2

2.

Nana menatap ke luar jendela kereta. Sudah lebih dari satu jam kereta yang ia tumpangi melaju, meninggalkan Busan. Liburan kali ini memang bukan yang pertama, tapi dalam 22 tahun hidupnya, ini adalah kali pertama Nana berlibur sendirian. Yah, walaupun tujuannya memang ke tempat tinggal sang nenek, Seoul.

Jika diingat-ingat lagi, sudah dua tahun dia tidak berkunjung ke sana karena kesibukan orang tuanya. Kali ini Nana cukup mengerti kalau beliau mungkin sangat merindukannya, terlebih dia sampai mengancam jika dia tidak datang berkunjung pada liburan musim panas tahun ini. Nana terkekeh. Dia memang anak semata wayang, tapi bukan cucu satu-satunya. 

Wanita berwajah tirus, berhidung mancung lurus, mata cokelat terang, dan bibir sedang itu tersenyum. Mungkin ini yang dinamakan rasa sayang anak untuk orang tua, rasa sayangnya, juga rasa sayang ibunya pada sang nenek.

Mereka tidak bisa menolak permintaan neneknya meski dengan alasan kalau mereka sedang ada proyek yang tidak bisa ditinggalkan. Kemudian, dengan santai si nenek berkata, “Nana sudah berusia 22 tahun. Apa kalian pikir dia masih akan tersesat padahal dia sudah dewasa? Biarkan Nana pergi ke sini sendirian. Kalau sampai aku yang menjemputnya, aku pastikan dia tidak akan kembali pada kalian.”

Menit berlalu tanpa terasa, mengulang ingatan yang menjadi penyebab kenapa dia diizinkan untuk bepergian sendiri berhasil menyita waktu. Nana segera keluar dari kereta ketika benda tersebut berhenti di stasiun. Melangkah pelan sambil memperhatikan aktivitas orang-orang, berusaha menangkap apa yang biasanya tidak bisa dia lihat. Kerumunan.

Suara bising stasiun tak membuatnya merasa tidak nyaman, perhatiannya tertuju pada siapa pun yang ada di sana. Beberapa orang terlihat berjalan tergesa-gesa, sedang yang lain berjalan berdampingan sambil mengobrol. Ada yang hanya sibuk dengan ponsel, ada juga yang terlihat menyimpan banyak emosi dari rautnya. 

Bukannya tidak pernah, tapi sangat jarang sekali Nana bisa berada di kerumunan seperti ini. Sekalipun pernah, pasti ketika bersama dengan orang tuanya, dan saat seperti itu hanya berlalu dalam waktu singkat.

“Nana!”

Wanita yang mengenakan celana jins dan hodie tadi menoleh ke kiri, pada seorang pria bertubuh tinggi yang mengenakan masker dan topi. Nana menarik senyum. Walaupun wajah ditutup, Nana masih yakin kalau dia masih bisa mengenali Shin Seung-ho, sepupunya dari pihak ibu, dari bentuk tubuhnya yang sangat mudah dihafal.

“Sudah lama?”

Kim Nana melirik jam yang ada di pergelangan tangan kanannya. “Cuma lima menit, sih, sebelum satu jam aku nunggu.”

Seung-ho terkekeh sambil mengacak-acak rambut kecokelatan Nana. “Maaf, syutingku memakan waktu yang lebih lama dari perkiraan.”

“Gak apa-apa,” sahut Nana sambil mengendikkan bahu. “Kita langsung pulang?”

“Hm … iya. Haramoni sudah menghubungiku puluhan kali sejak satu setengah jam yang lalu. Dia pikir kau tersesat.”

Kali ini Nana ikut terkekeh. “Padahal saat menelepon Eomma, dia yakin sekali kalau aku tidak akan tersesat.”

*

Seperti tahun-tahun sebelumnya, saat dia datang, sang nenek pasti akan langsung memeluknya, mencium kedua pipi, lalu mengajaknya ke kamar untuk bercerita. Maklum saja, dia hanya memiliki sepasang anak dan keduanya sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Ketiga cucunya, kecuali Nana, adalah pria, yang lebih suka berkeliaran di luar. Ditambah lagi, Nana paham dengan apa yang dia inginkan. Ingin ditanggapi saat bercerita, disimak, diperhatikan, terlebih Nana ingat dengan berbagai hal yang ia ceritakan bahkan sejak bertahun-tahun lalu. Sangat berbeda dengan Shin Seung-ho dan Shin Baek-joon.

“Jadi, aku mau selama liburan musim panas, kau tinggal di sini.” Duduk di ujung kasur, Nyonya Lee Soe-hyun menggenggam kedua tangan Nana. “Lagi pula, kau tidak bekerja. Aku akan mengajakmu berkeliling Seoul.”

Nana menarik senyum lebar. Oh, neneknya …. Nana yakin jika Nyonya Lee mampu membawanya berkeliling Seoul, tapi dia yang tidak akan tega. Mungkin kalau hanya ke mall atau pusat perbelanjaan, Nana akan membiarkan sang nenek untuk menjadi pemandunya, tapi tidak untuk berkeliling.

“Aku mengerti, Haramoni. Kita punya banyak waktu untuk berjalan-jalan.”

Nyonya Lee mengangguk senang. Dalam pikirannya, dia akan membelikan Nana pakaian, sepatu, tas, makanan, dan lain-lain, mumpung anak dan menantunya yang protektif itu tidak ada. 

“Ingat pesanku tadi, lupakan semua aturan ayah dan ibumu selama kamu tinggal bersamaku. Mengerti?”

Sekali lagi Nana terkekeh, lalu mengangguk semangat. “Iya, Haramoni. Yang harus aku turuti selama tinggal di sini adalah Haramoni,” ucapnya tulus, meski dalam hati dia paham kalau dia harus tetap berada di garis aman.

“Anak pintar.” Nyonya Lee menepuk-nepuk tangan Nana. “Sekarang, ayo, kita ke ruang keluarga.”

Mengikuti neneknya keluar dari kamar, Nana memperhatikan setiap sudut rumah yang tidak berubah sama sekali bahkan setelah bertahun-tahun, paling hanya beberapa tambahan bunga hias yang mengisi sudut ruangan.

Hal pertama yang menyambut mereka setelah sampai di ruang keluarga adalah decakan tak percaya dari Seung-ho, bahkan pria itu menyilangkan kedua tangan di dada. “Satu jam setelah aku tiba di sini, Haramoni baru sekarang melihatku? Ah, aku dianaktirikan.”

Nyonya Lee tidak menanggapi Seung-ho, dia bergerak ke dapur setelah meminta Nana duduk di sofa.

“Wah ….”

“Maaf, Seung-ho, dia lebih mencintaiku.”

Seung-ho mendelik. Dalam hati menggerutu. Dua orang wanita beda masa ini benar-benar cocok untuk menguras rasa sabarnya. Sebelum bertemu, mereka memohon-mohon, setelah bertemu, dia bahkan dianggap tidak ada.

“Wah …. Aku tidak percaya ini.”

“Ngomong-ngomong, penawaranmu tadi masih berlaku?”

Shin Seung-ho mengangkat ujung bibir. “Yang mana?”

Nana berdecak, dia mengendik, mengarahkan dagu ke dapur. “Haramoni berkata akan membawaku berkeliling Seoul. Kamu pikir dia bercanda?”

“Wah! Dia mengatakan itu?” Anggukan Nana menjadi jawaban. “Aku akan menghubungimu sebelum berangkat. Baek-joon akan mengamuk kalau Haramoni kelelahan karena mengajakmu berkeliling Seoul.”

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top

Tags: #eek