Thirtieth Day, Thirtieth Mission : Is This the Ending?
Tepat setelah Killua tak sadarkan diri, dari balik pepohonan di sekeliling0 arena pertarungan, muncullah seorang wanita yang mengenakan setelan jas hitam dengan pin hitam berlogo Hunter Agency bertuliskan HA berwarna putih tersemat di dada kanannya. Wanita itu memiliki rambut berwarna putih sepinggang dan iris mata berwarna kuning keemasan.
Murakami Miu, nama sang wanita tertera pada name tag di dada kirinya. Miu bertitah, "Hentikan, cukup sampai di situ."
Seketika itu juga pergerakan kelima agen Hunter terhenti, kelimanya sontak menoleh ke arah Miu dengan ekspresi dan tatapan terkejut. Menuruti perintah, masing-masing senjata maupun jurus Nen yang diaktifkan segera diurungkan.
Dengan kata lain, penyerangan kelima agen Hunter dibatalkan.
Aoi membungkukkan badan diikuti keempat agen lainnya, memberi hormat menyambut kedatangan tiba-tiba sang Presdir. Setelah mendapat tanggapan dari Miu berupa anggukan, Aoi dan rekan-rekannya kembali bersikap tegap.
Aoi membuka mulut, "Apa yang anda lakukan di sini, Presdir Murakami?"
Miu tak menjawab. Ekspresi wajahnya menunjukkan keseriusan, sebagaimana wibawa seorang pemimpin. Namun di balik tatapan datarnya tersirat kesedihan kepada sang adik sepupu yang tak sadarkan diri dalam dekapan seorang bocah berambut silver yang kondisinya tak jauh berbeda dengan (name).
Miu berdiri di hadapan Killua dan (name), berjongkok untuk menyamai tinggi badannya dengan kedua anak itu. Perlahan, Miu menarik bahu Killua dengan lembut, melepas dekapan tangan Killua pada (name), lalu membaringkannya di tanah.
'Jadi, anak ini yang menarik hati (name)? Dan anak ini juga ... anak dari keluarga pembunuh bayaran yang membunuh orang tua (name),' batin Miu sambil menatap Killua.
'Dia mempunyai kesamaan dengan (name), sama-sama menanggung beban penderitaan yang berat dan memikul takdir yang kejam.'
Miu juga melakukan hal yang sama kepada (name), memposisikan kedua anak itu berbaring berdampingan. Miu memperhatikan wajah kedua anak yang terlihat damai dan tenang itu, seolah luka pada tubuh dan hati keduanya tidak terasa menyakitkan diri masing-masing.
Miu mengecup ibu jari tangan kanan dan ibu jari tangan kirinya bergantian. Miu menyentuh dahi Killua dan dahi (name) dengan ibu jarinya, sedikit menekan sentuhannya sebelum menarik ibu jarinya kembali.
Kemudian Miu berdiri di antara kaki Killua dan (name). Kali ini, Miu menggigit kedua ibu jarinya secara bergantian hingga mengeluarkan darah. Mengulurkan kedua tangan, Miu membiarkan darah dari kedua ibu jarinya menetes ke tanah di antara Killua dan (name).
Begitu tetesan darah Miu jatuh ke tanah, muncul lingkaran dengan simbol infinity yang mirip angka delapan di dalam lingkaran tersebut. Miu berdiri di tengah-tengah simbol infinity, di mana dua garis saling menyilang bertemu.
Melihat apa yang Miu lakukan, lagi-lagi membuat kelima agen Hunter terkejut. "Apa yang akan anda lakukan dengan teknik Erased Nen anda, Presdir Murakami?" tanya Aoi, menatap Miu yang berdiri membelakangi mereka.
Lagi-lagi Miu tidak menjawab dan melanjutkan apa yang dilakukannya. Erased Nen, teknik penghapusan ingatan milik Miu menggunakan Nen tipe Sousa.
Menggunakan Erased Nen untuk memanipulasi ingatan seseorang--menghapusnya atau membuat ingatan palsu--harus memenuhi syarat, yaitu ada kejadian yang meninggalkan kenangan buruk untuk sekadar dihapus atau sekaligus diganti dengan yang palsu.
'Kedua anak ini mungkin sudah banyak menyimpan kenangan menyenangkan, namun semuanya hanya kebahagiaan semu belaka. Akhir dari pertemuan mereka pun menyedihkan, akan lebih baik jika keduanya tidak mengingat apapun terhadap satu sama lain.'
Setelah Miu berucap dalam hati, salah satu kakinya dihentakkan ke tanah. Tak lama kemudian, dua buah garis menyilang yang bertemu di bawah pijakan kaki Miu terputus.
Tiba-tiba sepasang mata Miu terbelalak, ada satu hal yang Miu lupakan. Namun belum sempat Miu mengantisipasinya, ledakan telah terjadi sehingga mementalkan Killua dan (name) ke dua sisi berbeda dan saling berjauhan.
Kepulan asap akibat ledakan menipis sampai akhirnya menghilang bersama lingkaran dan simbol infinity tadi. Terputusnya dua garis menyilang itu menimbulkan ledakan yang merupakan perwujudan terhapusnya ingatan Killua dan (name) terhadap satu sama lain. Erased Nen sudah selesai digunakan.
"Bawa mereka kemari," titah Miu.
Harui lantas berlari menghampiri Killua, sedangkan Nari menghampiri (name). Harui memeriksa keadaan Killua, tak ada luka yang disebabkan oleh ledakan tadi. Akan tetapi, Nari mendapati bahwa kepala (name) terbentur cukup keras.
"Aku sudah meminta tolong pada Yuzu untuk menelepon rumah sakit terdekat dan memesan kamar untuk (name)," jelas Miu, diusapnya benturan pada kepala (name).
"Lalu, bagaimana dengan anak ini?" tanya Harui sambil menatap Killua dalam rengkuhannya.
"Ano, biar aku saja yang membawa Killua pulang."
Mendengar suara itu, Miu dan kelima agen Hunter refleks menoleh ke sumber suara. Di belakang mereka, berdiri seorang bocah berambut hitam jabrik, tatapan iris mata cokelatnya begitu meyakinkan ditambah senyuman manisnya.
"Namaku Gon, aku temannya Killua," ucap Gon, memperkenalkan diri sembari menunjuk dirinya sendiri dengan ibu jari. "Aku minta maaf atas apa yang telah Killua lakukan, Killua memang bodoh, hehe."
"Kau terlihat sama bodohnya dengan temanmu," celetuk Zen.
Gon sweatdrop. "E-eh? Hahaha," tawanya canggung. "Mungkin saja, tapi aku akan bertanggungjawab--"
"Tidak perlu," sela Miu, mengulaskan senyum untuk bersikap ramah. "Aku sudah menghapus ingatan mereka berdua terhadap satu sama lain, jadi tidak akan ada yang mengingat perihal pertarungan ini maupun kejadian sebelumnya."
Gon sedikit memiringkan kepalanya. "Begitu, ya? Jadi, Killua tidak mengingat apa-apa," tanggap Gon. "Apa Nona akan menghapus ingatanku juga?"
Miu menggelengkan kepalanya. "Tidak, kurasa aku tidak perlu menghapus ingatanmu," jawab Miu. "Justru aku memerlukan seseorang untuk menjadi saksi bisu yang bisa menyimpan ingatan Killua. Apa kau bersedia, Gon?"
Gon mengangguk semangat. "Tentu saja!" jawabnya. "Yang harus aku lakukan adalah bersikap seolah tidak terjadi apa-apa, menyimpan apa yang telah Killua alami dan rasakan tanpa memberitahunya, benar?"
"Kau anak yang pintar, Gon," puji Miu sambil terkekeh, diusapnya puncak kepala Gon. Yang diusap hanya memasang cengirannya.
Miu menyentuh dahi Gon dengan ibu jari tangan kirinya yang digunakan untuk menyentuh dahi Killua tadi. Gon memejamkan matanya, melihat kelebat ingatan Killua. Setelah selesai mentransfer ingatan Killua menggunakan Transfer Nen, Miu mengusap bekas darahnya yang menempel di dahi Gon.
"Terimakasih, Gon," ucap Miu sambil tersenyum. "Kau teman yang baik."
Gon ikut tersenyum. "Terimakasih kembali, Nona. Boleh aku membawa pulang Killua sekarang? Aku punya teman seorang calon dokter, dia bisa mengobati Killua."
"Benarkah? Baiklah kalau begitu."
Harui membantu Gon menggendong Killua di punggungnya. "Jaa, aku pergi dulu," pamit Gon sambil melambaikan tangan kanannya dan tersenyum. "Sayonara!"
Gon berjalan semakin menjauh sembari menggendong Killua di punggungnya sampai sosoknya menghilang di balik pepohonan.
"Baiklah, kita juga harus pergi sekarang," ujar Miu yang kembali bersikap tegas.
Miu mengecek ponselnya, membaca pesan yang dikirim oleh Yuzu. "Yuzu bilang ambulans sudah menunggu di Serenity Hotel. Harui dan Nari, ikut aku kembali ke hotel. Kalian bertiga, hubungi pihak perbaikan untuk memperbaiki kekacauan ini," perintah Miu.
"Ha'i!"
***
Sementara itu, Gon telah sampai di depan pintu rumah. Pintu tiba-tiba saja langsung terbuka, atau lebih tepatnya dibuka oleh Kurapika sebelum Gon mengetuk pintu.
"Ya ampun, apa yang terjadi?"
"Nanti saja ceritanya, yang penting sekarang Leorio harus memberi pertolongan pertama pada Killua," tukas Gon.
"Aku akan panggilkan Leorio."
"Tolong, ya."
Kurapika pun pergi untuk mencari Leorio. Gon membawa Killua masuk ke dalam kamar mereka berdua dan membaringkannya ke tempat tidur. Tak lama kemudian, Kurapika datang bersama Leorio yang menenteng tas berisi peralatan dan obat-obatan yang dibutuhkan serta kotak P3K.
Leorio meletakkan tasnya di atas nakas samping tempat tidur, kemudian memperhatikan kondisi Killua dengan seksama. "Banyak luka memar dan lebam, luka-luka itu perlu dikompres air dingin. Untuk pendarahannya tidak terlalu parah, cukup membersihkan sisa-sisa darah lalu menghentikan pendarahannya," terang Leorio.
"Apakah Killua pingsan karena terbentur atau terkena benda keras, Gon?" tanya Kurapika, dijawab gelengan kepala oleh Gon.
"Tidak ada patah tulang, tidak ada pergeseran sendi. Kelihatannya tidak ada luka serius, kecuali luka bakar pada tubuh Killua. Sepertinya luka bakar itu hanya merusak jaringan kulit," tambah Leorio.
Leorio membuka tasnya seraya memberikan intruksi, "Gon, ambilkan sebaskom air dingin dan beberapa handuk kecil. Kurapika, ambil baju ganti untuk Killua. Biar aku yang mengobati luka-lukanya."
"Kami mengandalkanmu, Leorio."
Dalam hati Kurapika dan Leorio sama-sama bertanya, 'Apa yang terjadi pada Killua?'
Sedangkan Gon sedang menimbang-nimbang apakah akan menceritakan yang sebenarnya atau tidak.
'Memberitahu atau tidak, yang pasti Killua tidak boleh mengetahuinya!' batin Gon.
***
"Apakah (name) akan sadar dalam waktu singkat, dokter?"
"Berdasarkan hasil pemeriksaan, pasien bisa siuman dalam beberapa jam, mengingat luka-luka pada tubuhnya hanya berupa lebam dan memar. Tidak ditemukan kerusakan pada tulang dan organ dalam. Benturan di kepalanya sudah diatasi dan tidak menimbulkan cedera parah," jawab sang dokter sembari menuliskan sesuatu di catatannya.
"Bagaimana dengan ingatannya?" Miu tetap bertanya demikian walau tahu betul dirinyalah yang menghapus ingatan (name). Miu menambahkan, "Apakah ingatannya hilang secara permanen atau hanya sementara? Lalu, apa yang hilang itu sebagian atau seluruhnya?"
"Berdasarkan hasil pemeriksaan, mohon maaf, tetapi sebagian ingatan dalam waktu dekat ini hilang secara permanen," jawab sang dokter. "Oleh karena itu, sebaiknya jangan memaksakan pasien untuk mengingat ingatan yang hilang."
Miu menganggukkan kepalanya, raut wajah Miu menunjukkan penyesalan yang begitu dalam. "Saya mengerti, dokter. Terimakasih banyak atas bantuan anda," ucap Miu seraya membungkukkan badan.
"Ya, dan terimakasih kembali telah mempercayakan (name) kepada kami. Jagalah anak anda baik-baik."
" ... ano, maaf, tetapi (name) adalah adik sepupu saya, bukan anak saya."
Setelah sedikit mengobrol, akhirnya Miu keluar dari ruangan dokter. (Name) sudah dipindahkan ke kamar VIP yang dipesan oleh Miu. Tentu saja, Miu selalu memberikan yang terbaik untuk (name) meski gadis itu kadang menolak pemberiannya.
Miu melangkah menuju kamar VIP (name), mengetuk dan membuka pintunya. Kelima agen Hunter bawahan Miu yang sedang menjaga (name) telah menunggu di sana.
"Kalian tidak terluka, bukan?" tanya Miu, dijawab gelengan kepala oleh kelima agen Hunter tersebut. Miu menghela nafas lega. "Syukurlah, cukup (name) dan anak itu saja yang terluka," gumam Miu sepelan mungkin.
Namun, Aoi tetap bisa mendengar gumaman Miu. "Saya pikir, lebih baik kami yang terluka," ujarnya sambil menundukkan kepala. "Maafkan kami, Presdir Murakami. Kami gagal melaksanakan tugas yang anda berikan untuk melindungi (name)."
Ketiga agen lainnya--kecuali Zen yang membuang muka--turut menunduk menyesal. "Maafkan kami, Presdir Murakami," ucap kelimanya serempak.
Miu menatap sendu pada (name) yang terbaring di ranjang rumah sakit. Baju pasien membalut tubuh (name) yang kini dibalut perban dan plester penutup luka. Tampaknya (name) merasa nyaman dengan bantal empuk serta selimut tebal nan hangat yang menyelimutinya.
"Kalian lihat wajahnya yang tenang dan damai itu?"
Miu terus menatap wajah (name) yang menunjukkan seolah kejadian menyedihkan yang pernah terjadi hanyalah mimpi buruk, bukannya kenyataan pahit yang membawanya hingga berakhir di rumah sakit.
"Memang inilah yang (name) inginkan, membalaskan dendamnya. Berhasil atau gagal, (name) tidak tahu dan tidak peduli. Karena bagaimanapun akhirnya, (name) tahu bahwa dirinya tetap harus tinggal bersamaku. Akulah walinya semenjak orang tuanya--paman dan bibiku--meninggal dunia. Aku yang akan menjadi orang tua untuk (name) sampai gadis kecilku beranjak benar-benar dewasa."
Miu melangkah mendekati (name), mengelus puncak kepalanya dengan penuh kasih sayang. "Meski aku tidak berharap (name) menjadi dewasa, ketika (name) dewasa pun selalu menjadi gadis kecilku," katanya sambil tersenyum getir.
"Aku tidak mengerti."
Ucapan Zen tersebut langsung dibalas tatapan datar oleh keempat rekannya, sedangkan Miu hanya terkekeh mendengar ucapan Zen.
"Intinya, kalian tidak gagal dalam tugas ini," jelas Miu, membuat kelima agen Hunter terkejut mendengarnya. Miu tersenyum melihat keterkejutan para agen dan bertanya, "Apa kalian tahu mengapa aku mengangkat kalian sebagai agen Hunter profesional?
"Itu karena kalian menyikapi tugas yang kuberikan secara profesional; sesuai permintaan klien, tahu kapan saat yang tepat untuk bertindak di luar rencana. Itulah yang namanya profesional dan itulah kalian."
Miu bertepuk tangan, namun tidak terlalu keras. "Selamat untuk kalian, satu tugas lagi yang sukses kalian tuntaskan," ucap Miu, senyumannya membuat kelima agen tersenyum.
Aoi membungkukkan badan diikuti keempat rekannya. "Terimakasih banyak atas kerja samanya, Presdir Murakami," ucap kelimanya serempak, lagi.
"Terimakasih kembali, agen."
Para agen kembali memasang sikap tegap. "Lalu, apakah (name) juga akan melupakan kami?" tanya Kuro, tampaknya Kuro sedikit keberatan jika anak perempuan semanis (name) yang tidak takut dengannya sekarang malah melupakannya.
"Kalian bisa berkenalan lagi setelah (name) siuman," jawab Miu, sebagai seorang pemimpin tentunya Miu memahami bagaimana perasaan Kuro. "Jangan khawatir, kalian bisa bertemu secara langsung dengan (name) saat kami akan pergi ke bandara untuk berangkat menuju Roma. Kalian akan mengawalku dan (name). Setelah itu, kalian bisa berpamitan dengan (name)."
Aoi menyimpulkan, "Jadi, kami masih memiliki tugas terakhir untuk menjaga (name) dan anda."
"Jangan menyebutnya tugas terakhir, siapa tahu kalau nanti ada kesempatan untuk bertemu (name) lagi," bantah Kuro, tidak terima Aoi menyebut tugas terakhir untuk menjaga (name).
Miu terkekeh menanggapinya. "Nah, sebelum itu, tolong kalian siapkan paspor dan pesan tiket pesawat serta segala persiapan untuk terbang menuju Roma," perintah Miu. "Kita akan berangkat secepatnya setelah (name) siuman."
"Baik, Presdir Murakami!"
***
00.13 AM.
" ... jam berapa sekarang?"
"Ini tengah malam, Killua ... eh?"
"Ada apa, Gon?"
"WAA! KURAPIKA! LEORIO! KILLUA SUDAH SADAR!" teriak Gon dengan girangnya. "KURAPIKA! LEORIO! CEPAT KEMARI!"
Pintu kamar Gon dan Killua didobrak kasar oleh Leorio. "Woe, kau ini berisik sekali, Gon!" bentak Leorio dengan muka bantalnya. "Kau tidak perlu berteriak seperti itu tengah malam begini. Tetangga bisa marah pada kita, tahu!"
Gon mengerjapkan matanya dengan polos. "Eh? Memangnya kita punya tetangga, ya?"
"Gon, apakah kau tidak tidur?" Kurapika mengucek matanya, sesekali menguap kecil karena masih mengantuk. "Ini tengah malam," lanjutnya lesu.
"Aku tidak tidur, hehe."
"Itu tidak baik untuk kesehatanmu, Gon. Jangan begadang lagi."
"Baik, Kurapika."
Si bocah berambut silver yang terabaikan pun membuka suara, "Oi."
"Waa! Killua sudah sadar!"
"Kau sudah mengatakan itu tadi, dasar bodoh!" Killua melempari Gon dengan bantal, setengah karena kesal setengahnya lagi karena memang ingin melakukannya.
Killua protes, "Aku yang baru sadar, tapi kenapa malah kau yang dipertanyakan?"
"Eh, kenapa kau menyalahkan aku?"
"Sudahlah, jangan bertengkar," lerai Leorio setengah mengantuk. "Kukira kau akan sadar pagi nanti, Killua."
"Killua terlalu bersemangat," kekeh Gon. "Leorio, sebaiknya kau memeriksa keadaan Killua lagi."
"Oh, baiklah. Aku akan mengambil tasku sebentar."
Sementara Leorio keluar untuk mengambil tasnya, Killua bertanya pada Gon, "Apa yang terjadi padaku, Gon? Ukh ... kenapa kepalaku sakit sekali, dan sepertinya ada yang aku lupakan, tapi aku tidak tahu apa. Yah, namanya juga lupa."
'Killua cepat sekali menyadarinya,' batin Gon, berusaha agar tidak memperlihatkan keterkejutannya.
"Soal itu, aku akan menceritakan--"
"Oh, tunggu, kurasa tidak perlu. Aku sudah ingat," sela Killua sambil mengibaskan tangannya. "Konyol sekali aku sampai terbentur aspal akibat tertabrak mobil, apakah itu karma karena aku kabur dari rumah? Ya ampun...."
"Ahaha, sepertinya iya," tawa Gon canggung. 'Nona itu sepertinya membuat ingatan palsu untuk Killua, syukurlah. Aku tidak perlu berbohong pada Killua.'
Namun, Gon tetap harus berpura-pura tidak terjadi apa-apa. Begitupula dengan Kurapika dan Leorio yang telah mengetahui serta memahami cerita sebenarnya.
"Aku kembali," ujar Leorio yang sudah kembali bersama tasnya. "Aku akan memeriksa keadaan Killua. Gon dan Kurapika, tunggu di luar."
"Baik," Gon mengangguk, "Kurapika, ayo kita--eh, Kurapika?"
"Pantas saja suaranya tak terdengar dari tadi, rupanya Kurapika tidur," kata Killua, menatap Kurapika yang tertidur bersandar pada dinding.
"Wah, Kurapika keren bisa tidur sambil berdiri!" seru Gon.
"Itu tidak keren. Gon, gendong saja Kurapika ke kamar kami."
"Setelah menggendong Killua, aku juga harus menggendong Kurapika? Yang benar saja!"
"A-apa? Ka-kau menggendongku?!" pekik Killua terkejut, semburat merah muda merambat dari wajah sampai ke telinganya.
"Tentu saja! Masa Killua mau diseret sampai ke rumah, mau tidak mau, aku harus menggendongmu, tahu!" balas Gon sambil mengerucutkan bibirnya. "Sudah tahu badanmu lebih besar dari badanku."
Killua mengalihkan pandangan sembari mengusap tengkuknya. "Terimakasih," ucapnya pelan.
"Kau bilang sesuatu, Killu?"
Killua mengulangi ucapannya, "Aku bilang, terimakasih sudah repot-repot menggendongku sampai ke rumah. Puas, hah?"
Gon terkekeh, lalu tersenyum manis. "Tidak masalah, kok!" katanya.
Killua beralih pada Kurapika yang masih tertidur bersandar pada dinding. "Hei, Kurapika," panggil Killua sambil melambaikan tangannya di depan wajah Kurapika.
Perlahan, kelopak mata Kurapika terbuka. Mengerang pelan, Kurapika berkata, "Kau sudah sadar, Killua?"
Killua menatap datar pada Kurapika. "Dari tadi," jawabnya ketus.
Gon tertawa seraya menghampiri Kurapika dan menarik tangannya. Gon bersama Kurapika beranjak keluar kamar untuk membiarkan Leorio memulai pemeriksaan.
"Aku tidak akan disuntik, 'kan?"
"Kau mau disuntik mati, hah?"
"Tidak, kau saja sana."
"Aku juga tidak mau, Killua bodoh. Kau lebih baik saat belum sadar, baru sadar saja sudah menyebalkan."
"Kalau aku belum sadar, pasti ada yang merindukan aku."
"Siapa yang merindukanmu?"
"Entahlah, aku tidak yakin," Killua tampak berpikir sejenak, "tapi yang pasti, ada seseorang yang merindukan aku. Aku juga merindukannya, entah siapa."
Leorio terdiam. 'Kesadarannya kuat sekali,' batinnya.
"Liorio, aku ingin bertanya sesuatu," celetuk Killua.
"Namaku Leorio, bodoh."
"Baiklah, Leorio bodoh, aku ingin bertanya, apakah aku menghilangkan sesuatu? Aku merasa ada yang hilang, tapi aku tidak tahu apa. Bagaimana?"
Lagi, Leorio terdiam. Kalau ditanya apa yang hilang, jawabannya adalah (name) dan segala hal tentangnya serta kenangan bersama gadis itu. Kini (name) pun telah kehilangan Killua, segala hal tentangnya dan kenangan bersamanya.
"Oi, Liorio, jawab pertanyaanku."
"Namaku Leorio," Leorio menghela nafas berat, "aku juga tidak tahu, tapi, apapun yang hilang itu mungkin saja akan kau temukan suatu saat nanti."
Kali ini, Killua terdiam mendengar jawaban Leorio. "Mungkin aku akan mencarinya," gumam Killua.
Leorio tersentak kaget. 'Tidak, tidak mungkin Killua mengingat gadis itu, apalagi bertemu kembali dengannya,' batin Leorio berusaha menenangkan diri.
"Agar tidak ada hal lain yang kau lupakan, pertama-tama kau harus mengingat namaku, namaku Leorio."
"Hah, itu tidak penting."
" ... betapa sabarnya diriku."
***
Hospital, 03.40 AM.
Miu berada di rumah sakit bersama Harui dan Nari, tepatnya di kamar VIP (name). Sementara ketiga pria lainnya sedang pergi keluar untuk mencari cemilan di toko 24 jam.
"Presdir Murakami, apakah ingatan (name) benar-benar terhapus?" tanya Nari, memecah keheningan.
Miu mengangguk. "Ya, ingatan (name) tentang anak itu dan kalian terhapus, dokter pun menyatakan bahwa hasil pemeriksaan demikian," jawab Miu.
Harui ikut bertanya, "Tapi, apakah (name) akan menyadari ada yang hilang atau terlupakan?"
"Mungkin saja, kurasa anak itu juga merasa kehilangan sesuatu. Tapi baik (name) maupun anak itu tidak akan bisa mengingatnya. Lagipula, aku membuat ingatan palsu untuk (name) dan anak itu, masing-masing berbeda. Seolah, mereka tak pernah saling mengenal di dunia ini."
Keheningan kembali melanda, namun tak lama karena suara erangan pelan dari (name) terderngar, membuat ketiga wanita tersebut menoleh ke arahnya.
"Panggilkan dokter kemari, cepat!" perintah Miu kepada Harui dan Nari.
"Ha'i!"
Seperginya Harui dan Nari, Miu melangkah menghampiri (name). Kelopak mata sang gadis perlahan terbuka. Hal pertama yang tertangkap penglihatannya adalah langit-langit ruangan. Gadis itu mengerjap, mengumpulkan kesadaran untuk mendapati dirinya terbaring di ranjang rumah sakit dengan berbalut baju pasien dan terbungkus selimut.
Sepasang mata Miu berkaca-kaca, seulas senyuman terpatri di wajahnya. "Akhirnya, kau sudah sadar, (name)," ujarnya.
(Name) menatap Miu sambil mengerjap, beberapa kali pula menggosok matanya. Seakan tak percaya, (name) memanggil wanita itu dengan suara parau nan serak, "Mi ... Mi-Miu ... Miu-nee?"
Miu mengangguk. "Aku senang kau masih mengingatku," ucapnya sambil terkekeh. "Kau seperti bayi yang baru bisa berbicara, hihi."
(Name) hanya mengulaskan senyum tipis dan menghela nafas lemah, tak sepenuhnya menanggapi gurauan Miu. Tiba-tiba saja kepala (name) terasa berdenyut sakit ketika suatu pertanyaan terbesit di kepalanya, membuatnya meringis pelan karena denyutan tersebut.
"Miu-nee, apakah aku melupakan sesuatu? Aku merasa seperti ada yang hilang," tanyanya.
Miu terdiam menatap (name) sendu. Dalam hatinya bimbang hendak menjawab pertanyaan tersebut.
Satu-satunya jawaban yang jujur namun menyedihkan adalah, Miu yang menghilangkan ingatan (name) selama kurang lebih tiga puluh hari bersama Killua di Jepang. Mulai dari dendam kesumat yang berpenghujung kegagalan, hubungan antara (name) dan Killua dengan perasaan yang berbeda, sampai akhir dari pertarungan yang tidak memiliki pemenang.
(Name) atau Killua, tidak ada yang benar atau salah dan tidak ada yang menang atau kalah. Yang ada hanyalah keduanya sama-sama tersakiti dan terluka karena diri masing-masing.
Tidak hanya (name) dan Killua, sebenarnya Miu pun merasa sakit karena dengan tega membiarkan (name) yang jelas-jelas masih membutuhkan perlindungannya. Miu sangat menyesal tidak memaksa (name) agar ikut bersamanya sejak awal. Kalau saja Miu tahu--dan memang sudah menduganya--akan berakhir seperti ini. Akan tetapi, semua sudah terlanjur terjadi. Nasi telah menjadi bubur.
Dan lagi, semua ingatan (name) tentang Killua telah Miu hapus secara permanen. Baik sebelum keduanya bertemu maupun setelah keduanya berakhir pilu seperti ini, tiada satupun yang tersisa dalam ingatan (name).
Tetapi, apakah perasaan gadis itu masih ada meskipun hanya setitik kecil di hatinya, Miu tidak tahu. Miu hanya bisa menghapus ingatan seseorang tanpa bisa menghilangkan perasaan menggunakan Erased Nen.
Masihkah (name) menerima Killua menjadi bagian dari kepingan hatinya, hanya gadis itu sendiri dan Tuhan yang tahu.
Hanya itu satu-satunya solusi dari segala konflik rumit bagaikan benang kusut yang menjerat (name) dan Killua. Itulah yang Miu lakukan, memotong benang yang saling terhubung antara keduanya.
Kini Miu harus menyalahkan dirinya lagi demi (name). Tidak mungkin untuk memberitahu yang sebenarnya pada gadis itu sementara ingatannya sudah dihapus. Dan tidak ada cara selain berbohong untuk kebaikan (name).
Miu menarik nafas panjang, lalu mengembuskannya perlahan. "Kau mengalami kecelakaan lalu lintas di perjalanan menuju bandara saat kau hendak menyusulku ke Roma. Kau pasti tidak ingat, kepalamu terbentur cukup keras akibat kecelakaan itu."
Sekilas tampak kilat keterkejutan di mata (name). Gadis itu langsung menunduk, memegangi kepalanya dengan kedua tangan. Denyutan itu semakin menjadi-jadi, pening dalam sekejap melingkupi kepala (name).
Miu tergopoh-gopoh menghampiri (name) dan dengan panik bertanya, "Ada apa? Apa kau baik-baik saja?"
Tak mendapat respons dari yang bersangkutan, Miu mengelus puncak kepala (name) sambil merengkuh tubuh ringkihnya dan berusaha menangkan (name). "Tenanglah, (name). Jangan pikirkan apa-apa, lupakan mengapa kau bisa berada di sini. Yang penting sekarang kau baik-baik saja bersamaku, oke?" bisik Miu dengan lembut.
(Name) mencoba mengikuti instruksi dari Miu untuk menenangkan dirinya. Perlahan, denyutan yang menyakitkan di kepalanya memudar dan rasa pening itu menghilang. (Name) mengembuskan nafas berat, akhirnya ia bisa kembali tenang.
"Aku sudah ingat," kata (name).
Miu menghela nafas lega. Bertepatan dengan itu, pintu kamar terbuka. Sang dokter berjalan memasuki ruangan sambil membawa peralatan bersama dua orang suster.
"Nona Murakami, silakan menunggu di luar," ujar sang dokter.
"Baik, dokter. Mohon bantuannya."
Skip, 04.22 AM.
Setelah (name) diperiksa, dokter mengatakan bahwa (name) bisa pulang pagi hari ini. (Name) cukup dirawat di rumah saja, karena akan membuatnya merasa lebih tenang jika bersama Miu.
"(Name), kau boleh tidur lagi selama aku mengambil baju ganti untukmu," kata Miu seraya mengenakan jasnya. "Kupikir besok saja kita ke bandara, seharian ini kau bisa beristirahat dulu. Aku akan mengurus paspor kita."
"Kau masih ada pekerjaan di Roma, Miu-nee? Kukira kau hanya sedang bersenang-senang di Roma."
"Ya, untuk beberapa bulan ke depan, masih ada klien yang harus aku tangani," jawab Miu. "Kau tahu apa yang kusebut bersenang-senang? Yaitu bekerja sama dengan klien dan menyelesaikan pekerjaan."
"Dasar workaholic."
"Haha, kau boleh menyebutku begitu," Miu meraih gagang pintu dan membukanya, "aku akan kembali lagi. Oyasumi, (name)."
"Oyasumi, Miu-nee."
Pintu tertutup, Miu meninggalkan (name) bersama kesunyian seorang diri. (Name) mencari posisi nyaman untuk tidur sambil menunggu Miu datang kembali. Perlahan, kelopak matanya menutup, menyambut kegelapan pekat yang membawanya ke alam mimpi.
"Karena aku mencintaimu, (name)."
"Hah?!"
(Name) refleks terbangun dan terduduk sambil memegangi kepalanya yang lagi-lagi berdenyut sakit, kali ini lebih menyakitkan dari sebelumnya. Dipejamkan matanya guna mengurangi denyutan tersebut, namun tak berhasil. Tubuh (name) gemetar dengan keringat membanjirinya.
Tak kuat berlama-lama dalam posisi duduk, (name) jatuh terbaring dan kembali kehilangan kesadaran.
"Aku juga mencintaimu ... siapapun kau, yang mencintaiku...."
Killua Zoldyck X Readers :
THE END.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top