Twentieth Day, Twentieth Mission : The Agent from Hunter Angency
Tepat setelah sang delivery driver tak tampak lagi batang hidungnya, gadis itu melompat turun dari dahan pohon dan menapakkan kedua kaki tanpa alas kaki miliknya di permukaan tanah. Ia pun bergegas masuk ke dalam rumah.
Kali ini, (name) tidak membiarkan pintu atau jendela terbuka sedikitpun, semuanya terkunci rapat. "Seharusnya, aku tidak selalai itu. Aku benar-benar ceroboh, teledor sekali," rutuknya seraya memasuki ruang tengah dan mulai mengobservasi seluruh penjuru ruangan.
Gadis itu memeriksa, apakah ada alat penyadap suara atau kamera pengintai dalam bungkus plastik pesanannya, sebelum membuangnya ke tempat sampah. Lalu, (name) mengendap-endap untuk menghampiri jendela yang sudah tertutup. Jemari tangannya sedikit menyingkap tirai jendela untuk mengintip ke arah pepohonan.
Ia tak menemukan keganjilan apapun setelah sekilas meninjau keadaan di luar rumah. Namun, tak menutup kemungkinan apabila musuh berkedok delivery driver itu menaruh alat intelijen lainnya. Misalnya, pesawat nirawak yang mungkin saja tersembunyi di balik pepohonan sekitar rumahnya.
Kemudian, (name) melanjutkan berbenah. Televisi serta lampu dimatikan, barang-barang yang berserakan di atas meja dirapikan dan diletakkan kembali ke tempat semula. Tak lupa memastikan alat-alat elektronik dalam keadaan mati beserta kabelnya tidak tersambung dengan stop kontak.
Gadis itu pun mengecek keadaan ruangan lainnya; ruang tamu, dapur, dan kamar mandi. (Name) menyempatkan diri untuk menata perabotan yang sedikit berantakan. "Aku takkan sempat melakukan ini nanti," ucapnya.
Usai menandaskan tidak ada lagi benda yang perlu dibenahi, gadis itu berlari menaiki tangga menuju kamar tidur dengan tergesa-gesa. Deru napasnya tak karuan seiring dengan detak jantungnya yang semakin cepat, pacuan kedua tungkainya kian laju. Ia membanting dan mengunci pintu kamarnya, lantas menyambar ponsel di atas nakas untuk segera menghubungi sang kakak sepupu.
Tut ... tut ... tut....
Dengan cemas, (name) menunggu sambungan telepon terhubung dengan Miu yang semoga saja langsung mengangkat teleponnya. Padahal, ia dan Miu baru saja berbincang di telepon tadi. Namun, berselang beberapa saat saja, keadaan darurat seketika terjadi.
Akhirnya, sambungan teleponnya pun berhasil terhubung. "Ada apa, (name)?" tanya Miu begitu mengangkat telepon.
(Name) dengan panik menjawab, "Miu-nee! Ini gawat! Salah satu teman target mengetahui rencanaku!"
"Apa?!" Miu terperanjat, namun tetap berusaha tenang dan tidak gegabah. "Jelaskan," pintanya dengan tegas dan penuh penekanan. Masalah yang kini dihadapi oleh (name) adalah perkara serius.
"Tadi, aku memesan makanan dari kafe tempat aku dan Killua berkencan sebelumnya. Namun, aku tak tahu kalau yang mengantar pesanan untukku itu salah satu teman Killua! Dia mencuri buku catatanku diam-diam, aku yakin dia sudah tahu semuanya! Atau mungkin, bahkan dia mendengar pembicaraan kita di telepon. Dia tahu, Miu-nee! Bagaimana ini?!"
Gadis itu benar-benar panik sekarang. Pikirannya tidak jernih, perasaannya kalut marut, ditambah lagi sekarang ia seorang diri di Jepang. Tidak ada yang bisa membantunya dalam keadaan genting seperti ini selain dirinya sendiri.
(Name) tahu betul kalau nyawanya terancam. Berurusan dengan pembunuh berbahaya seperti anggota keluarga Zoldyck memang bukanlah hal yang bisa disepelekan. Tampaknya, gadis itu terlalu meremehkan aksi membahayakan yang diembannya ini. Dan kini, ia bahkan tak tahu apa yang harus dilakukannya tanpa bantuan orang lain selain dirinya sendiri. Sungguh ironis.
"Miu-nee, aku takut sekali. Aku tahu menyesal sekarang tidak ada gunanya tapi...," (name) menggigit bibir bawahnya untuk menahan tangis, "aku takut, Miu-nee! Aku menyesal, aku tak tahu harus apa...."
"Tenanglah, tetap tenang, (name)," ujar Miu, nada suaranya terdengar dingin. "Aku selalu bersamamu, aku selalu berada di sisimu. Aku janji akan menyelamatkanmu, (name)."
Pandagan (name) mulai mengabur, tertutupi oleh air mata yang susah payah dibendung di pelupuk mata. "Miu-nee...," lirihnya.
"Baiklah, yang harus kau lakukan sekarang adalah menelepon ke nomor yang kukirimkan lewat e-mail. Akan kukirimkan anak-anak buahku yang terkuat dan terunggul dari Hunter Agency milikku di Jepang. Mereka akan melindungimu," jelas Miu.
"Aku akan meminta mereka membuatkan paspor untukmu dan membawamu padaku. Untuk seterusnya, kau akan tinggal bersamaku, (name)."
Dalam hati, (name) sangat bersyukur Miu selalu ada untuknya. Miu selalu melindungi dan membantunya setiap kali gadis itu berada dalam kesulitan. Terlebih lagi Jabatan Miu sebagai presiden direktur di Hunter Agency, sebuah perusahaan agen yang menyediakan jasa para Hunter profesional yang tak tertandingi di Jepang untuk memenuhi permintaan klien.
Tentu saja permintaan klien tidak sembarangan diterima oleh para agen, dipertimbangkan terlebih dahulu apakah masih berdasarkan perikemanusiaan dan tidak menentang undang-undang. Jika permintaan berupa hal yang dapat mencelakai atau membahayakan seseorang dan bahkan sampai merenggut nyawa, maka permintaan tersebut ditolak.
Terkecuali permintaan untuk melindungi diri seseorang dari ancaman atau teror yang mengincar keselamatan, permintaan semacam itu lebih diutamakan karena menyangkut nyawa manusia.
Dan kini (name) berada di posisi yang membutuhkan perlindungan dari para agen tersebut. Padahal, gadis itu juga seorang Hunter. Namun, keberaniannya seolah-olah lenyap begitu rencananya terbongkar dan (name) tak memiliki persiapan untuk menghadapi situasi yang terburuk.
(Name) menganggukkan kepalanya meskipun tahu Miu tidak dapat melihatnya. "Baik, aku mengerti," sahutnya. "Apa aku juga harus mengemasi barang-barangku?"
"Bawa surat-surat penting, pakaian, atau barang yang kau butuhkan. Kau harus melarikan diri secepatnya," jawab Miu. "Usahakan selesai malam ini, (name)."
'Melarikan diri, ya? Aku memang benar-benar pengecut,' batin (name) miris. "Baik, Miu-nee...."
"Tenanglah, (name). Akan kuberitahu para agen untuk segera bergerak. Dan ikuti saja kata-kata mereka untuk membawamu ke tempat lain, kau aman bersama mereka," ujar Miu, mencoba menenangkan (name).
"Aku mengerti. Terima kasih, Miu-nee," balas (name) sambil menyeka air matanya yang tak sanggup dibendung lagi. "Kapan mereka akan datang?" tanyanya.
"Setelah telepon ini terputus."
Tuuutt....
Tok tok tok!
"Permisi, kami dari Hunter Agency!"
Gadis itu terkesiap, meragukan indra pendengarannya yang mungkin saja menipunya. Akan tetapi, ketukan demi ketukan pada pintu tak kunjung berhenti, seolah memintanya untuk segera membuka pintu. Dengan kaki gemetar, ia membuka kunci pintu kamar lalu berlari menuruni tangga dan membuka pintu.
Di depan pintu, berdiri lima orang—tiga orang pria dan dua orang wanita—berpakaian rapi dengan seragam setelan jas hitam, dan masing-masing pin hitam berlogo Hunter Agency bertuliskan HA berwarna putih tersemat di dada kanan mereka.
Seorang pria berambut biru yang berdiri paling depan membungkuk hormat diikuti teman-temannya. (Name) ikut membungkuk dan kembali menegakkan tubuhnya begitu kelima orang tersebut kembali memasang sikap tegap.
"Selamat sore, Nona (Name)," ucap pria itu, tatapan iris kuningnya tertuju pada (name). "Kami agen Hunter profesional dari Hunter Agency. Presdir Murakami Miu mengutus kami untuk melindungi nona dari salah seorang anggota keluarga pembunuh bayaran, keluarga Zoldyck, yang mengincar Anda. Mohon izinkan kami untuk segera membawa Anda ke tempat yang lebih aman, nona."
(Name) terdiam mencerna kata demi kata yang diucapkan pria itu, dirinya diincar salah seorang anggota keluarga Zoldyck? Bukankah seharusnya Killua yang (name) incar? Kenapa keadaan jadi terbalik semudah itu? Benar-benar tak disangka.
(Name) mengangguk. "Baiklah, tapi sebelumnya aku harus mengemasi barang-barangku dulu," katanya.
"Izinkan kami membantu, nona," ujar seorang wanita berambut nila sambil tersenyum ramah. "Namaku Harui," lanjutnya. Mata beriris merah Harui berkilat tajam ketika bertemu pandang dengan (name).
(Name) mengangguk kikuk, mereka tahu namanya namun gadis itu sama sekali tak mengetahui nama mereka. "Silakan masuk dahulu," ujarnya sembari mempersilakan para tamunya masuk ke dalam.
"Ah, maafkan kami lupa mengenalkan diri," ucap sang pria berambut biru. "Namaku Aoi, salam kenal, Nona (Name)."
Kali ini, seorang pria botak bertubuh tinggi dan besar mengenalkan diri dengan intonasi suara yang datar, "Panggil saya Kuro, nona." Sesuai namanya, Kuro memiliki kulit hitam, berkumis hitam, serta memakai kacamata hitam.
Pria lainnya yang berambut sedikit kecokelatan dan beriris hijau menyahut singkat, "Zen."
Dan terakhir, wanita berambut merah muda yang dikepang tersenyum ramah. "Saya Hanamori, namun anda bisa memanggil saya Hana atau Mori," katanya. "Anda mau memanggil saya Hana atau Mori, nona?"
"Eh?" (Name) mengerjap begitu tersadar dari lamunannya. "Itu ... bagaimana kalau Nari-san saja?"
Hanamori atau Nari tetap memasang senyuman ramahnya. "Tentu saja, nona," jawabnya sambil mengangguk.
"Baiklah, boleh kami mulai sekarang, Nona (Name)?" tanya Aoi langsung. "Apa saja yang harus dibawa?"
"Ah, cukup surat-surat penting, pakaian, buku dan alat elektronik saja," jawab (name), gadis itu merasa tak enak hati karena merepotkan orang lain untuk membantunya mengemasi barang.
"Kami akan mengurusnya," Harui menyela ketika (name) hendak membuka mulut, "Mohon Anda tunggu di sini saja, nona."
Mau tak mau, (name) mengangguk pasrah. "Di dalam lemari ada koper dan tas ransel gunung, pakai saja itu," pesannya yang ditanggapi anggukan dari Harui.
Aoi mengangguk sebagai balasan dari tatapan Harui. Kemudian Harui dan Nari beranjak menuju kamar (name) untuk mengemasi barang-barangnya, menyisakan gadis itu bersama tiga orang pria di ruang tamu (name).
Kecanggungan terpecahkan oleh celetukan Kuro, "Apa ada hal lain yang ingin Anda lakukan terlebih dahulu sebelum pergi, nona?"
Awalnya, (name) hendak menjawab mungkin dirinya harus mandi atau sekadar mengganti pakaian, namun Zen seolah-olah dapat membaca pikiran gadis itu berkata, "Kau bisa memperbaiki penampilanmu yang berantakan itu nanti."
Nadanya ketus, menohok tepat di hati. Bahasa yang Zen gunakan pun tidak seformal teman-temannya. Memang terdengar sedikit tidak sopan dan lancang, tetapi tampaknya Zen tidak peduli akan hal tersebut.
"Zen," tegur Kuro. "Jangan kasar terhadap anak kecil, apalagi anak perempuan."
"Diam kau, pedofilia." Balasan yang sangat menyakitkan dari Zen.
Aoi menghela napas melihat tingkah laku kedua temannya itu. Benar-benar tidak mencerminkan sifat profesional sebagai agen Hunter Agency. "Mohon maafkan mereka, Nona (Name)," ucap Aoi seraya membungkukkan badan.
(Name) yang semula tercengang melihat pertengkaran kecil antara Kuro dan Zen tersentak, mendapati Aoi tengah membungkuk meminta maaf padanya. "Tidak apa-apa, Aoi-san. Dan tolong tidak usah terlalu formal seperti itu," ujar (name).
Aoi kembali menegakkan tubuhnya dan tersenyum tipis. "Baiklah kalau begitu," balasnya.
'Tampan sekali!' (Name) merasa wajahnya memanas melihat senyuman tipis Aoi. Bahkan, gadis itu sampai tak berkedip dibuatnya.
"Woi, Aoi, jangan menggodanya," Kuro lagi-lagi menegur, "Dasar playboy."
Baiklah, ketiga pria agen Hunter pro tersebut benar-benar unik. Satu kata yang menunjukkan diri mereka. 'Ternyata atasan dan bawahan sama saja,' batin (name), teringat dengan Miu karena melihat tingkah laku para bawahannya ini.
"Nona (Name), apakah Anda ingin membawa barang lain?" Harui dan Nari tiba-tiba muncul di ambang pintu ruang tamu, mengalihkan perhatian keempat orang di sana.
Harui membawa sebuah koper abu-abu berukuran sedang berisi pakaian, jaket putih gadis itu berada di pundak Harui. Sementara Nari membawa sebuah tas ransel gunung berwarna cokelat berisi surat-surat penting dan buku-buku.
"Sepertinya, barang Anda sedikit sekali," timpal Nari. "Apakah Anda mau membawa camilan juga?"
"Tidak perlu," kata (name) sambil menggeleng pelan. "Terima kasih sudah membantuku berkemas. Dan juga, panggil aku (name) saja," lanjutnya.
"Ah, ini bukan apa-apa," balas Nari. "Tapi, baiklah kalau begitu."
Harui menghampiri (name), memberikan jaket putih tersebut dan menggandeng tangan kanannya sambil berjalan keluar dari rumah. Aoi, Kuro, Nari dan Zen mengekor di belakang.
"Tenang saja, (name). Kami akan melindungimu."
***
Bersambung....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top