
"Ah, kenapa kau mengajakku ke sini, Tanjirou-kun? Apa ada sesuatu yang ingin kau beli?" tanya (Name) seraya menatap Tanjirou ramah, berupaya mengabaikan pandangan mata yang selalu tertuju pada mereka berdua.
Tanjirou terkekeh pelan. "Kau memang peka seperti biasa, (Name). Benar sekali, ada sesuatu yang ingin kubeli."
"Apa itu?"
"Sebuah cincin. Rencananya, aku akan memberikannya pada calonku."
"Oh ... sou ka."
Tanjirou kemudian menatap (Name) yang tampak berganti ekspresi. Apa ada yang salah dengan perkataannya? Cepat-cepat, ia merapat perkataannya itu.
"Tapi kalau (Name) tak mau, tak masalah. Kita bisa jalan-jalan berdua saja, di sini!"
"Tidak apa, Tanjirou-kun. Mana mungkin aku tak mau membantumu, bukan?"
"Ahaha, kau benar-benar baik, ya, (Name)! Aku sangat berterima kasih!
***
"Ya ampun ... ini sudah malam, dan aku belum menemukan satu pun yang cocok."
Tanjirou memasang ekspresi bersalah, dikarenakan (Name) sudah berusaha mencarikannya cincin, tetapi hasilnya malah nihil.
Entah kenapa, Tanjirou tak bisa menemukan cincin yang akan cocok jika dikenakan oleh sang pujaan hati. Sudah puluhan cincin direkomendasikan oleh (Name), tapi Tanjirou selalu merasa ada sesuatu yang 'kurang'.
Ia hanya ingin menemukan cincin untuk diberikan pada seorang gadis, di mana cintanya berlabuh di sana.
"Tidak apa, Tanjirou-kun. Kalau di kota ini tidak ada, mungkin besok kita bisa pergi ke kota lain saja." (Name) mengulas senyum manis di wajahnya, supaya Tanjirou tak merasa bersalah. "Aku cukup menikmati ini, kok."
"Maafkan aku ... ." Tanjirou menundukkan kepalanya masih dengan ekspresi bersalah. "Ah, sebelum pulang, apa ada tempat yang ingin kau kunjungi, (Name)? Aku akan menemanimu sebagai rasa terima kasih untuk hari ini."
"Hmm ... ." (Name) menopang dagunya dengan jari, membuat gestur berpikir. Sepasang netranya ia hadapkan ke langit, memandangi bulan dan bintang yang menghiasi langin kehitaman. "Bagaimana kalau kau temani aku untuk melihat bulan hari ini?"
Tanjirou memandang (Name) dengan mata berbinar-binar, tampak antusias atas ajakan dari (Name). "Melihat bulan? Tentu saja! Aku pernah menemukan tempat yang sangat cocok untuk melihat bulan di sekitar sini!"
"Oh, ya? Kalau begitu, ayo kita ke sana, Tanjirou-kun."
Seulas senyuman lebar terulas di wajah manis (Name). Tanjirou menggenggam tangannya, membawa (Name) untuk pergi ke tempat yang ia maksud.
Benar saja. Tempat itu sangatlah cocok. Tanah lapang di tengah-tengah pepohonan, membuat (Name) terkagum-kagum melihatnya.
"Woahhh ... tempat ini indah sekali."
Tanjirou tersenyum lega ketika (Name) tampak menyukai tempat yang ia pilih. Terima kasih pada rekannya dulu, Hashibira Inosuke yang pernah mengajaknya bertarung di sini.
Mereka berdua duduk tepat di tengah tanah lapang itu. Mata (Name) tak henti-hentinya menatap bulan yang memantulkan sinar terang itu.
"Malam ini, bulannya terlihat indah, ya?"
Satu kalimat diucap oleh (Name) tanpa sadar. Kalimat yang secara tak langsung menyatakan afeksi pada seseorang, membuat (Name) tersentak atas keceplosan bicaranya ini.
Memang (Name) memuji keindahan sang bulan yang tak pernah membuatnya bosan. Namun, ia merasa Tanjirou akan menganggap ini sebagai sebuah pernyataan cinta.
"Eh ... maksudku ... anu--"
"Benar. Bulannya sangat indah."
Tanjirou memotong perkataan (Name) sebelum gadis itu menyelesaikan satu kalimatnya, seolah-olah tak mengetahui makna sesungguhnya kalimat tadi.
"Ngomong-ngomong, sup miso yang kau buat untukku tempo hari sangatlah lezat, (Name)."
Seketika (Name) kebingungan. Mengapa tiba-tiba Tanjirou membahas sup buatannya beberapa hari lalu? Lagipula, seingatnya Tanjirou sudah memuji masakan buatannya.
"Umm, aku senang kau menyukainya, Tanjirou-kun."
Sebuah elusan mendarat mulus di pucuk kepala (Name), setelah ia mengatakan kalimat itu. Tanjirou kembali mengelus kepalanya, dengan sangat lembut dan membuatnya nyaman.
"Sangat. Aku sangat menyukainya."
Keduanya berhenti berbicara. (Name) kembali memandangi bulan, sementara Tanjirou masih asik mengelus pucuk kepala (Name) seraya memainkan rambut halusnya.
(Name) merasa sangat berdebar. Seluruh perasaannya bercampur menjadi satu, antara malu, senang, bahagia, dan lain-lain.
"Hei, (Name). Kau tahu? Aku ingin setiap terbangun di pagi hari, aroma sup miso buatanmu yang akan menyapa indera penciumanku."
"Eh?"
(Name) membelalak atas apa yang ia dengar. Kalimat ini ... kalimat yang berarti 'itu', bukan? Jantung (Name) mulai berdetak dengan tak stabil.
'Tenang, (Name). Belum tentu Tanjirou bermaksud melamarmu.'
(Name) menarik napas dalam-dalam dan membuangnya dalam sekali hembusan. Ia berusaha menahan rona merah yang menjalar ke wajahnya.
"(Name) ... sejujurnya aku telah menemukan pasangan hidup yang kupilih. Bahkan jauh sebelum kau bertanya padaku."
(Name) kembali membelalak mendengar perkataan Tanjirou. Jadi sejak awal sudah ada seseorang yang mengisi hati Tanjirou?
"Sejujurnya saat aku bertanya padamu tempo hari, aku ingin melihat reaksimu. Saat kau menyebut nama Kanao ... kupikir itu semacam penolakan."
(Name) bergeming. Ternyata itulah alasan Tanjirou memasang ekspresi aneh yang tak biasa.
"Namun, kali ini izinkan aku mengatakannya secara langsung."
Tanjirou kemudian menatap (Name) dengan sangat lembut. Senyumannya yang terkesan menampung berbagai emosi terulas, bersamaan dengan jemari Tanjirou yang menggenggam tangan kiri (Name).
Ia mengambil sebuah cincin dari sakunya yang terbuat dari bunga, dipasangkannya cincin tersebut pada jari manis (Name).
(Name) tak bereaksi banyak. Ia membatu di saat itu juga, perasaannya saat ini sangat sulit untuk dijelaskan dengan kata-kata.
Kecupan ringan mendarat pada tangan (Name) yang telah dihiasi cincin bunga itu. (Name) kehabisan kata-kata, tak sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya.
"Maaf aku hanya memberikanmu cincin sederhana seperti ini. Saat kita pergi ke pusat perbelanjaan tadi, kupikir aku bisa menemukan yang cocok untukmu. Hanya saja ... kurasa cincin alami ini lebih cocok untukmu."
Liquid bening mengalir melalui wajah (Name), tak kuasa menahan rasa sukacitanya saat ini. Meski Tanjirou belum mengucap kata-kata lagi, ia mengerti. Ia mengetahui apa yang ingin diucap Tanjirou.
"(Surname) (Name), kaulah pendamping hidup yang selalu kucari selama ini. Bersediakah kau menikah denganku?"
(Name) mengusap wajahnya yang dibanjiri air mata, sesaat sebelum dirinya memeluk laki-laki yang mengenakan haori kotak-kotak itu.
"Aku bersedia, Tanjirou-kun."
.
.
.
.
End
.
.
.
.
/baca ulang/
Aku ... AKU NGETIK APA SIH INI?
/nangis kejer/
Gils alurnya maksa, cepet banget pula. Mana romancenya dikit pula. Hhhh. Maafkan kepayahan Rashi ini :"
Rashi susah menjabarkan sifat si Tanjirou gimana :"
Susah nulis karakter anak baik kayak Tanjirou tuh /nangis lagi/
Ohiya, ini request dari KarinSekarR terima kasih udah request.
MOHON MAAFIN RASHI YANG GA BISA BIKIN SESUAI HARAPAN SENPAI.
HUWEEEEEE
/nangis makin kenceng/
Ka-kalau ada yang aneh, tolong komentar yah :"
Sekali lagi maafin kepayahan Rashi dalam mendalami karakter Tanjirou
See you!
Omake :
"Tanjirou-kun."
Kamado (Name), istri dari Kamado Tanjirou memanggil nama sang suami dengan lembut, seraya di tangannya ia membawa nampan berisikan sarapan pagi untuk keduanya.
"Oh, (Name). Terima kasih telah membawakan sarapannya ke sini."
Tanjirou meletakkan penanya si atas meja. Ia menyisihkan kertas dan dokumen berisi pekerjaannya, guna membiarkan istri tercinta meletakkan sarapan pagi mereka.
"Aku sangat senang karena kau selalu memasakkan sup miso ini untukku."
Tawa ringan yang lembut dikeluarkan oleh (Name) kala melihat wajah bahagia Tanjirou. Ia meletakkan isi nampannya satu persatu dengan telaten, dan ia duduk di hadapan suaminya itu.
"Aku akan menepati janjiku untuk membuatmu mencium aroma sup miso setiap pagi, Tanjirou."
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top