Twentifirst Day, Twentifirst Mission : Stop Run Away
Melarikan diri. Dua kata yang menjelaskan apa yang sedang (name) lakukan sekarang ini. Dikawal oleh lima orang agen Hunter profesional yang diutus oleh Murakami Miu, sang presiden direktur Hunter Agency.
(Name) tak tahu pasti apakah nyawanya akan selamat. Tetapi, gadis itu tidak tahu harus bergantung kepada siapa lagi selain kelima agen tersebut dan Miu. Lagi pula, ia tidak ingin merepotkan lebih banyak orang dari ini, lagi.
Sekarang pukul 17.23 PM. Sekitar tiga puluh menit lalu, mobil sedan hitam berlogo HA di platnya berangkat dari rumah (name) dan melaju di jalan raya dengan kecepatan sedang. (Name) tak tahu dirinya mau dibawa ke mana, gadis itu tidak berani untuk banyak tanya. Ia hanya duduk manis di kursi tengah bersama Harui di sisi kanannya dan Nari di sisi kirinya.
Aoi duduk di kursi depan bersama Kuro sebagai supir, sementara Zen duduk sendirian di kursi belakang sambil memejamkan mata. Pria itu tidak mau dibilang tertidur di tengah tugas. Padahal, suara dengkurannya terdengar jelas.
"Kita sudah sampai," ucap Kuro. "Aku akan memarkirkan mobil dan menyusul. Kalian pergilah dahulu."
"Baiklah," sahut Aoi sambil membuka pintu mobil, kemudian menutupnya kembali setelah turun. Pria itu berjalan ke belakang mobil dan membuka pintunya, membangunkan Zen yang bangun dengan ogah-ogahan. "Aku tidak tidur," sangkal Zen ketus, namun dengan muka bantal membuatnya terlihat lucu.
Harui membuka pintu sebelah kanan dan turun dari mobil. "Ayo, (name)," kata Harui, mengulurkan tangannya untuk membantu (name).
Gadis itu menerima uluran tangan Harui, lalu melompat turun. (Name) berterima kasih dan Harui membalasnya dengan senyuman. Nari menyusul setelah menutup pintu mobil.
Kini, ia bersama keempat agen lainnya turun dari mobil yang dibawa Kuro untuk diparkirkan. Sebuah gedung menjulang tinggi di hadapannya. Warna putih gading mendominasi dinding, setiap kaca jendela tampak mengkilap indah. Di bagian depan gedung, terdapat tiga anak tangga yang terbuat dari batu marmer menuju pintu geser otomatis berupa kaca bening. Di atas pintu, terpampang tulisan Serenity Hotel.
Harui menggandeng tangan kanan gadis itu, menuntunnya menaiki ketiga anak tangga dan memasuki pintu kaca yang bergeser terbuka secara otomatis. Begitu masuk, pemandangan ala hotel bintang lima tampak di depan mata. (Name) yang belum pernah menginap di hotel sebelum ini terkagum-kagum melihat sekelilingnya.
(A/N : Ini sih Author-nya yang belum pernah ke hotel :v).
Harui membawa (name) ke meja resepsionis bersama Nari, disambut seorang wanita berambut hitam berpotongan pendek yang mengenakan seragam pegawai hotel. Harui dan Nari bercakap-cakap dengan wanita tersebut, sementara Aoi dan Zen hanya diam berdiri di belakang gadis itu.
"Nona (Name), benar?" tanya wanita itu sambil tersenyum. (Name) hanya mengangguk sebagai jawaban. Wanita itu memberikan sebuah kunci beserta selembar post it berisi nomor telepon padanya.
"Namaku Yuzu, agen Hunter profesional rahasia dari Hunter Agency. Kalau kau perlu sesuatu, telepon nomorku ini. Dan jagalah kunci kamarmu."
Mendengar itu, (name) melongo. Agen rahasia, katanya? Sepertinya, para agen dari Hunter Agency ini tersebar di seluruh penjuru dunia. Hebat sekali. "Terima kasih, Yuzu-san," ucap (name).
Setelah urusan check in dan pembayaran—yang ditanggung oleh Miu—di resepsionis selesai, keempat agen tersebut membawa (name) menuju ke kamar yang telah dipesan dengan menaiki lift sampai ke lantai 3, kamar nomor 123.
"Nah, (name), aku akan membantu merapikan barang-barangmu dulu," ujar Harui, Nari mengangguk setuju. "Aku juga," timpalnya.
"Baiklah," balas (name) sambil memutar kunci sehingga pintu terbuka, memperlihatkan sebuah ruangan yang cukup luas dan terkesan mewah dengan fasilitas yang ada.
Ia melangkah memasuki kamar diikuti keempat agen di belakangnya. 'Miu-nee benar-benar berniat membantuku,' batin (name) meringis, pasti biayanya tidak murah dan bisa-bisa ia terkena serangan jantung mendadak kalau melihat tagihannya.
Belum lagi, Miu juga membiayai penerbangan (name) ke Roma, Italia. Dan pastinya pesanan dari Miu tak kalah mewah dari ini. Gadis itu menghela napas berat. Apa boleh buat, ia tidak bisa menghentikan atau mengganggu gugat keputusan Miu, karena kakak sepupunya itu sudah membantunya sampai sejauh ini.
"Kau mandi saja dulu, (name). Biar aku dan Nari yang merapikan barang-barangmu," kata Harui sambil meletakkan koper yang dibawanya di dekat sebuah lemari baju berukuran besar.
(Name) semakin merasa tidak enak hati. Kali ini, gadis itu membulatkan tekad untuk mengutarakan isi hatinya setelah mengumpulkan keberanian.
"Maafkan aku. Bukannya aku menolak bantuanmu, Harui-san. Tapi, aku merasa tak sepantasnya memperlakukanmu seperti ini. Kau seorang agen Hunter profesional, bukan seorang pelayan atau semacamnya. Jadi, biar aku saja yang merapikan barang-barangku sendiri, ya? Dan kurasa, ada hal lain yang harus kalian lakukan selain ini."
Sontak saja kelima agen—termasuk Kuro yang baru datang memunculkan diri di ambang pintu—tersebut terdiam mendengar penuturan gadis itu. Sementara (name) jadi salah tingkah, takut salah bicara dan bisa-bisa dirinya dihajar kelima agen tersebut.
Tiba-tiba, terdengar dengusan dari Zen. "Berlagak sok bisa mengatasi semuanya sendirian, huh?" sindir Zen, tatapan sinisnya tertuju pada (name). "Lalu, buat apa kau memohon pada kakak sepupumu itu untuk menyelamatkan nyawamu, jika kau justru menolak bantuan kami sekarang, hah?"
"Zen, sudahlah," lerai Aoi, menghentikan mulut tajam milik rekannya yang ketus itu berbicara lagi. Zen mendengus, mengalihkan pandangan ke arah lain dengan raut wajah menunjukkan kekesalan.
(Name) tertunduk lesu, rasa sesal kembali melingkupi hatinya. Setiap langkah yang diambilnya selalu saja salah, selalu saja berujung penyesalan. Namun, lagi-lagi gadis itu tidak bisa berbuat banyak.
Kedua tangan (name) terkepal erat. "Aku hanya tidak ingin menambah beban kalian...."
Aoi menjelaskan, "Ini sebenarnya membingungkan, (name). Presdir Murakami adalah atasan kami, segala perintahnya harus kami laksanakan. Dan kau adalah klien kami, permintaan klien merupakan tanggung jawab kami. Salah satu perintah dari Presdir Murakami adalah memperlakukan dirimu dengan baik, sedangkan kau meminta kami untuk tidak bersikap layaknya pelayan."
Kuro menambahkan, "Kami bingung harus menuruti siapa."
Harui dan Nari saling pandang, seolah-olah sedang bertelepati. Tak lama kemudian, Nari mengangguk dan tatapannya beralih pada (name) yang masih menundukkan kepala.
"Begini saja, (name)," ucap Nari. "Kami berikan penawaran untukmu; kau ingin kami menuruti Presdir Murakami—kakak sepupumu—atau kau ingin kami menuruti perintahmu langsung, kau pilih yang mana?"
Kepalan tangan (name) kian mengerat. Gadis itu berpikir keras, memutar otak untuk memilih jawaban yang tepat, jawaban yang mampu mencegahnya jatuh ke lubang yang sama. Cukup satu jawaban untuk menyelesaikan semua masalah. Keputusan berada di tangan gadis itu.
(Name) memikirkan kata-kata Zen yang walau menyakitkan namun benar adanya. Ia tidak seharusnya menelepon Miu, merengek meminta bantuan dan berakhir dilindungi oleh lima agen Hunter profesional yang tidak menjamin keselamatan nyawanya sejak awal jika akhirnya gadis itu justru menolak setiap bantuan yang diberikan.
Seharusnya, sejak awal, (name) sudah menyiapkan diri untuk terjebak dalam kondisi seperti ini yang tentunya akan terjadi dan sekarang benar-benar terjadi, tanpa persiapan apapun.
Gadis itu menggelengkan kepala, membuat keempat agen—Zen masih mengalihkan pandangannya, enggan menatap ke arah (name)—yang melihatnya bingung melihat gelagat anehnya itu.
"Kalau begitu...," (name) mengangkat wajahnya yang menunjukkan keseriusan dan keyakinan, "turuti perintahku, Miu-nee sudah cukup banyak membantuku. Mulai sekarang, biar aku yang mengatur strategi dan menyusun rencana, kalian cukup melakukan apa yang kukatakan. Sisanya, biar aku yang selesaikan sendiri."
Aoi, Kuro, Harui, Nari dan Zen terkejut mendengar ucapannya. Namun, melihat tatapan meyakinkan dari gadis itu membuat keempat agen selain Zen mengangguk, tanda kesepakatan bahwa permintaan (name) sebagai klien telah disetujui.
Zen mendelik ke arah (name), iris hijau pria itu seakan menuntut penjelasan. Ia tentu bisa membaca arti delikan Zen dan menjelaskan, "Apapun risikonya, memang seharusnya aku sendiri yang menanggungnya."
Kini Zen menoleh sepenuhnya ke arah (name). Tatapan sinis masih ditunjukkan, namun bibirnya berucap, "Terserah kau saja."
(Name) tersenyum lebar mendengar respons dari Zen.
"Terima kasih banyak!"
Bersambung....
A/N : Akhirnyaaa! Maaf lama ya, stuck parah di sini, ya ampun.... Tidak terasa tahun telah berganti lagi, dan fanfiksi ini masih saja belum selesai sama sekali TwT
Mau nangis aku tuh TAT
Jaa!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top